Langsung ke konten utama

BAB 1 SAMPAI BAB 30


 

 

 

BAB 1 Mencintai Perempuan Lain

***

Alvian Fedrix Liam duduk di ruang tamu sebuah rumah besar, diterangi cahaya redup yang seolah menyesuaikan dengan suasana hatinya. Sebagai pemilik perusahaan start-up bernama Xyc.Ltd, hari ini seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Beberapa jam sebelumnya, ia baru saja menikah dengan seorang perempuan bernama Laila, pasangan yang dipilihkan oleh kakeknya.

Pernikahan ini bukanlah keinginannya. Alvian selalu berprinsip bahwa pernikahan hanya akan ia jalani jika ia mencintai seseorang. Namun ancaman kakeknya, yang tidak dapat ia abaikan, memaksanya untuk menyetujui pernikahan ini. Laila, perempuan yang kini resmi menjadi istrinya, adalah anak dari guru spiritual kakeknya. Berusia 29 tahun, hanya dua tahun lebih muda darinya, Laila dikenal sebagai perempuan pendiam dan terlalu penurut.

Sebelum pernikahan, Alvian diberi kesempatan untuk melihat wajah Laila, tetapi ia menolak. Kini, di hadapannya, Laila duduk dengan kepala tertunduk, wajahnya tersembunyi di balik kain, hanya menyisakan matanya yang terlihat. Dalam hati, Alvian berpikir, perempuan itu tampak seperti ninja.

Alvian menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang membuncah di dadanya. "Hei!" serunya dingin, menatap tajam ke arah Laila.

Tubuh Laila langsung menegang. "Iya, Mas."

Kata "Mas" yang keluar dari bibir Laila terdengar asing dan menyebalkan bagi Alvian.

Hening sejenak menyelimuti mereka sebelum Alvian berkata, "Ada yang ingin aku katakan."

Laila mengangguk pelan. "Apa, Mas?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.

Alvian menghela napas lagi sebelum melanjutkan, "Jangan pernah berharap cinta dariku," ucapnya tanpa emosi. "Karena aku sudah mencintai perempuan lain."

Laila kaget luar biasa. Belum dua puluh empat jam. Tapi laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya malah seperti mengibarkan bendera perang. Siapa yang mau punya suami yang mencintai perempuan lain. Kalau memang punya perempuan idaman, harusnya diam saja. Kalau begini, sama saja tidak menghargai Laila sebagai istrinya.

"Kalau begitu, apa yang Mas akan lakukan kedepannya?" Laila penasaran dengan jalan pikiran Alvian.

Alvian tersenyum sinis. "Menikahinya dan hidup bahagia."

"Tapi sekarang Mas sudah menikah." Laila mengingatkan jika suaminya lupa. Tapi pada kenyataannya, suaminya tidak lupa sama sekali.

"Hanya sementara. Saat waktunya tiba, kita akan bercerai."

Laila memejamkan mata. Mudah sekali suaminya mengatakan cerai begini. Tapi tunggu, apa sekarang sudah jatuh talak 1? Entahlah. Masih bersifat abu-abu. Apalagi bukan sekarang tapi di masa depan yang tidak jelas.

"Baiklah. Walaupun begitu, aku tetap akan menjalankan kewajiban sebagai istri." Laila berusaha untuk tetap tegas.

Jawaban pasrah Laila hanya membuat Alvian semakin kesal. "Tidak perlu! Aku tidak membutuhkannya," balasnya dingin.

"Dan asal kamu tau, aku tidak mengharapkan pernikahan ini sama sekali." Alvian mengatakan dengan penuh penekanan.

"Kalau begitu, kenapa Mas tidak menolak dari awal?" tanya Laila.

Alvian sangat geram sekali. Laila terlalu berani berbicara seperti itu padanya. "Aku sudah menolak! Tapi Kalau bukan karena ancaman Kakek, aku tidak akan mau menikahimu," katanya dengan nada penuh penyesalan.

"Jadi sekarang Mas menyalahkanku?"

Frustasi Alvian semakin memuncak. Ia mulai meluapkan emosinya dengan umpatan-umpatan kasar, tawa pahit yang miris, dan akhirnya berteriak penuh kemarahan. Laila hanya diam, terpaku mendengar semua itu. Kata-kata Alvian terus menghujam, seolah-olah menyalahkan Laila atas semua yang terjadi. "Ya. Seharusnya kamu menolak perjodohan ini. Apa kamu begitu tidak ada yang menyukai sampai pasrah saja saat dijodohkan?" bentaknya.

Laila hanya diam saja. Semakin dia banyak menjawab, maka kemarahan Alvian semakin menjadi-jadi. Apalagi dia sudah sangat lelah sekali.

Sedangkan Alvian merasa semakin terjebak dalam keadaan yang sangat dibenci, Alvian akhirnya memberikan perintah dingin kepada Laila. Ia menunjuk sebuah kamar di ujung lorong. "Pakai kamar itu karena aku tidak sudi sekamar denganmu," katanya tegas.

Laila menatap kamar yang ditunjuk, lalu ia mengangguk. Alvian sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar utama sedangkan Laila menarik koper dengan perasaan campur aduk.

Pernikahan apa yang sebenarnya dia jalani sekarang. Kenapa suaminya seperti itu. Seharusnya mereka bisa bekerja sama untuk menumbuhkan cinta satu sama lain, bukan malah membatasi diri. Kalau tahu Alvian sudah memiliki perempuan yang dia cintai, maka Laila tidak akan menerima perjodohan ini.

Padahal Laila ingin menjalankan pernikahan sebagaimana pada umumnya walaupun mereka menikah karena dijodohkan. Tapi ternyata berat sekali. Hari pertama saja, dia sudah harus mendengar fakta bahwa suaminya mencintai perempuan lain.

Tidak ada masalah dengan kamarnya. Semua tampak normal, hanya perasaan Laila yang tidak normal. Dia berpikir kedepannya akan menjalani hari-hari yang berat.

Laila hampir lupa melihat ponsel. Pasti kedua orang tuanya khawatir dengannya. Dia langsung mengambil ponsel dari dalam tas. Ada beberapa pesan yang masuk.

[Ayah : Bagaimana Nak? Apa kamu sudah sampai?]

Laila langsung membalas pesan tersebut.

[Laila : Sudah, Yah. Alhamdulillah]

[Ayah : Alhamdulillah. Apa nak Alvian memperlakukan kamu dengan baik?]

Jari jempol Laila terdiam sejenak di atas layar ponsel. Dia menyemangati diri sendiri sebelum mengetik balasan.

[Laila : Iya, Ayah. Mas Alvian sangat baik. Kami tinggal dirumah yang sangat besar. Ada tiga kamar disini. Mas Alvian juga perhatian sekali (emot senyum)]

Dalam hati, Laila meminta ampun kepada Allah karena sudah berbohong pada ayahnya. Laila melakukan itu agar Ayah dan ibunya tidak khawatir. Sebenarnya ayah menyerahkan keputusan kepada Laila, dia tidak pernah memaksa Laila untuk menerima perjodohan ini.

[Ayah : Alhamdulillah. Ayah lega kalau memang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, katakan saja dan jangan disembunyikan.]

[Laila :Baik, Ayah. Tolong jaga kesehatan disana dan jangan terlalu banyak bekerja. Ibu juga. Aku sayang kalian]

[Ayah : Iya, Nak. Kamu juga ya. Jangan kesehatan dan semoga Allah meridhoi langkah kamu. Aamiin]

[Laila : Aamiin. Terima kasih ayah]

Laila meletakkan ponselnya di atas nakas. Merasa hampa dan kosong walau kamarnya cukup besar. Saat ia ingin memindahkan pakaian ke dalam lemari, Laila mendengar suara teriakan dan amukan dari luar. Laila langsung kaget. Jelas sekali kalau suara itu dari kamar suaminya.

Laila memeluk dirinya sendiri. "Ya Allah, apa pernikahan ini akan baik-baik saja?" ujarnya. "Kuatkan hamba, Ya Allah..." lanjutnya lagi

***

Meskipun Alvian sudah mengingatkan dirinya untuk tidak mengharapkan apapun dari pernikahan ini. Tapi Laila tetap bertekad untuk meluluhkan hati suaminya itu. Dari awal Laila tidak tahu kalau sang suami mencintai perempuan lain. Kalau dia tahu, pasti Laila akan langsung menolak. Dia benar-benar bodoh karena tidak mencari tahu terlebih dahulu. Tapi sekarang dia sudah menikah dengan Alvian. Maka Laila akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan pernikahan ini.

Laila sudah bangun pukul tiga pagi. Mengambil wudhu dan melakukan shalat malam. Tidak sekalipun sejak menikah dia lupa mendoakan kebaikan untuk rumah tangga dan suaminya. Laila memohon agar Allah melunakan hati suaminya agar menerima pernikahan mereka.

Laila sama seperti perempuan lainnya. Ingin menikah dengan laki-laki yang juga memiliki perasaan padanya. Suaminya memang tampan, sulit untuk tidak terpesona. Apalagi dia pintar.

Air mata mengalir begitu saja. Laila juga minta dikuatkan. Tidak ada satupun manusia yang menginginkan pernikahan yang gagal. Laila minta yang terbaik. Dia yakin bisa melewati semuanya. Apalagi sudah ada ridho kedua orang tuanya.

Laila duduk di atas sajadah sampai azan subuh berkumandang. Saat itu, dia keluar dari kamar. Ingin rasanya membangunkan sang suami tapi Laila takut kalau Alvian akan mengamuk seperti hari-hari sebelumnya. Memang sampai sekarang Alvian tidak pernah menyakiti fisiknya, tapi tetap saja Laila takut.

"Ya Allah, ampuni dosa hamba," ujar Laila karena tidak membangunkan suaminya untuk shalat subuh. Dia kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil wudhu kembali dan segera menunaikan shalat subuh.

Selesai shalat subuh, Laila akan mulai melangkah ke dapur. Dia akan membuat nasi goreng seafood. Kata kakek, suaminya suka seafood. Laila berusaha membuatnya dengan cita rasa yang enak. Semoga suaminya suka.

Setelah memasak, Laila kembali ke kamar. Dia membersihkan diri karena tidak ingin tampil buruk didepan suaminya.

Tubuh Laila sudah wangi. Dia juga sudah berpakaian yang indah dan bersih. Saatnya menyuruh suaminya untuk menikmati sarapan. Dia melangkah dengan buru-buru setelah mendengar suara pintu kamar suaminya terbuka.

"Mas..." panggil Laila dengan senyum cerah.

Alvian sedikit kaget. Namun dia tidak membalikkan badan sama sekali.

"Kenapa?!" Alvian menjawab dengan tidak niat.

"Kalau boleh tahu, Mas mau ke mana?" tanyanya hati-hati. Laila kira pagi ini suaminya tidak akan kemana-mana. Apalagi mereka baru saja menikah

"Terserah aku mau ke mana! Kamu jangan ikut campur!" balasnya, nada emosional tersirat jelas dalam suaranya.

"Aku bukan ingin ikut campur. Aku hanya bertanya saja."

"Apa bedanya? Kamu itu semakin dibilang semakin berani ya?" Alvian tidak menyangka Laila akan membalas perkataannya. Dia kira Laila hanya tahu minta maaf saja.

"Masih pagi, Mas. Hindari untuk marah-marah karena tidak baik untuk kesehatan," saran Laila. Dia masih berbicara dengan nada lembut. Tapi entah kenapa Alvian malah semakin marah.

"Terserah aku! Apa pedulimu?"

Laila mengelus dadanya sebentar. "Jelas aku peduli. Aku kan istri Mas."

"Ck, hanya istri di atas kertas dan tidak lebih." Alvian ingin segera pergi. Dia malas berada dirumah dan lebih baik bekerja.

"Terserah Mas mau anggap apa." Laila berusaha untuk tetap tenang. "Oh ya aku sudah membuat sarapan," lanjutnya dengan sedikit antusias.

"Terus?" balas Alvian tanpa minat.

"Lebih baik kita sarapan dulu, " ucap Laila pelan.

Alih-alih tergerak, Alvian hanya berdecak. "Tidak usah sok sibuk menjalankan peran istri. Aku tidak menganggapmu sebagai seorang istri dan jangan pedulikan aku.."

"Dan satu lagi," tambah Alvian dingin, "Tutupi saja wajahmu itu. Aku tidak suka melihatnya."

Apa yang salah dari wajah Laila? Padahal kata orang dia cantik. "Ada apa dengan wajahku?" Laila memberanikan diri untuk bertanya.

"Bercermin saja sana! Lihat baik-baik, pasti kamu akan ketakutan." Alvian asal bicara saja. Padahal dia belum melihat wajah Laila dengan jelas. Tapi perkataan ini membuat hati Laila tergores. Namanya perempuan pasti kalau sudah membahas fisik akan mudah baper. Tapi Laila berusaha untuk tetap tegar. Dia bahkan berulang kali beristighfar dalam hati agar tidak membenci suaminya sendiri.


***

BAB 2  Demi Kebaikan

***

Alvian melangkah masuk ke kantor dengan perasaan dongkol yang masih menggantung sejak pagi. Langkahnya berat, dan suasana hatinya yang buruk tergambar jelas di wajahnya. Begitu memasuki ruangan, Dylan, temannya yang juga menjabat sebagai COO perusahaan, menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya.

Dylan menghentikan langkah Alvian di koridor dekat ruangannya. "Lo kenapa? Pagi-pagi sudah seperti awan mendung aja," katanya sambil menyipitkan mata, mencoba mencari tahu apa yang salah.

Alvian hanya mendengus pelan, berusaha menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalannya. "Nggak ada," jawabnya singkat, mencoba menghindar dari pertanyaan Dylan. Namun, tatapan temannya itu menunjukkan bahwa ia tidak mudah diyakinkan.

Berusaha mengalihkan pikirannya dari kekesalan, Alvian mulai fokus pada pekerjaan. Sambil berjalan menuju ruang rapat, ia bertanya kepada Dylan, "Bagaimana perkembangan aplikasi game yang ingin kita luncurkan? Sudah sampai mana?"

Dylan langsung menjawab dengan antusias, seperti biasa ketika membahas proyek yang ditanganinya. "Progresnya cukup baik," katanya sambil membuka tablet untuk menunjukkan beberapa data. "Tim pengembang sudah menyelesaikan fase beta. Sekarang kami sedang melakukan tes untuk memastikan tidak ada bug besar yang akan mengganggu pengalaman pengguna."

Dia melanjutkan, "Feedback dari tester sejauh ini positif. Mereka bilang mekanik gameplay-nya menarik dan grafisnya cukup memukau. Tapi ada beberapa masukan untuk meningkatkan user interface agar lebih intuitif, terutama di bagian menu."

Mendengar kabar itu, Alvian merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, pekerjaan mereka berjalan sesuai rencana. "Baguslah," ucapnya singkat.

***

Saat sedang asyik membolak-balik dokumen di meja kerjanya, Alvian mendengar suara pintu terbuka dengan keras. Ia mendongak cepat, rasa terkejut langsung menghantamnya saat melihat siapa yang berdiri di sana.

Kakek.

Pria tua itu melangkah perlahan, tongkat kayunya mengetuk-ngetuk lantai dengan ritme yang tegas. Sorot matanya tajam seperti biasa, penuh wibawa. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot itu lebih berat, seolah membawa sebuah persoalan besar yang tak bisa diabaikan.

Alvian duduk tegak, mencoba membaca ekspresi kakeknya. "Kakek? Ada apa sampai datang ke sini?" tanyanya berusaha tenang, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu, jika sang kakek sampai datang sendiri, pasti ada sesuatu yang serius.

Kakek menatap cucunya dengan tajam, raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang sulit disembunyikan. "Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanyanya dengan suara tegas. Meski usianya sudah kepala delapan, nada bicaranya tetap terdengar keras dan penuh wibawa.

Alvian terdiam, tidak langsung menjawab. Ia bingung dengan arah pertanyaan itu. "Maksud Kakek apa?" tanyanya ragu.

Kakek menghela napas panjang, tatapannya semakin dalam. "Kamu baru menikah, Alvian. Tapi pagi-pagi sudah pergi ke kantor? Apa menurutmu ini waktu yang tepat untuk bekerja?"

Alvian terdiam, menyadari bahwa kakeknya sedang mempermasalahkan keputusannya datang ke kantor. Baginya, pernikahan itu bukan sesuatu yang istimewa, apalagi dengan perempuan bercadar yang bahkan wajahnya belum pernah ia lihat. Namun, bagi sang kakek, keputusan Alvian mencurahkan waktunya untuk pekerjaan dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap istrinya.

"Apa perempuan itu mengadu kepada Kakek?" tanya Alvian dengan nada dingin.

"Istrimu punya nama, Alvian. Jangan hanya menyebutnya perempuan itu!" tegur kakek, suaranya mengandung nada marah.

Alvian menghela napas panjang. "Apakah Laila mengadu kepada Kakek?"

Kakek mendengus kecil, lalu menjawab dengan nada berat, "Apa sebenarnya isi otakmu itu?"

"Tentu saja sesuatu yang baik," balas Alvian, berusaha terdengar santai meskipun ia tahu jawabannya tidak akan memuaskan.

"Baik apanya? Laila itu perempuan baik. Banyak laki-laki yang menginginkannya. Dia juga cantik. Kamu harusnya bersyukur, Alvian!" seru kakek.

Alvian nyaris tertawa mendengar itu. "Kalau begitu, kenapa Kakek tidak menikah dengannya saja?" ucapnya asal.

"Alvian!" suara kakek menggelegar, membuat ruangan terasa lebih sempit. "Mulutmu seperti tidak pernah diajarkan sopan santun. Apa Kakek pernah mendidikmu menjadi seperti ini?"

Melihat kakeknya memegang dada, Alvian mulai merasa bersalah. Namun, ia terlalu keras kepala untuk mengakui kesalahannya.

"Sudahlah, Kek. Lebih baik Kakek istirahat di rumah saja," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Kakek memejamkan mata, menghela napas berat sebelum akhirnya berkata dengan nada dingin, "Sekarang kamu pulang."

Alvian mengerutkan dahi. "Ini masih jam kerja, Kakek. Kenapa aku harus pulang?"

"Pulang, Alvian!" ulang kakek tegas.

Alvian menolak. "Tidak!"

Kakek mendesah panjang, lalu mengeluarkan senjata andalannya. "Kalau kamu tidak mau, jangan harap Kakek akan berinvestasi pada perusahaan ini."

Mata Alvian melotot mendengar ancaman itu. Ia tahu betul kakeknya serius, dan keputusan itu bisa berdampak besar. Tanpa investasi dari kakek, perusahaannya akan kesulitan bertahan, terutama karena banyak karyawan bergantung pada perusahaan tersebut.

"Kakek pintar sekali mengikatku," ujar Alvian akhirnya, suaranya terdengar getir.

"Apa kamu pikir Kakek ingin menghancurkan hidupmu?" tanya kakek, nada suaranya melunak sedikit.

"Tentu saja. Kakek memaksaku menikahi perempuan yang tidak aku cintai. Apalagi dia pakai kain penutup wajah seperti ninja. Itu sangat menakutkan."

"Ya Allah, Alvian. Kamu seharusnya bersyukur punya istri yang menutupi auratnya dengan sempurna. Di zaman sekarang, sangat jarang orang seperti dia," balas kakek sambil memijat pangkal hidungnya.

"Istrimu sangat cantik, Alvian. Kalau tidak ditutupi, banyak yang akan menginginkannya," tambah kakek lagi.

Alvian terdiam. Ia tidak tahu secantik apa wajah Laila, karena sejak awal ia tidak peduli. Pernikahan itu terjadi atas kehendak kakeknya, dan ia hanya memenuhi formalitasnya.

"Kakek, kalau Kakek benar-benar sayang padaku, Kakek tidak akan menyuruhku menikahi seseorang yang tidak aku cintai," ujar Alvian akhirnya, dengan nada getir yang berusaha ia sembunyikan.

"Kakek sayang padamu. Karena itu, Kakek memilih perempuan yang tidak hanya peduli pada duniamu, tapi juga akhiratmu," jawab kakek dengan nada lirih, penuh harapan.

Alvian masih berpikir bahwa Laila sudah mengadu kepada kakek. Hal ini membuatnya bertambah marah serta membenci Laila.

Alvian menganggap ucapan kakeknya sebagai angin lalu. Baginya, pernikahan dengan Laila hanyalah salah satu dari banyak kompromi yang harus ia lakukan agar kakek tidak membatalkan investasi ke perusahaan. Namun, desakan kakek kali ini membuatnya tidak punya pilihan selain pulang ke rumah dengan perasaan kesal yang masih membara.

Saat mobilnya berhenti di halaman rumah, Alvian tidak langsung turun. Ia duduk sejenak, menatap kosong ke depan, mencoba meredam emosinya sebelum menghadapi perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Namun, rasa tidak suka yang ia simpan sejak awal pernikahan itu terus membakar di dalam hatinya.

"Perempuan ninja itu pasti sudah mengadu," gumamnya dengan nada sinis.

Meski hatinya masih penuh kekesalan, ia membuka pintu dengan tenaga lebih besar dari biasanya, menghasilkan suara pintu yang terbuka keras. Ia berharap suara itu bisa sedikit melampiaskan rasa frustrasinya, tapi tentu saja, itu tidak berhasil.

Laila muncul dari kamar, langkahnya pelan seperti biasa. Tubuhnya tertutup sempurna dengan mukenah putih dan cadar menutupi wajahnya. Alvian selalu merasa perempuan ini seperti ninja, begitu misterius dan asing baginya. Laila menghampiri dengan mata yang menunjukkan niat membantu. Dia memperhatikan tas yang sedang dipegang Alvian dan berkata lembut, "Biar aku yang bawakan, Mas."

Alvian mendengus, tidak menyukai gestur itu sama sekali. "Tidak usah!" jawabnya dingin, langsung menolak tawarannya tanpa berpikir dua kali.

Laila tidak menyerah meskipun ditolak. Dengan suara lembut, dia berkata lagi, "Kalau begitu, aku ambilkan minum." Nada suaranya tetap tenang, seperti tidak terpengaruh oleh sikap dingin suaminya.

"Aku bilang tidak, ya tidak!" bentak Alvian, suaranya meninggi tanpa bisa ditahan. Ia menatap Laila sekilas, cukup untuk melihat tubuh perempuan itu sedikit gemetar mendengar nada kasarnya. Laila menundukkan kepala, menahan diri untuk tidak menjawab atau melawan.

Dengan dada bergemuruh, Alvian berdiri di hadapan Laila. Tatapan matanya penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan di belakangku?" tanyanya, nadanya seperti badai yang siap menghancurkan.

Laila tampak kebingungan. Matanya melebar, "melakukan apa, Mas?" jawabnya.

"Jangan pura-pura tidak tau," desisnya tajam. "Apa kamu mengadu kepada Kakek?"

Laila mengerutkan kening, bingung dengan tuduhan itu. "Mengadu apa maksud, Mas? Aku tidak mengerti," katanya, suaranya bergetar.

Alvian mendengus sinis, matanya menatap seperti pedang yang menusuk. "Ck, tidak usah membela diri dan pura-pura bodoh! Aku tahu pasti kamu yang mengadu kepada Kakek. Kalau bukan kamu, mana mungkin Kakek tahu kalau aku sudah masuk kerja hari ini?"

"Aku juga tidak tau. Tapi Aku sama sekali tidak mengadu," balas Laila membela diri. Dia tidak melakukan apapun, tiba-tiba suaminya pulang dan langsung menuduhnya yang tidak-tidak.

"Jangan bohong!"

Laila tampak tersentak mendengar bentakan itu. Wajahnya memucat, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Astagfirullah. Aku benar-benar tidak mengadu kepada Kakek. Aku bahkan tidak berkomunikasi dengan kakek sejak kemarin."

Alvian tertawa sinis, penuh ejekan. "Kamu kira aku bodoh?"

Laila menggeleng. "Siapapun tau kalau Mas bukan orang bodoh".

"Kalau kamu tahu itu, harusnya kamu langsung mengaku saja!" ujar Alvian dengan nada tajam. "Semakin kamu membela diri, semakin kamu terlihat menjijikkan."

Laila menunduk dalam, mungkin mencoba menahan tangis. "Kalau Mas tidak percaya, ayo tanyakan kepada kakek. Apa aku mengadu atau tidak?"

"Tidak perlu!" potong Alvian. "Kamu hanya akan memperburuk keadaan. Kalau sampai Kakek membatalkan investasinya, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membuat hidupmu tidak tenang."

Laila hanya terdiam, matanya tetap memandang lantai. Setelah mengancam Laila, Alvian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang, mencoba meredakan darah yang berdesir tidak lancar. Nafasnya tersengal, jantungnya berdetak cepat.

"Apa lagi ini, Ya Allah?" lirih Laila sambil memegang dadanya. Jantungnya berdetak dengan cepat karena intonasi bicara suaminya yang sangat tinggi. Dia tidak biasa mendapat perlakuan seperti ini.

Laila benar-benar tidak mengadu apapun kepada kakek. Bagaimana mungkin dia akan mengadu, bahkan saat kakek bertanya bagaimana Alvian memperlakukannya, Laila selalu berbicara baik mengenai suaminya itu.


***

BAB 3  Sangat Mengganggu

***

Laila duduk di sofa ruang keluarga, menatap kamar sang suami. Sejak menikah, dia tidak punya kontak suaminya. Mau minta pun, Laila sedikit ragu akan diberikan atau tidak.

Tidak ada kemajuan dalam hubungan mereka. Yang jelas, Laila sedikit penasaran dengan perempuan yang dicintai suaminya. Laila juga takut kalau Alvian nikah diam-diam. Tapi mau bagaimana lagi, jelas-jelas Laila tidak dianggap sebagai istri oleh Alvian. Tinggal menunggu waktu sampai Laila diceraikan dan Alvian bersatu dengan perempuan yang dia cintai.

Semakin dipikirkan, semakin Laila merasa sakit. Dia langsung mengalihkan pikiran ke arah lain. Contohnya soal pekerjaan atau mungkin tentang buku yang sedang ia baca.

Laila masih menunggu sampai Alvian keluar dari kamar. Dia ingin meminta izin untuk keluar. Ada seseorang yang ingin ditemui Laila. Teman masa SMA yang sudah lama tidak bertemu. Kebetulan temannya itu tinggal dan bekerja di kota ini. Laila juga ingin meminta maaf kepada temannya itu karena sudah menghilang selama 9 tahun tanpa alasan yang jelas.

Semakin ditunggu semakin suaminya tidak muncul. Apa Laila langsung mengetuk pintunya saja? Tapi Laila takut dimarahi lagi. Dia jadi mondar mandir tidak jelas. Antara memberanikan diri atau tetap menunggu.

Ditengah kebingungan, tiba-tiba pintu kamar suaminya terbuka.

Wajah Laila yang tadinya murung langsung bersemangat lagi. Dia melihat suaminya keluar dari kamar hanya menggunakan celana pendek dan kaos.

Suaminya memang tampan, Laila mengakui itu. Tampaknya Laila terpesona dengan suaminya sendiri. Lihat saja matanya dia ragu untuk menatap suaminya yang sedang berjalan menuju ke dapur.

Laila curi-curi pandang saat Alvian tengah membuka kulkas dan mengambil air dingin. Alvian meneguk air dingin tersebut sehingga tersisa setengahnya. Kalau sang suami tidak marah-marah, kadar ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Apa lihat-lihat?!" tegur Alvian. Laila kaget luar biasa. Dia tidak menyangka suaminya tahu kalau dia sedang curi-curi pandang sejak tadi. Tapi dia tidak mau menunjukkan tingkah seseorang yang sudah tertangkap basah.

"Siapa yang lihat-lihat?" tanya Laila dengan nada santai. Padahal jantungnya sudah berdetak dengan cepat.

Mata Alvian langsung melotot. "Kamulah, emang siapa lagi?"

Sebenarnya Alvian sedikit merasa bersalah soal dia yang menuduh Laila sudah mengadu kepada kakeknya. Bukan Laila yang mengadu, melainkan kakek yang membayar orang untuk mengawasinya. Tapi dia terlalu gengsi untuk sekedar meminta maaf.

"Aku?" Laila menunjuk diri sendiri.

"Ck. Menyebalkan." Alvian melanjutkan langkahnya ke kamar. Sebelum benar-benar masuk kamar, Laila menyusulnya sambil berlari kecil. "Mas..." panggilnya.

Alvian berhenti mendadak. Hal ini membuat Laila tidak bisa menghentikan langkahnya tepat waktu. Wajahnya langsung menabrak punggung lebar dan kokok milik sang suami.

"Aduh..." keluh Laila sambil memegang wajah yang tertutupi cadar.

Tapi sedetik kemudian, jantung Laila berdetak dengan cepat. Suaminya pasti marah. Laila akan kena semprot lagi. Laila sampai menunduk dan memejamkan mata seakan menunggu kemarahan sang suami.

Laila berdoa agar waktu cepat berlalu atau tiba-tiba telinganya tidak berfungsi sehingga tidak akan mendengar amukan Alvian.

"Kalau punya mata ya dipakai," ujar Alvian. Tapi suaranya tidak terlalu tinggi. Entah kenapa Laila malah lega.

"Maaf, Mas. Aku kira Mas nggak akan berhenti mendadak."

"Kamu nyalahin aku?" Alvian tampak tidak percaya dengan respon Laila. Masih baik dia tidak meledak.

"Bukan bukan. Aku tidak menyalahkan, Mas." Laila menjawab dengan cepat.

"Beneran, Mas. Aku tidak menyalahkan Mas Alvian," ujar Laila lagi.

"Sudahlah! Memang kenapa kamu panggil-panggil?" Alvian tidak ingin memperpanjang perdebatan. Dia langsung bertanya kenapa Laila memanggil dan berlari seperti anak kecil untuk mengejarnya.

"Eh iya," ujar Laila yang sempat lupa tujuan dia memanggil dan mengejar suaminya. "Aku mau minta izin keluar," lanjutnya cepat.

"Oh."

"Aku mau ketemu sama teman lama," jelas Laila tanpa diminta. "Perempuan kok," lanjutnya agar sang suami tidak salah paham.

Alvian hanya diam saja. Wajahnya masih terlihat dingin.

"A-apa boleh?" tanya Laila dengan gugup.

"Terserah. Mau kemanapun kamu, terserah. Kalau perlu nggak usah kembali." Setelah mengatakan itu, Alvian masuk ke dalam kamar.

"Udah Laila, nggak usah dipikirin. Mulut suami kamu emang aneh," ujar Laila bermonolog sendiri. Dia tidak mau ambil pusing. Berpikir positif adalah cara terbaik untuk hidup.

Laila langsung masuk ke dalam kamar. Dia mencari ponsel dan mengirim pesan kepada sang teman soal pertemuan mereka. Berhubung Laila sudah mendapat izin, maka mereka akan membahas waktu pertemuan diadakan. Laila jadi tidak sabar.

***

Laila memijat pangkal hidungnya. Sudah belasan jam laptopnya tidak mati. Dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Layar laptop menampilkan desain UI yang sedang ia kerjakan. Laila bukan perempuan pengangguran. Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan S1nya, Laila tetap bisa mencari uang dengan kemampuannya sendiri. Laila cukup menguasai dua hal yaitu bahasa inggris dan skill desain.

Laila memilih keluar kamar. Dia butuh suasana baru selain kamarnya. Apalagi dia sudah lelah mendesain dari pagi. Ternyata hari sedang hujan. Laila sampai tidak sadar.

Saat Laila tengah berdiri di depan rumah sambil menatap hujan, tiba-tiba suaminya menyelonong melewati dirinya begitu saja. Laila tidak sempat untuk menyapa atau bahkan bertanya.

Alvian terlihat buru-buru. Dia tidak perduli hujan karena baru saja menerima pesan dari orang yang dibayarnya untuk mencari perempuan yang ia cintai.

Orang itu memberitahunya bahwa ia telah menemukan seorang perempuan yang berasal dari kampus yang sama dengan Alvian dan memiliki buku unik yang pernah ia berikan. Buku itu sangat berarti bagi Alvian, karena ia membuatnya sendiri. Buku yang memuat ide serta gagasan apa yang ingin Alvian lakukan dimasa depan. Apalagi dulu mereka sama-sama tertarik dengan teknologi.

Perasaan Alvian menjadi campur aduk. Setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya dia bisa menemukan jejaknya. Ia segera menancap gas, menuju kota dengan kecepatan tinggi. Semangatnya meluap, perasaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Setibanya di perusahaan, ia langsung masuk dengan langkah cepat. Dylan masih berada dikantor padahal sudah malam. Pakaian Alvian sedikit basah karena dia tidak menggunakan payung saat melangkah dari parkiran menuju ke gedung.

"Di mana dia?" tanya Alvian tanpa basa-basi.

Dylan menunjuk ke sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk rapat. Ia tampak memahami alasan di balik kedatangan Alvian yang terburu-buru.

Tanpa menunggu lama, Alvian membuka pintu dan langsung bertanya dengan nada mendesak kepada orang yang ia tugaskan, "Bagaimana?"

Orang itu berdiri dan menjawab dengan tegas, "Saya sudah menemukan perempuan yang Anda cari, Pak. Dia memiliki buku itu."

Alvian merasakan beban berat di pundaknya tiba-tiba terangkat. Perasaan lega mengalir deras, meskipun di dalamnya ada kegelisahan yang mengintip, seakan masih banyak yang belum terungkap.

"Siapa namanya, dan di mana dia sekarang?" tanya Alvian, suaranya hampir bergetar karena ketegangan yang dirasakannya.

"Dia bernama Bella. Bekerja sebagai sosial media analysis diperusahaan F." jawab orang itu.

Alvian sedikit kaget. Bukannya dulu perempuan yang ia cari memiliki mimpi ingin menjadi seorang desain grafis atau desain UI/UX.

"Oh begitu." Alvian antara yakin dan tidak yakin. "Apa dia memang memiliki bukunya?"

"Benar, Pak. Saya melihatnya sendiri."

Alvian mengangguk, mungkin setiap orang bisa berubah. Termasuk jenjang karir dan lain sebagainya.

"Saya juga sudah membuat janji dengan Bella," tambah orang itu.

Alvian tersenyum puas. "Bagus, saya akan menambah bayaranmu."

Setelah berbicara, Alvian keluar dari ruangan dan menemui Dylan yang menunggunya di luar.

"Sepertinya ada kabar yang menyenangkan," ujar Dilan sambil memegang cangkir kopi.

"Ya, akhirnya gue berhasil menemukan cinta pertama gue," jawab Alvian, senyumnya merekah.

Dylan tertawa kecil. "Cinta pertama?" ujarnya merasa tidak masuk akal.

Alvian hanya menatap Dylan dengan wajah kesal. Terlihat sekali jika Dylan sedang mentertawakannya.

"Ups, sorry." Dylan berhenti tertawa. "Apa lo yakin memang dia orangnya?" Dylan masih ragu.

"Kalau bukan dia siapa lagi? Dia punya buku yang gue kasih."

"Terserah lo deh. Tapi ingat, lo harus hati-hati. Apalagi lo nggak tau wajah dan suaranya gimana. Bisa aja ada orang yang mau jebak lo atau sebagainya."

"Nggak mungkinlah. Hidup gue nggak sedramatis itu."

Dylan hanya bisa geleng-geleng kepala. Setelah itu, Alvian langsung pulang ke rumah. Perasaannya menjadi lebih baik. Moodnya juga baik. Bahkan dia bersenandung sepanjang perjalanan pulang. Sebentar lagi, Alvian akan bertemu dengan cinta pertamanya. Orang yang selalu menguatkan dirinya dengan kata-kata melalui pesan saat dia terpuruk. Alvian tidak sabar menunggu sampai besok. Bagaimana dengan cinta pertamanya itu? Memikirkan saja sudah membuat perasaan Alvian berbunga-bunga.

Sesampainya dirumah, Alvian mendapati Laila yang duduk di ruang keluarga. Wajahnya tertutupi dan hanya matanya saja yang terlihat. Alvian sangat muak sekali. Melihat Laila saja sudah membuat Alvian kesal. Apalagi Laila menjadi penghalang nomor satu untuk dirinya dengan cinta pertamanya bersatu.

“Mas darimana?” tanya Laila.

Alvin tertawa sinis. “Apa kamu sedang berperan jadi istri?”

Laila mengigit bibirnya. Merasa bingung dan bimbang. Dia tahu bahwa Alvian sangat tidak menyukainya, tapi Laila tidak ingin hubungan mereka menjadi renggang.

“Aku hanya bertanya,” jawab Laila berusaha untuk tetap tegar.

Alvin melirik Laila dengan pandangan dingin. "Tidak usah terlalu ikut campur, Laila. Aku tidak butuh pertanyaan-pertanyaanmu." Suaranya penuh dengan nada penolakan.

Laila merasa hatinya semakin berat. Dia mencoba menahan diri agar tidak menangis di depan Alvin. "Maafkan aku kalau aku mengganggu," ucapnya dengan suara gemetar.

Alvin menggeleng, lalu berbalik. "Kamu memang selalu mengganggu," katanya. “Dan ingat, jangan membuang-buang waktu karena akhirnya rumah tangga ini akan berakhir,” lanjutnya. Setelah itu Alvian melangkah meninggalkan Laila.

Laila terdiam dalam keheningan, meratapi keretakan yang semakin besar di antara mereka.


***

BAB 4 Bekal Berserakan Di Lantai

***

Alvian terbangun dengan suasana hati yang baik. Pagi itu, ia merasa lebih bersemangat dari biasanya. Hari ini ia akan bertemu Bella, seseorang yang telah lama ia nantikan. Dengan penuh antusias, ia bersiap-siap untuk berangkat kerja. Kali ini, Alvian memilih pakaian yang lebih rapi dan keren dari biasanya. Ia ingin memberikan kesan baik kepada Bella, agar pertemuan mereka menjadi momen yang tidak akan disesali.

Setelah memastikan penampilannya sempurna di depan cermin, Alvian tersenyum kecil. Ia merasa percaya diri. Namun, saat ia keluar dari kamar, sosok Laila, istrinya, sudah menunggu di ruang makan.

"Aku sudah menyiapkan sarapan. Bagaimana kalau Mas makan dulu?" ujar Laila lembut, seolah-olah percakapan tajam mereka semalam tidak pernah terjadi.

Alvian menghentikan langkahnya, menatap Laila dengan pandangan dingin. Sorot matanya penuh bara. "Sudah kubilang berkali-kali," suaranya rendah tapi penuh tekanan. "Jangan pernah bertingkah seperti istri sungguhan. Aku tidak butuh itu!"

Laila tetap berdiri di tempatnya. Meski tubuhnya sedikit gemetar, ia mencoba tegar. "Walau bagaimanapun, aku tetap istri Mas," jawabnya pelan, tapi tegas.

Alvian tertawa sarkastik, suaranya memecah keheningan pagi. "Apa kamu bilang?!" ia melangkah mendekat, tatapannya semakin tajam.

"A-aku tetap istri Mas," Laila mengulangi dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan.

Emosi Alvian memuncak. Ia menatap Laila dari kepala hingga kaki dengan pandangan meremehkan. "Aku tidak pernah menganggap kamu sebagai istriku. Bagiku, kamu hanyalah-" ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada dingin, "-benalu dihidupku."

Kata-katanya meluncur seperti pisau tajam. Laila terpaku, matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis. Ia tetap berdiri di sana, terlihat rapuh, namun tidak hancur. Di matanya, ada kekecewaan yang dalam, bercampur dengan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

"Mas boleh menganggap aku sebagai apa pun," kata Laila akhirnya, suaranya tetap lembut dan penuh ketulusan. "Tapi setidaknya Mas harus sarapan sebelum kerja. Kakek bilang Mas biasanya tidak pernah melewatkan makan pagi."

Nada suaranya seharusnya menenangkan, tapi bagi Alvian, itu justru seperti minyak yang menyiram api. Ia mendengus, memalingkan wajah. "Aku tidak butuh perhatianmu. Aku bahkan muak hanya dengan melihatmu," sahutnya tajam, membiarkan kata-kata itu melukai lebih dalam.

Laila terdiam sejenak, lalu berbalik ke dapur. "Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya karena aku sudah menyiapkannya," ujarnya pelan, melangkah pergi.

Alvian menghela napas panjang, mencoba mengendalikan kemarahannya. Namun, saat Laila kembali dengan sebuah kotak bekal di tangannya, kesabarannya habis.

"Tunggu, Mas," kata Laila, menyodorkan kotak bekal itu dengan hati-hati.

Alvian menatap kotak itu dengan jijik. Kemarahannya yang membuncah akhirnya meluap. Tanpa pikir panjang, ia menyingkirkan kotak bekal itu dengan keras. Suara benda yang jatuh ke lantai menggema di ruangan. Bekal yang telah Laila siapkan berserakan di lantai, seperti serpihan keheningan yang kini pecah.

Laila terdiam. Ia menatap makanan yang berantakan di lantai dengan tatapan kosong. Tapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan yang mengikuti peristiwa itu terasa berat, menghantam suasana pagi dengan kejam.

Tanpa berkata apa-apa, Alvian membuka pintu dan melangkah keluar. Namun, suara benda jatuh itu terus terngiang di telinganya, seolah tidak mau pergi. Ia terus berjalan, meninggalkan rumah dan Laila yang berdiri di sana, diam dalam kesendiriannya.

*

Alvian melangkah keluar dari mobilnya, mencoba merapikan napas yang terasa lebih cepat dari biasanya. Tujuannya jelas adalah sebuah kafe di pusat kota, tempat pertemuan yang telah lama ia nantikan. Hari ini, ia akan bertemu dengan seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Sesampainya di kafe, Alvian langsung menuju meja yang telah ia pesan. Meja itu berada di sudut dekat jendela, menawarkan pemandangan jalanan kota yang ramai. Ia duduk, mencoba menenangkan diri meskipun debaran jantungnya sulit dikendalikan.

Tak perlu menunggu lama, Bella datang. Ia melangkah dengan anggun, senyum khasnya terpancar, membawa campuran rasa lega dan gugup yang sulit dijelaskan. Alvian berdiri sejenak untuk menyambutnya sebelum mereka kembali duduk.

Mata Bella yang cokelat dan lembut memandang Alvian, penuh kehangatan, seolah waktu yang memisahkan mereka tak pernah ada. Setelah beberapa saat hening, Alvian akhirnya membuka percakapan.

"Apa kamu sudah tahu siapa aku?" tanyanya, suaranya sedikit gugup.

Bella tersenyum tipis, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku. Alvian menatapnya dengan terkejut. Itu buku yang sangat familiar, sebuah hadiah yang ia berikan bertahun-tahun lalu, ketika ia mencoba menyampaikan perasaannya lewat tulisan di dalamnya.

Bella meletakkan buku itu di atas meja. "Katanya Kakak mencari ini," ujarnya lembut.

Alvian terpaku sejenak. Kenangan masa lalu tiba-tiba mengalir deras. Bella, yang dulu hanya ia kenal melalui pesan-pesan singkat, kini ada di hadapannya, nyata.

"Kamu masih menyimpannya?" tanya Alvian, suaranya penuh emosi yang sulit disembunyikan.

"Tentu saja," jawab Bella. "Ini pemberian dari Kakak."

Alvian tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh gejolak. Namun, ia juga menyadari sesuatu yang berbeda. Penampilan Bella tampak jauh dari bayangannya dulu. Ia menggeleng pelan, menyadari bahwa waktu bisa mengubah siapa pun, termasuk Bella.

"Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu?" tanya Alvian hati-hati.

Bella menunduk sebentar sebelum menjawab. "Aku ingin fokus kuliah, jadi aku memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Kakak."

"Apa aku mengganggu waktu itu?"

Bella menggeleng cepat. "Tidak, Kak. Jangan salah paham."

Percakapan berlanjut dengan cerita-cerita ringan. Mereka tertawa mengenang masa lalu, meskipun sesekali suasana menjadi sedikit canggung. Hingga akhirnya, Bella bertanya sesuatu yang membuat Alvian terdiam.

"Bagaimana kabar Papa dan Mama Kakak?"

Pertanyaan itu membuat Alvian bingung. Ia menatap Bella, mencoba mencari tahu apakah ia serius atau hanya bercanda.

"Kamu lupa?" tanya Alvian, mencoba menahan kekecewaannya.

Bella terlihat kebingungan. "Lupa apa, Kak?"

"Orang tuaku sudah meninggal," jawabnya tegas.

Raut terkejut terlihat jelas di wajah Bella. Ia menunduk dengan canggung, meminta maaf. "Maaf, Kak. Karena sudah lama, aku benar-benar lupa."

Alvian menarik napas panjang, mencoba mengendalikan perasaannya. "Tidak apa-apa. Itu wajar," katanya pelan.

Suasana kembali mencair. Bella memuji Alvian yang menurutnya tampan, sementara Alvian membalas dengan candaan bahwa Bella juga cantik, meskipun terlihat berbeda dari bayangannya. Mereka tertawa bersama, menikmati momen itu seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.

Di akhir pertemuan, mereka bertukar kontak. Alvian merasa lega. Bella telah menjadi bagian penting dari masa lalunya, dan kini ia bertekad untuk mendekatinya lagi. Dia yakin, Bella adalah orang yang sangat ia cintai.


***

BAB 5 Gengsi

***

Laila tidak lagi menawarkan sarapan seperti biasanya. Tapi dia tetap membuatkan sarapan untuk suami pemarahnya itu. Seperti pagi ini, Laila berada di dapur. Dia sedang membuat jus buah. Tidak lama, Alvian juga keluar kamar. Dia terlihat seperti orang yang banyak beban pikiran.

Entah Alvian sadar atau tidak bahwa Laila ada di dapur, tapi dia sedang mengambil roti dari dalam kulkas. Matanya sedikit terpejam. Tampaknya baru bangun tidur.

"Mau aku buatkan kopi?" tawar Laila.

Alvian mengumpat saking kagetnya. Ternyata dia tidak sadar keberadaan Laila. "Kamu hantu atau apa?" marahnya. Apalagi penampilan Laila menggunakan baju hitam-hitam.

Laila mengerutkan kening. "Apa tadi Mas nggak lihat aku?" tanyanya.

"Pikir aja sendiri." Jantung Alvian masih berdetak dengan cepat. Ia kira Laila adalah hantu.

Alvian duduk di meja makan setelah sekian lama. Setelah berpikir panjang, kenapa juga dia harus menghindar. Apalagi ini rumah pemberian kakeknya. Harusnya kalau ada yang pergi atau menghindar, itu Laila bukan dirinya.

Laila sengaja membuka tudung saji. Memperlihatkan nasi goreng yang dia buat. Kita lihat saja gengsi suaminya ini sampai mana. Laila tidak akan menawarkan. Nanti kalau ditawarkan, suaminya malah jual mahal.

Laila duduk di depan Alvian. Dia mulai memakan nasi goreng yang sudah ia buat. Jus buah dan sayur juga menjadi andalan Laila di pagi hari agar tetap sehat.

Berbeda dengan Laila, Alvian malah hanya makan roti saja. Telur tidak ada, sayur juga tidak ada. Lebih tepatnya, dia tidak mau makan apa yang dibeli Laila.

Diam-diam Laila melirik sang suami. Kemudian dia tersenyum. Tidak ada yang mulai bicara atau memulai obrolan.

Tapi ditengah keheningan tersebut, dering ponsel milik Alvian berbunyi. Dia langsung mengangkatnya.

"Kenapa?" tanya Alvian sambil mengunyah roti.

"Perusahaan X baru aja meliris game baru. Desainnya hampir sama kayak game yang mau kita rilis."

"Ha?" Kesadaran Alvian langsung kembali sepenuhnya. "Kenapa bisa? Apa ada yang bocorin?"

"Belum pasti, ini masih gue selidiki. Tapi mau tidak mau, desainnya harus diganti."

"Tunggu 1 jam lagi. Gue bakal sampai di perusahaan."

"Oke," jawab Dylan.

Alvian meletakkan ponselnya ke atas meja dengan keras. Bunyinya cukup nyaring. Wujud kekesalan setelah mendengar berita yang tidak mengenakkan.

Laila sampai terkejut mendengarnya. Dia duga layar ponsel Alvian retak karena hentakan itu.

Roti yang dimakan Alvian menjadi tidak enak. Mana aroma nasi goreng yang dibuat Laila sungguh tidak biasa. Tapi mau tidak mau, Alvian harus mengisi perutnya walau hanya dengan roti.

Laila sengaja menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Dia meninggalkan area dapur menuju ke kamar. Saat pintu tertutup, Alvian langsung mengambil sedikit nasi goreng yang dibuat Laila. Dia buru-buru menghabiskan sebelum Laila datang.

Gengsi Alvian terlalu besar. Jadi dia hanya berani makan diam-diam seperti sekarang.

Jujur saja, rasanya enak. Ternyata perkataan Laila bukan hanya bualan semata.

Setelah makan nasi goreng, Alvian sengaja menyisakan sedikit dan memasukkan ke dalam tempat sampah. Padahal dia ingin menghabiskannya.

Tidak lama Laila kembali. "Eh kok habis?" ujarnya bingung melihat piring sudah kosong. Padahal ada satu porsi lagi.

Laila menatap Alvian. Tentu saja Alvian tidak mau mengakuinya. "Apa?" ujar Alvian dengan galak.

"Apa mas tau kenapa nasi goreng di piring ini nggak ada?"

"Kamu curiga sama aku?"

"Bukan, Mas. Aku hanya tanya."

"Lihat ditempat sampah," balas Alvian.

Laila melihat dan benar ada nasi gorengnya disana. "Kok disini? Apa Mas yang membuangnya?"

"Tadi seafoodnya dimakan kucing, makanya aku buang."

"Kucing?" Laila mengerutkan kening. Sejak kapan dirumah mereka ada kucing.

"Hm. Makanya kalau pergi amankan dulu supaya nggak dimakan kucing."

Setelah mengatakan itu, Alvian masuk ke dalam kamar. Perutnya tentu saja sudah kenyang. Bahkan dia tersenyum karena Laila percaya begitu saja.

Laila membereskan meja makan. "Dasar, Gengsian!" ujarnya menatap ke arah pintu kamar sang suami.

"Dia kira aku bodoh apa? Iya dimakan kucing. Kucing spesies baru," celetuk Laila lagi. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala karena tingkah gengsi suaminya.

***

Alvian sibuk bekerja. Desain harus dibuat ulang karena kalau tetap pada desain yang lama, maka saat rilis pasti game mereka akan langsung mendapat komentar negatif. Dylan juga sibuk mencari tahu apa ada mata-mata diperusahaan ini atau tidak.

Meskipun sibuk, Alvian tetap meluangkan waktu untuk bertemu dengan Bella. Setidaknya dari banyak hal yang tidak berjalan dengan baik, Bella adalah salah satu alasan Alvian tetap merasa lebih baik.

"Apa kakak sudah lama menunggu?" tanya Bella. Alvian tersenyum. "Belum kok."

"Syukurlah." Bella bernafas lega. Rencananya siang ini mereka akan makan siang bersama. Tiba-tiba Alvian teringat dengan perempuan yang satu rumah dengannya. Sarapan tadi pagi masih mengenyangkan, namun Alvian tidak mau mengakui itu. Kalau tidak terlalu lapar, dia tidak akan mau makan makanan dari Laila.

Alvian dan Bella berbincang-bincang, walau terkadang obrolan mereka tidak nyambung seperti sebelumnya. Orang-orang bisa berubah termasuk sosok perempuan didepannya. Apalagi Bella sudah menghilang selama 9 tahun. Entah kehidupan apa yang Bella jadi Alvian tidak merasa keberatan sama sekali.

***

BAB 6 Gugup

***

Laila tidak sabar bertemu teman lamanya. Apalagi dia sudah mendapat izin dari sang suami walaupun kata-katanya sedikit tidak baik. Laila menunggu di cafe yang tidak jauh dari tempat kerja sang teman. Tidak lama, Viola datang. Dia tampak lebih dewasa dari sembilan tahun yang lalu.

Tampaknya Viola kesusahan mencari keberadaan Laila. Apalagi sekarang Laila sudah bercadar. Jadi Laila yang langsung mendatanginya.

"Viola," panggilnya.

"Masya Allah, Laila." Viola tidak bisa menahan diri untuk tidak heboh. Dia bahkan langsung memeluk Laila dengan penuh harus. "Kamu kemana saja?" tanyanya lagi.

Laila tertawa kecil. Kemudian dia sadar bahwa Viola menangis. "Eh eh, jangan nangis dong." Laila merasa bersalah.

"Gimana nggak nangis. 9 tahun kamu ngilang, aku kira kamu udah-" Viola tidak bisa melanjutkan perkataannya lagi.

"Tenang aja. Aku baik-baik aja kok." Laila mengusap punggung Viola.

Setelah berpelukan dan menjadi pusat perhatian. Laila dan Viola duduk dimeja cafe.

Laila tersenyum sampai matanya menyipit. Senang sekali karena sudah bertemu dengan teman lamanya.

"Apa kabar kamu selama ini?" tanya Laila.

"Alhamdulillah baik. Oh ya, aku sudah menikah dan punya anak."

"Masya Allah. Aku senang dengarnya."

Viola tersenyum lebar. "Kalau kamu gimana? Apa yang terjadi dalam waktu 9 tahun?"

"Alhamdulillah baik. Sebenarnya aku ada sedikit masalah, tapi alhamdulillah sudah selesai."

"Kenapa nggak bilang? Aku bisa bantu apapun."

"Terima kasih, Viola. Tapi aku ingin menyelesaikan sendiri."

"Kamu emang suka gitu dari dulu. Parahnya kamu ngilang selama 9 tahun. Mana pas datang ke rumahmu, tetangga bilang kalau kamu sekeluarga pindah."

"Maaf ya, tapi sekarang aku baik-baik saja."

"Syukurlah. Terus terus, apa kamu udah nikah?"

Laila terkekeh. "Alhamdulillah udah."

"Wah. Siapa yang berhasil mendapatkan Laila yang cantik ini?" Viola penasaran.

"Rahasia dulu ya. Nanti aku kasih tau."

Viola mengangguk. Mereka sibuk bercerita. Pokoknya ada saja yang mereka ceritakan. Apalagi kalau mengingat masa lalu.

"Ah itu, siapa namanya? Aku lupa." Viola tambah heboh. Bahkan dia memukul meja saking senangnya mengingat sesuatu.

"Siapa?" Laila bingung.

"Itu lo yang sering chat sama kamu."

"Yang mana?" Laila pura-pura lupa.

"Itulah yang noname noname itu. Kalian kan sering chat tanpa tau identitas. Emang dia cewek apa cowok sih?" Sejak dulu Viola penasaran.

"Nggak tau. Aku juga udah lupa."

"Masa? Padahal dulu tiap hari kamu nungguin pesannya datang."

"Nggak ada kok." Laila mengalihkan pandangan ke arah lain.

Viola hanya tertawa. "Iya iya deh. Udah lama juga. Padahal kalau cowok malah bagus, kan bisa nikah. Eh tapi kan sekarang kamu udah nikah. Maaf maaf."

"Bahas yang lain aja," usul Laila. Viola mengangguk dan mencari topik pembahasan yang lain.

*

"Cuma begini?" Alvian sedikit tidak percaya saat Dylan membawakan desain UI terbaru. Tidak menarik sama sekali.

"Iya, Ghav. Lo tau sendiri kemampuan tim desain UI kita. Masih banyak pemula."

"Tapi kan bisa belajar. 3 tahun bukan pemula lagi." Tampaknya Alvian terlalu lembek pada karyawannya.

"Sumpah, desainnya buruk. Gue aja nggak bakal minat buat download gamenya kalau tampilannya gini."

"Terus gimana?" Dylan juga pusing.

"Cari designer lain deh. Kalau perlu dari memang punya pengalaman bagus."

"Ada sih. Gue dapat rekom dari teman."

"Siapa?" Alvian penasaran.

"Identitasnya rahasia. Tapi orang-orang nyebutnya GreenWhite."

"Gimana bisa identitas rahasia? Dia kerja atau mau jadi intel pakai rahasia-rahasiaan segala."

Dylan langsung menyerahkan ponselnya. "Ini salah satu desain yang dia buat."

Alvian tidak bisa bicara lagi. Desainnya memang keren. Apalagi games yang dia desain cukup terkenal.

"Ya udah, cari cara buat bisa pakai jasanya."

Dylan tertawa. "Lo kira mudah? Udah banyak yang ngantri tapi dia nggak terima dalam waktu dekat."

"Ha? Kenapa?"

Dylan mengangkat bahunya. Alasannya tidak jelas.

"Dia ngerjain sendiri?"

Dylan menggeleng. "Ada tim, tapi identitas timnya juga rahasia."

"Membingungkan. Tapi desainnya memang bagus. Coba deh negosiasi. Gue nggak peduli berapapun yang mereka pinta."

"Gue udah coba, tapi nggak diterima."

Alvian benar-benar pusing. Jangan sampai perilisan game tertunda atau gagal. Bisa-bisa perusahaan ini akan benar-benar bangkrut.

Hari ini, Alvian pulang lebih lama dari biasanya. Suasana rumah sepi. Dimana Laila? Tiba-tiba dia mencari keberadaan perempuan yang sangat ingin ia ceraikan itu.

Lampu rumah juga tidak menyala. Sudahlah, Alvian tidak mau pusing. Dia mulai membersihkan diri karena tidak ingin membuang-buang waktu. Masih banyak pekerjaan yang tertunda.

Alvian merasa kalut jika mengerjakan di dalam kamar. Dia memilih keluar dan duduk di ruang keluarga. Ada laptop, ada kopi, ada buku, ada tab dan kebutuhan lainnya. Alvian berusaha mencari beberapa referensi desain. Kali saja dia punya ide dan bisa didiskusikan dengan tim designer perusahaannya.

Alvian mendengar suara pintu depan terbuka. Dia pura-pura tidak peduli, padahal dia berusaha melihat ke arah pintu walau kesulitan. Laila sudah pulang dari bertemu dengan temannya. Laila juga membawa plastik yang berisi barang-barang keperluannya.

"Mas sudah pulang?" tanya Laila ketika melihat keberadaan suaminya.

"Hm." Seperti biasa, Daffa membalas dengan wajah dan nada yang dingin.

"Lagi ngerjain apa?" Laila tidak ingin jaraknya dengan Alvian bertambah jauh. Jadi dia membuang sedikit rasa malu dan takutnya. Laila mendekat dan sengaja duduk disofa.

"Kamu nggak akan ngerti," balas Alvian. Fokusnya masih ada pada laptop. Namun siapa sangka, dia sedikit penasaran dari mana Laila dan kenapa baru pulang jam segini. Tapi rasa penasaran itu Alvian telan sendiri.

"Oh ya?" Laila melihat layar laptop. Dia memperhatikan desain game yang akan diproduksi oleh perusahaan Alvian. "Itu bentuk iconnya sudah banyak yang pakai, beda bagian bawahnya saja." Laila tanpa sadar berkomentar.

Alvian langsung menatap Laila. Jarak keduanya sangat dekat. Laila sampai gugup sendiri. "Ke-kenapa?" tanyanya.


***

BAB 7 Memperhatikan Laila

***

"Coba ulangi," suruh Alvian. Laila sedikit ragu, tapi dia tetap mengulang apa yang tadi dia katakan. Alvian tidak tersinggung sama sekali. Kalau soal pekerjaan, otaknya bisa berpikir logis. Dia tidak peduli siapa yang mengatakannya, asal sesuatu yang baik untuk produk perusahaan maka dia akan mendengarnya.

"Coba Mas lihat, desain dari game G. Itu iconnya sama dengan yang ini, letakkan juga sama," ujar Laila lagi.

Alvian buru-buru mengambil ponsel. Dia mencari game yang disebutkan oleh Laila. Setelah didownload dan dibuka, benar saja. Kalau begini, tandanya tim designer UI di perusahaannya hanya meniru dan merubah sedikit. Sungguh memalukan kalau tidak diketahui dari awal.

"Kalau tau kemampuan mereka nggak meningkat, lebih baik aku pecat dari dulu," celetuk Alvian.

Laila tersenyum kecil melihat bibir suaminya yang mengerucut. Dia tampak kesal dan itu lucu sekali. Kemudian Laila malah tertawa kecil. Hal ini menarik perhatian Alvian.

"Kamu ngetawain aku?" tanyanya dengan wajah tidak suka.

"Enggak kok."

"Terus?"

"Mas lucu kalau ngomel," jawab Laila tanpa sadar. Namun sedetik kemudian, Laila langsung menutup mulutnya. "Bu-bukan, Mas. Bukan begitu. Maksud aku...maksud aku-" Laila panik sendiri.

"Sudahlah, aku malas berdebat. Kerjaan aku juga lagi banyak," potong Alvian.

Laila memainkan jari tangannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia pergi ke kamar atau membantu? Apalagi desainnya terlihat sangat kacau sekali.

"Coba tentuian warna dulu, Mas."

"Warna?"

Laila mengangguk. "Biasanya nentuin warna yang menjadi ciri khas dari gamenya. Warna yang tidak mencolok dan juga tidak gelap. Bisa diterima banyak orang. Terutama yang menjadi target pasar."

Alvian mulai berpikir. Warna apa yang cocok? Awalnya asal pilih warna saja yang penting jelas. Tapi ketika dipikirkan, benar juga. Harus ada ciri khas dari game itu sendiri.

"Targetnya utamanya siapa?"

"Usia 18 tahun sampai 35 tahun."

Laila mulai menjelaskan beberapa hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan Alvian. Bahkan jarak tubuh mereka tanpa sadar dari berdekatan. Sedikit lagi, tubuh mereka menempel. Alvian tampak serius, begitupun dengan Laila. Pembahasan terus berlanjut dan perlu Alvian akui, dia merasa takjub dengan pikiran Laila. Cara Laila menjelaskan juga sangat mudah dipahami. Alvian jadi punya ide-ide yang tadinya entah tenggelam kemana.

***

Pagi menyapa, Alvian tidak melihat keberadaan istrinya. Dia menguap beberapa kali. Ruang keluarga juga berantakan karena ulah mereka berdua. Alvian tidak tahu sampai jam berapa mereka berdiskusi di ruang keluarga. Tapi saat dia sudah kelelahan, Alvian memutuskan untuk menghentikannya.

Alvian membuka kulkas. Dia mencari air dingin seperti biasa. Padahal masih pagi dan ini menjadi kebiasaan buruknya.

"Mas sudah bangun?" tanya Laila yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Hm."

"Tampaknya Mas suka roti, jadi aku gorengin telur sama daging."

"Siapa bilang?" ujar Alvian setelah menghabiskan air minumnya.

"Beberapa hari ini Mas makan roti terus," jelas Laila. Alasan yang masuk akal. Padahal Alvian makan roti bukan karena suka tapi karena terpaksa.

"Oh." Alvian duduk di meja makan. Melamun sebentar, sambil melihat ikan yang berada di dalam aquarium.

Pagi ini, Alvian lebih bersahabat daripada sebelumnya. Bahkan ketika Laila bertanya, Alvian mau untuk menjawab. Hal ini menjadi angin segar untuk Laila. Dia yakin bisa meluluhkan hati suaminya itu.

Tapi acara melamun Alvian terganggu dengan gerakan Laila yang tengah mengepel lantai. Padahal lantai tidak kotor. Tanpa sadar Alvian begitu memperhatikan Laila.

***

Pukul tujuh malam, Alvian menghadiri undangan dari perusahaan Global Media Liam. Perusahaan tersebut merupakan salah satu anak usaha dari perusahaan utama milik kakek Alvian. Alvian hadir bersama sekretarisnya, Ryan. Gedung perusahaan Global Media Liam terlihat megah, dan ballroom tempat acara diadakan di dekorasi dengan sangat mewah. Jauh berbeda dengan perusahaannya sendiri yang masih tergolong kecil. Meskipun begitu, Alvian tetap berusaha untuk tidak berkecil hati.

Belum sempat menikmati minuman yang tersedia, kakeknya memanggilnya lebih dulu. Hubungan Alvian dengan sang kakek memang tidak disembunyikan, sehingga banyak orang di acara itu sudah mengetahui ikatan keluarga mereka.

"Ada apa, Kek?" tanya Alvian pelan, meski ia sebenarnya tidak ingin terlalu banyak bicara. Kakeknya, yang tetap terlihat berwibawa meskipun usia sudah tua, memandangnya dengan tatapan penuh karisma. Penampilan kakeknya tetap keren dan mengesankan.

"Mana cucu menantuku?" tanya sang kakek, nadanya menunjukkan rasa ingin tahu.

"Laila bukan tipe orang yang suka datang ke acara seperti ini," jawab Alvian. Faktanya, ia bahkan tidak mengundang Laila ke acara tersebut. Baginya, tidak ada keperluan untuk membahas lebih jauh soal itu.

Mendengar jawaban Alvian, sang kakek tersenyum bangga. "Benar juga," ujarnya, menunjukkan kebanggaan yang tak terbantahkan. Kakeknya memang sangat menyayangi Laila, dan apapun yang Laila lakukan selalu diterima dengan baik tanpa banyak pertanyaan. Rasa sayang itu begitu jelas terlihat dari cara sang kakek membicarakannya.

Percakapan mereka terhenti ketika dua orang mendekati mereka. Salah satunya adalah seorang pria yang wajahnya cukup familiar bagi Alvian. Ternyata, dia adalah Pak Hardi, Menteri Perekonomian. Pak Hardi menyapa sang kakek dengan ramah sambil menjabat tangannya.

"Apa ini cucu yang Anda sangat banggakan, Pak Liam?" tanyanya sambil melirik ke arah Alvian.

Kakek Alvian tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada bercanda, "Tidak mungkin. Dia adalah cucu saya yang paling susah diatur." Sindiran itu membuat suasana menjadi lebih santai, meskipun jelas terselip lelucon di dalamnya.

Pak Hardi tertawa kecil, lalu memperkenalkan seseorang yang berdiri di sampingnya. "Ini anak saya, namanya Ethan Hardian," katanya, sambil menunjuk seorang pria yang tampak sebaya dengan Alvian.

Ethan mengulurkan tangan untuk berjabat, yang langsung disambut dengan ramah oleh sang kakek. Alvian juga menjabat tangan Ethan, tetapi ia memilih untuk lebih banyak mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung.

"Sepertinya kalian seumuran. Anak saya tahun ini berusia 30 tahun," kata Pak Hardi dengan nada bersahabat.

Alvian tersenyum kecil sebelum menjawab, "Dia lebih muda dari saya, Pak. Saya berusia 31 tahun."

Percakapan itu pun berlangsung hangat, menunjukkan interaksi sosial khas dalam acara-acara formal seperti itu. Sang kakek, seperti biasanya, tak henti-hentinya melontarkan sindiran ringan kepada Alvian, menambahkan sentuhan humor dalam suasana malam itu.


***

BAB 8 Tiba-Tiba Khawatir

***
 

 

Pak Hardi dan anaknya, Ethan, melangkah pergi untuk menyapa tamu-tamu lainnya. Tampak jelas bahwa Pak Hardi sedang berusaha memperkenalkan Ethan kepada berbagai tokoh penting dalam acara tersebut, mungkin untuk membangun jejaring atau memberikan eksposur lebih luas bagi anaknya.

Sementara itu, Pak Liam, kakek Alvian, yang sejak tadi memperhatikan cucunya dengan tajam, akhirnya membuka suara. "Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya. Apa kesibukannya selama ini?" tanyanya dengan nada datar, merujuk pada Ethan.

Alvian mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, Kek. Untuk apa juga aku harus tahu?" jawabnya jujur. Memang, ia tidak terlalu memperhatikan tamu-tamu yang hadir kecuali mereka yang memiliki kaitan langsung dengan urusannya.

Pandangan Pak Liam tetap serius. Ada ketertarikan yang sedikit tidak biasa terhadap tamu baru itu, meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung.

"Kamu itu. Jangan hanya tahu kerja saja. Bangun relasi dan peka terhadap informasi. Kalau tidak, bisa-bisa perusahaanmu akan bangkrut," ujar sang kakek dengan nada tegas.

"Ya ampun, Kek. Jangan bicara yang tidak-tidak seperti itu," balas Alvian, mencoba membela diri.

"Asal kamu tahu, Pak Hardi akan mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan tahun depan."

Mendengar itu, Alvian terkejut. "Kakek tahu dari mana?"

Pak Liam tersenyum penuh arti. "Ada banyak cara untuk mengetahui sesuatu, Ghava. Informasi seperti itu mudah didapatkan, terutama jika kamu tahu bagaimana cara mendengarkan dan mengamati sekelilingmu," jawabnya bijak.

Alvian terdiam, merenungi informasi tersebut. Pencalonan Pak Hardi sebagai presiden ternyata bukan rahasia lagi, dan informasi semacam itu dapat diperoleh dari berbagai sumber.

"Apa kakek akan berpihak padanya?" tanya Alvian.

"Entahlah. Sebelum berpihak, aku harus tahu siapa dia sebenarnya, apa gagasannya, dan apa yang dia rencanakan ke depan," jawab Pak Liam sambil mengamati keramaian di sekitarnya.

"Oh, pantas kakek penasaran dengan anaknya," komentar Alvian.

"Umurnya sudah tiga puluh tahun, tapi dia baru muncul. Jadi, apa yang dia lakukan selama ini?" tanya Pak Liam, masih dengan rasa penasaran.

"Bisa saja dia sekolah di luar negeri," sahut Alvian.

"Bisa saja," balas Pak Liam, seolah membenarkan.

Tiba-tiba, seseorang menghampiri mereka. Pak Arnod, seorang pebisnis yang cukup dekat dengan Pak Liam, menyapa dengan ramah. "Apa yang sedang Pak Liam bicarakan dengan cucu Anda? Sepertinya sangat menarik."

"Ya ampun, Pak Arnod. Saya kira Anda tidak datang," balas Pak Liam sambil menjabat tangan tamunya.

"Tentu saja saya datang, apalagi ini acara perusahaan Anda, Pak," jawab Pak Arnod dengan sopan.

Pak Liam tersenyum, lalu memperkenalkan topik yang sedang mereka bahas. "Kami baru saja membicarakan anak Pak Hardi," ujarnya.

Pak Arnod tertawa kecil. "Wajar saja. Kalau saya tidak salah, anaknya baru menyelesaikan pendidikannya."

"Wah, pantas saja. Magister di mana?" tanya Pak Liam dengan rasa penasaran.

"Sayangnya bukan magister, tapi sarjana," jawab Pak Arnod.

Pak Liam mengerutkan dahi. "Apa dia berganti jurusan?"

Pak Arnod menggeleng. "Setahu saya, empat tahun lalu dia baru keluar dari rumah sakit jiwa."

Alvian dan Pak Liam terkejut mendengar informasi itu.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Pak Liam, penasaran.

"Rumornya, dia sempat mengalami gangguan mental akibat masalah asmara. Perempuan yang dia cintai di masa kuliah membuatnya seperti itu," jelas Pak Arnod.

Mendengar penjelasan itu, Alvian merasa bingung. Rumor seperti ini jarang terdengar, namun Pak Arnod bukanlah orang yang asal bicara.

Percakapan mereka beralih ke topik lain, membahas bisnis dan peluang yang mungkin bisa diambil di masa depan.

***

Malam itu, pukul dua belas, Alvian akhirnya tiba di rumah. Ia membuka pintu perlahan, menghindari suara berisik. Namun, kali ini, ia tidak menemukan keberadaan Laila.

"Ke mana dia?" pikirnya. Biasanya Alvian pulang terlambat, Laila menunggu kepulangannya. Tapi sekarang tidak, tentu saja Alvian merasa ada yang aneh.

Merasa haus, ia menuju dapur, tapi keadaannya masih sama seperti sebelum ia pergi. Meja makan dan dapur tampak tidak terurus, berbeda dari biasanya. Perasaan khawatir muncul. Bagaimanapun, Laila tinggal bersamanya. Kalau sampai terjadi sesuatu, ia pasti akan disalahkan oleh ayah Laila.

Matanya tertuju pada pintu kamar Laila yang tertutup rapat. Ingin rasanya ia mengabaikannya, tetapi rasa kemanusiaannya mendorongnya untuk mendekat.

Alvian mendekatkan telinga ke pintu, tapi tak mendengar apa-apa. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Laila!" panggilnya. Tak ada jawaban. Kekhawatirannya semakin meningkat. Ia mengetuk lebih keras.

"Laila!"

Akhirnya, suara dari dalam terdengar, pelan namun jelas. "Se-sebentar."

"Laila?" Alvian memanggil lagi untuk memastikan. Mungkin saja ia salah dengar.

Pintu kamar Laila sedikit terbuka, memperlihatkan celah kecil yang membuatku bisa menangkap bayangan tangannya. Sejenak, Alvian merasa canggung. Sungguh aneh, kenapa ia sampai mengetuk dan memanggil Laila seperti ini, seolah-olah sedang dikejar sesuatu? Apa Alvan sedang... mengkhawatirkannya?

Alvian langsung menggeleng keras, menepis pikiran itu sebelum tumbuh terlalu jauh. Tidak, tentu saja bukan itu alasannya. Alvian hanya tidak ingin ada hal buruk terjadi di rumah ini. Itu saja. Lagi pula, ia justru senang jika dia menderita. Bukankah itu bagian dari rencana Alvian? Membuatnya lelah hingga dia sendiri yang meminta cerai? Alvian mendesah, mencoba meyakinkan diriku sendiri.

"Ada apa, Mas?" suaranya terdengar pelan, seperti ragu. Hanya tangannya yang muncul dari balik pintu, menggenggam gagang dengan canggung.

Alvian menggaruk leher yang sama sekali tidak gatal, bingung harus berkata apa. Apa yang sebenarnya Alvian lakukan? Tapi karena sudah terlanjur memanggilnya seperti ini, kabur tidak lagi menjadi opsi. Alvian menarik napas panjang, lalu berbicara dengan nada dingin yang biasa Alvian gunakan untuk menutupi kebingungannya..

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Alvian datar, mencoba memecah keheningan yang membuatnya semakin gelisah.

"Nggak ada, Mas," jawabnya dengan nada yang bahkan lebih pelan dari sebelumnya.

Alvian mendengus, meski rasa bersalah mulai menyelinap entah dari mana. "Kalau tidak ada, kenapa lama sekali membuka pintu? Aku seperti orang gila mengetuk berkali-kali."

Laila terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku nggak dengar."

Kalimat itu seharusnya membuatku lega, tapi entah kenapa malah memperburuk perasaan Alvian. Alvian tahu kalau dirinya yang salah, Alvian yang mengganggunya malam-malam begini tanpa alasan jelas.

"Makanya, kalau punya telinga, dipakai," ucapnya tajam. "Jangan cuma jadi pajangan."

Kata-kata itu langsung membuat Alvian ingin mencubit diri sendiri. Alvian tahu kalau terlalu kasar. Tapi mulutnya seperti tidak bisa diajak bekerja sama.

"Mas nggak lihat jam berapa sekarang?" Laila membalas perlakuan Alvian. Tentu saja Alvian langsung mati kutu. Tapi dia tidak mau kalah.

"Jam 12 malam. Emang kenapa?" Alvian memperlihatkan wajah songongnya.

"Jam segitu orang udah tidur, Mas. Iya kali aku masih terjaga. Atau Mas berharap aku menunggu Mas pulang seperti biasanya?"

Alvian langsung panik. "Enggak lah," jawabnya cepat.

"Terus apa dong?"

Alvian buru-buru mencari alasan yang masuk akal tapi agak gila. "Aku lapar," ujarnya.

***

BAB 9 Perasaan Aneh

***

 

Laila tampak terkejut mendengar jawaban Alvian. "Apa Mas belum makan malam?" tanyanya dengan nada khawatir. "Bukannya Mas tadi pergi ke perayaan perusahaan kakek?"

Alvian tertegun. Matanya membulat sempurna, menatap Laila dengan penuh curiga. Dari mana dia tahu tentang acara itu? Ia tidak pernah memberitahunya. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya, nada suaranya langsung berubah menjadi tajam.

Laila terlihat gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah. "I-itu... itu..."

"Apa?" desaknya dengan nada lebih keras.

"Kakek yang mengatakannya," jawab Laila akhirnya.

Alvian terdiam, pikirannya berputar. Tentu saja kakek yang memberitahunya. Tetapi, tetap saja rasanya mengganggu, meskipun itu bukan masalah besar. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa ia mungkin hanya mencari-cari alasan untuk marah pada Laila.

"Sudahlah, lupakan saja," katanya akhirnya, dengan nada yang terdengar lebih lelah daripada marah.

Ia berbalik, berniat mengakhiri percakapan yang mulai terasa sia-sia. Namun, sebelum langkahnya sempat menjauh, Laila menghentikannya. "Tunggu, Mas," katanya dengan cepat. "Kalau Mas lapar, aku bisa membuatkan makanan."

Alvian menghela napas lagi, merasa semakin kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa Laila selalu seperti ini? Selalu mencoba membantu, meski jelas-jelas ia tidak bersikap baik padanya. "Tidak usah. Kembali tidur saja," ucapnya dingin, tanpa menoleh.

"Tadi Mas bilang lapar, jadi lebih baik aku buatkan makanan sebentar. Tenang aja, tidak akan lama kok," balas Laila dengan begitu meyakinkan.

Alvian tertawa kecil, tapi dengan nada sinis. "Tidak perlu repot-repot. Kamu juga tidak perlu berpura-pura menjalankan peran istri. Apa kamu tidak lelah?"

Laila tampak terkejut mendengar ucapannya, tetapi ia tetap berdiri tegak. "Apa maksud kamu, Mas? Asal kamu tau, aku tidak pernah berpura-pura."

Alvian mendengus, frustasi. "Apa kakek yang menyuruhmu untuk seperti ini?" tanyanya tiba-tiba.

"Apa yang dia tawarkan padamu? Uang atau apa?" tanyanya lagi.

Laila menggeleng. Matanya menatap Alvian dengan tidak percaya. Bisa-bisanya dia berpikir begitu. Apa karena dia dari desa sehingga berpikir kehidupannya susah? Padahal tidak. Laila punya untuk dan bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain. "Tidak ada! Sudah sewajarnya aku begitu."

Alvian hampir tertawa, tetapi rasa itu lebih seperti tawa pahit. "Apa kamu bodoh?" tanyanya, suara penuh sarkasme.

Laila tampak tersinggung. "Aku tidak bodoh!" jawabnya dengan nada tegas.

"Kalau tidak bodoh, kenapa kamu masih mau repot-repot, padahal aku sudah jelas-jelas bilang aku membenci pernikahan ini?" Alvian menatapnya tajam, mencoba menusuk keyakinannya dengan kata-katanya.

Laila menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara yang lebih tenang. "Bagaimanapun, Mas adalah suamiku. Suami yang sah secara agama dan hukum."

Jawaban itu membuat Alvian terdiam sejenak.

"Kalau Mas cuma mau ngajak ribut, aku nggak mau. Mending aku tidur."

Alvian langsung tersindir. Jelas sekali kalau Laila mengira dirinya sedang mencari masalah. "Siapa yang ngajak ribut?" tanyanya.

"Mas lah, masa aku."

"Aku nggak ada ngajak ribut," balas Alvian tidak mau kalah.

Diam-diam, Laila tertawa kecil dibalik pintu. Suaminya memang tidak mau kalah.

"Terus apa dong?" Laila kembali menantang.

"Udahlah." Suara Alvian terdengar seperti orang yang sedang ngambek. Dia pergi begitu saja untuk masuk ke dalam kamarnya.

Laila terkekeh pelan. Dia membuka pintu lebar dan mengintip sedikit punggung suaminya yang perlahan-lahan menghilang.

Laila menghidupkan lampu kamar. Dia mengambil ikat rambut dan mengikat rambutnya. Laila memakai gamis untuk membungkus tubuhnya. Meskipun sedang mengantuk berat, Laila tidak mungkin mengabaikan suaminya.

Alvian mengadu lapar, maka Laila akan membuat mie instan untuknya. Laila membuka kulkas dan mengambil bawang merah, bawang putih, tomat dan sayur-sayuran. Laila memang menyiapkan mie didapur sebagai persedian di waktu darurat saat dirinya malas masak.

***

Alvian masuk ke kamar dengan perasaan bercampur aduk, lalu menjatuhkan tubuh ke tempat tidur. Dalam hatinya, dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa tadi dia mengetuk pintu kamar Laila? Bukankah dia sudah tahu bahwa Laila bukan tipe perempuan yang akan hancur hanya karena ditolak perhatiannya? Namun, disisi lain, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Meski terus menyangkalnya, ternyata Alvian masih memiliki sisi kemanusiaan yang sulit diabaikan.

Dia mencoba memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Pikirannya terus berputar, seperti mesin yang tidak mau berhenti. Apa dia terlalu banyak pikiran? Entahlah. Dia meraih ponsel di meja samping tempat tidur dan melihat layar menyala. Ada beberapa pesan balasan dari Bella. Biasanya, melihat pesan-pesan itu membuatnya tersenyum, tetapi malam ini terasa berbeda. Dia tidak terlalu tertarik.

Alvian menatap pesan itu lama, tidak tertarik sama sekali. Alvian merasa Bella sangat berbeda dengan orang yang ia cintai. Jauh sekali, sampai dia tidak percaya bahwa mereka orang yang sama.

Berusaha mengalihkan pikiran, Alvian duduk di meja kerja. Desainnya masih belum stabil. Ditambah banyak pekerjaan yang lain yang juga perlu pengawasan dari dirinya.

Namun, ketukan pintu tiba-tiba terdengar, memecah keheningan malam. Dia mengerutkan kening. Siapa yang mengetuk pintu tengah malam begini? Rumah ini hanya dihuni oleh dia dan Laila. Alvian melepas kacamata, berdiri dari kursi, dan berjalan menuju pintu.

Saat membuka pintu, jantungnya langsung berdetak kencang. Di depan pintu berdiri sosok perempuan pakaian hitam-hitam. Tentu Alvian kaget luar biasa. Dia bahkan nyaris berteriak kalau saja tidak menyadari dengan cepat bahwa sosok yang berpakaian hitam-hitam itu adalah istrinya. "Apa-apaan kamu?" tanyanya dengan napas yang masih tidak beraturan.

"Aku kenapa?" Bukannya menjawab, Laila malah balik bertanya. Dia juga kaget saat suaminya kaget.

"Kamu ingin aku cepat mati ya?"

Laila melotot. Kemudian dia berkata, "Ya Allah, Mas. Aku belum mau jadi janda."

"Makanya jangan suka ngagetin orang," balas Alvian.

"Aku nggak ada ngagetin kok. Mas aja yang mudah kaget." Laila tidak mau disalahkan.

Alvian benar-benar tidak mengerti. Saat baru menikah, Laila pendiam dan selalu menunduk jika bicara dengannya. Tapi semakin lama, dia semakin berani. Lihat saja sekarang, jangankan menunduk, dia malah seperti menantang Alvian.

"Coba kamu pikir, siapa yang nggak kaget lihat hitam-hitam seperti kamu ini?"

"Hitam-hitam?" Laila memperhatikan tubuhnya. Benar juga, gamisnya hitam, dan hijabnya juga hitam. Dia sampai tidak sadar. "Eh iya," ujar Laila baru sadar. Kemudian dia meminta maaf.

"Ngapain sampai ngetuk pintu? Tadi kamu bilang aku suka cari ribut." Alvian tengah menyindir dirinya. Tampilan saja yang sudah dewasa, tapi kadang tingkahnya seperti anak-anak.

"Kapan?" Laila pura-pura lupa.

"Tadi." Alvian berkata dengan penuh penekanan.

"Aku nggak ingat."

Alvian mengepalkan tangannya. "Kamu mau pergi sendiri atau aku seret?" kesalnya.

"Harusnya bukan seret, tapi gendong."

Alvian mengacak rambutnya frustasi.

"Aku nggak mau pergi tu. Ayo gendong," ujar Laila lagi.

Alvian langsung menutup pintu dengan kuat. Laila sampai mengedipkan mata beberapa kali. "Pemarah banget kayak cewek lagi PMS," celetuk Laila. Dia kembali mengetuk pintu. Tapi pintunya tidak kunjung terbuka. Laila mengetuk kembali. Biarkan saja suaminya merasa kesal. Pokoknya Laila tidak mau kalah.

"Apa lagi?" ujar Alvian setelah kembali membuka pintu

 
***

BAB 10 Ragu Dengan Bella

***

Tetap saja saat membuka pintu untuk kedua kalinya, Alvian kaget. "Aku benar-benar bisa mati cepat kalau begini," ucapnya.

"Mas ini bicara mati kayak punya amal banyak aja," celetuk Laila.

"Biarin." Alvian tampak tidak peduli. Padahal kalau mati sekarang, dia juga takut. Mana shalatnya suka bolong. "Kamu juga kenapa tetap pakai cadar di rumah. Emang aku ini orang asing?"

Laila tidak kuasa menahan senyum. Dia tersenyum dibalik cadarnya. Matanya sedikit menyipit. "Bukanlah. Mas kan suami aku."

"Kalau gitu, kenapa pakai cadar?"

Alvian benar-benar pelupa. Ingatkan Laila untuk memberi banyak sayur dan buah kepada suaminya itu agar tidak cepat lupa.

"Mas sendiri yang nyuruh. Kalau Mas nggak nyuruh, mana mungkin aku mau."

Alvian sedikit tidak percaya perkataan Laila. "Kapan aku nyuruh?" tanyanya.

Laila pura-pura berpikir. "Pokoknya belum lama kita nikah. Mas marah-marah nggak jelas terus nyuruh aku tetap pakai cadar walaupun dirumah," jelasku.

Alvian merasa panas di kepala. Rasa malu yang tidak mau dia akui mulai merayap di balik amarahnya. "Kamu itu bisa berpikir atau enggak sih?" tanyanya tanpa berpikir panjang.

Laila menatapnya langsung untuk pertama kalinya malam itu. "Bisalah. Emang kenapa?"

Alvian terperangah. Untuk sesaat, dia kehilangan kata-kata. Namun, tidak mau kalah, dia langsung membalas dengan nada yang lebih tajam. "Kalau bisa harusnya kamu mikir dong. Kenapa juga pakai ikutin perkataan aku? Udah jelas bikin nggak nyaman diri sendiri."

"Lah... Nanti aku nggak turutin Mas marah. Begitu aku turutin malah bilang nggak bisa mikir."

Kepala Alvian bertambah pusing. "Sudahlah. Kepala aku tambah pusing karena kamu."

"Kok aku?" Laila tidak mau disalahkan.

"Udah udah. Kamu tidur sana!" usir Alvian. Namun Laila tidak mau sama sekali.

"Tadi Mas bilang laper. Jadi aku udah buatin mie instan," jelas Laila yang tidak mau menggoda suaminya lagi. Capek juga, apalagi ia ingin segera tidur cantik.

"Aku nggak lapar lagi."

"Serius?" Satu alis mata Laila terangkat ke atas.

"Serius, Laila."

"Kalau gitu, aku buat mie untuk siapa dong?" Laila juga tidak lapar.

"Biarin aja. Udah kamu tidur sana."

"Tadi bilang lapar, terus sekarang enggak. Aneh banget." Laila jelas sekali menyindir suaminya.

"Iya aku memang aneh. Makanya kamu tidur sana!"

"Ya udah. Aku tidur." Laila segera kembali ke kamarnya.

Alvian tetap berdiri ditempat sambil menatap punggung Laila yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Rasa aneh kembali menghantui pikirannya. Laila, perempuan yang selama ini dia anggap hanya sebagai beban dalam hidupnya, ternyata menyimpan sesuatu yang tidak pernah bisa dipahami. Kenapa dia selalu begitu sabar? Kenapa dia tidak pernah menyerah, bahkan setelah semua perlakuan buruknya?

Dengan langkah malas, Alvian berjalan menuju meja makan. Di sana, semangkuk mie instan masih mengepul, aromanya menggoda meski dia mencoba untuk tidak peduli. Dia menarik kursi dan duduk, memandangi mangkuk itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Ternyata dia benar-benar membuatnya," gumamnya pelan, lalu mengambil sumpit dan mulai menyantap mie itu. Tanpa sadar ujung bibir Alvian terangkat ke atas.

Keesokan harinya, Laila tidak lagi melihat mie instan yang ia buat semalam. Bahkan piring kotornya juga tidak ada. Laila sudah tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Alvian si suami gengsi. Mulutnya bisa berkata tidak, tapi tindakannya malah sebaliknya. Tapi syukurlah, Alvian tidak menolak mie yang dia buat.

Laila tidak bisa berlama-lama di dapur. Dia juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk sang suami. Laila memiliki jadwal meeting sebentar lagi bersama rekan kerjanya untuk membahas pekerjaan yang sedang mereka kerjakan. Tentu saja meeting dilakukan secara online. Rekan kerja Laila berasal dari berbagai negara. Makanya Laila merasa sangat senang dan terharu sekaligus.

Tampaknya suaminya belum bangun. Sebentar juga mau jam tujuh lewat. Laila mendekati kamar suaminya. Dia mengetuk pintu. "Mas..." panggilnya. Awalnya tidak ada jawaban. Tapi yang ketiga kali, barulah ada jawaban.

"Matahari udah tinggi," ujar Laila.

"Iya," balas Alvian.

Setelah itu, Laila kembali ke kamarnya.

Disisi lain, Alvian bangun dengan penampilan berantakan. Rambutnya juga berantakan. Tapi dia tidak peduli. Dia langsung turun ranjang menuju ke kamar mandi. Hal pertama adalah mencuci wajah. Matanya bengkak karena begadang, kemudian dia juga lesu.

Setelah mencuci wajah, Alvian keluar kamar. Namun ia tidak menemukan keberadaan sang istri. Padahal tadi Laila membangunkan dirinya.

Kalau Laila tidak ada, pagi Alvian terasa sepi. Biasanya Laila akan bertanya atau menceritakan sesuatu. Walaupun respon Alvian cukup minin, tapi Laila tidak keberatan sama sekali.

Alvian membuka tudung saji. Ada nasi goreng kesukaannya. Sekarang gengsi Alvian sudah terjun ke jurang. Tidak hanya nasi goreng, ada jus buah dan sayur juga.

Apalagi yang dicari Alvian? Tidak semua perempuan mau melakukan ini. Sampai hal tersimple seperti barang-barang yang ia butuhkan sangat mudah didapatkan. Baik itu remot televisi, gula atau bahkan biji kopi. Jadi pagi Alvian tidak ada masalah sama sekali.

Alvian mulai menyantap nasi goreng. Ia kira Laila akan datang, tapi sampai sekarang tidak. Bahkan pintu kamarnya tertutup rapat. Apa yang sedang dia kerjakan di dalam kamar? Alvian sedikit penasaran.

Tanpa sadar Alvian menghabiskan nasi goreng cukup banyak. Bahkan perutnya menjadi sedikit buncit. kalau begitu terus, bisa-bisa tubuhnya melar. Alvian akan meningkatkan waktu untuk berolahraga kedepannya.

***

Alvian sampai di kantor dengan langkah cepat, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih melekat di pelupuk matanya. Begitu tiba di ruangannya, ia membuka pintu tanpa berpikir panjang. Namun, pemandangan di depannya membuatnya tertegun sejenak.

Dylan, sahabat sekaligus rekan kerja tidur dengan santai di sofa ruangannya. Tubuh Dylan terbungkus selimut, sementara suara napasnya yang teratur terdengar jelas di ruangan yang sepi. Alvian menggeleng pelan, heran dengan kebiasaan Dylan. Padahal, Dylan punya ruangannya sendiri yang jauh lebih nyaman dan lebih lengkap. Tetapi, entah kenapa, ia selalu memilih ruangan Alvian untuk tidur.

Alvian memutuskan untuk tidak membangunkannya, membiarkan Dylan melanjutkan tidurnya yang mungkin sangat berharga. Namun, baru beberapa detik setelah ia meletakkan tas di meja kerjanya, Dylan mulai bergerak. Pemuda itu menggosok matanya perlahan, lalu duduk dengan rambut yang acak-acakan dan wajah yang masih setengah sadar.

“Eh, lo udah datang ternyata,” kata Dylan dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Ia meregangkan tubuh, menguap lebar, lalu menatap Alvian sambil menyandarkan punggungnya di sofa.

“Hm,” jawabnya singkat, berusaha untuk tidak memberikan terlalu banyak detail.

Dylan melipat tangan di belakang kepala. “Gimana Bella?” tanyanya dengan nada ringan, tetapi menusuk, seperti tahu bahwa ini adalah topik yang bisa membuat Alvian sedikit gelisah.

Alvian terdiam, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Sudah beberapa hari ia tidak membalas pesan-pesan Bella, dan anehnya, ia tidak merasa bersalah. Bella yang sekarang terasa berbeda, seperti orang asing. Cara Bella mengobrol melalui pesan, pilihan kata-katanya, semuanya tak lagi seperti dulu. Sebelumnya, setiap pesan dari Bella membuat Alvian tersenyum tanpa sadar. Tetapi kini, rasanya hambar. Obrolan mereka juga tidak nyambung sama sekali.

“Entahlah,” jawabnya akhirnya, dengan nada yang mencoba menghindar.

Dylan menatapnya dengan senyum penuh arti. “Kenapa? Bukannya dia orang yang lo cinta?” Sindirannya tajam, tetapi sudut bibirnya menyiratkan bahwa ia hanya ingin menggodanya.

Alvian mendesah pelan. "Entahlah. Gue juga nggak ngerti sama diri sendiri," gumamnya sambil mengalihkan perhatian dengan memeriksa tumpukan dokumen di meja.

"Karena dia berubah?" Dylan menebak dengan tepat, membuat Alvian mendongak. Seperti biasa, Dylan mampu membaca pikirannya. Meski sering berselisih paham, Dylan adalah orang yang paling memahami dirinya.

"Apa wajar orang berubah setelah sembilan tahun lamanya?" Alvian bertanya, mencoba mencari pembenaran untuk kebingungannya sendiri.

Dylan mengangkat bahu santai. "Bisa iya, bisa nggak. Waktu itu hal yang aneh. Kadang, waktu bisa mengubah orang. Kadang, waktu hanya memperlihatkan siapa mereka sebenarnya."

Alvian memijat pangkal hidungnya, mencoba mencerna kata-kata Dylan. "Bella yang sekarang beda banget sama Bella dulu," katanya dengan suara melemah.

Dylan memandangi Alvian dengan lebih serius, lalu berbicara dengan nada lembut, "Kalau lo merasa seperti itu, mungkin Bella yang sekarang bukan perempuan yang sebenarnya lo cari."

Mata Alvian membulat. Kata-kata Dylan terasa seperti tamparan, meski ia tahu Dylan mungkin benar. Dalam hati, Alvian menyadari bahwa Bella yang ia kejar selama bertahun-tahun bukan lagi Bella yang ada di hadapannya sekarang. Ada terlalu banyak kejanggalan seperti kebiasaan yang berubah, pola pikir yang berbeda, bahkan ketidakmampuannya mengingat detail kecil yang dulu sangat berarti bagi mereka.

Tanpa ragu, Alvian meraih teleponnya dan memanggil seseorang. "Suruh Renal datang ke ruangan saya," perintahnya singkat.

"Harusnya lo lakuin lebih cepat," Dylan menimpali, seolah paham langkah yang sedang diambil Alvian.

"Udahlah, keluar sana!" Alvian mengusir Dylan. Sekarang sudah pukul sembilan lewat, dan ia tak mau membuang waktu. Dylan pergi dengan senang hati, mengatakan bahwa ia butuh kopi.

Tak lama kemudian, Renal masuk. Pemuda itu adalah junior Alvian semasa kuliah, seorang ahli keamanan siber dengan kemampuan yang luar biasa. Alvian berhasil membujuknya untuk bergabung dengan tawaran gaji dan fasilitas yang menggiurkan.

"Ada apa, Pak?" tanya Renal setelah melangkah masuk.

"Apa pekerjaan sedang banyak?"

"Tidak terlalu, Pak."

"Kalau begitu, tolong cari tahu tentang seseorang."

"Baik, Pak. Siapa yang harus saya cari tahu?" Renal tidak bisa menolak permintaan sang atasan.

Alvian menunjukkan identitas Bella. "Cari tahu tentang keluarganya dan kehidupan kampusnya dulu."

"Oh ya, tenang saja. Aku akan membayar untuk tugas ini," lanjut Alvian dengan nada tegas.

"Baik, Pak. Saya akan melaporkan setelah mendapatkan informasi yang Bapak butuhkan," jawab Renal sebelum meninggalkan ruangan


***

BAB 11 Bella Berbohong

***

Renal telah memberikan laporan tentang Bella kepada Alvian. Dengan ekspresi tegang, Alvian membaca dokumen itu perlahan. Rasa marah mulai menguasainya ketika ia menemukan bahwa Bella ternyata bukanlah sosok yang selama ini ia cari. Informasi yang diberikan Renal memang belum sepenuhnya lengkap, tetapi cukup untuk mengubah persepsinya. Bella adalah anak bungsu dari dua bersaudara, sementara perempuan yang ia cari adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia bahkan masih menyimpan pesan lama dari perempuan itu, seolah menjadi pengingat tentang apa yang dulu pernah ia kejar.

Belum sempat menyelesaikan bacaannya, telepon dari Ryan memecah konsentrasinya. Dengan sedikit enggan, Alvian mengangkat panggilan itu.

"Kenapa?" tanyanya singkat.

"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Bapak," jawab Ryan, suaranya terdengar formal seperti biasanya.

Kening Alvian berkerut. Ia yakin tidak memiliki janji dengan siapa pun hari ini. "Siapa? Apa kakek?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Bukan, Pak. Namanya Bella," jawab Ryan dengan nada yang sedikit ragu.

Bella? Kenapa dia tiba-tiba datang ke kantor? Pertanyaan itu berputar di kepala Alvian. Rasa curiga yang selama ini mengendap di hatinya kembali menyeruak. Namun, ia tidak bisa begitu saja menolak kedatangan Bella, meski sebenarnya ia enggan bertemu.

"Baiklah, biarkan dia masuk," ujar Alvian akhirnya.

"Baik, Pak," sahut Ryan sebelum menutup telepon.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangannya terbuka. Ryan masuk terlebih dahulu, mengantar Bella ke dalam. Bella mengenakan dress sederhana yang cukup menarik perhatian, senyum lebarnya menghiasi wajahnya. Dulu, senyumnya itu adalah sumber kehangatan bagi Alvian. Tapi kini, senyum itu tidak lagi memberikan arti apa pun.

"Ada apa, Bella?" tanya Alvian tanpa basa-basi, nada suaranya dingin.

Bella tampak terkejut dengan pertanyaan lugas itu. Wajahnya berubah cemberut. "Apa aku nggak boleh mengunjungi Kakak?" tanyanya dengan nada manja, yang terdengar memaksakan di telinga Alvian.

"Bukan begitu," jawab Alvian, berusaha meredam ketidak sabarannya. "Tapi sekarang ini masih jam kerja, Bella."

Bella mendengus kecil, jelas-jelas tidak memedulikan penjelasan Alvian. "Kakak sih susah banget dihubungi. Aku mau ke rumah Kakak juga nggak boleh."

Alvian menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Ryan yang masih berdiri di ambang pintu. "Tolong ambilkan minum," pintanya singkat.

Ryan mengangguk dan segera keluar ruangan. Sebelum Ryan menutup pintu, Alvian menahannya. "Biarkan pintunya terbuka," ucapnya tegas.

Bella menatap Alvian dengan bingung. "Kenapa pintunya nggak ditutup?" tanyanya.

"Tidak apa-apa," jawab Alvian singkat. Namun, ada alasan dibalik sikapnya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak nyaman. Seolah-olah membuka pintu adalah cara untuk menjaga situasi tetap terkendali, memastikan dirinya tidak terperangkap dalam percakapan yang terlalu jauh.

"Apa Kakak ingin hubungan kita diketahui oleh semua karyawan?" goda Bella, dengan senyum tipis yang entah bermaksud menggoda atau memancing reaksi.

"Hubungan apa?" balas Alvian dingin, suaranya tajam.

Bella tampak salah tingkah. Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Ya... hubungan kita," gumamnya pelan.

Alvian mendengus dalam hati. "Bella, tidak ada hubungan antara kita. Jangan bicara sembarangan," katanya, nada suaranya semakin dingin.

Bella terlihat terkejut dan terluka. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Alvian melanjutkan pikirannya dalam hati. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun mengejar Bella, mencurahkan perhatian, bahkan membelikannya barang-barang mahal. Tapi kini, semuanya terasa hambar. Ia mulai meragukan perasaannya sendiri.

"Apa Kakak bercanda?" suara Bella bergetar, antara marah dan terluka.

Alvian menarik napas panjang, mencoba meredakan kekacauan pikirannya. "Maaf, Bella," jawabnya datar, tanpa ekspresi.

Wajah Bella memerah mendengar ucapan Alvian. "Kakak mencariku, memberikan semua yang aku inginkan. Kalau Kakak tidak punya perasaan padaku, lalu apa semua ini?" tuntutnya dengan nada tinggi, tatapannya menuntut jawaban.

Alvian menunduk dalam, pandangannya jatuh ke lantai seolah mencoba mencari penjelasan yang tepat. Namun, kata-kata yang keluar darinya terdengar begitu hampa. "Maafkan aku," ucapnya lirih, suaranya nyaris tidak terdengar.

"Aku sudah terlanjur mencintai Kakak," kata Bella lagi, kali ini lebih pelan. Namun, luka di balik kalimatnya sangat jelas, bahkan bagi Alvian yang sudah berusaha keras menahan dirinya tetap dingin.

Alvian membeku. Kata-kata itu seharusnya membuat hatinya bergetar. Bukankah selama ini ia menunggu pengakuan seperti itu? Bertahun-tahun ia mencarinya, berharap perempuan itu akan kembali mengisi hidupnya. Namun, anehnya, ia tidak merasakan apa pun. Hanya kehampaan yang tersisa.

"Maaf, Bella. Aku sudah menikah," akhirnya ia mengakui. Kata-kata itu terasa seperti melepaskan beban besar dari dadanya, meskipun ia tahu bahwa Bella tidak akan menerima kenyataan ini dengan mudah.

"Apa?!" seru Bella terkejut, matanya melebar karena keterkejutan. "Kalau sudah menikah, kenapa Kakak mencariku?" Nada suaranya semakin tajam, hampir menyerang.

"Karena aku ingin berterima kasih," jawab Alvian, nadanya tetap tenang meskipun hatinya terasa penuh badai. "Aku ingin berterima kasih pada orang yang sembilan tahun lalu mengirim pesan padaku, yang membuatku bisa melewati masa sulit."

"Hanya berterima kasih?" Bella menatapnya dengan mata yang penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan.

"Ya, aku sangat berterima kasih."

Bella menggeleng keras, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tidak bisa. Aku sudah mencintai Kakak. Kalau Kakak benar-benar ingin berterima kasih, buktikan dengan berpisah dari istri Kakak sekarang."

Kalimat itu menghentak kesadaran Alvian. Ia mengepalkan tangan di bawah meja, mencoba menahan emosi yang perlahan mendidih. Perempuan yang selama ini ia cari tidak mungkin memiliki pemikiran seperti itu. Ia tahu perempuan itu adalah seseorang yang lembut, penuh empati, dan selalu mengutamakan orang lain di atas dirinya. Bella yang ada di hadapannya sekarang... dia bukan perempuan itu.

"Apa kamu gila?" Alvian akhirnya bersuara, nadanya tajam dan menusuk.

"Kakak yang membuat aku seperti ini!" balas Bella dengan kemarahan yang tidak kalah besar.

Alvian menatapnya dingin. "Aku tidak pernah menjanjikan apapun padamu. Semua yang aku lakukan hanya karena aku ingin berterima kasih."

"Kakak jahat!" Bella berseru, tetapi Alvian tidak lagi peduli.

Saat itu, Ryan masuk membawa segelas minuman di atas nampan. Kehadirannya memecah ketegangan di ruangan itu. Alvian menunjuk meja dengan isyarat singkat. "Letakkan di sana," perintahnya.

Ryan menurut, lalu berdiri di sudut ruangan, menunggu instruksi berikutnya.

"Bella, kalau tidak ada hal penting lagi, aku harus melanjutkan pekerjaan," kata Alvian, nadanya tegas, memberi isyarat agar Bella segera pergi.

Bella mendelik tajam, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah cepat, ia keluar dari ruangan, meninggalkan Alvian yang akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari ambang pintu, Alvian melihat Bella bertabrakan dengan salah satu karyawan di lorong kantor.

Insiden kecil itu berubah menjadi kekacauan besar. Bella memaki karyawan tersebut dengan nada tinggi, menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tidak hanya itu, ia bahkan menyiramkan minuman yang ia bawa ke baju karyawan itu. Situasi di lorong kantor berubah canggung, semua orang terdiam, hanya bisa menatap Bella dengan ekspresi kaget dan bingung.

Alvian berdiri di pintu, menyaksikan semuanya dengan hati yang berat. "Ternyata kamu bukan dia," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Ryan mendekatinya dengan wajah penuh pertanyaan. "Bapak tidak jadi mengantarnya keluar?" tanyanya ragu.

"Tidak," jawab Alvian tegas. Ia merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah kartu. "Suruh karyawan itu membeli pakaian baru. Gunakan kartu ini."

"Baik, Pak," jawab Ryan sambil membungkuk, lalu segera pergi melaksanakan perintah.

Alvian kembali ke ruangannya, duduk dengan pikiran yang berantakan. Semua bayangannya tentang Bella selama ini seolah hancur berkeping-keping. Jika Bella bukan perempuan yang ia cari, maka ia telah dibohongi dengan cara yang begitu kejam.

Dan ia tahu, ia tidak akan tinggal diam. Bella harus belajar bahwa Alvian bukan seseorang yang bisa dipermainkan.

"Apa dia pikir aku bodoh?" gumamnya lirih, matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad.

Pikiran Alvian benar-benar kacau. Dia hampir menceraikan Laila hanya karena perempuan yang ternyata membohongi dirinya. Alvian mengacak rambutnya penuh kefrustasian. Sebenarnya dimana sosok perempuan yang ia cari sebenarnya? Kenapa buku yang pernah ia berikan ada ditangan Bella? Begitu banyak pertanyaan di dalam benak Alvian.

Alvian tidak ingin pulang. Emosinya sedang tidak stabil. Bisa-bisa dia melampiaskan kepada orang yang tidak bersalah sama sekali.

Alvian mendatangi ruangan Dylan. Tampak Dylan sedang bermain games. “Kenapa?” tanya Dylan bingung. Padahal sudah pukul delapan malam.

“Temanin gue.”

“Kemana?” Dylan mengerutkan kening.

“Minum.”

Dylan terkejut. “Lo gila?”

“Iya gue gila.”

Dylan sedikit tidak percaya dengan respon Alvian. Sejak kapan Alvian suka minum-minum? Bahkan selama ini yang ia tahu Alvian sudah berhenti minum. Tepatnya sudah berhenti dari 9 tahun yang lalu.

“Minum kopi aja,” usul Dylan.

“Kalau lo nggak mau, gue pergi sendiri.” Alvian langsung pergi meninggalkan ruangan Dylan. Tentu saja Dylan panik. Bahaya kalau membiarkan Alvian pergi sendiri. Dylan langsung mengejarnya.

 
***

BAB 12 Malam Pertama Penuh Air mata

***

 

Suasana sebuah bar tampak ramai. Tapi Alvian tidak memperdulikan apapun. Setelah lama berhenti, dia kembali ke sini seperti orang yang masuk kembali ke jalan yang salah. Dulu dia berhenti mengacaukan hidupnya sendiri karena perempuan yang sedang ia cari. Tapi rasanya Alvian sudah terlalu lelah mencari selama 9 tahun. Apa dia masih hidup? Dada Alvian terasa sakit. Dia yakin perempuan itu masih hidup.

Dylan hanya melihat. Dia bahkan hanya minum air lemon biasa. Tidak ada kandungan alkohol. Beda dengan Alvian. Entah sudah berapa banyak yang dia habiskan. Bahkan tampaknya Alvian sudah mabuk berat.

Dylan tidak bisa membiarkan lagi. Dia membawa Alvian keluar dari bar tersebut. Awalnya Alvian menolak dengan kesadaran yang mini, namun Dylan memaksa.

Kini keduanya sudah berada di dalam mobil. Dylan ingin mengantar Alvian pulang, namun Alvian menolak. Dia akan pulang dengan supir pengganti.

Alvian sangat keras kepala. Dia bahkan mengusir Dylan agar keluar dari mobil. Sungguh teman yang kurang ajar sekali. Meskipun begitu, Dylan memang memastikan supir pengganti bisa mengantarkan Alvian sampai ke rumahnya dengan selamat.

Mobil sudah sampai di rumah Alvian. Lantas supir pengganti berpamitan untuk pergi karena sudah melakukan tugasnya.

Alvian masuk ke dalam rumah dengan tubuh sempoyongan. Bahkan beberapa kali dia jatuh. Kesadaran benar-benar tidak ada lagi. Bahkan Alvian terus-terusan mencari perempuan yang ia cintai itu.

Laila yang menunggu kepulangan suaminya tentu saja kaget dengan kedatangan Alvian.

"Mas..." teriak Laila karena Alvian nyaris terjatuh. Dia mendekati sang suami. Aroma dari tubuh Alvian membuat Laila merasa tidak nyaman. Laila bisa menebak apa yang terjadi pada suaminya.

"Kenapa Mas sampai mabuk begini?" tanya Laila sambil memapah suaminya agar tidak jatuh. Dia tidak menyangka suaminya akan mabuk begini. Kalau ayah dan ibunya tau, pasti ayah tidak akan membiarkan Laila menikah dengan Alvian.

"Kamu siapa?" tanya Alvian sambil menunjuk Laila.

"Aku istrimu, Mas."

Alvian tertawa. Lantas dia kembali meracau. "Kamu sudah membuat aku menderita. Aku membencimu," ujarnya.

Laila sampai tidak bisa berkata-kata.

"Aku tidak menyukai pernikahan ini. Pergilah yang jauh." Alvian membuat gerakan mengusir seseorang.

Laila menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang merayap di dadanya. Kata-kata Alvian seperti pisau tajam yang mengiris perasaannya. Ia tahu suaminya sedang mabuk dan mungkin tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang ia ucapkan. Namun, mendengar langsung pengakuan itu tetap saja menyakitkan.

"Mas, kamu mabuk. Ayo, kita masuk ke kamar," ujar Laila dengan suara pelan, mencoba tetap tenang.

Namun, Alvian tidak menggubris. Dia malah tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala. "Kamu pikir aku lupa siapa aku? Kamu pikir aku lupa apa yang terjadi? Kamu itu... kamu cuma beban di hidupku."

Laila tertegun. Matanya mulai memanas, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Alvian, bahkan dalam kondisi seperti ini. Dengan sabar, ia mencoba memapah tubuh suaminya yang mulai limbung.

"Mas, aku mohon, jangan begini. Mari kita bicara nanti, saat kamu sudah sadar," bisiknya, meskipun hatinya terasa seperti ingin meledak.

Namun, Alvian justru menghempaskan tangan Laila dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" serunya, suaranya terdengar lebih tegas. "Aku nggak butuh kamu, Laila. Kamu pikir dengan pernikahan ini kamu bisa jadi bagian dari hidupku? Salah besar."

Laila mundur selangkah, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ia melihat sisi Alvian yang begitu gelap, begitu kejam.

"Mas... kenapa Mas bicara seperti ini? Apa salahku?" tanyanya dengan suara lirih, nyaris berbisik.

Namun, Alvian hanya tertawa pahit. "Salahmu? Kamu mau tahu salahmu? Salahmu adalah karena kamu ada. Karena kamu memaksakan pernikahan ini padaku. Aku tidak pernah menginginkan kamu, Laila."

Saat itu, air mata Laila tidak lagi bisa ditahan. Ia mencoba mengusapnya dengan cepat, tetapi emosi yang menggelora di dalam dirinya membuat segalanya semakin sulit.

"Mas, aku tidak pernah memaksakan pernikahan ini," jawabnya dengan suara bergetar.

"Aku tidak butuh kamu sebagai istriku. Aku hanya ingin dia kembali," racau Alvian lagi. Bahkan air matanya mengalir. Laila sangat terkejut.

"Kembalilah, muncullah di hadapanku," pinta Alvian dengan sangat menyakitkan. Meskipun Laila tidak tahu siapa yang dibicarakan Alvian, namun perempuan itu pasti orang yang Alvian cintai. Alvian bahkan memohon-mohon agar perempuan itu kembali padanya.

Laila tidak bisa lagi berkata-kata. Tubuhnya terasa lemas, seperti semua tenaga telah hilang darinya. Tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Alvian tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ke lantai.

Dengan sigap, Laila menangkapnya, meskipun tubuhnya yang kecil kesulitan menopang berat badan suaminya. "Mas, aku mohon... tenanglah," ucapnya lagi, kali ini dengan nada penuh permohonan.

Alvian tidak menjawab, hanya bergumam tidak jelas sebelum akhirnya tubuhnya benar-benar lunglai. Laila menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya untuk membawa Alvian ke kamar.

Setelah beberapa saat berjuang, ia berhasil membaringkan Alvian di tempat tidur. Namun baru beberapa detik, Alvian ingin muntah. Laila tidak sempat menaruh apapun yang bisa menjadi tempat Alvian bisa muntah. Jadi muntahannya berserakan di lantai. Bahkan tubuh Laila juga terkena muntahan itu.

Laila membersihkan mulut suaminya. Sebelum membersihkan lebih lanjut, Laila membuka cadar dan hijabnya yang terkena muntahan sang suami. Suaminya juga tidak sadar jadi tampaknya tidak ada masalah sama sekali.

Laila ingin membuka pakaian Alvian, namun tangannya tiba-tiba dipegang oleh Alvian. Kedua mata Alvian terbuka walaupun tidak sepenuhnya.

Laila mencoba melepaskan diri dari dekapan Alvian, tapi genggaman pria itu terlalu kuat. Tubuhnya terasa kaku di bawah tekanan. Ia bisa mencium aroma alkohol yang menyengat dari napas suaminya.

"Mas, aku Laila," ulangnya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. Ia berharap kata-katanya akan membuat Alvian sadar, tapi sebaliknya, Alvian semakin erat memeluknya.

"Kamu kembali," ujar Alvian lagi, suaranya serak namun penuh dengan kehangatan yang bukan untuk Laila. Senyum lebar menghiasi wajahnya, seolah semua duka yang pernah menghantuinya telah hilang. "Aku rindu kamu... sangat rindu."

Air mata mulai menggenangi mata Laila. Kata-kata itu, senyuman itu, pelukan itu, semua itu adalah hal yang ia dambakan dari suaminya. Tapi kenyataan bahwa semuanya ditujukan untuk orang lain, seperti pisau yang menusuk jantungnya perlahan.

"Mas... kamu salah orang," ucap Laila, mencoba tetap tenang meski suaranya bergetar. "Aku bukan dia. Aku istrimu."

Namun, Alvian tidak mendengar. Kesadarannya benar-benar hilang dalam delusi yang ia ciptakan sendiri. Ia menatap Laila dengan mata penuh kerinduan, seperti melihat seseorang yang telah lama hilang dan akhirnya kembali ke sisinya.

"Kenapa kamu pergi begitu lama?" tanyanya sambil membelai wajah Laila dengan lembut. "Aku mencarimu... bertahun-tahun aku mencarimu."

Laila memejamkan matanya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin dalam. Suaminya benar-benar tidak melihatnya sebagai Laila. Dia hanyalah bayangan perempuan lain di mata Alvian.

"Mas, tolong sadar," katanya, kini mencoba menggoyang tubuh suaminya untuk membuatnya tersadar. Tapi upayanya sia-sia.

Alvian tiba-tiba mengganti posisinya dengan cepat, membuat Laila terbaring di bawahnya. Wajahnya mendekat, terlalu dekat, hingga Laila bisa merasakan napasnya yang hangat namun berbau alkohol. "Aku sangat merindukanmu," ucapnya lagi, kini dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan.

Laila ingin melawan, ingin memberontak, tapi tubuhnya terasa lemah. Bukan karena Alvian, tapi karena luka di hatinya yang membuatnya kehilangan tenaga. "Mas, tolong... jangan seperti ini," pintanya lagi, kali ini dengan air mata yang mengalir deras.

Namun, Alvian hanya tersenyum, senyuman yang begitu lembut namun menghancurkan hati Laila. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi," bisiknya sambil menyentuh rambut Laila dengan gerakan yang penuh kasih sayang. Air mata Laila mengalir deras. Apalagi Alvian sudah mulai melewati batas.

Laila tidak bisa melepaskan diri sama sekali. Dia juga berusaha menyadarkan Alvian tapi tetap tidak berhasil. Seharusnya Laila senang karena pada akhirnya sang suami mau menyentuh dirinya setelah beberapa bulan menikah, namun ternyata tidak. Hati Laila sangat sakit sekali


***

BAB 13 Tidak Ingat Apapun

***

 

Cahaya matahari pagi menembus tirai kamar, menerpa wajah Alvian yang masih terbaring di ranjang. Perlahan, matanya terbuka, menyipit karena silau. Kepalanya terasa berat, denyut sakit menyebar di pelipisnya, seperti dihantam palu berkali-kali.

Ia mengerang pelan, mencoba merangkai kembali potongan-potongan memori yang hilang. Tapi kepalanya kosong, hanya ada rasa lelah dan pusing. Saat ia mencoba bergerak, tubuhnya terasa aneh. Kulitnya bersentuhan langsung dengan sprei halus, dingin, dan ia menyadari satu hal yaitu ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun.

Panik mulai menjalar di dadanya. Dia langsung duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya menyapu seluruh ruangan. Kamar itu kosong. Tidak ada siapapun di sana, hanya dirinya, ranjang yang berantakan, dan pakaian yang berserakan di lantai.

"Apa yang terjadi tadi malam?" pikirnya sambil mengacak rambut. Perasaan gelisah mulai menguasai dirinya.

Ia mencoba mengingat. Yang terakhir dia ingat adalah minuman di bar bersama Dylan, kemudian rasa marah dan frustasi yang memuncak. Setelah itu? Semua terasa kabur, seperti layar buram yang tidak bisa ia baca.

Alvian melangkah perlahan keluar dari kamar, tubuhnya masih terasa lelah dan kepala berdenyut. Pikirannya kacau, berputar-putar mencoba mengingat potongan-potongan kejadian semalam yang kabur. Hatinya mulai berdegup cepat saat ia mendapati rumah yang begitu sepi. Tidak ada suara Laila, tidak ada langkah kaki di lorong. Seperti dunia ini terasa kosong dan meninggalkannya sendirian dalam keraguan yang besar.

Langkahnya menuju ruang tamu, dan matanya tertuju pada meja makan. Ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah piring sarapan yang tertata rapi. Seharusnya Laila ada di sini, bersamanya, seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi tidak ada Laila. Hanya ada jejak-jejak sisa sarapan dan minuman yang tampaknya disiapkan untuknya, untuk meredakan mabuknya.

Perasaan panik merayap dalam dirinya. "Kenapa dia tidak ada?" pikirnya. Kamar Laila juga tertutup rapat. Alvian memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya.

Suara ketukan Alvian menggema pelan di lorong yang sepi, namun di dalam dirinya, suara itu seperti gemuruh yang memekakkan telinga. Ia berdiri di depan pintu, menunggu dengan penuh harapan, berharap mendengar suara yang telah lama ia rindukan. Tapi pintu tetap tertutup, dan tak ada jawaban.

Alvian mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Setiap ketukan seolah menggambarkan kegelisahan yang semakin tak tertahankan. "Laila?" panggilnya dengan nada yang penuh harap, namun tetap tidak ada jawaban.

Kecemasan mulai menjalari hatinya. Keadaan di luar kendali, dan ia merasa panik. Tanpa berpikir panjang, tangannya menggedor pintu dengan keras, suara ketukan itu menggetarkan udara di sekitarnya. Hatinya dipenuhi amarah dan kebingungannya sendiri.

Akhirnya, pintu itu terbuka.

Seorang wanita berdiri di sana. Rambutnya yang masih basah meneteskan air yang perlahan jatuh ke bahunya. Tubuhnya terbalut handuk putih yang tersemat tergesa-gesa, memperlihatkan kulit lembab yang memancarkan kesan kesegaran. Aroma sabun tercium samar-samar, memenuhi udara di sekitar mereka.

Alvian terpaku. Matanya membelalak, dan tubuhnya seolah mundur secara otomatis, terkejut oleh apa yang baru saja dilihatnya. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena terpesona, tapi karena sebuah syok yang menghantamnya dengan keras.

"Si-siapa kamu?" Alvian tergagap, suaranya hampir tak keluar. Dadanya terasa sesak, seperti udara mendadak menghilang dari ruang sempit ini.

Wanita itu mengerutkan kening, wajahnya datar namun memancarkan kebingungannya. Ia menyibakkan rambut basah yang menempel di wajahnya dan memandang Alvian dengan tatapan tenang, seolah-olah pria itu adalah orang asing yang tiba-tiba muncul di depan pintunya.

Alvian hanya bisa berdiri di sana, tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya berputar cepat, mencari penjelasan. Di mana Laila? Kenapa perempuan ini ada di sini? Apa yang sedang terjadi?

Detik-detik terasa berjalan lambat. Hanya ada suara tetesan air dari rambut wanita itu yang memecah keheningan di antara mereka.

"Si-siapa kamu?!" Alvian bertanya lagi, kali ini dengan lebih tegas, meskipun suaranya tetap gemetar. Kekhawatirannya semakin dalam, dan dadanya terasa semakin sesak. "Di mana Laila?" tanyanya dengan nada mendesak, mencoba menahan kegelisahan yang semakin mengguncang dirinya.

Wanita itu terdiam sejenak, bibirnya bergerak seolah ingin menjawab, namun tidak ada kata yang keluar. Dia menundukkan kepala, tangannya memegang erat tepi handuk yang melilit tubuhnya.

"Di mana istriku?!" bentak Alvian dengan suara yang menggema di dalam kamar. Nafasnya terasa memburu, tak teratur. Kecemasannya berubah menjadi teror. Apa yang telah terjadi pada Laila? Bagaimana bisa ada perempuan asing di rumahnya bahkan di kamar Laila?

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Alvian nyelonong masuk ke kamar. Tubuhnya bergerak tanpa berpikir, dan ia sengaja menyenggol tubuh perempuan itu dengan kasar, membuatnya terhuyung mundur. "Laila!" panggilnya dengan suara tinggi, penuh harapan yang hampir putus.

Matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan liar. Kamar itu terlihat biasa, tidak ada tanda-tanda perlawanan atau kekacauan, namun juga tidak ada jejak Laila. Tempat tidur tersusun rapi, tak ada bantal yang bergeser. Meja kecil di sudut kamar masih dipenuhi buku-buku dan barang-barang kecil milik Laila. Tapi Laila? Tidak ada.

"Laila!" teriak Alvian lagi, kali ini dengan suara yang mulai bergetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, punggungnya basah karena kecemasan yang semakin mendalam. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terus memenuhi ruang di kepalanya.

Ia berhenti sejenak di tengah ruangan, napasnya semakin tidak teratur. Ketakutan menguasai dirinya, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam sebuah mimpi buruk.

"Mas... Aku Laila."

Telinga Alvian menangkap suara lembut itu, suara yang sangat ia rindukan dalam beberapa waktu terakhir. Dengan cepat, ia berbalik, mencari sumber suara. Namun, yang ia lihat hanya seorang wanita yang berdiri di sana, memegang handuk dengan kedua tangan.

"Aku Laila, istrimu," ucap perempuan itu pelan, hampir seperti bisikan. Tangan kanannya terangkat, menunjuk dirinya sendiri.

Alvian terdiam. Waktu seperti berhenti sejenak. Kalimat itu menggema dalam kepalanya, berulang-ulang, seolah-olah tidak bisa menghilang. "Apa?!" tanyanya dengan suara yang nyaris berteriak, meskipun suara itu terdengar serak. Tubuhnya mendadak terasa ringan, tetapi di saat yang sama, kakinya seperti kehilangan kekuatan untuk berdiri.

Ia mundur selangkah, kemudian dua langkah, hingga punggungnya menyentuh dinding. Matanya membelalak, menatap wanita itu dengan campuran kebingungan, ketidakpercayaan, dan kekacauan yang sulit digambarkan. Perempuan dengan rambut basah yang masih menetes, tubuh terbalut handuk, wajah yang tampak asing namun sekaligus familiar adalah Laila?

Mustahil. Itulah pikiran pertama yang melintas dalam benaknya. Tidak mungkin perempuan di depannya ini adalah Laila. Tapi, tatapan matanya, bentuk wajahnya, semuanya tak bisa disangkal. Ini benar-benar Laila.

"Ada apa, Mas?" suara lembut Laila memecah lamunannya. Ia menatap Alvian dengan bingung, kepala sedikit miring, alisnya terangkat. Nada bicaranya masih tenang, tetapi entah kenapa kini terdengar begitu berbeda di telinga Alvian.

Alvian menelan ludah, berusaha mengatur napas yang terasa sesak. Matanya terus terpaku pada Laila, menelusuri setiap detail tubuhnya, dari rambut basah yang jatuh terurai hingga wajahnya yang kini tampak begitu... memukau.

Pikirannya kacau. Ia merasa seperti orang gila. Ia bahkan lupa cara bernapas. Tubuhnya terasa kaku, dan jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ia merasa tidak waras. Tidak mungkin ini Laila yang selama ini ia kenal. Tidak mungkin ini Laila yang selama ini ia anggap biasa, bahkan sering ia pandang dengan dingin.

Namun, dibalik rambut basah, kulit lembab, dan tubuh yang sederhana namun memikat ini, Alvian melihat sesuatu yang selama ini terabaikan. Laila... cantik. Kecantikan yang selama ini tersembunyi.

Alvian merasa malu. Dengan wajah memerah, ia buru-buru keluar dari kamar, berusaha menenangkan dirinya. Ia merasa perlu segera mencari penjelasan. Mungkin, dia harus ke rumah sakit, karena sepertinya pikirannya sudah mulai kacau.

 
***

BAB 14 Terbayang-Bayang

***

“Si4l! Si4l! Si4l!” Alvian memukul setir mobil dengan keras, berkali-kali, hingga telapak tangannya terasa panas. Suara benturan itu memenuhi ruang sempit kabin, tetapi tidak cukup untuk meredakan gejolak yang membakar di dalam dirinya. Bayangan Laila terus membanjiri pikirannya, seperti sebuah film yang diputar berulang-ulang tanpa bisa ia hentikan.

"Sadarlah, Alvian!" bentaknya pada dirinya sendiri, berusaha menarik napas dalam-dalam, namun itu hanya membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ia menjatuhkan kepalanya ke setir, dahinya menyentuh permukaan dinginnya, berharap itu bisa mendinginkan pikirannya yang semakin kacau. Namun, tidak ada yang berubah.

Alvian bisa merasakan panas di wajahnya. Telinganya memerah, mungkin wajahnya juga, tapi ia tidak berani melihat dirinya di cermin. Rasanya seperti anak remaja yang baru pertama kali melihat sesuatu yang tak bisa dipahami. Konyol. Bahkan tidak membayangkan sesuatu yang lebih. Seperti kulit mereka saling bersentuhan. Tidak mungkin... Alvian menggelengkan kepala. Pasti hanya pikirannya gilannya saja. Mana mungkin apa yang terlintas diingatannya adalah wujud dari sebuah kenyataan yang terlupakan.

"Aisss..." Alvian mengerang pelan, menutup mata rapat-rapat. Namun justru itu memperburuk keadaan. Setiap kali ia mencoba menyingkirkan bayangan itu, gambaran Laila yang menghabiskan malam panas dengannya hanya menjadi semakin jelas.

Ia tidak bisa membohongi dirinya lagi. Laila cantik. Bahkan... sangat cantik. Dan itu membuatnya marah. Bukan marah pada Laila, tapi pada dirinya sendiri.

Alvian menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun, ia tahu ia tidak bisa berhenti di pinggir jalan seperti ini. Ia melanjutkan perjalanan menuju kantor, bahkan tanpa mengisi perut. Rasanya perutnya sudah penuh dengan kecemasan yang menguasai dirinya.

Sesampainya di kantor, langkah Alvian terasa lebih berat dari biasanya. Setelah kejadian pagi tadi, pikirannya sudah cukup kacau, dan sekarang, pemandangan di ruang tunggu hanya membuatnya semakin jengkel. Bella, wanita yang selalu ada tanpa pemberitahuan, duduk di sana dengan senyum yang seolah tak tahu malu.

Alvian berhenti tepat di depan mejanya, menatap Bella dengan ekspresi dingin. "Ada apa?" tanyanya, langsung tanpa basa-basi.

Bella berdiri dari kursinya dengan gerakan anggun yang tampak dibuat-buat. Ia tersenyum lebar, namun Alvian sudah tahu betul senyum itu hanyalah topeng. "Kebetulan aku masak, jadi aku ingin memberikan bekal kepada kakak," ujarnya dengan nada malu-malu, berusaha terdengar tulus.

"Tidak perlu," jawab Alvian singkat. Suaranya datar, tanpa emosi.

Ekspresi Bella langsung berubah, sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya, seolah tidak percaya dengan jawabannya.

Alvian menatapnya tajam, memastikan bahwa Bella tahu ia tidak main-main. "Aku tidak membutuhkannya," jawabnya tegas.

Bella tertegun, namun hanya sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca, cara yang selalu ia gunakan untuk menarik simpati. Namun, Alvian sudah kebal terhadap trik ini.

"Kakak kok jadi dingin?" ucap Bella pelan, suaranya terdengar lirih. Namun, Alvian tahu di balik kata-kata itu, ia sedang mencoba mencari celah untuk memanipulasinya lagi.

Alvian menyilangkan tangannya di depan dada, tetap memandangnya dengan tatapan yang mengintimidasi. "Apa kamu benar pemilik buku unik itu?" tanyanya tiba-tiba, tanpa memberi kesempatan untuk Bella mempersiapkan jawaban.

"A-apa maksud kakak?" Bella tergagap, terlihat jelas terkejut dengan pertanyaannya.

Alvian mengangkat alis, tidak memberinya ruang untuk mengelak. "Aku hanya bertanya," ulangnya, tetap dengan nada datar.

Bella menggigit bibir, mencoba terlihat yakin. "Tentu saja aku pemiliknya," jawabnya akhirnya, meski dengan suara yang kurang mantap.

Alvian mendengus pelan, hampir tertawa kecil dalam hati. Jika itu yang dia pilih, baiklah. Ia akan bermain sesuai permainan Bella.

Dengan senyum yang cerah namun penuh ancaman, Alvian berkata, "Baguslah. Karena kalau tidak, aku akan melakukan hal yang mengerikan." Kata-katanya terdengar ringan, namun ada nada dingin yang cukup membuat siapa saja merinding.

Bella tertawa kecil, namun suaranya terdengar sangat palsu. "Si-siapa yang berani membohongi kakak?" katanya, mencoba terdengar santai. Namun, Alvian bisa melihat kegugupan yang jelas di matanya.

Bella menambahkan dengan lebih percaya diri, "Tentu saja aku adalah sosok perempuan yang kakak cari selama ini."

Alvian hanya memandangnya tanpa ekspresi, membiarkan keheningan berat menyelimuti ruangan. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan: Sampai kapan Bella akan mempertahankan kebohongan ini?

"Sampai kapan kamu di sini?" Alvian bertanya dengan nada yang lebih tajam, menyindir penuh penghinaan. Apa dia benar-benar tidak punya pekerjaan lain selain mengganggunya?

Bella hanya tersenyum manis, seolah tidak merasa tersinggung sedikit pun dengan sikap Alvian. "Kalau boleh, aku ingin menemani kakak," katanya dengan nada lembut yang dibuat-buat, seolah permohonan yang sah.

Alvian menatapnya dengan tatapan dingin dan tajam, hampir seperti pisau. "Ingat, Bella. Aku sudah menikah, dan jangan melewati batas." Suaranya terdengar tegas, meski Alvian berusaha menahan diri agar tidak lebih keras lagi.

Namun, respons Bella membuat hatinya semakin terbakar. "Aku tidak masalah jika kakak sudah menikah. Aku bersedia menjadi simpanan kakak."

Jantung Alvian seolah berhenti sejenak, dan ia merasa seperti disiram air dingin. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kata-katanya begitu berani, bahkan melampaui batas yang tidak pernah ia bayangkan. Apa yang baru saja Bella katakan?

Alvian hanya bisa terdiam, memandangi Bella dengan perasaan campur aduk antara marah dan syok. "Apa kamu gila?" akhirnya ia berhasil mengeluarkan kata-kata itu, suaranya lebih keras dari yang ia kira.

Bella tidak gentar. "Ya. Aku gila karena Kakak. Aku sudah jatuh cinta pada Kakak, tapi kenapa akhir-akhir ini Kakak bersikap dingin padaku?" katanya dengan nada menantang, namun ada kesan putus asa dalam suaranya.

Alvian merasa perutnya memulas, jijik dengan kata-kata Bella, meskipun ada sebagian dari dirinya yang tidak bisa menghindari perasaan bingung. Awalnya, jika Bella memang orang yang dicari selama ini, mungkin ia akan mempertimbangkan hubungan dengannya setelah bercerai dari Laila. Tapi ini... ini bukan cara yang benar. Tidak bisa seperti ini.

"Bella... Jangan berdiri di tempat yang semestinya bukan milikmu," ucap Alvian, suaranya lebih rendah namun penuh ancaman. "Aku hanya memberi saran agar tidak hancur." Ia tahu kalimat itu bisa terasa seperti sebuah peringatan, tapi ia tak peduli lagi.

Bella menatapnya dengan ekspresi bingung, seolah belum cukup jelas dengan apa yang dikatakan Alvian. "Apa maksud Kakak?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, namun ia masih mencoba untuk tetap tegar.

Alvian menghela napas, merasa frustasi. "Pergilah. Jangan menciptakan keributan di sini," ujarnya dengan suara semakin tegas, tanpa memberi kesempatan untuk debat lebih lanjut.

Setelah itu, Alvian berbalik dan masuk ke ruangannya. Sebelum pintu menutup, ia memberi isyarat kepada Ryan yang berada di luar, memastikan bahwa Bella tidak akan masuk ke dalam. Tidak bisa membiarkan dia merusak kedamaian di sini, tidak sekarang.

Di dalam ruangannya, Alvian duduk di kursi dengan punggung terasa kaku, menatap layar komputer yang seolah tak ada habisnya. Kegiatan yang seharusnya bisa membuatnya fokus malah semakin memperburuk pikirannya. Semakin ia mencoba menyelesaikan pekerjaan, semakin kacau pikirannya. Laila. Pikirannya terus kembali kepadanya—wajahnya, suaranya, bahkan detik-detik terakhir yang mereka lewati bersama.

Ia meremas rambutnya, mengacaknya dengan penuh frustasi. "Kenapa aku terus terbayang-bayang olehnya?" gumamnya, hampir tak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri. Setiap detik terasa semakin berat, seolah ia terjebak dalam pusaran yang tak bisa dihindari.

Alvian tahu ia tidak bisa menjalani hari seperti ini. Jika terus terjebak dalam pikirannya tentang Laila, ia tidak akan bisa menyelesaikan apa pun. Ia harus melakukan sesuatu—apa saja—untuk bisa mengalihkan perhatian. Dengan kebingungan, ia memanggil Ryan.

"Masuk," perintahnya, dan tak lama kemudian pintu terbuka, disusul langkah kaki Ryan yang tergesa-gesa.

"Apa dia sudah pergi?" tanyanya, suaranya lebih dingin dari biasanya, berusaha menyembunyikan kekacauan batin yang sedang dirasakannya.

"Sudah, Pak," jawab Ryan dengan suara tenang seperti biasa. Namun, Alvian tahu dia pasti bisa merasakan ada yang tidak beres dengannya.

Alvian menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ryan, tolong buatkan janji dengan dokter Gian," katanya, suaranya sedikit menekan, merasa tak nyaman untuk mengungkapkan bahwa ia membutuhkan bantuan.

Ryan menatapnya dengan ragu. "Bapak kenapa? Apa akhir-akhir ini kesulitan tidur?" tanyanya dengan nada khawatir, wajahnya mencerminkan kecemasan. Alvian bisa merasakan betapa Ryan peduli, tapi ia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

Ia mengalihkan pandangannya, tidak ingin menjawab pertanyaan itu. "Lakukan saja apa yang aku katakan tanpa bertanya," jawab Alvian tegas, untuk menutup pembicaraan ini.

"Baik, Pak," kata Ryan, tanpa banyak bicara lagi. Ia langsung keluar untuk menjalankan perintah Alvian.

Setelah pintu tertutup, Alvian kembali terdiam. Pikirannya berkelana ke dokter Gian, psikiater yang sudah lama dipercaya. Alvian telah menjadi pasiennya selama beberapa waktu, terutama karena masalah tidur yang kerap mengganggu. Terkadang, ia merasa sangat kesulitan tidur, seperti ada beban berat yang membuat matanya tak bisa terpejam. Dan tentu saja, obat tidur menjadi cara untuk melupakan sejenak kecemasan yang menumpuk.

***

BAB 15 Mencari Perhatian

***

Berhubung sudah pukul sepuluh malam, Alvian pulang ke rumah. Dia sudah berjam-jam diluar tanpa ada tujuan yang jelas. Jadi daripada jadi hal berbahaya, maka lebih baik dia pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah. Alvian menyiapkan diri terlebih dahulu. Dia sebenarnya belum siap bertemu dengan Laila, tapi dia juga tidak mau menghindar.

Alvian melangkah masuk ke rumah. Tapi dia tidak menemukan siapapun. Laila kemana? Apa dia menganggap Alvian aneh? Kalau dipikir-pikir wajar saja. Apalagi tadi sore Alvian pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Lebih baik Alvian segera membersihkan diri. Tubuhnya juga sudah lengket. Dia melangkah menuju kamar mandi.

Sambil mandi, pikirannya kembali dipenuhi bayangan Laila. Senyum kecil Laila, cara dia bersenandung heboh saat membersihkan rumah, dan ekspresi bingungnya saat pertama kali bertemu dengan Alvian. Tanpa disadari, Alvian mulai bersenandung seperti orang yang tengah kasmaran.

Tiba-tiba, Alvian tersadar. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Rasanya aneh, namun juga sedikit menakutkan. Dadanya berdebar lebih cepat. Sebuah hasrat yang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Sial!" Alvian memukul dinding kamar mandi dengan wajah yang memerah. Air hangat yang mengalir seolah tidak bisa menenangkan gejolak yang melanda hatinya. Ia merasa seperti seorang remaja saja. Sesuatu dalam dirinya bangun saat memikirkan Laila.

Alvian keluar dari kamar, rambutnya masih basah karena baru saja melakukan tindakan yang bisa dibilang gila di kamar mandi. Kali ini dia juga tidak melihat keberadaan Laila sama sekali. Alvian ingin menjelaskan kenapa ia tiba-tiba pergi tadi sore. Tapi dia tidak tahu darimana. Apa Alvian harus menggedor pintu seperti sebelumnya agar Laila keluar kamar? Dia geleng-geleng kepala. Meskipun dia gila, tapi dia tidak mau menunjukkan kegilaannya lebih lanjut.

Alvian memikirkan cara lain. Bibirnya terangkat ke atas setelah menemukan satu rencana yang sepertinya akan berhasil. Alvian langsung menjalankan rencana tersebut yaitu dengan memecahkan piring di dapur. Ia yakin Laila akan keluar. Tentu saja, memecahkan piring saja tidak cukup. Alvian juga harus mengorbankan tangannya untuk menarik perhatian Laila.

"PRANGG!" Suara pecahan piring melengking tajam, jelas terdengar dari arah dapur. Dentingan pecahan piring yang menyentuh lantai keramik itu bergema seperti potongan musik yang salah nada.

Alvian melukai tangannya sendiri dengan pecahan piring sampai mengeluarkan darah. Ia menghitung hingga tiga, matanya tetap fokus pada arah di mana Laila akan muncul. Belum sampai pada hitungan ketiga, Laila sudah muncul. Alvian tersenyum tipis. Tampaknya rencananya berhasil.

"Apa yang terjadi?" tanya Laila dengan raut wajah khawatir.

Alvian pura-pura kesakitan. Tapi diam-diam dia menahan senyum. Tampaknya rencananya berhasil. Kini Laila tidak memakai cadar lagi seperti sebelumnya. Jadi Alvian bisa puas melihat wajah cantiknya. Sebenarnya perasaan aneh sudah muncul tanpa Alvian melihat wajah Laila. Tapi dia selalu menentang fakta itu.

"Ya Allah, Mas," kata Laila semakin panik saat melihat tangannya berdarah. Dia mendekat dan langsung membawa tangannya ke wastafel untuk disiram air. Alvian hanya diam saja, tetapi ia memperhatikan Laila dengan seksama.

Jarak antara mereka tidak jauh. Alvian bisa melihat wajah Laila dengan jelas.

"Cantik," ujar Alvian dengan suara pelan, hampir tidak sadar.

"Mas bilang apa?" tanya Laila, bingung.

Alvian tergagap. "Ti-tidak apa-apa," jawabnya, tampak gugup. Ia merasa seperti penjahat yang tertangkap basah.

Semakin ia memperhatikan Laila, semakin ia tidak bisa menahan senyum. Tatapannya begitu mendambakan Laila.

"Kenapa piringnya bisa pecah?" tanya Laila.

Alvian menjelaskan dengan lancar bahwa dia ingin makan. Tapi saat mengambil piring tangannya sedikit licin dan akhirnya piring terjatuh ke lantai.

"Terus lukanya darimana?"

"Tadi mau diberesin, tapi malah luka." Alvian memasang wajah yang minta dikasihani.

"Besok kalau mau bersiin kaca pecah atau piring pecah, jangan pakai tangan kosong." Laila mengomel.

"Iya," jawab Alvian seperti anak kecil yang penurut.

"Oh ya, Mas mau makan apa?" tanya Laila.

Alvian hanya menunjukkan wajah lemah tidak berdaya. "Nasi putih," jawabnya.

Alza mengerutkan kening. "Bukannya tadi Mas keluar?"

Alvian mengangguk.

"Terus belum makan?"

"Iya, belum."

Laila sampai tidak percaya dengan jawaban Alvian. "Terus tadi ngapain keluar?" Laila kira sang suami mencari makanan di luar, makanya dia tidak masak.

"Cari angin," jawab Alvian asal.

"Ya ampun, Mas. Kamu itu ada-ada aja ya?"

Alvian hanya diam seperti anak yang sedang menyesali kesalahannya.

Laila menarik tangan Alvian dan membawanya ke ruang keluarga. Dia menyuruh Alvian duduk. Sementara Laila mengambil kotak P3K, Alvian merasa takjub karena Laila tahu di mana letak kotak P3K tersebut, meski ia tak pernah menunjukkannya.

Alvian memang sudah tak waras. Saat tangannya terluka, ia masih bisa tersenyum. Bahkan tanpa sadar, tangannya yang satu lagi menyingkirkan rambut Laila yang terjatuh ke wajahnya.

Laila mungkin terkejut dengan apa yang dilakukan Alvian. Dia bahkan menatap Alvian dengan intens. Alvian merasa gugup saat mereka saling bertatapan.

"Ke-kenapa?" tanya Alvian, agak bingung.

"Apa Mas sakit?" tanya Laila, khawatir. Dia bukan tidak tahu tindakan sang suami. Apalagi sampai menyikirkan rambutnya. Makanya Laila berpikir suaminya sedang sakit atau lebih tepatnya ada masalah pada otaknya.

"Ti-tidak kok," jawab Alvian dengan suara cemas.

Laila meletakkan tangannya ke dahi Alvian. Tubuh Alvian langsung membeku seperti orang bodoh. Ia merasa telinganya memerah.

"Syukurlah," kata Laila, sambil bernafas lega.

Setelah tangan Alvian diobati, Laila mengembalikan kotak P3K ke tempatnya. Alvian merasa sedikit kehilangan, karena Laila kembali menjaga jarak.

"Mas mau makan apa?" tanya Laila. Dia tidak mungkin mengabaikan suaminya yang sedang lapar.

"Kamu udah makan?" Bukannya menjawab, Alvian malah balik bertanya.

Laila menggeleng. Hal ini membuat Alvian cukup terkejut. Dia kira sang istri sudah makan. Tapi tunggu... kalau dipikir-pikir lagi, rasanya Alvian baru pertama kali bertanya apakah Laila sudah makan atau belum. Dia benar-benar sudah menjadi suami jahat. Perlahan-lahan, niat perceraian di masa mendatang meredup. Bahkan Alvian tidak pernah membahas atau memikirkannya lagi.

"Kenapa belum?"

"Aku ada kerjaan."

Alvian menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia tidak tahu kalau Laila bekerja.Bukannya selama ini Laila hanya dirumah saja? Jadi pekerjaan apa yang Laila maksud?

"Kerjaan?" Alvian memastikan sekali lagi.

"Iya."

"Kerja apa? Kok aku nggak tau." Alvian merasa tidak mengetahui apapun tentang istrinya itu.

"Jelas nggak tau. Apalagi Mas juga nggak mau tau tentang aku," sindir Laila.

Tapi karena Alvian berwajah tebal, jadi dia bersikap santai seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ya dikasih tau lah," balasnya.

Laila terdiam beberapa detik. Selain suka gengsi, suaminya juga aneh.

"Jadi aku yang salah?" tanyanya.

Alvian dengan mudah mengangguk. Laila jadi kesal sendiri. Padahal siapa yang mengibarkan bendera yang membatasi hubungan mereka? Jangankan untuk memberitahu, menawarkan makanan saja rasanya seperti bertarung dengan makhluk yang sulit ditebak.

Laila tidak ingin membahas lebih lanjut. Jadi dia melangkah menuju ke kamar. Tentu saja pupil mata Alvian langsung melebar. Dia sedang panik. Bahkan Alvian sampai berdiri.

"Kamu mau kemana?" tanyanya. Ia pikir sang istri marah atau kesal pada dirinya sehingga memilih untuk masuk kamar.

Laila berhenti melangkah. "Kenapa?" tanya Laila dengan kening berkerut.

"Jawab dulu, kamu mau kemana?"

"Mau ke kamar."

"Aku lapar," ujar Alvian seperti tidak nyambung sama sekali.

"Iya, aku tau."

"Terus kenapa pergi?" Alvian tidak rela Laila pergi.

"Mau ambil ikat rambut," jawab Laila.

"Oh gitu." Alvian duduk kembali. Syukurlah jika Laila tidak marah kepadanya.

Laila melanjutkan langkahnya. Dia mengambil ikat rambut di dalam kamar. Namun siapa sangka saat menyisir rambut, ada yang melihat dirinya. Ternyata Alvian mengikuti dirinya. Dia sekarang tengah berdiri di ambang pintu. Matanya tak lepas memandangi istrinya yang tengah mengambil ikat rambut.

Laila berhenti sejenak. "Kenapa?" tanyanya.

Alvian hanya tersenyum kecil, lalu bersandar pada kusen pintu. "Nggak apa-apa. Aku cuma mau lihat gimana kamar kamu."

Laila mendesah pendek, kemudian mengabaikannya. "Kalau cuma mau lihat, nggak perlu segitunya," gumam Laila tanpa menoleh. Dia merasa sang suami tidak seperti biasanya.

Alvian berusaha menahan tawanya. Dia mengamati kamar yang ditempati Laila. Memang kamar Alvian lebih besar dari kamar Laila. Meskipun begitu, kamarnya cukup nyaman.

Saat proses mengamati itu, mata Alvian melihat layar laptop Laila yang masih menyala. Layarnya menampilkan sebuah lembar kerja untuk mendesain UI.

Tentu saja Alvian tertarik dan tanpa aba-aba langsung mendekat untuk memastikan. Laila juga tidak menghentikan atau protes sama sekali.

"Ini apa?" tanya Alvian meminta penjelasan. Dia tidak mau asal berspekulasi.

"Kerjaan aku," jawab Laila santai.

"Ha?" Alvian sedikit tidak percaya. "Designer UI?" ujarnya lagi.

Laila mengangguk.

Keterkejutan Alvian semakin menjadi-jadi. "Ini kamu yang buat?"

"Iyalah. Kalau bukan aku, siapa lagi?"

Alvian baru sadar tentang hal ini. Pantas saja Laila mengerti tentang desain. Dia bahkan membantu memberikan masukan dan ide untuk desain game perusahaannya. Ternyata Laila memang bekerja sebagai designer UI.

Notifikasi email masuk muncul dibawah layar laptop Laila. Tanpa sengaja, Alvian melihatnya.

"GreenWhite?" kata Alvian setelah melihatnya. Nama samaran yang sangat tidak asing. Apalagi Dylan selalu membicarakan tentang designer UI tersebut.

"Kenapa, Mas?" Laila sudah selesai mengikat rambutnya.

"Ka-kamu GreenWhite?" Alvian bertanya dengan ragu-ragu.

Laila terdiam sejenak. Tapi tidak lama setelah itu, kepalanya mengangguk. Tentu fakta itu sangat mengejutkan Alvian. Perusahaan mereka susah sekali bekerjasama dengan Designer GreenWhite, tapi pemilik nama samaran itu adalah istrinya sendiri.

Alvian terbengong. Masih tidak percaya. Tapi faktanya memang tidak bisa terbantahkan.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Laila saat menatap suaminya.

Alvian tidak bisa menjawab. Kata-kata hanya sampai di tenggorokan saja. Padahal banyak yang ingin dia katakan.

 
***

BAB 16 Kebimbangan Laila

***

 

Alvian baru saja selesai makan siang bersama dua orang influencer games setelah membicarakan masalah kontrak kerja yang sudah disetujui. Tentu ada beberapa poin yang harus ditekankan agar tidak membuat kedua belah pihak merugi. Perilisan juga terlambat dari waktu awal yang ditentukan, jadi Alvian melakukan pertemuan ini.

"Terima kasih, Pak."

"Iya, sama-sama. Mohon kerjasama untuk kedepannya." Alvian menyalami satu persatu. Setelah itu dia keluar dari hotel yang menjadi tempat makan siang dilakukan.

"Apa kita langsung ke perusahaan, Pak?" tanya Ryan. Kebetulan Alvian tidak punya jadwal lain lagi.

"Kita berhenti di toko kue dulu," ujar Alvian.

"Baik, Pak."

Mobil bergerak meninggalkan hotel. Ryan berhenti sesuai dengan nama toko kue yang dibilang oleh sang atasan.

Sebenarnya Ryan penasaran kenapa atasannya ke toko kue. Mana Alvian tidak suka yang manis-manis seperti kue dan sebagainya. Tapi Ryan tidak ingin banyak bertanya.

Toko kuenya tidak terlalu besar namun tampak menarik. Alvian tahu tentang toko ini dari paperbag yang dibawa oleh Laila. Tampaknya Laila sangat menyukai kue yang dijual ditoko ini sehingga Alvian ingin membelinya.

Tapi siapa sangka, Alvian malah melihat Laila di cafe samping toko kue itu. Tentu saja dia mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan apa penglihatannya bermasalah atau tidak.

Padahal Laila menggunakan cadar dan hanya mata yang terlihat. Tapi Alvian langsung tahu. Entah kenapa ia merasa marah. Apa yang terjadi dalam diri Alvian? Dia tidak suka melihat Laila yang tampak berbicara dengan laki-laki. Memang tidak hanya laki-laki, ada perempuan juga. Tapi tetap saja Alvian tidak suka.

"Eh eh, Bapak mau kemana?" Ryan sangat bingung. Tadi atasannya itu mau ke toko kue, tapi sekarang malah masuk ke dalam cafe.

Tapi tunggu, Alvian seperti mengenal laki-lakinya.

Semakin dekat semakin ia melihat dengan jelas. "Kenapa kamu disini, Renal?" tanya Alvian langsung.

"Eh, Pak Alvian." Renal sangat kaget. Bahkan tidak hanya dia tapi juga perempuan yang ada disana.

Mata Alvian langsung mengarah ke mata perempuan yang sangat ia kenal itu. Ternyata dugaan Alvian tidak salah. Perempuan itu adalah Laila.

"Ini siapa?" Viola yang tidak kenal menatap bingung Renal dan Laila secara bergantian.

Alvian mengangkat sebelah alis. Meskipun tanpa bicara, mereka seakan bisa berkomunikasi hanya melalui mata saja.

"Aku ini siapa, Laila?" ujar Alvian dengan tatapan tajam.

Keterkejutan Viola semakin bertambah-tambah. Kenapa juga laki-laki yang tiba-tiba datang mengetahui nama Laila. Renal saja tadi tidak mengenal Laila kalau tidak diberitahu oleh Viola. Mereka memang tidak sengaja bertemu. Apalagi Renal pernah menjadi junior Laila.

Laila memaksa diri untuk tertawa. Alvian semakin menatapnya tajam. Di depannya saja Laila tidak tertawa sama sekali. Tapi didepan orang lain dia malah tertawa. Ada perasaan aneh dalam diri Alvian. Dia tidak mau melihat Laila tertawa didepan laki-laki lain.

"Kenalin ini..." Laila menggantung sebentar perkataannya. "Suamiku," lanjutnya lagi dengan ragu.

Wajah Alvian langsung berubah. Dia tidak terlihat menakutkan lagi. Entah ada apa dengannya. Alvian juga bingung. Padahal dia ingin menceraikan Laila dimasa mendatang. Kapan? Dia juga tidak tahu.

"Apa?" Renal terkejut. Dia sampai berdiri dan kursinya terjatuh ke belakang. Hal ini membuat beberapa pengunjung cafe menatap ke arah mereka.

"Ini suami kamu, Laila?" Viola kembali memastikan.

Laila mengangguk. Sedikit tidak yakin, tapi dia juga tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka.

"Ya Ampun..." Viola ikut menjadi heboh. "Suamimu ganteng banget," lanjutnya lagi.

Renal masih berada dalam keterkejutan. Selama ini yang dia tahu, atasannya itu belum menikah. Tapi kenapa sekarang sang atasan sudah menjadi suami dari seniornya? Renal merasa benar-benar tidak masuk akal. Tidak hanya Renal yang terkejut, Ryan yang berdiri tidak jauh dari mereka juga terkejut.

"Kenalin, saya Alvian." Alvian memperkenalkan diri.

"Viola dan ini Renal," balas Viola.

"Kalau ini saya kenal," ujar Alvian. Viola menatap Renal. "Kenal dimana?" tanyanya.

"Atasan aku kak," jawab Renal dengan suara pelan.

"Dunia sempit banget ya." Viola kembali tidak menyangka. Dia heboh sendiri.

Rasanya Laila ingin segera pulang. Dia bingung dan entah kenapa suaminya seperti tidak mau jauh-jauh darinya. Apa ada suruhan kakek yang mengawasi mereka? Entahlah, Laila benar-benar bingung.

"Jam istirahat siang mau habis. Kenapa kamu masih disini?" ujar Alvian menatap Renal dengan tajam.

"Eh iya, Pak. Saya baru sadar." Renal buru-buru bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan cafe. Bahkan dia tidak sempat berpamitan dengan Azal dan Viola saking paniknya.

"Dari dulu tu anak nggak berubah ya?" ujar Viola sambil geleng-geleng kepala.

"Iya." Laila tertawa.

Alvian melihat Laila. "Apa yang nggak berubah?" tanyanya berusaha untuk seramah mungkin. Bahkan Alvian mengatakan sambil tersenyum. Hal itu membuat Laila merinding.

"Nggak... nggak ada kok, Mas," jawabnya panik.

Berbeda dengan Laila, Viola malah tidak mengerti dari tindakan Alvian. Dia malah menjelaskan bahwa dulu Renal juga sering terledor bahkan terus-terusan ingin dekat dengan Laila.

"Kalian pernah dekat?"

"Enggak kok."

"Nggak dekat, tapi Renal yang ngejar-ngejar Laila," jelas Viola agar tidak salah paham.

"Kenapa bisa?" Alvian semakin penasaran. Bagaimana Laila mengenal Renal? Mereka bertemu dimana? Berbagai pertanyaan muncul sendiri dalam otaknya.

"Ya bisa dong. Laila kan dulu kuliah di kampus X."

Alvian benar-benar terkejut. "Apa jurusannya?"

"Teknik informatika," jawab Viola.

Lagi dan lagi, Alvian terkejut luar biasa. Ternyata mereka satu almamater dan satu jurusan. Luar biasa sekali. Kebetulan semacam apa ini.

Alvian berusaha mengorek informasi lebih dalam tentang Laila. Termasuk Laila yang tidak menyelesaikan pendidikannya. Semakin ditelusuri, maka semakin banyak hal yang tidak terungkap sama sekali.

Alvian tidak bisa berlama-lama. Jadi dia pamit lebih dulu. "Kalau sudah selesai, langsung pulang." Alvian mengingatkan.

Laila mengangguk. "Mas hati-hati dijalan."

Mereka sudah seperti pasangan suami istri pada umumnya. Namun pada kenyataannya tidak begitu. Setelah kepergian Alvian, Viola terus-terusan menggoda Laila. Bahkan Viola merasa bahwa wajah Alvian tidak asing, tapi dia tidak terlalu mengingatnya.

Setelah pertemuan tidak terduga dengan Alvian diluar, Laila merasa tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Apalagi sejak dia dan Alvian melakukan yang seharusnya mereka lakukan setelah menikah. Laila tidak tahu harus marah kepada siapa. Mungkin dia menertawakan diri sendiri. Dari awal, Alvian sudah mengingatkan agar Laila tidak mengharapkan apapun dari pernikahan mereka. Tentu saja yang paling utama adalah cinta Alvian karena Alvian sudah mencintai perempuan lain.

Laila benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk meluluhkan hati Alvian. Tapi ternyata Alvian tampak tersiksa menjalankan pernikahan ini

 
***

BAB 17 Aku Tidak Menyukainya

***

Alvian bukan tipe orang yang gengsi kalau sudah menyangkut dengan perusahaan. Berbeda kalau menyakut tentang dirinya atau perasaannya. Jadi dia meminta tolong kepada sang istri yang pernah ia abaikan di awal-awal pernikahan untuk membantu sedikit perusahaan. Bukan menyuruh sang istri bekerja, tapi meminta tolong untuk memberikan sedikit ilmunya kepada para designer UI di perusahaannya. Untungnya, Laila tidak menolak sama sekali. Dia malah terlihat senang untuk membagikan ilmu.

Alvian menunggu sang istri di ruang keluarga. Tampaknya Laila membutuhkan waktu sebelum mendatangi perusahaannya. Alvian akan menyembunyikan identitas Laila sebagai GreenWhite. Jadi nanti Alvian hanya memperkenalkan Laila sebagai istri yang memiliki sedikit kemampuan dalam desain antarmuka game atau aplikasi.

Laila keluar. Dia memakai gamis berwarna hitam dengan hijab berwarna abu-abu. Tampak anggun sekali.

"Sini aku bawain," ujar Alvian sambil menyentuh tas Laila yang berisi laptop dan beberapa keperluan lain.

"Terima kasih." Laila tidak menolak. Mumpung suaminya sedang baik dan perhatian, maka Laila menerimanya dengan senang hati.

"Nanti kalau kamu nggak nyaman, bilang aja ya?"

Alza mengangguk.

Tidak lama, mereka sampai di perusahaan. Laila sedikit malu karena selama ini dia tidak mau menjadi pusat perhatian. Belum masuk saja, beberapa orang sudah melihatnya. Mungkin karena Laila turun dari mobil Alvian.

Banyak yang penasaran siapa perempuan bercadar yang datang bersama Alvian. Namun informasi dari Renal cepat menyebar. Dylan menjadi salah satu orang yang syok luar biasa. Bagaimana mungkin Alvian menikah tanpa diketahui olehnya? Kalau benar begitu, Dylan merasa seperti dikhianati.

Alvian tidak ingin membuat Laila merasa tidak nyaman. Jadi dia memanggil tim designer ke ruang rapat. Laila akan memberikan beberapa ilmu penting tentang ilmu desain.

"Kalau butuh sesuatu, panggil aja ya. Aku nunggu di luar," ujar Alvian.

Laila mengangguk. Tidak lama tim designer datang. Alvian menjelaskan secara singkat dan berharap karyawannya dapat mengikuti kelas luar biasa ini dengan serius.

Saat Alvian keluar, Dylan sudah menunggunya dengan wajah dingin. Tatapannya juga tajam. Alvian cukup mengerti.

"Gua akan jelasin," ujar Alvian langsung.

Dylan hanya diam saja. Tapi tatapannya semakin tajam.

"Gue udah nikah dari beberapa bulan yang lalu. Memang nggak ada yang tau," jelasnya tanpa banyak drama.

Dylan tertawa miris. "Lo anggap gue apa?"

"Sahabat."

"Omong kosong!" Dylan merasa semakin dikhianati.

Tampaknya Dylan sangat kecewa padanya. Akhirnya Alvian menjelaskan secara menyeluruh. Termasuk bagaimana dia bisa menikah dengan Laila. Tentu saja Dylan terkejut. Pada akhirnya Dylan juga tidak bisa menilai Alvian dengan pikirannya sendiri. Apalagi pada awalnya Alvian melakukan supaya kakeknya mau berinvestasi.

Intinya komunikasi. Jadi Dylan tidak salah paham lagi dan berusaha memahami keadaan Alvian. Dylan kembali bekerja dan Alvian menunggu istrinya di luar ruang rapat. Padahal dia bisa menunggu di ruangannya sendiri, tapi Alvian takut kalau Laila nanti membutuhkan sesuatu.

"Pak..." panggil Ryan. Alvian yang tadinya memejamkan mata sejenak langsung membuka mata. Dia duduk dengan tangan terlipat di atas dada. "Kenapa?" tanya Alvian.

"Maaf, Pak. Nona Bella datang."

Mata Alvian langsung melotot. "Jangan biarkan dia masuk."

"Tapi, Pak. Dia membuat keributan di lantai satu. Dia ingin bertemu dengan Bapak, bahkan dia mengatakan hal-hal yang dapat menimbulkan rumor."

Alvian memijat pangkal hidung. Kenapa harus sekarang?

"Baiklah, kamu tunggu disini. Nanti kalau istri saya keluar atau mencari saya, tolong hubungi saya."

"Baik, Pak."

Alvian akan menyelesaikan masalah Bella dengan secepatnya. Ternyata Alvian terlalu banyak berpikir sehingga membuat Bella berbuat seenaknya.

Tidak lama setelah Alvian keluar, Laila keluar ruang rapat. Dia tidak menemukan keberadaan sang suami. Padahal tadi Alvian mengatakan akan menunggu diluar.

"Ada apa, Bu?" tanya Ryan.

Laila menunduk. "Pak Alvian dimana?" tanyanya.

"Dia pergi sebentar, Bu. Ada yang perlu saya bantu?"

Laila menggeleng. Dia terlalu malu untuk bertanya dimana letak kamar mandi. Pada akhirnya Laila mencari sendiri. Tapi saat mencari kamar mandi, dia mendengar karyawan membicarakan sesuatu tentang Alvian.

"Kalau Pak Alvian udah nikah, kenapa perempuan itu bisa datang ke sini?"

"Iya juga. Atau Pak Alvian selingkuh?"

"Shut... Kamu ini. Kalau ada yang dengar, bisa-bisa kita langsung dipecat."

"Kasihan istrinya. Mana perempuan itu datang beberapa kali ke ini."

"Benar. Perempuan sombong itu yang buat baju baru aku kena kopi."

Laila memegang dadanya. Merasa sedikit tidak nyaman dengan pembicaraan orang-orang. Apa suaminya memang selingkuh? Tapi dari awal Alvian sudah bilang mencintai perempuan lain. Bolehkah Laila memiliki rasa marah ini? Atau memang dari awal dia tidak pantas untuk merasakan apapun.

Laila penasaran, siapa perempuan yang dicintai oleh suaminya. Jadi dia memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Katanya disana terjadi keributan besar. Jadi Laila akan melihat dengan matanya sendiri. Sebenarnya tidak ada perkumpulan luar biasa. Hanya ada adegan dimana Alvian menyuruh seorang perempuan pergi. Tapi perempuan itu tidak mau.

Semakin Laila mendekat, semakin jelas wajah perempuan itu.

Laila merasa tidak asing. Wajah terlihat familiar. Jantungnya berdetak dengan cepat. Tubuhnya membeku seketika.

"Ba-bagaimana bisa?" ujarnya dengan terbata-bata. Tangannya gemetaran luar biasa. Laila ingin pergi dari sana. Namun saat ia berbalik, dia tidak tahu kalau karyawan lain dibelakangnya. Laila menabraknya sehingga membuat keduanya terjatuh. Laila langsung menunduk dan meminta maaf berulang kali.

Adegan itu dilihat oleh Alvian. Pupil matanya langsung membulat. Dia buru-buru mengejar Laila dan membiarkan Bella ditahan oleh petugas keamanan perusahaan.

Alvian bertambah kalut. Takut kalau Laila salah paham.

"Laila..." panggilnya. "Tunggu," ujarnya lagi. Mereka seperti sedang syuting drama saja. Mana para karyawan pura-pura tidak melihat padahal mereka sangat penasaran sekali tentang apa yang terjadi.

Alvian sedikit terlambat. Laila sudah masuk ke dalam lift. Bahkan dia berusaha mengejar sampai menekan tombol lift berkali-kali.

"Sial," umpatnya.

Laila sudah keluar dari dalam lift. Dia akhirnya memberanikan diri bertanya kepada karyawan lain dimana letak kamar mandi atau toilet. Kalau Laila tidak pakai cadar, mungkin orang-orang akan melihat wajah pucatnya. Laila bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Dia ingin menenangkan dirinya sebentar.

Laila membuka cadar dan mencuci wajahnya berkali-kali. Dia menatap wajahnya di kaca. Tampak seperti orang yang sedang ketakutan. Padahal sudah 9 tahun berlalu, namun Laila tidak bisa melupakan dengan mudah.

"Jangan takut, Laila. Jangan takut..." ujarnya untuk menguatkan diri sendiri. "Kamu bukan sosok seperti 9 tahun yang lalu," lanjutnya. Laila yakin perempuan yang ia lihat tadi adalah Bella. Teman satu asrama dengannya saat kuliah.

Laila tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. Setelah detak jantungnya tidak seperti sebelumnya, Laila memutuskan untuk keluar. Dia harus menyelesaikan kelasnya dengan cepat agar bisa pulang ke rumah.

"Astagfirullah," kaget Laila saat baru keluar dari kamar mandi. Dia menemukan sosok suaminya yang tampak berkeringat.

Tanpa banyak bicara, Alvian langsung memeluknya. Tubuh Laila langsung membeku. Dia benar-benar bingung dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Alvian memeluknya dengan sangat erat. "Jangan berpikir yang tidak-tidak," lirihnya.

Laila mengerutkan kening. "Apa maksud, Mas?"

"Aku tidak punya hubungan apapun dengan perempuan yang kamu lihat tadi," jelas Alvian. Padahal Laila tidak minta penjelasan.

Laila menarik nafas dalam-dalam. "Bukankah dia perempuan yang kamu cintai itu?" tanyanya dengan berani.

Alvian menggeleng. "Aku tidak mencintainya."

"Lalu siapa yang sebenarnya kamu cintai?" Laila sangat penasaran.

Alvian tidak menjawab. Dia hanya diam saja.

"Sudahlah. Tim designer kamu masih ada di ruangan rapat." Laila ingin menyelesaikan dengan cepat. Namun Alvian tidak mau melepaskan pelukannya. Apalagi mereka berada di depan kamar mandi.

"Mas... Lepas dulu," pinta Laila.

"Apa kamu masih marah?"

"Tidak. Aku tidak marah."

"Jangan bohong, pasti kamu masih marah."

Laila tertawa kecil. "Untuk apa aku marah? Dari awal kamu sudah bilang kalau kamu mencintai perempuan lain. Jadi hal seperti ini sangat wajar terjadi."

"Tapi aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Aku juga kaget dia datang ke sini."

Laila memang penasaran seberapa jauh hubungan suaminya dengan Bella. Tapi dia tidak mau mengingat hal-hal yang membuat hati dan fisiknya merasa tidak nyaman.

"Sudah, Mas. Aku tidak marah sama sekali. Kalau memang kamu tidak punya hubungan apapun dengannya, maka baguslah."

Alvian melonggarkan pelukannya. Menatap mata Laila seakan mencari kebohongan disana. Tapi mata Laila tampak jujur.

"Syukurlah."

"Tapi selesaikan masalah Mas sama perempuan itu, aku tidak menyukainya," pinta Laila.

Alvian mengangguk dengan cepat. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menyelesaikan dengan cepat."

Alvian mengantar kembali Laila ke ruang rapat. Kelas kembali dilanjutkan walau tadi ada sedikit keterlambatan.

Alvian tidak akan menunda-nunda lagi. Tampaknya Bella semakin berani dan melewati batas. Alvian sudah menyuruh petugas keamanan untuk mengantarkan Bella menuju ke dalam ruangannya.

Alvian menunggu kedatangan Bella dengan ekspresi wajah yang cukup menakutkan. Jujur saja Alvian sangat marah besar. Untung Laila tidak salah paham. Tidak lama kemudian, Bella datang. Dia menatap Alvian dengan raut wajah kecewa. Tapi Alvian tidak peduli sama sekali.

"Kenapa Kakak melarangku datang? Bahkan kakak menyuruhku pergi. Apa karena istri kakak ada diperusahaan ini?" Bella mengamuk bukan tanpa alasan. Tapi dia mengamuk karena para karyawan membicarakan tentang istri Alvian yang datang ke perusahaan. Dan Bella baru tahu kalau Alvian sudah menikah.

Alvian hanya diam. Namun tatapannya sangat tajam sekali.

"Dimana istri kakak? Aku ingin melihatnya. Apa dia secantik aku?"

Rasanya Alvian ingin tertawa. Jelas sekali Laila jauh lebih cantik dari Bella. Sikap dan tingkah laku istrinya juga lebih baik dari Bella.

"Tidak. Dia lebih cantik dari kamu," jawab Alvian.

Wajah Bella langsung merah padam. "Mana mungkin," katanya tidak percaya.

"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi istriku lebih cantik dari kamu." Alvian menekankan kata istriku dan cantik. Bella semakin marah saat mendengarnya. Tapi setelah dia sadar bahwa harus tetap anggun di depan Alvian, dia langsung tersenyum

 
***

BAB 18 Maaf

***

"Kakak kenapa memperlakukan aku dengan berbeda? Padahal sebelumnya kakak sangat perhatian," ucap Bella pelan untuk mengalihkan pembicaraan.

"Untuk apa aku bersikap baik padamu?" tanya Alvian tajam. Bella hanya bisa terdiam.

Alvian menyilangkan tangan didepan dada, ekspresinya tetap tajam dan mengintimidasi. Ia menatap Bella dengan pandangan yang membuat suasana di antara mereka semakin berat. "Apa kamu benar pemilik buku unik itu?" tanyanya tiba-tiba, nadanya datar tetapi penuh tekanan.

Bella tampak terkejut, tidak siap dengan pertanyaan yang datang begitu mendadak. "A-apa maksud Kakak?" ia tergagap, mencoba mencari waktu untuk menyusun jawaban.

Alvian mengangkat alis, memberikan tanda bahwa ia tidak akan membiarkan Bella mengelak. "Aku hanya bertanya," ulangnya dengan nada dingin yang membuat ruangan terasa lebih sempit.

Bella terlihat semakin gugup. Ia menggigit bibir, matanya berusaha menghindari tatapan Alvian. "T-tentu saja aku pemiliknya," jawabnya akhirnya, meskipun nada suaranya tidak cukup meyakinkan untuk menutupi kebohongannya

Rasanya Alvian ingin tertawa. Dia terus-terusan berbohong. Alvian sudah cukup muak dan tidak ingin berlama-lama melihatnya. Alvian langsung menunjukkan beberapa dokumen yang berhasil didapatkan oleh Renal.

"Apa ini, Kak?"

"Lihat saja."

Bella langsung melihatnya. Alvian memperhatikan ekspresi wajah Bella. Perlahan-lahan perubahan itu terlihat dalam waktu singkat. Wajah Bella terlihat pucat sekali.

"Kamu membohongiku, Bella," ungkapnya.

"Ti-tidak. Aku tidak membohongi kakak."

"Apa kamu yakin?"

Bella mengangguk dengan ragu. "Dimana kakak mendapatkan ini? Semuanya tidak benar. Aku tidak berbohong. Aku adalah perempuan yang kakak cari."

Ternyata dengan bukti-bukti yang Alvian berikan, Bella tidak kunjung mengakui kesalahannya.

"Apa kamu kira aku bodoh?" tanya Alvian.

"A-aku tidak berbohong, Kak."

Alvian tertawa karena geram. "Baiklah, kalau kamu masih keras kepala. Aku akan mengajukan tuntutan karena kebohongan yang kamu ciptakan." Alvian mengancam dengan proses hukum. Sebenarnya dia tidak serius. Kenapa juga buang-buang waktu. Tapi dia hanya ingin memojokkan Bella sampai mau mengakui kebohongannya.

"Jangan!" Bella bertambah panik.

"Kenapa?"

"Tolong, Kak. Jangan lakukan itu."

"Kalau kamu tidak mau aku tuntut, sekarang jawab dengan jujur. Apa kamu pemilik asli buku itu?" tanya Alvian lagi.

Bella tampak ketakutan. Dia lantas menggelengkan kepala. Akhirnya Bella mau menjawab dengan jujur.

"Siapa pemilik aslinya?"

"Aku...aku tidak tau. Aku mendapatkan buku itu di tempat sampah."

Alvian tidak tahu harus percaya atau tidak kepada Bella. Tapi dia memang ingin menyelesaikan dengan cepat sehingga memberikan peringatan serta ancaman kepada Bella agar tidak datang ke perusahaan ini lagi atau mengganggunya. Kalau Bella tetap bertindak melewati batas, maka Alvian akan menuntutnya langsung. Kali ini bukan hanya sebuah ancaman semata, tapi Alvian akan melakukannya.

Bella buru-buru keluar dari ruangan Alvian. Nafasnya menjadi tidak beraturan. Entah bagaimana Alvian mendapatkan informasinya dengan mudah. Harusnya Bella menyembunyikan dengan rapat. Padahal sedikit lagi, dia akan mendapatkan pria luar biasa. Bella sudah berada di luar perusahaan Alvian. Dia membalikkan badan dan melihat gedung perusahaan milik Alvian. Dia mengepalkan tangan. Bella tidak akan menyerah begitu saja. Kali ini dia akan mundur terlebih dahulu.

***

Dua hari lagi, game baru yang sedang dikerjakan oleh perusahaan akan diluncurkan. Ada semacam adrenalin yang berdenyut dalam setiap detik menjelang peluncuran itu, seperti sensasi berada di puncak rollercoaster yang siap meluncur.

Siang ini, tubuh Alvian mulai memberontak. Suhu tubuhnya meningkat, dan kepala terasa berat seperti dihimpit batu besar. Pola makan dan tidur yang berantakan, ditambah dengan tekanan pekerjaan, sepertinya mulai mempengaruhi kesehatannya.

"Lo mau mati disini?" suara Dylan memecah keheningan di ruang kerja. Dylan masuk dengan ekspresi kesal, menatap Alvian yang berbaring lemas di sofa.

Alvian hanya mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak peduli meski sebenarnya tubuhnya lemah. "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh," jawabnya sambil memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa tidak enak di seluruh tubuhnya.

"Lo tuh keras kepala banget sih," Dylan mengomel, suara geramnya terdengar jelas. "Gue udah nyuruh lo pulang dari tadi, malah ngeyel."

Alvian tersenyum kecil, meski butuh usaha lebih untuk melakukannya. "Apa bedanya di sini sama di rumah?"

"Bedalah!" Dylan membalas dengan nada frustasi. "Di rumah lo bisa rebahan di kasur, istirahat yang bener. Di sini cuma ada sofa!"

"Gue malas pulang," jawab Alvian jujur. Apalagi Laila seperti menghindarinya karena masalah Bella beberapa hari yang lalu.

"Kalau lo nggak mau pulang, ke rumah sakit aja sekalian!" Dylan berusaha keras membujuk, tapi nada suaranya menunjukkan kelelahan menghadapi kepala batu Alvian.

"Gue nggak mau!" tegas Alvian meski suaranya sedikit lemah. "Udah lah, lo keluar sana!" Ia mengusir Dylan dengan gerakan tangan yang lemah tapi pasti.

Dylan mendengus keras sebelum akhirnya keluar ruangan. "Dasar keras kepala! Kalau lo pingsan, gue nggak peduli lagi!" katanya sebelum menutup pintu dengan suara yang cukup keras.

Namun, kondisi Alvian tidak membaik. Sebaliknya, suhu tubuhnya terus naik, dan kepalanya semakin berat. Melihat keadaan itu, Dylan akhirnya memaksa Alvian untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, Dylan terus mengomel. "Gue heran gimana lo bisa mikir tetap kerja dalam kondisi kayak gini!" katanya geram.

Alvian hanya tersenyum tipis. Bahkan untuk tertawa kecil, ia tidak punya cukup tenaga.

"Bukan ke apartemen," gumam Alvian pelan, menyadarkan Dylan yang sudah mengarahkan mobil ke tempat tinggal lamanya.

"Lah, terus ke mana?" Dylan bertanya, bingung.

Alvian menyebutkan alamat rumah yang sekarang menjadi tempat tinggalnya bersama Laila. Dylan tampak terkejut. "Ha? Kapan pindah? Kok gue nggak tahu?"

Alvian tidak menjawab. Ia memejamkan mata, terlalu lelah untuk meladeni pertanyaan Dylan.

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan gerbang rumah. Pagar terbuka otomatis, mengenali mobil Alvian tanpa perlu turun. Dylan melirik ke sekeliling, tampak terkesima dengan rumah besar di depannya.

"Besar juga," gumam Dylan saat mobil memasuki halaman.

Setelah mematikan mesin, Dylan buru-buru keluar untuk membukakan pintu bagi Alvian. Ia membantu Alvian keluar dari mobil, menahan tubuh lemah temannya yang nyaris tidak mampu berdiri sendiri.

"Gue nggak akan mati," bisik Alvian, suaranya hampir tidak terdengar.

"Ya ya, semoga aja," Dylan menjawab dengan nada bercampur antara cemas dan kesal.

Mereka berjalan perlahan menuju pintu depan. Dylan berhenti sejenak di depan keypad pintu otomatis, menatapnya dengan bingung. "Apa pinnya?" tanyanya.

Belum ditekan, Laila yang berada di dalam rumah sudah langsung membukanya. "Apa yang terjadi?" tanya Laila dengan khawatir.

Dylan langsung menjelaskan dengan singkat. Laila mengarahkan Dylan untuk mengantar Alvian menuju ke kamar utama.

Dylan masih canggung dengan Laila. Jadi dia mengikuti arahan Laila. Dylan membantu Alvian membuka jas dan kaos kakinya, lalu menyelimuti tubuh sahabatnya itu tanpa diminta. Wajahnya masih menyiratkan kebingungan, tetapi tindakannya tetap penuh perhatian.

"Terima kasih," ujar Alvian lirih, matanya menatap Dylan dengan tulus.

"Hm," gumam Dylan singkat, meski raut wajahnya tetap serius. Dylan tidak bisa berlama-lama, dia harus kembali ke perusahaan.

Saat Dylan tidak ada lagi, Laila perlahan melepas hijab dan cadarnya, menampakkan wajah cemas yang sejak tadi ia sembunyikan. Ia mendekati Alvian yang masih terbaring lemah, tangannya ragu-ragu menyentuh dahi suaminya untuk memeriksa suhu tubuhnya.

"Mas, kenapa nggak bilang dari awal kalau sakit?" tanyanya dengan suara lembut, meskipun ada nada khawatir yang jelas.

Alvian berusaha tersenyum kecil meski sulit. "Aku nggak kenapa-kenapa," ujarnya, mencoba meyakinkannya.

Laila memutar matanya, ekspresinya setengah kesal, setengah cemas. "Nggak kenapa-kenapa gimana? Mas sampai jatuh sakit begini," kata Laila dengan nada memarahi yang lembut. Bibir mungilnya yang terkatup mencerminkan kebingungan di hatinya. Kekhawatiran yang seharusnya muncul justru tergantikan oleh rasa aneh yang tak terdefinisikan dalam hati Alvian. Alih-alih khawatir, ia justru merasa senang mendengar suara Laila.

"Lagi," ucap Alvian pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

"Apanya?" Laila mengerutkan kening, matanya menyipit seolah mencoba memahami maksudnya.

"Ngomelnya. Aku suka," jawab Alvian dengan senyum tipis.

Laila terdiam sejenak, lalu perlahan menyentuhkan tangannya ke dahi Alvian. Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan hangat itu.

"Beneran sakit ternyata," gumam Laila, nadanya berubah menjadi lebih lembut, meski keraguan masih tampak di matanya. Alvian nyaris tertawa. Tidak mungkin ia berpura-pura, terlebih ketika Dylan membawanya pulang dalam keadaan hampir pingsan.

"Aku beneran sakit, Laila," ujar Alvian dengan tenang, berusaha meyakinkannya.

"Apa tadi udah ke rumah sakit?" tanya Laila lagi.

Alvian hanya menggeleng pelan. "Tapi aku udah minum obat kok."

"Kenapa nggak ke rumah sakit?" desak Laila, kecemasannya semakin terlihat.

Alvian tetap diam, hanya menatap Laila dengan lemah. Tatapan cemas gadis itu membuat hatinya terasa hangat sekaligus bersalah. Laila akhirnya mengomel lagi, "Panas begini malah nggak ke rumah sakit. Jangan kayak gini, Mas."

Dengan sedikit tenaga, Alvian meraih tangan Laila, meletakkannya di dadanya. Laila terlihat kaget, namun tidak menarik tangannya. Sebaliknya, sentuhan itu membawa ketenangan bagi Alvian.

"Sakit," keluh Alvian pelan sambil menatap mata Laila yang gelisah.

"Apa yang sakit?" tanya Laila cemas.

"Ini," jawab Alvian sambil membawa tangan Laila lebih dekat ke dadanya.

Laila mengerutkan kening. "Mas, punya riwayat sakit jantung atau apa?" tanyanya, setengah bingung.

Alvian tersenyum tipis, menikmati momen tersebut. "Jangan abaikan aku," bisiknya dengan mata terpejam. "Bagian ini sakit karena kamu abaikan," lanjutnya, membuka mata untuk menatap wajah Laila.

Laila terlihat terdiam. Ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diartikan.

"Maaf..." hanya itu yang bisa diucapkannya. Suaranya lemah, seolah kata itu mampu sedikit meringankan bebannya. Alvian mengulanginya berkali-kali, berharap Laila mengerti betapa ia menyesal. "Maaf... Laila."

Laila tetap diam. Dia menatap suaminya yang terus-terusan meminta maaf, tapi entah meminta maaf untuk apa.

Mata Alvian mulai terasa berat. Tubuhnya menggigil. Perlahan, ia kehilangan kesadaran, namun tetap menggenggam tangan Laila.


***

BAB 19 Menciumnya

***

Alvian membuka mata perlahan, merasa sedikit bingung dengan keadaan di sekitarnya. Tidak ada cahaya matahari yang masuk melalui jendela; sepertinya matahari sudah terbenam. Ia terkejut, menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, mungkin karena efek obat yang ia minum saat masih di perusahaan kini mulai bekerja.

Namun, sesuatu yang dingin di dahinya menarik perhatiannya. Tangannya secara refleks menyentuh area tersebut dan menemukan handuk basah yang dilipat rapi. Siapa yang meletakkannya di sana? Pertanyaan itu segera melintas di pikirannya, memicu rasa ingin tahu.

Pandangan matanya beralih ke sisi ranjang. Di sanalah ia melihat Laila. Gadis itu duduk di lantai, tubuhnya sedikit membungkuk, dengan kepala bersandar di pinggir ranjangnya. Wajahnya tampak damai meskipun matanya terpejam. Namun, guratan kelelahan terlihat jelas di wajahnya yang sedikit kusam dan layu. Rambutnya, yang biasanya tertata rapi di balik hijab, kini sedikit berantakan, memberikan kesan lembut dan alami. Bahkan dalam kondisi itu, Laila tetap terlihat cantik.

Hati Alvian bergetar melihat pemandangan itu. Laila sudah merawatnya dengan baik. Padahal Alvian tidak memperlakukan Laila dengan baik. Dia merasa sangat bersalah sekali.

"Maaf..." lirih Alvian dengan rasa bersalah yang besar.

Dengan berat hati, Alvian bangkit dari ranjang. Tubuhnya terasa lengket, membuatnya memutuskan untuk membersihkan diri dengan air hangat. Ia melangkah perlahan menuju kamar mandi, tak ingin mengganggu Laila yang masih tertidur di sisi ranjang.

Di dalam kamar mandi, ia membasuh tubuhnya dengan cepat. Air hangat yang mengalir di kulitnya membantu menghilangkan rasa gerah dan memberikan sedikit rasa segar. Tidak lama kemudian, Alvian selesai. Ia melilitkan handuk di tubuhnya, mengeringkan sisa-sisa air di kulit, lalu keluar dari kamar mandi dengan langkah yang lebih ringan.

Tapi langkah Alvian langsung terhenti. Matanya membulat, terkejut melihat Laila yang sudah terbangun.

Alvian merasa canggung luar biasa. Laila, yang duduk di sisi ranjang, tampak salah tingkah. Pandangannya sempat bertemu dengan milik Alvian, namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menghindari kontak mata.

"Te-ternyata Mas sudah bangun," ucap Laila dengan suara bergetar. Pipinya yang sedikit memerah memberi kesan bahwa ia sedang menahan rasa malu, meskipun Alvian tak bisa memastikan apakah ada alasan lain di balik rona itu.

Alvian menggaruk tengkuknya, meskipun tidak terasa gatal, sebuah kebiasaan yang muncul saat ia gugup. Ia mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil yang terdengar kaku. "Iya, aku bangun. Tubuhku terasa lengket, jadi tadi bersih-bersih sebentar," ujarnya dengan nada datar.

Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka. Tak ada yang tahu harus berkata apa. Dalam hati, Alvian menertawakan dirinya sendiri. Situasi ini membuatnya merasa seperti orang bodoh—berdiri di sana hanya mengenakan handuk, di depan istrinya sendiri, tapi tetap merasa lebih gugup daripada yang seharusnya.

"Ka-kalau begitu, aku keluar dulu," Laila akhirnya berkata, suaranya terdengar terburu-buru. Ia beranjak hendak pergi, namun sebelum ia sempat melangkah, Alvian tanpa sadar mengulurkan tangan. Ia menggenggam pergelangan tangan Laila, menghentikan langkahnya seketika.

Laila membeku di tempatnya, menatap Alvian dengan ekspresi campuran antara bingung dan kaget. Sementara itu, Alvian sendiri tidak yakin apa yang mendorongnya untuk melakukan itu. Ia hanya tahu bahwa ia tidak ingin Laila pergi begitu saja.

Laila terkejut dan menatap Alvian dengan kebingungan. "Kenapa, Mas?" tanyanya dengan nada yang penuh tanya.

Alvian langsung melepaskan genggamannya, merasa gugup luar biasa. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, meskipun ekspresinya menunjukkan bahwa dia kehilangan kendali atas situasi tersebut.

Laila sempat ragu sejenak, namun akhirnya mencoba melanjutkan langkahnya. Namun, kali ini Alvian semakin nekat. "Tanganku sakit," ucapnya tiba-tiba, yang membuat Laila kembali berbalik dengan ekspresi penuh perhatian.

"Mana yang sakit?" tanya Laila, segera mendekat.

Alvian mengangkat pergelangan tangannya, yang memang memerah akibat insiden kecil di kamar mandi tadi. "Ini..." katanya, sambil menunjukkannya, berharap Laila akan percaya sepenuhnya.

Laila menatap tangannya dengan serius. "Ya ampun, Mas. Kenapa bisa merah gini? Tadi di kamar mandi kamu ngapain?" tanya Laila, suaranya terdengar khawatir dan penasaran.

Alvian hanya menggeleng pelan, dengan wajah dibuat sesedih mungkin. Dia tidak punya keberanian untuk mengakui kebodohannya.

"Bisa digerakin nggak?" tanya Laila lagi, wajahnya kini semakin serius.

"Sakit," jawab Alvian, sambil mengerutkan dahi untuk meyakinkan Laila.

Laila menghela napas panjang. "Lebih baik kita ke rumah sakit, Mas. Bahaya kalau ternyata tulangnya kenapa-kenapa."

Alvian langsung menggeleng keras. "Aku nggak mau ke rumah sakit."

"Tapi—"

"Aku nggak suka rumah sakit, Laila," potong Alvian cepat, menatap Laila dengan ekspresi keras kepala.

Laila tampak ingin membantah, namun akhirnya mengalah. "Baiklah, kalau tambah sakit bilang ya?" ujarnya, menyerah untuk kali ini.

Alvian mengangguk dengan penuh kepura-puraan.

Setelah itu, Laila keluar kamar dengan alasan ingin mengambil handuk dan es batu untuk mengompres tangan Alvian. Begitu pintu tertutup, Alvian merasa seperti pemenang dalam permainan kecil ini. Perhatian Laila membuatnya senang sekali.

Bahkan, saat Laila pergi, Alvian dengan sengaja menggesekkan pergelangan tangannya pada sisi tempat tidur agar terlihat semakin merah. Betapa kekanak-kanakannya dia, namun dia tidak peduli. Jika ini bisa membuat Laila semakin memperhatikannya, dia rela terlihat bodoh.

Tidak lama kemudian, Laila kembali. Ia tampak ragu untuk berbicara, dan Alvian bisa melihatnya. Maka, Alvian memutuskan untuk bertanya, "Kenapa?"

Laila mengalihkan pandangannya. "Apa Mas tidak kedinginan?"

Alvian hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia tidak sadar hanya mengenakan handuk. Ia bertanya-tanya apakah Laila akan merasa ilfeel padanya, namun dia cukup percaya diri dengan tubuhnya yang terlihat bagus.

"Tanganku sakit, jadi sulit pakai baju," jawab Alvian asal, tidak ingin semakin malu.

"Tapi Mas bisa masuk angin kalau tidak pakai baju."

"Terus gimana? Tanganku sakit." Alvian memasang wajah sedih. "Apa kamu mau bantu?" tanyanya, berharap Laila akan menolaknya.

"Dimana letak baju, Mas?" tanya Laila, yang membuat Alvian hampir berteriak. Ternyata Laila tidak menolaknya. Alvian buru-buru membuka lemari dengan tangan yang lain.

Laila tampak malu. Alvian bisa melihat rona merah di wajahnya. Mungkin ini pertama kalinya Laila membuka lemari laki-laki yang bukan anggota keluarga.

"Yang itu..." tunjuk Alvian sambil menahan senyum. Laila tampak ragu mengambilkan pakaian Alvian, termasuk pakaian dalamnya. Namun pada akhirnya, Laila mengambilnya juga.

Alvian dan Laila sudah sangat dekat. Laila dengan telaten membantunya mengenakan pakaian. Tentu saja, saat mengenakan pakaian dalam, Laila menghindari menatap Alvian, namun setidaknya Laila sudah berani. Alvian tidak ingin hubungan ini berhenti di tempat, dan berharap ada kemajuan. Setidaknya Laila tidak takut lagi padanya.

Saat mengancingkan baju tidur Alvian, ia bisa melihat jelas perbedaan tinggi di antara mereka. Alvian tersenyum, jantungnya berdebar tak terkendali.

Alvian menyukainya. Bahkan, ia sengaja memperpendek jarak di antara mereka. Ia ingin menyentuhnya, memeluknya, dan menciumnya. Ia sudah terbuai dengan pesona Laila.

"Laila..." lirih Alvian dengan suara serak.

"I-iya, Mas."

"Aku ingin menciummu," ujarnya, dengan suara yang agak kurang ajar.

Laila hanya diam. Bahkan, ia mencengkram pakaian Alvian karena gugup. "Kamu boleh menolaknya jika tidak ingin... Pergilah."

Alvian sudah menyiapkan hati jika ditolak. Namun ternyata, Laila tidak bergerak pergi. Apakah dia sudah diberi lampu hijau? Alvian menyentuh dagunya dengan jari jempol dan telunjuk, kemudian mendorong dagunya agar lebih terangkat, sehingga dia bisa melihat wajah Laila dengan jelas. Alvian menundukkan sedikit kepala karena perbedaan tinggi mereka. Dia tidak bisa lagi berhenti. Ia sangat mendambakannya dan akhirnya, Alvian benar-benar menciumnya

***

BAB 20 Ketakutan

***

Hubungan Laila dan Alvian mengalami peningkatan. Bahkan Alvian sudah jarang marah-marah seperti awal-awal pernikahan mereka. Laila sedang berada diruangan kerja sang suami. Hal ini dikarenakan hari ini menjadi hari dimana game yang diproduksi perusahaan milik Alvian rilis.

Lokasi acara sudah dipenuhi dengan berbagai kalangan baik dari para profesional di industri game, pengusaha, influencer, hingga media yang meliput. Suasana di venue terasa begitu hidup, dihiasi dengan backdrop berkilau yang memamerkan logo game mereka. Ada layar besar di belakang panggung, memperlihatkan cuplikan game yang akan dirilis.

Dua orang yang menjadi sorotan utama tak hanya di acara ini, tapi juga di media sosial dan media massa, hadir dengan penuh gaya. Mereka adalah dua esports influencer ternama yang memiliki pengikut lebih dari jutaan orang di berbagai platform sosial media. Mereka tidak hanya populer, tapi juga sudah berpengalaman dalam kompetisi internasional. Kedua influencer tersebut pernah menjuarai berbagai turnamen bergengsi, sehingga sangat berpengaruh terhadap popularitas game-game yang mereka endorse.

Uang yang Alvian keluarkan untuk mendapatkan mereka sebagai brand ambassador selama satu tahun bukanlah jumlah yang sedikit. Namun, dia percaya bahwa investasi ini akan sangat menguntungkan bagi perusahaan. Jika game mereka mendapat sambutan baik dari para pemain dan menghasilkan banyak keuntungan, maka kontrak mereka pasti akan diperpanjang. Semua upaya dan biaya ini menjadi pertaruhan besar bagi perusahaan, tapi Alvian yakin mereka akan berhasil.

Di tengah kesibukan yang hampir tak henti-hentinya, Alvian tetap berusaha untuk menyambut setiap tamu penting yang datang. Kakek yang dulu sangat menentang perusahaan dan bisnis ini, yang sempat meragukan visi mereka, akhirnya datang juga. Alvian tahu bahwa kedatangannya bukan untuknya, bukan untuk perusahaan, melainkan lebih karena kehadiran cucu dan menantunya, yaitu Laila. Meski perasaan mereka agak tegang saat bertemu, Alvian tetap menunjukkan sikap profesional. Kehadiran kakek di acara ini cukup berharga. Itu juga menjadi simbol bahwa dia telah melewati banyak rintangan dalam perjalanan ini, dan kini perusahaannya telah diakui, meski masih ada yang meragukannya.

"Selamat datang," sambut Alvian kepada beberapa tokoh penting yang hadir. Dia berusaha menjaga senyum dan sikap terbuka, meski di dalam hatinya merasa gugup. Tidak mudah untuk berada di posisi ini, apalagi dengan begitu banyak yang mengamati setiap langkah mereka.

"Semoga perusahaan Anda meraih kesuksesan," ucap beberapa tamu yang hadir dengan penuh harapan. Mereka semua terlihat berharap bahwa game ini akan sukses dan membawa perubahan besar. Alvian mengangguk, mengucapkan banyak terima kasih, dan mencoba menyampaikan bahwa ini bukan hanya pencapaian untuknya, tetapi juga untuk seluruh tim yang bekerja keras di balik layar.

Di antara keramaian dan perbincangan yang terjadi, Alvian bisa merasakan betapa besar harapan yang diletakkan di pundak perusahaan ini.

Kakek tampak serius, bahkan lebih fokus pada pencarian Laila daripada memberi ucapan selamat seperti kebanyakan tamu. Alvian bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar keingintahuan biasa. Mungkin kakek merasa ada hal yang lebih penting yang ingin dia pastikan.

"Dimana Laila?" tanya kakek lagi, suaranya sedikit tegas.

Alvian tersenyum tipis. Jika dilihat dari ekspresinya, kakek tidak peduli dengan keberhasilan acara ini, melainkan lebih tertarik pada Laila.

"Kata kamu, Laila datang. Dimana dia?" tanya kakek lagi dengan nada sedikit tidak sabar.

Alvian menghela napas pelan. "Masih di ruanganku," jawabnya dengan santai, berusaha tidak menunjukkan sedikit pun ketegangan. Kakek, dengan segala keseriusannya, selalu memiliki cara untuk membuat Alvian merasa seperti anak kecil yang perlu diperhatikan.

"Apakah kakek tidak memberi ucapan selamat lebih dulu?" Alvian mengalihkan pembicaraan, berusaha menambah sedikit humor untuk meringankan suasana.

Namun, kakek hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. "Apa kamu butuh?" tanya kakek balik, tanpa ekspresi.

Alvian tersenyum dan tertawa kecil. Tentu saja, dia tidak menginginkan ucapan selamat dari kakek, apalagi kakek adalah orang yang lebih suka menunjukkan perhatian dengan cara yang berbeda. "Baiklah. Kakek tidak perlu melakukannya," jawab Alvian sambil mengangkat bahu, sedikit mengerjap, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Selamat, Pak Alvian." Seseorang datang dan langsung mengulurkan tangan. Alvian menyambutnya dengan senang hati. "Terima kasih, Pak."

"Saya harap game yang dirilis bisa terkenal baik di dalam negeri maupun di luar negeri," ujarnya lagi.

Alvian mengaminkan hal tersebut. "Iya, Pak. Semoga begitu. Terima kasih juga atas dukungan pemerintah terhadap perusahaan saya."

Pak Hardi tersenyum. "Tentu saja. Apalagi karakter game kali ini menggunakan budaya-budaya lokal sehingga pemerintah harus mendukungnya."

"Selamat, Pak." Seseorang di samping Pak Hardi juga mengucapkan selamat. Alvian ingat, dia adalah anak Pak Hardi.

"Iya, Sama-sama. Silahkan nikmati acaranya."

Sudah banyak yang datang. Acara perilisan akan segera dimulai. Alvian harus menjemput Laila lebih dulu. Bagaimanapun Laila hanya akan datang sebentar di sini. Mungkin hanya sampai Alvian berbicara di depan saja. Setelah itu dia akan kembali ke ruangannya.

"Gue jemput Laila dulu ke atas," ujarnya pada Dylan.

"Ok." Dylan mengangguk.

Alvian melangkah menuju ke ruangan. Saat membuka pintu, dia melihat Laila yang terlihat panik. "Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.

"Apa tidak apa-apa kalau aku turun? Aku takut malah mengacaukan acaranya."

Alvian tersenyum. "Tidak apa-apa. Jangan berpikir negatif."

"Tapi aku takut."

Alvian memegang kedua pipinya. "Tidak apa-apa. Kakek juga sudah menunggu di bawah."

Alvian mengambil kain cadar Laila dan membantunya untuk mengenakan kain itu. Kini hanya mata Laila saja yang terlihat. "Kamu terlihat cantik," pujinya.

Laila hanya menunduk karena malu atas pujian yang Alvian lakukan dengan tiba-tiba.

Alvian memegang tangan Laila dan membawanya ke tempat acara dilakukan. Tentu saja banyak pasang mata yang melihat. Kakek menjadi orang yang paling antusias.

"Cucu menantuku," ujar kakek.

"Apa kabar kakek?" tanya Laila sambil menyalami tangan kakek.

"Alhamdulillah, Baik. Kamu bagaimana? Apa Alvian melakukan hal buruk?"

Alvian mendengus kesal. Selalu saja itu-itu saja yang dikatakan.

"Tidak, Kek. Mas Alvian memperlakukan saya dengan baik," jawab Laila.

"Baguslah." Kakek lega.

Kakek menjawab pertanyaan beberapa orang yang memastikan apa Alvian sudah menikah atau belum. Tentu saja kakek menjelaskan dengan antusias. Bahkan dia memuji Laila.

Alvian tidak melepaskan Laila sama sekali. Tapi seseorang mendekat padanya. Padahal tadi dia sudah mengucapkan selamat.

Alvian memperhatikan Laila yang tiba-tiba tampak gelisah, tubuhnya mulai terasa panas dingin. Dia bisa merasakannya dengan jelas karena tangannya menggenggam tangan Laila. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa. Rasanya seolah ada ketegangan yang membekap ruang ini. Alvian menatapnya sebentar, mencoba memahami apa yang terjadi, dan kemudian dia melihat Ethan yang tiba-tiba mendekat.

Ethan, sosok yang baru Alvian kenal, tampaknya mengamati Laila dengan pandangan yang aneh, seperti ada sesuatu yang belum Alvian ketahui. Alvian hanya mengenalnya sebagai anak menteri yang datang ke acara ini. Dia tampak ramah, tapi ada sesuatu di dalam tatapannya yang membuat Alvian merasa tidak nyaman.

"Ada apa, Pak Ethan?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang menegangkan. Alvian ingin memastikan tidak ada yang salah.

Ethan hanya tersenyum samar dan menjawab, "Ah... tidak apa-apa." Namun, matanya tetap mengarah ke Laila, tidak bisa lepas dari sosoknya. Tatapan itu membuat Alvian semakin curiga. Dia bisa melihat Laila yang tiba-tiba mundur sedikit, bersembunyi di belakang tubuh Alvian. Wajahnya terlihat pucat, dan Alvian bisa merasakan ketegangan di tubuhnya. Sungguh aneh, ada sesuatu yang tak terkatakan di antara mereka.

"Apa Bapak tidak ingin memperkenalkan istri Bapak?" Ethan bertanya, suaranya terdengar ringan, namun ada sesuatu yang menggelitik dalam intonasinya.

Alvian mengerutkan kening, merasa tidak nyaman. "Maaf, Pak Ethan. Istri saya sedikit pemalu," jawabnya cepat, mencoba mengalihkan perhatian. Alvian tidak ingin memperkenalkan Laila lebih lanjut dalam situasi yang tidak nyaman ini.

***

BAB 21 Trauma

***

Jantung Laila berdetak dengan cepat. Keringat dingin keluar. Dia berusaha menyembunyikan diri dibalik tubuh Alvian. Perubahan Laila yang terjadi secara tiba-tiba membuat Alvian bertindak lebih cepat.

"Maaf, Pak. Saya dan istri saya ingin kesana," ujar Alvian.

Ethan mengangguk. Tapi matanya tidak lepas dari Laila. Alvian membawa Laila ke tempat yang lumayan sepi.

"Laila, apa kamu baik-baik saja?" tanya Alvian dengan nada lembut, mencoba menelisik kecemasan di wajah istrinya. "Kalau tidak, lebih baik kita pu—"

"Tidak apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja," potong Laila cepat, suaranya terdengar bergetar meski ia berusaha terlihat tenang.

Dalam hatinya, Laila ingin sekali menjauh dari ruangan ini. Namun, ia tahu tidak mungkin pergi begitu saja. Sebentar lagi, Alvian akan maju ke depan untuk menyampaikan kata sambutan dan ucapan terima kasih. Ia harus bertahan, bagaimanapun gemuruh ketakutan di dadanya menuntutnya untuk lari.

"Saya baik-baik saja, Mas," ulangnya, kali ini dengan senyum tipis yang dipaksakan.

Alvian memandangnya lekat, seolah mencoba membaca lebih dalam dari kata-kata itu. Akhirnya, ia menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi setelah aku selesai berbicara, kita langsung pulang, ya?"

Laila mengangguk pelan, tanpa kata. Tatapannya jatuh ke lantai, seakan mencari kekuatan yang tersisa. Dia ingin selalu berada di sisi Alvian, tapi langkahnya terasa terlalu berat untuk mengiringinya ke depan panggung. Saat Alvian berdiri, dia membungkuk dan mencium punggung tangan Laila, senyum hangatnya menyelinap masuk ke hati istrinya, meskipun hanya sesaat.

Alvian kemudian melangkah menuju podium, langkahnya mantap namun matanya sesekali menoleh ke belakang, memastikan Laila tetap baik-baik saja. Laila berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel di dinding, berusaha menghindari tatapan orang-orang. Hatinya dipenuhi rasa malu yang tak bisa dijelaskan. Namun, matanya tetap terpaku ke arah Alvian, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari bibir suaminya.

Di depan, Alvian berbicara dengan penuh percaya diri, tapi tak pernah sepenuhnya melupakan Laila. Pandangannya sesekali mencuri arah ke istrinya, memastikan keberadaannya adalah jangkar yang tetap menguatkan mereka berdua.

"Ah, ternyata boneka cantikku kini bersama bajingan lain," suara dingin dan penuh ejekan tiba-tiba terdengar di belakang Laila.

Jantung Laila seolah berhenti sejenak sebelum berdetak liar, hampir melompat keluar dari dadanya. Dia mengenali suara itu, suara yang telah menghantui mimpi buruknya selama sembilan tahun terakhir. Tubuhnya terasa membeku, seakan kakinya tertanam dalam bumi yang menolaknya untuk bergerak. Nafasnya tertahan, seolah udara di sekitarnya mendadak menghilang.

Ethan adalah sosok yang menghancurkan hidupnya, meninggalkan bekas luka yang tidak pernah sembuh. Dia berdiri begitu dekat sehingga Laila bisa mencium aroma kolonya yang memuakkan, aroma yang dulu selalu ia kaitkan dengan rasa takut dan keputusasaan.

"Apa kamu kira aku tidak mengenalimu, meskipun bersembunyi di balik kain?" Ethan melanjutkan, nadanya penuh penghinaan. Matanya menyapu tubuh Laila seperti predator yang menatap mangsanya. Kain yang dimaksud Ethan adalah cadar yang melekat pada wajah Laila.

Laila mencoba berbicara, meski suaranya hampir tidak keluar. "Apa maksud Anda?" gumamnya, berusaha terlihat tegar. Namun, gemetar pada suaranya mengkhianati rasa takut yang menguasainya.

"Suara kamu masih sama, Sayang. Merdu sekali sampai membuatku gila," balas Ethan. Ia tersenyum miring, senyuman yang membuat darah Laila membeku. "Jangan bodoh, Laila. Aku bisa mengenali boneka cantikku bahkan jika kamu bersembunyi di balik bayangan sekalipun," lanjutnya lagi.

Laila merasa gemetar tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Wajah Ethan begitu dekat, membuatnya merasa terjebak. Semua kenangan kelam itu kembali, memenuhi pikirannya seperti banjir yang menghancurkan benteng-benteng yang selama ini coba ia bangun.

"Aku sudah mencarimu dengan susah payah, tapi ternyata kamu datang sendiri ke hadapanku. Kamu tidak lupa bukan dengan malam panjang yang kita habiskan bersama?" Ethan tersenyum penuh kemenangan.

Tenggorokan Laila terasa kering. Dia ingin berteriak dan mengatakan kepada orang-orang bahwa Ethan pernah menodainya. Tapi dia tidak bisa melakukan itu.

"Bagaimana rasanya, Laila, hidup dengan bajingan yang berani merebut sesuatu yang bukan miliknya?" bisik Ethan dengan suara rendah, tapi tajam seperti pisau. "Membayangkan dia sudah menyentuh kulit putih mulusmu saja sudah membuat aku gila. Aku seharusnya membunuhnya malam ini. Memutilasi tubuhnya bagian demi bagian... Bajingan itu tidak pantas menyentuh bonekaku."

Laila tersentak, rasa takut berubah menjadi kepanikan yang menyesakkan dadanya. Nafasnya menjadi tidak beraturan, matanya mencari-cari sosok Alvian di depan panggung, seakan memohon perlindungan darinya meskipun mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Tapi Laila tahu, dia tidak boleh menunjukkan kelemahannya. Ini adalah acara Alvian, dan dia tidak boleh menghancurkannya.

"Ke-kenapa Anda ada disini?" tanya Laila dengan berani.

Ethan tertawa kecil. "Apa kamu kira aku masih berada dirumah sakit jiwa?"

"Jangan naif, cantik," lanjutnya lagi.

Tangan Laila semakin gemetar, kakinya seperti lumpuh, dan setiap kata yang ingin dia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Dia hanya bisa berdiri di sana, membeku dalam ketakutan, sementara Ethan menatapnya dengan tatapan yang sama seperti sembilan tahun lalu: penuh kekuasaan dan ancaman.

"Tenang, Laila. Aku akan segera mengambilmu dari bajingan itu. Aku akan mengurungmu di tempat yang tidak akan ada orang yang tau. Kita bisa menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan."

Laila menggeleng. "Ti-tidak... ti-dak..."

Ethan hanya tertawa saja seperti orang gila.

Disisi lain hati Alvian mencengkeram seketika, seperti ada alarm bahaya yang berdering di dalam dirinya. Matanya menyipit saat memperhatikan bagaimana Ethan mencondongkan tubuh, berbicara dengan sesuatu yang jelas membuat istrinya membeku dalam ketakutan. Alvian bisa melihatnya dari atas podium.

Rasa khawatir memuncak. Alvian berusaha tetap tenang, menyelesaikan kalimatnya di depan audiens. Tapi kata-kata berikutnya terdengar hampa di telinganya sendiri. Pikirannya hanya tertuju pada Laila dan apa yang sedang terjadi di sana..

Alvian mengakhiri sambutannya lebih cepat dari rencana. Dia mengucapkan terima kasih singkat kepada para tamu sebelum turun dari podium dengan langkah cepat. Dia tidak peduli pada tatapan heran dari beberapa tamu; satu-satunya fokusnya adalah Laila.

Ethan sudah tidak ada lagi. Saat Alvian sudah ada didekat Laila, dia nyaris terjatuh ke lantai. Tapi Alvian dengan cepat menangkap tubuhnya.

"Apa yang terjadi?" suara Alvian terdengar lembut di telinganya. Ia tampak cemas, tapi tetap menjaga nada suaranya agar tak menarik perhatian para tamu.

Laila menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir meledak. "Pu... pulang," suaranya nyaris tidak terdengar.

Alvian memandangi istrinya. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi jelas ada sesuatu yang salah. Laila menggenggam lengan Alvian erat-erat, tangannya dingin seperti es. Tanpa bertanya lebih lanjut, Alvian mengangguk dan segera membawanya keluar dari pesta itu.

Di dalam mobil, Laila tetap diam. Ia memeluk tubuhnya sendiri, lalu mulai menggosok kedua lengannya dengan kasar. Gerakannya tergesa-gesa, seperti mencoba menghapus sesuatu yang tidak terlihat.

"Laila...?" Alvian mencoba bertanya lagi. Nada suaranya hati-hati, takut memperburuk keadaan. Tapi istrinya tetap tidak menjawab.

Napas Laila terdengar tidak beraturan, seperti orang yang baru saja berlari jauh. Matanya terpaku ke luar jendela, tapi pikirannya jelas tidak berada di sana. Sesekali, ia mengusap wajahnya dengan gemetar, lalu kembali menggosok lengan dan tubuhnya.

"Laila, apa kamu sakit? Tolong beritahu aku," Alvian memohon. Ia memperlambat laju mobil, merasa tidak tega melihat kondisi istrinya yang tampak begitu hancur.

Namun, Laila hanya menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir tanpa suara. Tangisnya sunyi, tapi kepedihan yang terpancar dari wajahnya terasa seperti jeritan yang menggema di hati Alvian.

Sesampainya di rumah, Laila langsung berlari ke kamar mandi tanpa sepatah kata. Pintu terkunci dengan keras. Alvian mendekati pintu, mencoba berbicara dari luar. "Laila, apa yang terjadi? Kumohon, buka pintunya."

Tidak ada jawaban. Dari dalam, hanya terdengar suara air mengalir, bercampur dengan isakan pelan.

Laila berdiri di bawah pancuran air dingin, membiarkan tubuhnya basah kuyup. Ia menggosok kulitnya dengan kuat, hingga terasa perih. Tapi perasaan itu tidak hilang. Jejak Ethan, ingatan tentang malam kelam itu, masih ada.

"Kenapa tidak bisa hilang..." gumam Laila lirih, air matanya bercampur dengan air dari pancuran. Ia merasa kotor, jijik, dan hancur.

Di luar, Alvian masih menunggu. Ia tahu ada sesuatu yang besar yang disembunyikan Laila darinya, sesuatu yang tidak mampu ia pahami.

Alvian mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak bisa diam saja. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Laila tiba-tiba ketakutan.

***

BAB 22 Perubahan

***

Sejak hari peluncuran game, ada perubahan yang sangat terasa dalam diri Laila. Perubahannya begitu mendalam, hingga membuat Alvian bingung. Laila yang biasanya ceria dan selalu ada untuknya kini menjadi lebih tertutup. Dia mengurung diri di kamar sepanjang waktu, bahkan ketika Alvian mencoba membujuknya untuk keluar, dia hanya menyuruhnya pergi dengan nada yang berbeda.

Setiap kali Alvian mengetuk pintu kamar dan memintanya berbicara, Laila tidak menjawab atau hanya meminta Alvian untuk meninggalkannya. Alvian khawatir ada yang tidak beres, baik secara fisik maupun mental, namun setiap kali ia menyarankan untuk membawa Laila ke rumah sakit, dia menolak keras. "Aku baik-baik saja, Mas. Tolong jangan paksa aku," kata Laila, suaranya terdengar rapuh, seperti ada beban berat yang disembunyikan.

Yang paling membuat Alvian sedih adalah kehilangan kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu dilakukan Laila untuknya. Dulu, saat Alvian mengeluh lapar, Laila akan bergegas ke dapur meski sudah larut malam. Namun kini, Laila hanya berkata singkat, "Beli saja di luar, Mas." Itu bukan Laila yang Alvian kenal. Terkadang, Laila berbicara lembut seperti biasa, namun di lain waktu, sikapnya terasa dingin. Alvian tak tahu apa yang terjadi, namun satu hal yang ia harapkan adalah agar Laila mau berbicara padanya, membuka dirinya meski sedikit saja.

Pikiran tentang Laila terus mengganggu Alvian, dan saat ia tengah melamun, Dylan datang dan mengalihkan perhatiannya. "Lo kenapa?" tanya Dylan, bingung melihat Alvian yang terlihat tertekan.

"Ah, nggak apa-apa," jawab Alvian singkat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Dylan menatap Alvian dengan curiga. "Ada apa sih? Jangan kayak cewek deh, bilang nggak ada apa-apa padahal jelas ada sesuatu."

Alvian mencoba mengalihkan pembicaraan. "Game FH gimana perkembangannya? Jumlah download hari ini naik lagi, nggak?" tanyanya, berharap bisa berbicara tentang hal lain.

Dylan menjelaskan dengan rinci tentang perkembangan game, namun Alvian bisa merasakan mata Dylan terus mengawasi wajahnya. Akhirnya, Dylan berkata, "Bahas lo dulu. Gue tahu lo lagi nggak baik. Game lo sukses besar, tapi lo malah kelihatan kayak orang kalah taruhan. Kenapa lo nggak kelihatan senang?"

Alvian mencoba tersenyum, tapi Dylan dengan cepat menyadari bahwa senyum itu palsu. "Palsu amat senyum lo," katanya.

Alvian akhirnya menyerah, dan berhenti mencoba menyembunyikan perasaannya. Kepalanya terasa berat memikirkan perubahan sikap Laila yang semakin membuatnya khawatir. Ia memijat pangkal hidungnya, berusaha mengatasi pusing yang mulai menyerang.

Setelah Dylan pergi, Alvian kembali merenung sendirian. Pikiran tentang perubahan Laila semakin mengganggu. Ia mencoba menganalisis, dan mengingat kembali saat-saat sebelum acara perusahaan. Laila tampak baik-baik saja. Bahkan mereka sempat bercanda. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang berubah, khususnya saat Ethan datang mendekat.

Saat Alvian berdiri di podium, Ethan kembali mendekati Laila. Alvian melihat Laila tampak ketakutan, tubuhnya gemetar dan dia memeluk dirinya sendiri seperti seseorang yang berusaha melindungi diri.

Alvian kemudian mulai mencari informasi di internet, mencari tahu apakah ada penjelasan yang rasional untuk perubahan sikap Laila. Hasil pencariannya menunjukkan kemungkinan gangguan kecemasan. Namun, Alvian merasa semakin bingung. Laila tidak menunjukkan gejala gangguan kecemasan saat pertama kali datang ke acara perusahaan. Jadi, ada sesuatu yang lebih dari itu.

Pikirannya akhirnya tertuju pada Ethan. Meskipun tak ada hubungan langsung, Alvian merasa curiga. Ia segera menghubungi Ryan dan meminta agar Renal datang ke ruangannya.

Renal datang, dan Alvian memberinya tugas untuk menyelidiki Ethan. Ia meminta Renal untuk mencari tahu tentang latar belakang Ethan, termasuk apakah ada hubungannya dengan rumah sakit jiwa atau sesuatu yang mencurigakan.

Setelah Renal pergi, Alvian merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, dan ia tak bisa begitu saja membiarkan semuanya tanpa mencari tahu lebih dalam tentang Ethan dan apa yang sebenarnya terjadi pada Laila.

***

Alvian sudah membuat janji dengan dokter Gian. Dokter Gian adalah dokter psikater dan menjadi dokter Alvian kalau dia susah sekali tidur. Alvian tentu saja tidak bisa diam. Jadi tahap awal dia mencari beberapa informasi dari internet. Dia bahkan bertanya kepada dokter secara online dan jawaban yang dia temukan adalah Laila mengalami gangguan kecemasan.

Alvian berdiri di depan rumah sakit, memandang bangunan yang tampak tenang. Dokter Gian biasanya hanya berpraktek pada hari-hari tertentu, dan hari ini, Alvian datang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Laila. Meskipun Laila mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, Alvian merasa ada yang salah. Ia tahu bahwa gangguan kecemasan sering kali disebabkan oleh trauma, dan ia ingin mendapatkan penjelasan yang lebih jelas dari seorang profesional.

Setelah mendaftar online, nomor antrian Alvian sedikit lebih cepat. Tak lama kemudian, perawat memanggil namanya, "Pak Alvian, silakan masuk."

Alvian berdiri dan melangkah masuk ke ruang konsultasi. Ruangan itu nyaman, dengan sofa empuk dan dekorasi yang sederhana, memberi kesan yang tenang. Dokter Gian, pria berusia sekitar empat puluhan dengan senyum hangat, menyambutnya dari balik meja.

"Silahkan duduk, Pak Alvian," kata dokter Gian, mengisyaratkan kursi di hadapannya.

Alvian duduk dan mencoba mengatur napas. "Terima kasih, Dokter."

"Jadi, apa yang mengganggu Anda? Kenapa Anda datang ke sini?" tanya dokter Gian dengan suara penuh perhatian.

Alvian sedikit gugup. "Ini tentang istri saya, Dok. Belakangan ini, dia berubah. Dia lebih sering mengurung diri di kamar, menolak bicara, dan bahkan terlihat ketakutan tanpa alasan yang jelas."

Dokter Gian mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Apakah ada peristiwa tertentu yang terjadi sebelum perubahan itu?"

Alvian mengangguk. "Ya, Dok. Perubahan ini mulai terjadi setelah acara perilisan game di perusahaan saya. Laila tampak baik-baik saja selama acara, meski sedikit canggung. Tapi setelah itu, semuanya berubah."

Dokter Gian mengerutkan kening. "Apakah dia pernah mengalami sesuatu yang traumatis di masa lalu? Trauma bisa menjadi pemicu gangguan kecemasan atau PTSD."

Alvian berpikir sejenak, mengingat masa lalu Laila yang jarang dibicarakan. "Jujur, Dok, saya tidak tahu pasti. Laila jarang membicarakan masa lalunya. Namun, ada seseorang di acara itu yang tampaknya membuatnya tidak nyaman."

"Apakah Anda tahu siapa orang itu atau apa yang terjadi di antara mereka?"

Alvian menggelengkan kepala. "Tidak, Dok. Saya hanya melihat Laila tampak ketakutan ketika bertemu dengan pria itu. Saya tidak sempat bertanya karena situasinya tidak memungkinkan."

Dokter Gian mengangguk paham. "Dari cerita Anda, saya menduga istri Anda mengalami gangguan kecemasan atau bahkan trauma yang terpicu oleh kejadian di acara itu. Namun, untuk memastikannya, saya perlu bertemu langsung dengan istri Anda."

Alvian menghela napas panjang. "Itulah masalahnya, Dok. Laila menolak keluar kamar, apalagi pergi ke rumah sakit."

Dokter Gian menatap Alvian dengan serius. "Pak Alvian, hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah membangun kembali rasa aman untuknya. Yakinkan dia bahwa Anda ada di sisinya, bahwa Anda mendukungnya tanpa syarat. Ketika dia merasa cukup nyaman, coba ajak dia ke sini. Saya bisa membantu lebih banyak jika bisa berbicara langsung dengannya."

Alvian mengangguk pelan, meskipun tahu bahwa hal itu tidak akan mudah. "Baik, Dok. Saya akan mencoba. Tapi, jika dia tetap menolak?"

"Jika dia tetap menolak, kita bisa mempertimbangkan konsultasi rumah atau telemedicine. Yang terpenting adalah dia tahu bahwa dia tidak sendirian dan jangan terlalu memberikan tekanan," jawab dokter Gian.

Alvian merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan dokter Gian. Meskipun belum ada solusi langsung, ia tahu bahwa langkah pertama adalah memberi Laila rasa aman dan mendukungnya untuk mengatasi perasaannya. Namun, jalan di depan masih panjang, dan Alvian siap berusaha lebih keras untuk membantu Laila.

 
***

BAB 23 Mencoba Kuat

***

Tubuh Laila selalu memberi sinyal ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Setiap malam, ia berdiri di depan jendela kamar, mengintip dengan mata penuh kewaspadaan. Tidak ada siapa pun di luar, hanya bayangan gelap malam dan cahaya remang lampu jalan. Namun, bagi Laila, pemandangan itu tidak memberikan ketenangan. Ia yakin ada seseorang di luar sana, mengawasi, menunggu saat yang tepat untuk mencengkeram hidupnya sekali lagi.

Siapa lagi yang ditakutkannya selain Ethan? Lelaki itu telah menjadi bayangan kelam yang tak pernah bisa ia lupakan. Obsesi Ethan terhadap Laila melampaui batas kewarasan. Sembilan tahun yang lalu, pria itu menciptakan neraka bagi Laila. Ia mengurungnya selama berhari-hari, membuat setiap detik terasa seperti siksaan yang tak berujung. Tidak ada cahaya, tidak ada harapan, hanya rasa takut yang mencekik dan kegelapan yang menelan.

Laila mencoba melupakan semuanya. Ia telah berjuang keras untuk bangkit, merajut kembali hidupnya yang hancur. Tapi luka itu terlalu dalam. Meskipun ia melangkah maju, bayang-bayang masa lalunya terus membuntuti, seperti arwah penasaran yang tak mau pergi. Bertemu Ethan kembali di acara perusahaan adalah pukulan telak. Seolah dunia Laila kembali runtuh, tepat di saat ia merasa mulai menemukan kedamaian.

Bayangan hari-hari kelam itu muncul lagi, seperti rekaman rusak yang terus berulang di kepalanya. Ia teringat setiap detilnya, dinginnya ruangan tempat ia dikurung, suara langkah kaki Ethan yang menghantui, dan ketakutan yang membuat tubuhnya gemetar hingga sulit bernapas. Trauma itu menempel seperti noda yang tak bisa dibersihkan, mengunci Laila dalam penjara ketakutannya sendiri.

Laila menatap luka disekujur tangannya. Luka goresan karena kukunya sendiri. Laila terkadang tidak sadar melakukannya karena merasa jijik terhadap diri sendiri.

"Astagfirullah...Astagfirullah... Astagfirullah..." Laila berusaha menenangkan hatinya. Dia duduk di pinggir kamar dengan lampu yang padam. Hanya sedikit cahaya matahari saja yang muncul.

Dulu Laila mempertanyakan tentang keadilan Allah. Padahal dia tidak melakukan apapun. Dia juga berusaha menjaga diri untuk tidak melewati batas. Tapi kenapa dia harus mendapat perlakuan yang tidak baik dari manusia gila. Kenapa harus dia yang mengalami kejadian yang mengerikan itu? Apa salah Laila?

Kepurukan Laila membuatnya menghilang dari dunianya sendiri. Keluarganya langsung pindah dan berusaha memberikan dukungan kepada Laila. Ayah Laila tidak sekalipun meninggalkan Laila. Dia memantau Laila selama dua puluh empat jam. Takut anaknya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Jadi ayah Laila sering berjaga didepan kamar. Ibunya juga begitu.

Laila tidak ingin melewati masa-masa itu lagi. Air matanya keluar begitu saja. Berusaha melawan rasa takutnya sendiri, tapi sangat sulit sekali.

Disisi lain, Alvian baru saja pulang dari bekerja. Saat memasuki rumah, suasana sunyi menyambutnya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu, kemudian bergegas menuju kamar Laila. Hatinya berdebar, cemas dan tidak sabar untuk mengetahui keadaan istrinya.

"Laila?" panggilnya sambil mengetuk pintu pelan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Laila, ini aku. Aku sudah pulang."

Masih tidak ada respon. Perasaan panik mulai menyelimutinya. Dengan gugup, ia menggenggam gagang pintu, mencoba membukanya. Terkunci.

"Laila, tolong buka pintunya," katanya, suaranya bergetar. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya terdengar suara langkah pelan dari dalam kamar. Pintu terbuka perlahan, menampakkan Laila yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat lelah, matanya sedikit bengkak seperti habis menangis.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Alvian, mencoba menatap mata istrinya. Laila hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Alvian mengulurkan tangan, ingin menyentuhnya, tetapi Laila mundur selangkah, menghindar.

"Kamu sudah makan?" tanyanya lagi. Laila menggeleng, tetap diam.

"Aku buatkan makanan, ya?" tawar Alvian dengan nada lembut. Namun, Laila hanya menjawab dengan gelengan tangannya.

"Kalau kamu tidak makan, nanti sakit," kata Alvian, suaranya penuh kekhawatiran.

"Aku tidak lapar," jawab Laila dengan tatapan kosong.

Alvian menghela napas, rasa bingung dan putus asa bercampur jadi satu. "Sebenarnya kamu kenapa seperti ini?" tanyanya pelan, mencoba meraih jawaban dari diamnya Laila.

Namun, Laila hanya membisu.

"Kalau kamu tidak bilang, aku tidak akan tahu. Tolong, Laila... jangan seperti ini," pinta Alvian dengan suara yang hampir bergetar. Ia mencoba menyentuh tangan Laila, berharap bisa memberinya sedikit rasa nyaman. Tapi hanya dengan sentuhan kecil itu, Laila langsung menarik tangannya, seolah ketakutan.

"Aku suami kamu, aku bukan orang jahat." Alvian berusaha meyakinkan Laila. Orang yang memiliki ketakutan besar karena trauma tentu saja sulit sekali didekati. Oleh karena itu, Alvian harus meyakian Laila bahwa dia bukan orang jahat.

"Laila... lihat aku." Alvian berbicara dengan lembut. "Aku tidak akan menyakitimu," lanjutnya lagi.

Laila memalingkan wajah, tidak berani menatap Alvian. Tubuhnya sedikit gemetar, dan kedua tangannya saling menggenggam erat seolah mencari pegangan. Ketakutan itu begitu dalam, mengakar, hingga bahkan suara lembut Alvian terasa seperti ancaman samar di benaknya.

Alvian menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan frustasi. Ia tahu ini bukan tentang dirinya. Bukan karena Laila tidak mempercayainya, tetapi karena luka yang ditinggalkan Ethan terlalu parah untuk bisa sembuh dengan cepat.

"Laila," panggil Alvian sekali lagi, nada suaranya selembut mungkin. "Jangan takut padaku."

Laila tetap diam, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini mengalir perlahan. Alvian merasa hatinya hancur melihat itu, tetapi ia tidak ingin mendesak Laila lebih jauh. Ia tahu memaksa hanya akan membuat Laila semakin terpuruk.

"Maafkan aku, Mas." Hanya itu yang bisa Laila katakan.

Alvian tersenyum pilu. "Tidak apa-apa. Jadi jangan merasa bersalah."

Laila memeluk tubuhnya sendiri. Saat itu, kain lengannya sedikit ke atas sehingga Alvian melihat ada beberapa goresan di lengan Laila. Tampaknya goresan itu masih baru.

Alvian langsung mengambil tangan Laila dan melihat lebih jelas. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya.

"Tidak ada, Mas." Laila berusaha melepaskan diri dari tangan Alvian.

Alvian tidak bisa diam saja.

"Laila, tolong jangan seperti ini," ucap Alvian dengan suara yang lebih tegas, tapi tetap penuh kelembutan. Ia menggenggam tangan Laila dengan hati-hati, takut menyakitinya, tetapi juga tidak ingin membiarkannya pergi begitu saja. "Aku tidak akan marah, tapi aku perlu tahu. Kamu melukai dirimu sendiri, kan?"

Laila menghindari tatapan Alvian, bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Ia hanya bisa menangis pelan, tubuhnya gemetar seperti daun yang tertiup angin.

Alvian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Laila, aku tahu kamu merasa sendirian. Aku tahu semuanya terasa begitu berat, tapi aku ada di sini. Kamu tidak perlu melukai dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang kamu rasakan, apa pun itu, bicarakan padaku. Aku tidak akan pergi."

Laila menggeleng pelan, air matanya terus mengalir. "Mas, aku nggak kuat. Aku jijik sama diri sendiri. Aku merasa kotor... rusak. Apa gunanya aku hidup kalau seperti ini?"

Kata-kata itu menghantam Alvian seperti pukulan telak. Tapi dia belum mengerti maksudnya. Kenapa Laila jijik terhadap tubuhnya sendiri? Apa sebenarnya yang ia takutkan? Alvian mencoba untuk berpikir keras.

 
***

BAB 24 Siapa Perempuan Yang Dicintai Suamiku?

***

Alvian begitu sabar menunggu sampai Laila benar-benar tenang. Bahkan sekarang istrinya sudah terbaring di atas ranjang. Tampaknya Laila sangat lelah sekali. Kamar Laila sedikit berantakan dan Alvian membersikan satu persatu. Mukenah dan sajadah masih tergelatak di lantai. Dalam keadaan kacau, istrinya tidak mau meninggalkan kewajibannya sama sekali. Tapi shalatlah yang membuatnya menjadi lebih baik.

Alvian menarik pelan kain yang menutupi lengan Laila. Terlihat jelas luka goresannya dan ternyata tidak sedikit. Pasti rasanya sangat sakit.

Alvian memperhatikan kuku Laila. Agar tidak terulang lagi, Alvian membersihkan penyebab goresan itu terlebih dahulu. Dia mengambil potong kuku di dalam kamarnya. Bahkan sampai sekarang, Alvian belum membersihkan diri sama sekali. Dia takut Laila menyakiti dirinya sendiri lagi. Makanya dia tidak kemana-mana.

Alvian kembali ke kamar Laila. DAlvian memegang jari-jari Laila dengan kelembutan penuh kasih sayang. Ia tahu, apa yang dilakukan ini mungkin terlihat sederhana, tetapi baginya, ini adalah bentuk kepedulian yang nyata. Ia tidak ingin istrinya kembali terluka, baik secara fisik maupun emosional.

Pelan-pelan, Alvian mulai memotong kuku Laila. Setiap gerakan dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak membuat Laila merasa terganggu. Sesekali, ia melirik wajah istrinya yang terbaring dengan mata tertutup. Laila tidak bereaksi, tetapi dari nafasnya yang perlahan mulai teratur, Alvian tahu bahwa setidaknya untuk saat ini, Laila merasa sedikit lebih tenang.

Setelah selesai memotong kuku, Alvian mengelus lembut tangan Laila. "Sudah selesai," bisiknya pelan, meski ia tahu Laila mungkin tidak mendengarnya. Ia membereskan sisa potongan kuku dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal.

Kemudian, Alvian memeriksa luka-luka di lengan Laila lebih dekat. Luka-luka itu membuat hatinya terasa sesak. Ia mengambil kotak P3K dari lemari, lalu membersihkan luka-luka itu dengan kapas dan antiseptik. Setiap kali kapas menyentuh kulit Laila, ia memastikan gerakannya selembut mungkin. Ia tidak ingin membuat Laila merasa sakit, baik fisik maupun emosional.

Setelah memastikan Laila tertidur dengan tenang, Alvian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya keluar dari kamar. Ia menutup pintu pelan-pelan agar tidak membangunkan istrinya. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah fisik, tetapi juga beban emosional yang terus menghantuinya sejak melihat kondisi Laila.

Ia berjalan menuju kamar mandi. Tubuhnya lengket, dan rasa tidak nyaman membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, membawa sedikit kelegaan. Tapi pikirannya tetap melayang pada Laila. Wajah pucat istrinya, luka di lengannya, dan sorot matanya yang penuh ketakutan terbayang jelas di benaknya.

Setelah selesai membersihkan diri, Alvian melangkah ke dapur. Perutnya sudah lama kosong, tapi rasa lapar tidak begitu terasa. Ia membuka lemari es, mencari sesuatu yang cepat dan mudah disiapkan. Matanya tertuju pada sekotak susu dan beberapa potong roti. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan duduk di meja makan.

Sambil mengunyah pelan, pikirannya kembali berputar pada apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Tampaknya Alvian juga harus mencari informasi tentang Laila. Dia tidak bisa hanya diam sampai informasi dari Renal datang kepadanya.

Tiba-tiba Alvian mengingat tentang Viola. Teman yang dekat dengan Laila. Alvian yakin, setidaknya Viola tahu sedikit tentang Laila. Dia akan mencari tahu melalui Viola.

***

Azln subuh berkumandang, Laila terbangun. Malam ini dia tidur dengan nyenyak, tidak seperti malam sebelumnya yang bermimpi buruk. Saat Laila ingin turun dari ranjang, dia melihat Alvian duduk sambil merentangkan kakinya di lantai. Tubuhnya bersandar didinding dengan mata terpejam. Laila tentu saja kaget. Kenapa Alvian ada di kamarnya? Bahkan da tidur dengan duduk seperti itu.

"Mas..." panggil Laila dengan lembut.

Tidak sulit membangunkan Alvian, dia langsung membuka mata. "Apa yang sakit?" tanya Alvian langsung. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali.

Laila tersenyum. "Tidak ada, Mas. Tapi kenapa Mas tidur disini?" tanyanya.

Alvian tidak sadar tertidur di kamar Laila. Padahal dia ingin mengawasi Laila saja. Tapi ternyata dia tertidur. Dia menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Aku juga nggak tau," jelasnya.

Tapi tunggu, Alvian tidak melihat Laila yang menatapnya dengan pandangan kosong lagi. Bahkan Laila tampak lebih baik.

"Apa kamu bermimpi buruk?" tanya Alvian. Laila langsung menggeleng.

"Terus kenapa bangun?"

"Udah Azan subuh, Mas. Aku mau shalat."

Alvian tidak dengar suara azan. Ternyata dia dan Laila sangat berbeda sekali. "Oh begitu." Alvian tampak canggung.

Laila mengajak Alvian untuk shalat. Tapi Alvian menolak. Bahkan mengatakan alasan yang tidak masuk akal sama sekali. Meskipun begitu, Laila tidak bisa memaksa. Bisa-bisa Alvian bukannya tersentuh dan mau melakukan shalat pada akhirnya tapi malah membenci ibadah tersebut.

"Ya sudah, Mas tidur di ranjang saja." Laila tidak ingin membiarkan suaminya duduk di lantai. "Aku mau ke kamar mandi dulu," ujarnya lagi.

Alvian mengangguk. Dia naik ke atas ranjang Laila. Aroma tubuh Laila terasa sekali dihidungnya dan Alvian menyukai itu.

Saat Laila ingin berwudhu, dia kaget melihat luka goresannya seperti diberi salap. Bahkan kuku tangannya juga tidak panjang lagi. Laila tersenyum lebar karena tahu siapa yang melakukannya.

Laila keluar dari kamar mandi. Melihat suaminya sedang tidur. Laila merentangkan sajadah dan memakai mukenah. Sebelum shalat subuh, dia mengerjakan shalat sunnah qolbiyah subuh.

Pada kenyatannya, Alvian tidak tidur. Dia memperhatikan istrinya yang sedang shalat. Entah kenapa hatinya menjadi tenang. Padahal Laila hanya shalat saja. Semakin dilihat, Alvian semakin hanyut dalam rasa kekaguman yang luar biasa. Kemudian dia jadi bertanya pada diri sendiri. Kapan terakhir kali Alvian shalat? Dia sampai lupa saking jarangnya.

Lucu sekali hidupnya. Kenapa bisa punya istri seperti Laila yang hampir mendekati perempuan sempurna. Sedangkan dirinya sangat buruk sekali.

Laila sudah selesai shalat. Dia tidak lupa untuk mendoakan suaminya agar Allah meluluhkan hatinya dalam jalan kebenaran. Setiap istri pasti menginginkan suami yang sholeh. Tapi jika tidak mendapatkannya, maka jangan lelah untuk mengajak serta mendoakan.

Laila sudah melepaskan mukenah serta meletakkan ditempat semestinya. Dia ingin bersiap membuat sarapan.

"Mau kemana?" tanya Alvian. Laila sedikit terkejut, ia kira suaminya sedang tidur.

"Kok nggak tidur?" Bukannya menjawab, Laila malah balik bertanya.

"Jawab dulu pertanyaannku."

Laila tersenyum tipis. "Mau buat sarapan."

Alvian menggeleng. "Nggak usah masak. Sini tidur." Dia menepuk sisi ranjang yang kosong.

Laila menatapnya lama. Mereka belum pernah satu ranjang. Pasti sangat canggung sekali.

"Sini Laila..." ujar Alvian langsung.

Laila tetap tidak bergeming. Dia merasa bingung.

"Apa aku terlihat menakutkan?" tanya Alvian.

Laila langsung menggeleng.

"Ya udah, sini." Alvian kembali menepuk sisi ranjang.

"Tenang aja, kita cuma tidur kok."

Jantung Laila berdetak dengan cepat. Dia melangkah mendekat ke ranjang. Perlahan-lahan naik dan berbaring disamping sang suami.

Alvian tersenyum. Dia juga tidak akan melakukan sesuatu yang membuat Laila tidak nyaman.

Tapi satu hal yang pasti yaitu jantung keduanya berdetak dengan cepat.

***

Mengingat kondisi Laila sudah lebih baik, Alvian memutuskan untuk tetap bekerja. Laila juga menyuruhnya untuk tetap bekerja. Jujur saja hati Alvian merasa sangat berat sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Apalagi Alvian memiliki banyak pekerjaan.

"Aku pergi dulu ya?" pamit Alvian.

Laila memaksa dirinya untuk tersenyum. Senyum yang begitu manis, namun pada kenyataannya ia tidak sanggup untuk melakukannya. "Hati-hati," balas Laila.

"Iya, kamu juga hati-hati dirumah. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."

Laila mengangguk. Dia mencium punggung tangan Alvian dan untuk pertama kalinya, Alvian membalas dengan mengecup pucuk kepada Laila.

Alvian segera pergi ke perusahaan. Sedangkan Laila masuk ke dalam rumah. Meskipun Alvian bersikap baik kepadanya akhir-akhir ini, namun Laila tidak bisa membohongi diri bahwa dia sangat gelisah. Bagaimana jika hatinya sudah jatuh lebih dalam kepada Alvian, namun saat itu Alvian langsung menceraikan dirinya. Apalagi Laila masih belum bisa memastikan siapa sebenarnya perempuan yang dicintai sang suami.

Wajah Bella muncul dalam pikirannya. Tubuh Laila bergetar dengan hebat. Nyatanya, dia belum bisa sembuh dengan traumanya meskipun 9 tahun waktu telah berlalu.

Apa yang Laila lakukan sekarang? Dia benar-benar tidak tahu. Apalagi Ethan sampai mengancam dirinya. Jujur saja Laila takut. Ethan tidak pernah main-main dalam ucapannya. Dia terlalu gila, Laila sampai tidak bisa menduga kegilaan apa saja yang mungkin saja bisa dilakukan oleh Ethan.

Laila menguatkan diri. Dia mencoba beraktivitas seperti biasanya.

 
***

BAB 25 Ternyata Istriku...

***

Beberapa hari ke belakang, Alvian pulang bekerja lebih cepat dari biasanya. Dia juga bangun pagi dengan mudah. Mungkin karena setiap pagi, ia ingin melihat wajah sang istri. Sampai sekarang, Alvian dan Laila masih tidur di kamar yang terpisah. Kondisi Laila kadang terlihat baik dan kadang tidak.

"Apa kamu baik-baik aja?" tanya Alvian sambil sibuk memasang dasi. Tatapannya sesekali beralih pada istrinya yang tengah menuang kopi ke cangkir. Wajah Laila terlihat tenang, meski ia tahu beberapa hari terakhir tidak mudah untuknya.

Padahal, Alvian sudah meminta Laila untuk beristirahat saja. Tapi, seperti biasa, Laila menolaknya dengan senyum.

Laila terkikik kecil, mencoba mencairkan suasana. "Alhamdulillah, baik, Mas. Nggak usah khawatir, ya."

Meski kata-kata itu terdengar meyakinkan, hati Alvian tetap saja diliputi gelisah. Dia melirik jam tangan, tahu betul ada rapat penting yang tidak bisa ia lewatkan hari ini. Tapi kalau kondisi Laila memburuk, ia sudah punya rencana. Membawanya ke rumah kakek adalah solusi sementara. Di sana setidaknya ada yang bisa menjaga Laila dengan baik.

Laila memang tampak lebih segar dibanding sebelumnya. Senyum itu kembali, dan matanya yang dulu redup kini bercahaya lagi.

"Baiklah," ucap Alvian dengan nada setengah lega. "Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku."

Laila mengangguk sambil meletakkan cangkir kopi di meja. "Iya, Mas. Oh ya, Nanti makan malam mau dimasakin apa?" tanyanya, penuh perhatian.

"Nggak usah. Aku beli di luar aja, biar kamu nggak capek masak," jawab Alvian tegas. Sesungguhnya, ia hanya ingin Laila fokus memulihkan diri. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya akibat beberapa hari kehilangan selera makan.

"Lho, kok gitu?" protes Laila. Ada rona kecewa di wajahnya.

"Nggak apa-apa. Aku lagi pengen makan makanan luar," kilah Alvian, sambil berharap alasan itu cukup untuk meredakan protes istrinya.

Laila akhirnya menyerah, meski raut wajahnya masih menyiratkan rasa enggan. "Ya udah, yang penting jangan telat makan siang, ya."

Alvian tersenyum kecil. Perhatian Laila, meskipun dalam keadaan kurang fit, tetap membuat hatinya hangat. "Iya, kamu juga," balasnya sambil mengusap lembut pucuk kepala Laila. Sentuhan itu spontan, tapi cukup untuk membuat Laila bergidik kecil, tak biasa menerima gestur seperti itu.

Alvian segera berangkat ke perusahaan. Sesampainya di perusahaan, Alvian langsung memanggil Renal untuk datang ke ruangannya. Alvian ingin bertanya, apakah Renal sudah mendapat informasi tentang Ethan atau belum.

"Gimana?" tanya Alvian.

"Saya baru mendapatkan informasi kalau Ethan pernah berkuliah diuniversitas yang sama dengan kita, Pak. Tapi dia tidak menyelesaikan dan berhenti di semester 5.

"Alasan dia berhenti apa?"

"Saya belum mendapatkan informasi tentang itu, Pak. Tapi saya akan berusaha mencari tau.

Alvian menghela nafas panjang. Kenapa sulit sekali mencari informasi tentang Ethan. Seingat Alvian, rekan kerja kakek pernah bilang kalau Ethan mengalami depresi dan dirawat dirumah sakit jiwa. Tapi kenapa Renal tidak mendapatkan informasi tersebut? Dia benar-benar bingung.

"Baiklah. Oh ya, apa kamu tau siapa saja teman istri saya dikampusnya dulu?"

"Teman Kak Laila- maksud saja Bu Laila lumayan banyak Pak, namun teman dekat yang saya tau hanya Kak Viola saja."

"Bagaimana istri saya selama di kampus?"

Renal menjelaskan bagaimana Laila ketika berkuliah. Dia sangat bersemangat sekali dan tergolong pintar.

"Lalu kenapa istri saya tidak menyelesaikan kuliahnya? Apa ada masalah saat itu?"

"Saya juga tidak tau, Pak. Tiba-tiba dia menghilang saja dan tidak ada satupun yang tau apa yang terjadi. Keluarga Bu Laila juga pindah."

Alvian semakin memiliki banyak pertanyaan. Dia akan bertanya lebih lanjut kepada Viola. Alvian meminta kontak Viola kepada Renal. Setelah itu, ia menyuruh Renal untuk kembali melanjutkan pekerjaanny.

"Semakin membingungan," ujar Alvian bermonolog sendiri.

Alvian memantau Laila dirumah melalui CCTV. Tampaknya Laila baik-baik saja. Dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Alvian benar-benar lega. Terkadang dia juga tersenyum lebar saat melihat Laila didalam layar.

*

Saat jam istirahat siang, Alvian bersiap untuk bertemu dengan Viola. Dia mengancingkan jas dan bergegas menuju ke parkiran. Tempat mereka bertemu adalah cafe yang dekat dengan tempat kerja Viola. Syukurlah Viola mau bertemu dengannya. Tapi tampaknya dia juga membawa suaminya. Hal ini lebih baik apalagi mereka sama-sama sudah menikah dan takutnya muncul rumor yang tidak baik.

Saat memasuki cafe, Alvian sudah mendapati Viola dan seorang laki-laki.

"Halo," sapa Alvian sopan. Dia menyalami suami

Viola dan memperkenalkan diri.

"Ya ampun, saya tidak tau kalau Bapak Ceo perusahaan game," respon suami Viola. "Game perusahaan Bapak keren sekali," lanjutnya.

Alvian tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

"Maaf, Pak. Saya ingin menanyai beberapa pertanyaan kepada istri Anda tentang istri saya," izin Alvian.

"Tidak apa-apa, Pak. Silahkan. Viola juga sering membanggakan istri Bapak sebagai orang yang baik."

"Udah ah, kamu diam dulu." Viola menyuruh suaminya berhenti mengobrol hal ringan. Apalagi jam istirahat siang mereka tidak banyak.

"Iya iya." Suami Viola langsung menurut.

Alvian tanpa sadar tersenyum. Tampaknya rumah tangga teman sang istri berjalan baik.

"Ada apa, Pak?" tanya Viola.

"Tidak perlu memanggil saya Pak. Panggil yang lain saja." Alvian merasa tidak nyaman padahal Viola bukan karyawannya.

"Senior?" ujar Viola.

Alvian sedikit terkejut. Bagaimana Viola tahu kalau dia senior kampus walaupun beda jurusan.

"Tidak perlu terkejut. Kebetulan saya pernah melihat senior di pertandingan basket," jelas Viola.

"Oh begitu." Viola mengenali tapi istrinya malah tidak tauu. Padahal Laila satu jurusan dengannya.

"Ada apa, Senior? Apa yang senior ingin tanyakan?"

"Begini, saya ingin tahu kenapa Laila berhenti kuliah. Apa kamu tau?"

Viola menghela nafas berat. "Tidak senior. Saya tidak tau. Bahkan saat itu Laila menghilang begitu saja. Tidak ada yang tau, termasuk pihak kampus."

Jawaban Viola sama seperti jawaban Renal.

"Apa dia pernah menjalin hubungan dimasa kuliah?"

Viola menggeleng. "Laila bukan tipe orang yang mau berpacaran. Jadi dia tidak punya mantan pacar sama sekali. Tapi kalau yang suka dengannya sangat banyak."

Alvian tidak meragukan hal itu. Istrinya memang cantik, wajahnya tampak tentram dan adem.

"Setelah Laila berhenti kuliah, apa kamu kehilangan kontak dengannya?"

"Ya, dia menghilang selama 9 tahun."

"Apa kamu kenal dengan Ethan?"

"Tidak kenal, tapi saya tau dia," jawab Viola.

"Apa Laila dan Ethan memiliki hubungan?"

Viola langsung menggeleng cepat. "Tidak senior. Mereka tidak punya hubungan apa-apa. Tapi Ethan sangat menyukai Laila. Dia seperti orang yang ingin mendapatkan apapun yang dia suka termasuk Laila."

Alvian mengepalkan tangannya. "Apa Laila takut dengannya?"

"Kalau soal takut saya tidak tau. Tapi Laila selalu menghindar dari Ethan. Bahkan dia memilih untuk tinggal di asrama kampus dibanding kos-kosan karena tidak mau Ethan mendatanginya."

Wajah Alvian memerah karena marah. Kalau tahu begini, Alvian akan langsung menghajar Ethan karena sudah membuat istrinya ketakutan.

"Siapa teman satu kamarnya?" Seingat Alvian, satu kamar diasrama ditempati 2 atau 4 mahasiswa.

"Seingat saya namanya Bella. Satu jurusan dengan Laila.

Pupil mata Alvian langsung melebar. Rahangnya juga tampak menegang. "Be-Bella Andini?" tanyanya memastikan.

"Saya tidak tau nama lengkapnya," jawab Viola. Alvian langsung mengambil ponsel dan menunjukkan sosial media Bella. "Apa ini orangnya?"

Viola mengangguk. Alvian benar-benar sangat terkejut. Ternyata Bella dan Laila pernah satu kamar diasrama. Plot twist apa ini? Alvian sampai tidak percaya. Alvian menenggelamkan keterkejutannya lebih dulu. Dia membali bertanya kepada Viola.

"Selain kamu siapa lagi temannya? Teman yang memang dekat untuk berbagi cerita."

Viola berpikir keras. Siapa teman Laila selain dirinya? Tampaknya tidak ada. Tapi tunggu, Viola mengingat seseorang yang sering diceritakan Laila dengan heboh.

"Saya tidak tau siapa orangnya. Saya juga tidak tau dia laki-laki atau perempuan. Tapi Laila sering menceritakannya."

"Siapa namanya?"

"Sepertinya bukan nama, tapi seperti nama samaran. Kalau tidak salah ingat, namanya Lumina."

"Apa?!" teriak Alvian. Saking kagetnya, dia sampai berdiri dan kursinya terjatuh ke belakang. Violan serta suaminya ikutan kaget karena reapon Alvian.

"Siapa namanya?" ujarnya dengan cepat untuk memastikan. Bahkan nafasnya tidak beraturan sama sekali.

"Lumina."

"Tidak mungkin," lirih Alvian sambil menggelengkan kepala. Pandangannya sangat kacau.

"Ada apa, senior?" Viola tampak khawatir dan panik sendiri.

Alvian menarik nafas dalam-dalam. Berusaha untuk tetap tenang dan berpikir waras. "Apa mereka pernah bertemu?"

"Tidak. Soalnya mereka hanya berkomunikasi dengan chatingan saja."

Kepala Alvian tiba-tiba terasa berat. Dia bahkan sampai berpegangan pada meja karena tubuhnya mendadak kehilangan tenaga. Alvian syok berat.

Lumina adalah nama samaran yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan perempuan yang ia cari selama ini.

"Te-terima kasih," kata Alvian. Dia buru-buru keluar cafe dan ingin segera sampai di rumah.

Apa Istrinya adalah perempuan yang ia cari selama ini?

 
***

BAB 26 Laila Pergi

***

Alvian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang sedikit di atas batas normal. Tangannya mencengkeram kemudi erat, sementara pikirannya terus dipenuhi oleh satu nama, yaitu Laila. Napasnya terasa berat, dadanya sesak, dan jantungnya berdetak tak beraturan. Perjalanan pulang yang biasanya terasa biasa saja, kini terasa begitu panjang dan melelahkan. Tanpa banyak berpikir, Alvian sudah menemukan fakta yang sangat mencengangkan.

'Lumina' adalah nama samaran yang ia gunakan sembilan tahun yang lalu. Fakta ini menghantamnya seperti gelombang besar yang hampir menenggelamkan kesadarannya. Bagaimana mungkin selama ini ia mencari seseorang yang ternyata ada begitu dekat dengannya? Selama bertahun-tahun, ia membayangkan sosok perempuan yang hanya ia kenal lewat kata-kata, tanpa pernah melihat wajahnya. Namun, sekarang perempuan itu adalah istrinya sendiri.

Alvian teringat setiap percakapan mereka di masa lalu. Diskusi panjang yang mereka habiskan lewat pesan-pesan anonim, impian-impian yang mereka bagi, dan perasaan yang perlahan tumbuh di antara mereka. Saat itu, ia tak pernah tahu seperti apa wajah 'Lumina', namun ia merasakan kedekatan emosional yang begitu dalam.

Jika Laila dan Bella pernah tinggal di satu kamar asrama, maka kemungkinan besar Bella masih memiliki buku unik yang pernah ia kirimkan untuk Laila saat itu. Buku itu adalah satu-satunya cara bagi Alvian untuk memastikan semuanya. Buku dengan goresan tulisan tangannya sendiri, yang dulu ia kirimkan sebagai tanda perasaan yang tak pernah sempat terungkap.

Bisa-bisanya Bella berbohong begitu? Bahkan ketika Alvian bertanya siapa pemilik buku itu sebenarnya, Bella tidak mau menjawabnya.

Apa yang harus Alvian lakukan? Segala macam perlakuan yang ia lakukan sejak menikah terbayang-bayang. Bagaimana dia bersikap kasar, menyudutkan Laila bahkan mengeluarkan kata-kata kasar.

Mata Alvian memerah, merasa marah terhadap diri sendiri yang begitu bodoh. Kenapa semuanya yang terjadi seperti sebuah drama mencengangkan? Bagaimana perasaan Laila selama ini saat Alvian memperlakukan dirinya dengan tidak baik?

Meskipun Alvian sudah berusaha untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan mereka, tapi tetap saja Alvian merasa menjadi laki-laki paling brengsek di dunia ini.

Tangan Alvian mencengkeram kemudi semakin erat. Ia harus segera sampai di rumah dan memohon maaf kepada istrinya. Jika perlu, Alvian akan langsung bersimpuh dihadapan istrinya agar permintaan maafnya diterima.

Setelah sampai di depan rumah, Alvian bahkan tidak sempat mematikan mesin mobil dengan benar. Ia segera keluar, melangkah tergesa-gesa menuju pintu rumah. Tangannya merogoh saku, mencari kunci, tapi entah kenapa jemarinya terasa gemetar. Seketika, ia berhasil menemukan kunci dan memasukkannya ke lubang pintu, lalu memutarnya dengan cepat.

Begitu pintu terbuka, Alvian segera melangkah masuk. Rumah itu sepi, tidak ada suara yang menyambutnya. Bahkan, suara televisi atau radio yang kadang diputar Laila pun tidak terdengar. Ini aneh. Laila biasanya ada di ruang tamu atau dapur saat jam seperti ini.

"Laila!" panggil Alvian dengan suara lantang. Tidak ada jawaban.

Ia melepas sepatunya dengan tergesa, langsung berjalan menuju dapur. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada secangkir kopi yang masih tersisa setengah di meja makan, menunjukkan bahwa tadi seseorang berada di sana. Namun, kemana Laila?

Alvian melangkah cepat menuju kamar Laila. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Dengan jantung berdebar, ia mendorongnya lebih lebar. Kosong. Ranjang terlihat rapi, seperti tidak disentuh sepanjang hari.

“Laila!” panggilnya sekali lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tinggi dan sarat akan kegelisahan.

Ia berlari menuju kamar mandi, berpikir mungkin Laila sedang di sana. Ia mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Didorongnya pintu itu, tapi kosong. Hanya suara tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat.

Padahal tadi sebelum berangkat kerja, Laila tampak baik-baik saja. Bahkan hubungan mereka sudah normal seperti layaknya pasangan suami istri. Lantas kemana Laila sekarang? Apa dia sedang keluar. Tapi kalau keluar, biasanya Laila akan meminta izin terlebih dahulu. Tapi sekarang, tidak ada satupun pesan atau telepon yang masuk kepadanya.

Alvian mencoba menghubungi nomor Laila. Tapi hanya suara operator yang terdengar. Alvian mencoba lagi. Tapi tidak ada yang berubah. Dia mengacak rambutnya penuh kefrustasian. Ketakutan demi ketakutan menghinggapi dirinya.

Alvian memeriksa isi dalam kamar Laila, kali saja dia menemukan jawaban dimana istrinya sekarang.

Dada Alvian mulai terasa sesak. Ada sesuatu yang tidak beres. Kegelisahan semakin menyesakkan dadanya. Apalagi saat matanya menangkap sesuatu yang aneh. Seingatnya, di atas lemari ada koper milik sang istri. Tapi kenapa sekarang tidak ada.

Tangan Alvian terangkat, meraih bagian atas lemari untuk memastikan apakah koper itu benar-benar hilang atau hanya terselip di belakang barang lain. Tapi tidak ada. Benar-benar tidak ada.

Tanpa banyak berpikir, Alvian menarik pegangan pintu lemari dengan cepat. Begitu melihat ke dalam, matanya melebar. Kosong. Tidak ada satu pun pakaian Laila di sana. Tidak ada baju tidur, tidak ada jilbab yang biasa tergantung rapi di dalamnya.

“Tidak mungkin…” gumamnya dengan suara gemetar.

Ia kembali memutar badannya, melangkah dengan cepat ke seluruh sudut rumah, mengecek ruang tamu, bahkan ke halaman belakang. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Laila.

Jantungnya berdetak begitu cepat. Nafasnya mulai memburu. Dadanya naik turun dengan ritme yang tak beraturan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, meskipun ruangan terasa sejuk.

Dengan jari yang gemetar, Alvian kembali menghubungi Laila. Dia harap kali ini hasilnya berbeda dibanding sebelumnya.

Kali ini Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Namun, tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi. Kali ini, lebih cepat. Tetapi tetap sama. Tidak ada jawaban.

“Jawab, Laila! Tolong angkat teleponnya!” serunya dengan frustasi. Ia mencoba menghubungi lagi dan lagi, tetapi hasilnya nihil.

Alvian mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya masih terasa sesak. Pikiran-pikiran buruk mulai membanjiri benaknya. Ke mana Laila pergi? Kenapa dia tidak mengatakan apapun sebelumnya? Apa yang sebenarnya terjadi?

Pandangannya beralih ke meja ruang tamu. Ia berharap ada secarik kertas atau pesan yang ditinggalkan oleh istrinya, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Semuanya tampak seperti biasa, kecuali kenyataan bahwa Laila tidak ada.

Alvian merasakan ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Ia harus menemukan petunjuk ke mana Laila pergi. Ia langsung teringat CCTV rumah. Alvian mencari tab yang terhubung dengan CCTV.

Keningnya berkerut. "Dimana tab itu?" gumamnya cemas.

Alvian mencoba mengingat kembali. Tab itu seharusnya ada di dalam tas kerjanya. Dan tas itu... masih ada di mobil! Tanpa berpikir panjang, ia bergegas keluar rumah. Kakinya melangkah cepat menuju garasi, nyaris berlari.

Begitu sampai di mobil, Alvian dengan sigap membuka pintu dan meraih tas yang tergeletak di kursi depan. Tangannya bergerak cepat, membuka resleting utama dan mengeluarkan tab dari dalamnya. Dengan napas memburu, ia langsung menyalakan perangkat itu. Jemarinya bergerak lincah membuka aplikasi CCTV yang terkoneksi dengan kamera di sekitar rumah.

Layar tab menyala, dan detik berikutnya, rekaman CCTV terpampang jelas di depan matanya.

Alvian menahan napas. Matanya membelalak.

Di layar, terlihat sosok Laila keluar dari pintu rumah. Ia mengenakan pakaian sederhana, namun langkahnya tergesa. Sebuah koper besar ia seret di belakangnya. Laila menoleh ke kanan dan kiri, seakan memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Kemudian, tanpa ragu, ia terus berjalan menuju gerbang. Tak lama setelahnya, sebuah mobil berwarna silver sudah menunggu.

Alvian menghentikan rekaman CCTV itu. Memperhatikan mobil yang dimasuki istrinya. Jantungnya berdebar kencang. Ia memperbesar gambar, mencoba mengidentifikasi nomor plat kendaraan tersebut, namun rekaman yang buram membuatnya sulit untuk memastikan detailnya.

Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi Renal. "Renal, saya butuh bantuanmu. Tolong cari pemilik mobil dari video yang saya kirim."

Suara di ujung telepon terdengar terkejut. Tapi Renal tidak ingin banyak bertanya. "Baik, Pak."

"Tolong cari tahu secepatnya!" desaknya, suaranya penuh ketegangan.

"Baik, Pak. Saya akan segera mencarinya." Renal tidak mengetahui apapun dan dia langsung mencari sesuai dengan instruksi dari atasannya itu. Tapi dari suara sang atasan, Renal mengetahui satu hal yaitu kegelisahan, keputusasaan serta frustasi.

Setelah panggilan terputus, Alvian langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Kegelisahan semakin menyesakkan dadanya. Ia tahu, ini bukan kepergian biasa. Laila pergi dengan kesadaran penuh.

"Tolong kembali, Laila. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih," lirihnya dengan tubuh yang tidak berdaya.

Alvian sangat bodoh. Kenapa dia tidak bisa mengenali Laila sebagai perempuan yang sudah ia cari selama 9 tahun? Bahkan kalau diingat-ingat lagi, Laila memang sama seperti sosok 9 tahun lalu yang memberinya semangat hidup.

Nyatanya Alvian tidak mengenal perempuan yang selalu ia bilang sebagai cinta pertamanya itu.

***

BAB 27  Alasan Laila Pergi...

***
 

Tanpa perlu banyak waktu, Renal sudah menemukan siapa pemilik mobil silver yang diminta oleh Alvian untuk mencarinya. Renal sudah melaporkan beberapa informasi yang ia dapat.

Alvian yang sejak pulang tadi tidak bisa tenang tentu saja langsung mengambil kunci mobil. Dia bahkan belum mengisi perut sejak siang. Tampaknya Alvian tidak peduli dengan dirinya. Ya seperti itulah kenyataannya. Bahkan kaki yang terluka karena tidak sengaja tersenggol ujung kursi yang tajam tidak membuatnya merasa kesakitan. Darahnya berhenti sendiri setelah beberapa saat dan dia tidak mengobatinya sama sekali.

Alvian melangkah cepat masuk ke dalam mobil. Setelah mendapat beberapa informasi dari Renal meskipun tidak lengkap, Alvian sudah bisa menebak siapa dibelakang mobil silver yang menjemput istrinya.

Alvian membawa mobil dengan kecepatan tinggi.

Alvian menginjak pedal gas lebih dalam, jarum speedometer bergerak liar melewati angka 100 km/jam. Jalanan yang mulai sepi justru menjadi ajang bagi adrenalinnya untuk meledak. Dia menyalip mobil-mobil di depannya tanpa ragu, berpindah jalur dengan gerakan agresif.

"Brakkk!"

Sebuah mobil sedan di sisi kirinya mengerem mendadak, hampir menyerempet bemper belakangnya. Klakson panjang meraung di belakangnya.

"Gila, lo! Mau mati, hah?!" teriak seorang pengendara dari jendela mobilnya.

Alvian tidak peduli. Tangannya mencengkeram setir lebih erat, rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke depan. Dia harus sampai ke rumah kakeknya secepat mungkin.

Di persimpangan berikutnya, sebuah SUV hitam bergerak lambat di jalurnya. Tanpa mengurangi kecepatan, Alvian membanting setir ke kanan, menyelip tipis di antara dua mobil. Ban berdecit keras di aspal, nyaris membuat mobilnya tergelincir.

"Sialan!" pekiknya, tapi dia tetap melaju.

Tiba-tiba, sebuah mobil putih di depannya mengurangi kecepatan secara mendadak. Alvian menggeram. Dia membunyikan klakson berkali-kali, tapi mobil itu tak kunjung menepi.

"Minggir, gila!" desisnya, sebelum akhirnya membelokkan mobilnya ke sisi kanan dengan agresif.

Detik berikutnya, suara klakson dari berbagai arah saling bersahutan. Beberapa pengendara lain meneriakinya dengan marah, bahkan ada yang mencoba membalas membunyikan klakson mereka berkali-kali. Tapi bagi Alvian, semua itu hanya suara latar. Dia hanya ingin sampai ke satu tujuan. Tapi apa yang Alvian lakukan sangat salah besar. Selain merugikan diri sendiri, dia juga merugikan pengendara yang lain.

Mobil berhenti di sebuah bangunan dengan sistem keamanan yang tinggi. Alvian keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Dia masuk tanpa menunggu ada yang membuka pintu.

"Kakek!" panggil Alvian langsung dengan nafas memburu. Tidak ada jawaban. Alvian kembali memanggil sehingga pekerja dirumah ini keluar.

"Mas Alvian," ujar Bi Siti dengan kaget. Dia adalah orang yang bekerja mengurus rumah ini sudah dari lama. "Ada apa?" tanyanya lagi tampak seperti orang bingung.

Penampilan Alvian sangat berantakan sekali. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Dimana kakek?" tanya ALvian langsung.

"Tuan Liam tidak ada dirumah, Mas."

"Jangan bohong!" Alvian berkata dengan suara tinggi.

"Kakek pasti menyembunyikan istriku," lanjutnya lagi. Dia bergerak kesana kesini di dalam rumah sambil mencari keberadaan Laila.

"Apa maksud Mas Alvian?" Bi Siti semakin tidak mengerti. Dia juga mengikuti langkah Alvian yang seperti tidak tentu arah.

"Laila!" suara Alvian menggema di dalam rumah megah itu. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan amarah yang tak terbendung. Dia yakin istrinya ada di sini.

Bi Siti tampak gugup. Wanita paruh baya itu tidak terbiasa melihat Alvian sekacau ini. Matanya mengamati Alvian yang berjalan ke setiap ruangan, membuka pintu-pintu dengan kasar.

"Mas Alvian, tolong jangan buat kekacauan malam-malam begini," suara Bi Siti terdengar cemas. "Istri Mas Alvian tidak ada disini."

Alvian mendengus kasar. "Bibi pikir aku akan percaya begitu saja?" Matanya tajam menatap Bi Siti, membuat wanita itu sedikit mundur. "Kakek pasti menyembunyikan disini," lanjutnya lagi.

Dia kembali bergegas menaiki tangga menuju lantai dua. Setiap langkahnya berat, penuh kemarahan. Alvian mendobrak pintu kamar utama—kamar yang dulu sering ia datangi saat masih kecil.

Kosong.

Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

"Aku tahu dia pasti di sini!" suaranya bergetar menahan emosi. Alvian seperti orang gila yang tidak bisa berpikir rasional.

Alvian kembali berlari menuruni tangga, hampir menabrak Bi Siti yang berdiri di tengah lorong dengan wajah panik.

"Mas Alvian, tolong tenang!" Bi Siti mencoba menghadangnya, tapi Alvian mengabaikannya.

Dia melangkah ke ruangan lain. Tapi langkahnya langsung terhenti.

"Kamu seharusnya tidak ada disini!"

Alvian berbalik.

Dan di sana, berdiri kakeknya sambil memegang tongkat. Dia bahkan belum membuka topinya dan baru saja terlihat masuk ke dalam rumah.

"Dimana istriku, Kek?" tanya Alvian langsung tanpa basa basi.

"Siapa istrimu?" Kakek menunjukkan wajah memerah karena sedang menahan amarah. Tatapan tajam seakan menusuk itu. Ada juga tersirat kekecewaan besar.

"Jangan bercanda, Kek." Alvian memaksa diri untuk mengeluarkan tawa palsu. Siapapun tahu jika Alvian sedang panik, tapi kakeknya malah menjawab dengan tidak serius begini. "Dimana Laila?" tanya Alvian lagi.

"Untuk apa mencarinya?" Kakek masih mencoba untuk tetap tenang.

"Laila istriku. Wajar jika aku mencarinya."

Mata Alvian berkilat penuh kemarahan. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Dia mencoba menahan diri, tapi kesabarannya hampir habis.

Kakek masih berdiri tegak di hadapannya, tak tergoyahkan. Wajah tua itu tetap menunjukkan wibawa, meskipun sorot matanya menyimpan ketegangan yang sulit disembunyikan.

"Istri?" Tuan Liam mengulang kata itu dengan nada penuh sinisme. "Sejak kapan kamu benar-benar menganggap Laila sebagai istri, Alvian?"

"Apa maksud Kakek?" suara Alvian terdengar lebih tajam.

Tuan Liam mendengus pelan, lalu menatap cucunya dengan ekspresi penuh kekecewaan. Tangannya yang sudah mulai keriput bertaut di belakang punggungnya, tapi sorot matanya tetap tajam, penuh ketegasan.

"Kau masih berani bertanya?" Suaranya rendah, tapi ada kemarahan yang terkandung di dalamnya. "Alvian, aku tahu semuanya."

Alvian menahan napas sejenak. Keningnya berkerut, rahangnya mengeras. "Tahu apa, Kek?"

Tuan Liam tertawa pendek, bukan tawa yang menyenangkan, tapi penuh sinisme. "Bella."

Satu nama itu cukup untuk membuat Alvian terdiam sesaat.

"Kamu pikir aku tidak tahu?" lanjut Tuan Liam, sorot matanya tak lepas dari Alvian. "Selama ini, kamu bertemu dengannya di belakang Laila. Kamu pikir aku buta? Aku mungkin sudah tua, tapi aku tidak sebodoh itu, Alvian."

"Kakek kira kamu sudah menerima Laila sepenuhnya. Apalagi dia perempuan baik dan sholehan. Tapi ternyata..." Kakek tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia sangat kecewa terhadap cucunya sendiri.

"Kakek salah paham. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Bella," jelas Alvian. Dari awal Alvian memang sudah salah. Dia menerima pernikahan dengan perempuan yang dipilih kakeknya hanya karena takut kehilangan investor untuk perusahaannya. Setelah menikah, dia tidak menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan baik. Bahkan dia mencari perempuan yang dia cintai padahal statusnya sudah menjadi suami orang.

"Tidak ada hubungan kata kamu?"

"Iya. Aku memang tidak punya hubungan apapun dengan perempuan itu!" Alvian mengatakan dengan tatapan penuh keseriusan.

"Herman... tunjukkan foto itu kepadanya," ujar KAkek kepada sekretarisnya.

Herman langsung menunjukkan layar ponsel kepada Alvian. "Apa ini?" tanya Alvian yang tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ingin ditunjukkan.

Herman mendekatkan lebih dekat. Saat itu juga, pupil mata Alvian langsung membesar. "Apa ini, Kek?"

"Kamu masih bertanya apa? Tidak kah matamu itu melihat sesuatu yang menjijikan?"

Alvian mengambil ponsel di tangan Herman. Dengan tangan gemetaran, dia menghapus beberapa foto yang ada disana.

"Meskipun kamu sudah menghapusnya, faktanya kamu memang laki-laki kurang ajar. Kalau tahu begini, aku tidak mau menjodohkan kamu dengan Laila. Dia perempuan baik, tapi malah mendapat laki-laki brengsek sepertimu."

"Ti-tidak Kek, foto tersebut tidak sepenuhnya seperti itu." Alvian merasa tidak pernah bertindak berlebihan saat bertemu dengan Bella.

"Aku berani bersumpah, aku—"

Plak!

Suara tamparan itu bergema di ruangan, begitu keras hingga udara seolah membeku. Kepala Alvian tersentak ke samping, rasa panas menjalar di pipinya.

"Kamu memang cucuku..." suara Tuan Liam bergetar, bukan hanya karena amarah, tapi juga kekecewaan yang teramat dalam. "Tapi baru kali ini aku melihatmu sehina ini, Alvian."

Tatapan matanya tajam, menusuk tepat ke dalam hati Alvian, membuatnya terasa lebih sakit daripada tamparan yang baru saja diterimanya.

Alvian terdiam. Rahangnya mengatup erat. Dia tidak marah, lebih tepatnya tidak pantas untuk marah. Tamparan itu pantas ia terima. Bahkan, jika kakeknya ingin lebih dari itu, dia rela.

"Pergi dari sini!" bentak Tuan Liam, suaranya bergetar penuh kemarahan.

Alvian menggeleng kuat. "Aku tidak akan pergi sebelum Kakek memberitahuku dimana Laila!" suaranya nyaris putus asa. "Aku harus bertemu dengannya, aku harus menjelaskan semuanya!"

"Penjelasan?" Tuan Liam mencibir, menatapnya seolah Alvian adalah pria paling rendah di dunia. "Setelah semua yang kau lakukan, kau pikir kata-kata saja cukup?"

Air liur terasa pahit di tenggorokan Alvian. Dengan mata yang mulai memanas, dia menatap kakeknya penuh permohonan.

Lalu, tanpa peduli harga dirinya, Alvian berlutut. Tangannya menggenggam erat tangan Tuan Liam, seperti seorang anak kecil yang memohon belas kasihan.

"Kakek..." suaranya melemah. "Aku mohon... hanya kali ini saja. Percayalah padaku. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku butuh Laila... aku mohon..."

Sesuatu di mata Tuan Liam tampak bergetar sesaat, tapi hanya sesaat. Sekejap kemudian, ekspresinya kembali keras, jauh lebih dingin dari sebelumnya.

Tanpa menarik tangannya dari genggaman Alvian, dia menatap lurus ke cucunya itu, lalu mengucapkan kata-kata yang menusuk lebih tajam dari belati.

"Kau sudah terlambat, Alvian."

 

***

BAB 28  Alvian Drop...

***

"Kakek... tolong katakan dimana Laila. Aku mohon..."

Suara Alvian bergetar. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. Seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya.

Air matanya akhirnya jatuh. Ia tak lagi peduli pada harga dirinya, pada amarah yang bergejolak dalam hatinya. Yang ia tahu, dia kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.

Di depan matanya, pintu besar rumah kakeknya tertutup rapat, seakan menjadi tembok pemisah yang dingin dan tak tergoyahkan. Tak ada lagi tempat baginya di sana.

"Kakek... aku mohon."

Tangan Alvian mengepal, lalu tanpa pikir panjang, ia mulai memukul pintu berulang kali. Suara hantaman itu menggema di tengah keheningan malam yang kini mulai diiringi gemuruh hujan.

Tapi tak ada jawaban.

Hanya suara angin dan tetesan hujan yang menemani keputusasaannya.

Laila tetap tak bisa ia temukan. Bahkan setelah memerintahkan Renal untuk mencari ke segala arah, hasilnya tetap sama—kosong. Seolah kakeknya telah menghapus jejak Laila dari dunia ini.

Harapan terakhirnya hanya satu—kakeknya.

Dan dia tak akan pergi sebelum mendapatkan jawaban.

"Kakek! Buka pintunya!" Alvian kembali berteriak, suaranya penuh putus asa. "Tolong katakan dimana Laila berada!"

Hening.

Lalu, sebuah suara lirih terdengar dari balik pintu.

"Maaf, Mas Alvian. Tuan Liam menyuruh Mas untuk pulang saja," ujar Bi Siti dengan nada lembut, penuh iba.

Alvian menggeleng keras. "Tidak, Bi! Aku tidak akan pulang sampai Kakek memberi tahu di mana keberadaan istriku!"

Di langit, guntur menggelegar, diikuti kilatan petir yang menyambar. Hujan semakin deras, mengguyur tubuh Alvian yang masih berdiri di depan rumah itu, menggigil bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang semakin mencengkeram.

"Coba bicarakan kembali besok, Mas," suara Bi Siti terdengar semakin khawatir. "Sekarang sudah malam, apalagi cuaca sedang hujan begini. Lebih baik Mas pulang lebih dulu. Tuan Liam juga sudah beristirahat."

Alvian menatap pintu kayu yang masih tertutup rapat itu dengan mata memerah. Dia menggeleng lagi, lebih kuat.

"Tidak, Bi... Aku tidak akan ke mana-mana." Suaranya melemah, nyaris seperti bisikan. "Aku mohon... buka pintunya, Bi..."

Sunyi.

Bi Siti tak menjawab untuk beberapa saat, lalu akhirnya suara itu kembali terdengar, kali ini lebih lirih. "Maaf, Mas. Tuan Liam melarang saya membuka pintu."

Lalu, keheningan kembali menyelimuti.

Alvian mengepalkan tangan, menggigit bibirnya untuk menahan isakan. Hujan dan angin malam membuat tubuh Alvian kedinginan. Namun dia tidak mau pergi. Bahkan perutnya sudah menyerah sedari tadi untuk meminta haknya.

"Apa dia masih di luar?"

Tuan Liam melangkah keluar dari kamar, pakaiannya lebih santai dibanding sebelumnya. Namun, ekspresi wajahnya tetap sama—keras dan tak tergoyahkan.

Bi Siti menunduk sedikit sebelum menjawab. "Masih, Tuan."

Tuan Liam mendengus pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Di luar sana, di bawah hujan yang semakin deras, cucunya mungkin masih berdiri dalam keputusasaan.

"Biarkan saja. Tidak perlu kasihan untuk orang seperti itu."

Nada suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya—sesuatu yang sulit diartikan.

Bi Siti menggigit bibir, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Tapi, Tuan…"

"Tidak perlu memperdulikan anak itu. Dia sudah besar. Nanti kalau sudah lelah, pasti dia pulang sendiri," potong Tuan Liam tegas.

Kalimat itu terdengar begitu kejam, seolah benar-benar tak peduli. Namun, Bi Siti yang sudah lama bekerja di rumah ini bisa merasakan sesuatu yang berbeda.

Ada sesuatu yang sedang Tuan Liam sembunyikan, rasa kecewa yang terlalu dalam, atau mungkin… penyesalan?

Bi Siti hanya bisa menunduk, menerima perintah tuannya. Dia lalu berpamitan untuk masuk ke dalam kamar, tempat suaminya sudah menunggu. Keluarganya memang tinggal di rumah ini, dan suaminya juga bekerja untuk Tuan Liam.

Setelah Bi Siti menghilang di balik koridor, Tuan Liam tetap berdiri di tempatnya, menatap pintu yang masih tertutup.

Lama.

Seolah dalam benaknya ada begitu banyak hal yang berputar.

Sebuah helaan napas panjang terdengar dari bibirnya.

Bukan Alvian yang paling ia marahi saat ini… tetapi dirinya sendiri.

Dulu, ia berpikir sudah mengenal cucunya dengan baik. Sejak kedua orang tua Alvian meninggal, dialah yang mengurus bocah itu, mendidiknya, membesarkannya, memastikan kehidupannya tetap terjamin.

Tapi ternyata… ia salah.

Pernikahan yang ia rencanakan dengan penuh keyakinan kini terasa seperti sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ia pikir Alvian bisa menjadi suami yang baik bagi Laila. Ia pikir cucunya bisa belajar mencintai seseorang dengan benar.

Ternyata tidak.

Ia justru telah menjebak seorang perempuan baik ke dalam pernikahan yang menyakitkan.

Laila tidak pernah mengeluh, tidak pernah memburukkan nama Alvian, bahkan setelah semua yang terjadi. Gadis itu hanya berkata bahwa ia butuh waktu untuk menenangkan diri.

Seorang perempuan berhati selembut itu… telah tersakiti karena kebutaannya.

Kakek Liam meremas jemarinya.

Pernikahan yang Kakek Liam rencana nya adalah sebuah kesalahan terbesar. Dia malah membuat anak sebaik Laila harus mendapatkan pasangan hidup yang buruk seperti cucunya.

Tubuh Kakek Liam tidak seenergi dulu. Dia berjalan dengan sedikit kesulitan menuju ke kamar. Umurnya juga sudah tidak tua lagi. Kakek juga akan melepaskan Alvian sepenuhnya. Apapun yang ia lakukan kedepannya, Kakek tidak peduli lagi.

Tanpa sadar air mata kakek Liam mengalir. Dia hanya menginginkan yang terbaik untuk cucunya. Tapi dia malah tidak mempertimbangkan banyak hal sehingga ada orang yang tidak pantas tersakiti malah tersakiti. Hanya permintaan maaf tulus yang bisa Kakek lakukan saat mengantar Laila kembali ke rumahnya.

Kakek Liam sangat merasa bersalah pada kedua orang tua Laila. Meskipun sudah disakiti begitu, Laila sama sekali tidak memburukkan Alvian. Dia hanya menjelaskan kalau membutuhkan waktu menenangkan diri. Laila memang perempuan berhati lembut. Cucunya saja yang tidak tahu bersyukur.

***

Pagi itu, saat matahari belum sepenuhnya menampakkan wujudnya, Bi Siti bangun lebih awal seperti biasa. Ia berjalan menuju pintu utama, berniat membersihkan teras sebelum Tuan Liam terbangun. Namun, begitu membuka pintu, tubuhnya langsung membeku.

"Astaghfirullah!" serunya terkejut.

Di depan pintu, tubuh Alvian tergeletak tak berdaya. Wajahnya begitu pucat, bibirnya membiru, dan pakaiannya basah kuyup setelah semalaman diguyur hujan. Napasnya tersengal, begitu lemah hingga nyaris tak terdengar.

"Mas Alvian?!" Bi Siti buru-buru berjongkok, menyentuh pipi Alvian yang terasa dingin seperti es.

Panik melanda hatinya. Ia tak bisa tinggal diam melihat kondisi cucu Tuan Liam seperti ini. Tanpa pikir panjang, ia bergegas memanggil suaminya. Teriakan Bi Siti menggema di rumah. Padahal matahari belum sepenuhnya terbit.

Tak butuh waktu lama, seorang pria paruh baya bergegas keluar. Begitu melihat keadaan Alvian, wajahnya langsung berubah tegang.

"Ya Allah, kenapa sampai seperti ini?" Pak Rusman segera berlutut, meraba nadi di pergelangan tangan Alvian. Masih ada detak, tapi sangat lemah.

"Kita harus membawanya masuk sekarang juga," kata Bi Siti dengan suara gemetar.

"Tapi, Tuan Liam…" Pak Rusman ragu.

"Tidak ada tapi-tapian Mas! Kita tidak bisa membiarkan Mas Alvian sekarat di sini!"

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, mereka berdua segera mengangkat tubuh Alvian yang lemas. Meski tubuhnya tinggi dan berat, mereka berusaha sekuat tenaga membawanya masuk ke dalam rumah, ke ruang tamu.

Bi Siti buru-buru mengambil selimut dan kain hangat, lalu menyelimuti tubuh Alvian yang menggigil. Ia bergegas ke dapur, menyiapkan air hangat, sementara Pak Rusman memastikan Alvian dalam posisi yang lebih nyaman di sofa.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pak Rusman bingung.

Namun sebelum Bi Siti sempat merespons, langkah berat terdengar.

"Apa yang kalian lakukan?"

Tuan Liam berdiri di sana, matanya menyipit tajam saat melihat cucunya yang terbaring lemah di sofa. Ekspresi wajahnya sulit ditebak antara terkejut, marah, atau mungkin… ada sesuatu yang lain.

Bi Siti menelan ludah, lalu memberanikan diri bicara. "Maaf, Tuan. Tapi kami tidak bisa membiarkan Mas Alvian mati kedinginan di luar."

Perlahan-lahan kesadaran Alvian kembali meski tidak sepenuhnya. Matanya sedikit terbuka. Kepalanya terasa berat sekali.

Suara-suara di sekelilingnya terdengar samar, seakan berasal dari tempat yang jauh. Tubuhnya terasa begitu lemah, dingin menjalar hingga ke tulang. Kelopak matanya bergetar, berusaha membuka, meskipun pandangannya masih kabur.

"Mas Alvian?" Bi Siti langsung mendekat saat melihatnya mulai sadar. Ia menyentuh dahi pria itu, merasakan panas yang mulai menjalar. "Ya Allah, tubuhnya demam tinggi!"

Alvian mencoba berbicara, tapi yang keluar dari bibirnya hanya bisikan lemah.

"Laila… di mana Laila…Dimana istriku?"

Napasnya memburu, suaranya dipenuhi kegelisahan. Bahkan dalam kondisi sekarat seperti ini, pikirannya masih dipenuhi oleh satu nama yaitu Laila.

Kakek Liam mengepalkan tangan. Alvian seperti sosok suami yang takut sekali kehilangan istri. Padahal dia yang sudah membuat istrinya pergi. "Panggil dokter," suruh Kakek pada akhirnya.

"Aku tidak mau anak ini mati di rumahku," lanjutnya lagi. Meskipun perkataan Kakek sedikit kasar, tapi pada kenyataannya dia sangat khawatir dengan cucunya itu.


***

BAB 29  Alvian Akan Membuktikannya

***
 

Alvian membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan kepala terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menekan. Cahaya lampu yang menerobos masuk ke dalam pupilnya membuat matanya berair. Ia menyipitkan mata, mencoba memahami dimana dirinya sekarang.

Sejenak, pikirannya kosong. Namun, begitu kesadarannya pulih, ingatan semalam kembali menyerbu. Ia ingat berdiri di depan rumah kakeknya, diterpa dinginnya hujan, menunggu dalam keputusasaan. Kemudian tubuhnya mulai kehilangan tenaga, pandangannya berputar, dan setelah itu—gelap.

Dengan usaha keras, Alvian menggerakkan tangannya. Saat itulah ia menyadari sesuatu—sebuah selang infus terpasang di punggung tangannya. Ia menoleh ke sekeliling, mengenali ruangan yang dulu menjadi kamarnya. Rasanya begitu aneh. Terakhir kali ia di sini, ia pergi dengan rasa percaya diri bahwa hidupnya baik-baik saja. Tapi sekarang, ia kembali dalam keadaan paling menyedihkan.

Alvian mencoba bangkit, tapi tubuhnya lemah. Mungkin efek dari kelaparan, mungkin juga akibat kedinginan yang menyerangnya semalam. Tapi ia tidak peduli. Ada satu hal yang lebih penting daripada kondisinya sendiri.

Laila.

Ia harus menemukannya. Ia harus bertemu dengannya.

Dengan tangan bergetar, Alvian mencoba melepas infusnya. Namun, sebelum ia sempat menarik jarum dari kulitnya, suara berat yang begitu dikenalnya menghentikan gerakannya.

"Mau ke mana kamu?"

Alvian mendongak. Di ambang pintu, Kakek Liam berdiri dengan sorot mata tajam. Wajahnya sulit ditebak, antara kesal, kecewa, atau mungkin… peduli?

"Mencari Laila," jawab Alvian lemah, tapi penuh tekad.

Tuan Liam tertawa sinis. "Mencari Laila? Dengan tubuh selemah itu?" Nada suaranya penuh sindiran.

Alvian mengepalkan tangannya. "Aku tidak lemah."

"Jangan memaksakan diri!" Kakek Liam berjalan mendekat, tatapannya tajam menusuk. "Kondisimu masih belum membaik. Jangan bertindak bodoh lagi!"

Alvian menggeleng, napasnya berat, tapi tekadnya tak tergoyahkan. "Tidak, Kek. Aku tidak bisa hanya diam saja. Aku harus mencari istriku."

Kakek Liam menyipitkan mata, lalu mendengus. "Mau mencarinya di mana?"

"Di mana saja! Aku akan mencari sampai menemukannya."

Kakek Liam menghela napas panjang, matanya menyiratkan emosi yang sulit dibaca. "Dasar anak keras kepala!" geramnya.

Alvian tak peduli. Tangan bergetarnya kembali bergerak, hendak menarik jarum infus yang tertancap di tangannya. Namun, suara kakeknya menghentikan gerakannya seketika.

"Kalau kamu begitu ingin bertemu dengan Laila…" suara Kakek Liam lebih tenang, namun penuh tekanan. "Kenapa kamu menyakitinya?"

Seakan dihantam kenyataan yang menyakitkan, tangan Alvian terhenti di udara. Matanya menatap kosong ke depan.

Ya… kenapa?

Satu pertanyaan itu menghantamnya lebih keras daripada tamparan yang pernah ia terima dari kakeknya. Bayangan masa lalu berkelebat dalam pikirannya. Dirinya yang begitu bodoh, begitu angkuh. Terang-terangan mengabaikan Laila. Menyatakan cinta kepada wanita lain di depan istrinya sendiri.

Namun, waktu telah mengubah segalanya. Tanpa sadar, Laila bukan lagi sekadar wanita yang dipaksakan masuk ke dalam hidupnya. Dia adalah seseorang yang, meski tak pernah ia akui sebelumnya, kini menjadi pusat dunianya.

Tanpa Alvian tahu tentang fakta bahwa Laila lah perempuan yang selama ini dia cari, Alvian sudah memiliki perasaan kepada Laila. Apalagi sekarang dia sudah tahu, entah bagaimana perasaan Alvian. Semua bercampur dan sulit untuk dideskripsikan

"Aku akui…" suara Alvian terdengar serak. "Dulu aku tidak bisa menerima pernikahanku dengan Laila. Kakek tahu siapa yang dulu aku cintai."

Kakek Liam menatap tajam. "Siapa? Bella?"

Alvian langsung menggeleng. "Tidak. Aku tidak punya hubungan apapun dengan Bella lagi. Aku memang pernah dekat dengannya… tapi itu sebelum aku tahu kebenaran."

"Kebenaran apa?"

Alvian mengepalkan tangannya. "Bahwa dia berbohong! Bella mengaku sebagai perempuan yang selama ini aku cari, tapi itu semua dusta. Saat aku tahu, aku langsung menyelesaikan segalanya dengannya. Aku ingin menata ulang hidupku, Kek. Aku ingin memperbaiki semuanya."

Kakek Liam menatapnya tajam, seolah menilai apakah kata-kata cucunya itu jujur atau tidak. "Kalau memang sudah selesai, kenapa foto-foto itu ada?"

Alvian menggeleng, frustrasi. "Aku juga tidak tahu, Kek! Aku memang pernah bertemu Bella di hotel dan restoran, tapi demi Tuhan, aku tidak pernah menginap di sana bersamanya! Aku bersumpah, Kek!"

Suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang tertahan. Meski tubuhnya lemah, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Alvian bukan lagi pria yang hanya berbicara tanpa tindakan—kali ini, dia benar-benar akan berjuang. Karena di titik ini, kehilangan Laila bukanlah pilihan.

Kakek Liam tetap membisu, tatapannya sulit ditebak. Seakan menimbang, menguji seberapa jauh kesungguhan cucunya.

Hening sesaat, sebelum akhirnya suara berat Kakek Liam memecah keheningan. "Kalau memang begitu, buktikan bahwa foto itu salah."

Alvian menatap lurus ke mata sang kakek. "Tanpa Kakek minta pun, aku akan membuktikannya. Aku tidak peduli bagaimana caranya, aku akan mengungkap siapa yang menjebakku." Ia menarik napas dalam, suaranya melemah saat melanjutkan, "Jadi, aku mohon… Katakan dimana Laila sekarang."

Namun, alih-alih menjawab, Kakek Liam menggeleng perlahan. "Buktikan dulu. Setelah itu, baru Kakek akan memberitahumu."

Tatapan tajamnya menunjukkan bahwa ucapannya bukan ancaman kosong. Berapa pun Alvian memohon, kakeknya tidak akan goyah.

Alvian mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras, tetapi dia tidak akan menyerah. Dengan penuh keyakinan, ia menatap lurus ke depan.

"Baik, Kek. Aku akan membuktikannya secepatnya."

Kakek Liam mengamati cucunya yang masih berusaha keras duduk tegak meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ada kelelahan yang jelas tergambar di wajah Alvian, tetapi juga kegigihan yang sulit diabaikan.

Namun, kegigihan saja tidak cukup. Tubuhnya lemah, dan jika ia tetap memaksakan diri, maka ia hanya akan jatuh sebelum bisa membuktikan apapun.

"Jangan bertindak bodoh lagi, Alvian." Suara Kakek Liam terdengar tegas namun tidak setajam sebelumnya. "Kalau kau benar-benar ingin membuktikan bahwa kau tidak bersalah, maka sembuhkan dulu dirimu. Kau tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tubuhmu masih selemah ini."

Alvian membuka mulut, ingin membantah, tetapi tatapan kakeknya begitu kokoh.

"Istirahatlah dulu. Pulihkan tubuhmu. Baru setelah itu, lakukan apa yang kau katakan."

Untuk pertama kalinya sejak semalam, Kakek Liam terdengar tidak sepenuhnya dingin. Ada nada prihatin di balik kata-katanya.

Alvian mengepalkan tangannya, berusaha meredam keinginannya untuk segera beranjak dan mencari Laila. Namun, dia tahu kakeknya benar. Dengan tubuh selemah ini, dia bahkan tidak bisa berdiri tegak, apalagi mencari kebenaran.

Akhirnya, Alvian menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Baik, Kek. Aku akan istirahat… "

Kakek Liam tidak menjawab, hanya menatap cucunya sejenak sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar.

Saat pintu tertutup, Alvian menatap langit-langit dengan mata yang dipenuhi tekad. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu. Begitu tubuhnya pulih, dia akan mencari kebenaran. Foto yang sudah dimanipulasi, perbuatan itu sangat rendah sekali. Apa Bella yang melakukannya? Apalagi Bella memang ingin menghancurkan rumah tangganya. Awas saja kalau memang benar karena Alvian tidak akan diam begitu saja.

***

Disisi lain, rumah sederhana dengan begitu banyak pepohonan di kiri dan kanannya tersinari matahari. Di dalamnya ada perempuan yang pergi dari suaminya. Siapa lagi kalau bukan Laila. Dia seperti orang yang tidak punya semangat hidup. Hanya duduk di dalam kamar dengan membatasi sinar matahari yang masuk.

Suara ketukan pintu terdengar. Suara Ibu Laila terdengar.

"Iya, Bu..." jawab Laila.

"Makan dulu, Nak."

"Nanti saja, Bu." Rasanya nafsu makan Laila akhir-akhir ini berkurang. Bahkan dia tidak ingin makan sama sekali kalau Ibunya tidak begitu sibuk menyuruhnya untuk mengisi perut.

"Ibu masuk ya?" izin Ibu.

"Iya, Bu. Masuk aja."

Pintu kamar Laila terbuka. Ibu masuk ke dalam. "Kenapa gordennya nggak dibuka?"

Laila yang tadinya berbaring langsung duduk. "Nggak apa-apa, Bu."

"Kamu ini ya." Ibu menggeser kain gorden agar cahaya matahari masuk.

"Oh ya, kapan Nak Alvian datang?" tanya Ibu penasaran. Apalagi anaknya datang ke sini hanya karena rindu saja.

Laila gelalapan untuk menjawab. Dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Pasti Ayah dan Ibu akan sedih. Apalagi Ayahnya tidak akan tinggal diam. Lebih baik dirahasiakan lebih dulu sampai Laila benar-benar yakin untuk membuat keputusan.

"Nggak tau, Bu. Mas Alvian masih sibuk."

"Oalah..."

Ibu duduk ditepi ranjang. Dia menatap Laila dengan penuh kasih sayang. "Oh ya, apa kamu sedang ada masalah?" Ibu bertanya dengan sedikit ragu.

Laila langsung menggeleng. "Enggak kok, Bu. Aku cuma rindu aja makanya kesini."

"Beneran? Kamu nggak berantem sama suamimu?"

"Beneran, Bu. Aku nggak berantem sama Mas Alvian. Ibu sama Ayah jangan khawatir ya." Laila mencoba untuk tetap tenang.

"Syukurlah. Pokoknya kalau ada masalah jangan disimpan sendiri." Ibu mengusap pucuk kepala Laila.

"Terima kasih, Bu." Laila tidak akan sanggup cerita. Hatinya sangat sakit sekali setiap kali mengingat foto yang masuk ke dalam ponselnya. Dari banyaknya perempuan, kenapa perempuan yang bersama suaminya harus Bella? Laila jadi tidak bisa berpikir rasional seperti biasanya.


***

BAB 30  Bella Menghilang

***

Alvian hanya butuh satu hari untuk beristirahat. Dia tidak mau membuang-buang waktu dengan hanya berbaring di atas ranjang saja. Meskipun kondisinya belum sepenuhnya pulih, infus yang melekat pada tangan Alvian sudah tidak ada lagi. Alvian bahkan sudah keluar dari rumah kakeknya. Alvian memutuskan untuk kembali ke rumah. Dia masih berharap jika Laila ada disana. Tapi pada kenyataannya tidak ada. Rumah kosong seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Hanya lampu otomatis yang menyala jika waktu malam datang.

Alvian menatap area dapur, disana Laila selalu membuatkan makanan untuknya. Bahkan saat Alvian menolak mentah-mentah makanan itu, Laila tidak menyerah dan tetap membuatnya.

Alvian merasa sangat sedih sekali. Dadanya terasa begitu sesak. Dia tidak sanggup terlalu lama berada di rumah ini karena membuatnya semakin merindukan Laila. Rumah ini sudah melekat pada diri Laila, bahkan aromanya juga khas Laila sekali.

Alvian tersenyum getir melihat setiap sudut rumah. Berantakan sekali karena saat Alvian menggila mencari Laila, dia membongkar segalanya. Alvian sangat kalut, bahkan dia mengeluarkan sesuatu yang tidak penting.

Alvian menghela nafas panjang. Merasa berat untuk melewati hari yang begitu lambat berputar. Alvian menunggu momen bertemu dengan istrinya lagi.

Alvian tidak akan denial lagi. Dia akan mengakui bahwa dia mencintai istrinya itu. Walaupun Laila bukan perempuan yang ia cari selama ini, Alvian tetap akan mencintainya.

Alvian membersihkan diri. Dia menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya, mencoba mengusir kepenatan dan kekacauan pikirannya. Namun, tak peduli seberapa lama ia berdiri di bawah aliran air, perasaannya tetap sama yaitu kosong dan berantakan.

Setelah selesai, Alvian mengenakan pakaian formal seperti biasanya. Namun, karena pikirannya tidak fokus, ia mengenakan jas berwarna navy dengan dasi merah yang sama sekali tidak cocok. Rambutnya juga sedikit berantakan karena ia terburu-buru.

Sesampainya di perusahaan. Begitu banyak karyawan yang menatapnya. Bahkan mereka ingin bertanya apa yang terjadi dengan atasannya itu, tapi tidak ada yang berani.

"Wow..." Dylan datang dengan mulut ternganga saking tidak percayanya. Alvian itu terkenal dengan laki-laki fasionable dan juga rapi. Tapi sekarang, Alvian terlihat berbeda.

Alvian tidak peduli dengan respon Dylan, dia tetap melangkah menuju ke ruangannya.

"Lo masih sakit?" tanya Dylan yang juga mengikuti langkah.

"Nggak!" Meskipun wajahnya masih pucat tapi Alvian tidak mau dianggap sakit.

"Terus kenapa lo jadi aneh gini?" Dylan sangat penasaran.

"Aneh apaan?" Alvian mengerutkan kening.

Dylan sambil mengernyit. Matanya menyapu penampilan Alvian dari atas ke bawah. "Sejak kapan lu jadi orang yang nggak peduli sama fashion? Jas navy dan dasi merah? Seriusan lo pakai beginian?"

Alvian mengerutkan kening, lalu melihat ke bawah, memperhatikan pakaiannya. Ia baru sadar kalau penampilannya benar-benar berantakan. Biasanya, ia selalu tampil rapi dan sempurna, tapi hari ini… pikirannya benar-benar kacau.

"Hm." Hanya itu komentar Alvian. Dia tidak mau memikirkan hal yang tidak penting. Apalagi hanya soal pakaiannya saja.

Dylan geleng-geleng kepala. "Aneh," lirihnya.

Sesampainya di ruangannya, Alvian melepas jasnya dan mengabaikan komentar Dylan tentang penampilannya. Ia lalu menekan tombol interkom untuk menghubungi sekretarisnya.

"Suruh Renal datang ke ruangan saya sekarang." Suaranya terdengar tegas, tanpa emosi.

"Baik, Pak," jawab Ryan.

Dylan yang masih berdiri di dekat meja langsung mengernyit. "Kenapa manggil Renal ?" tanyanya curiga. "Apa ada masalah sistem keamanan game kita?" tanyanya lagi.

Alvian menggeleng.

"Terus apa?"

Alvian tidak menjawab, hanya mengambil ponselnya, membuka galeri, lalu menampilkan foto-foto yang menjadi penyebab hancurnya rumah tangganya. Saat Dylan melihat layar ponsel itu, matanya langsung melebar.

"Brengsek! Apa ini?!" Dylan hampir saja merampas ponsel dari tangan Alvian. Rahangnya mengeras, dan dalam sekejap, ekspresi bingungnya berubah menjadi marah. "Lo udah nikah gila! Kenapa lo ngelakuin hal rendahan gini?"

"Santai dulu," ujar Alvian.

"Lo masih nyuruh gue santai? Jelas-jelas lo brengsek gini. Padahal istri lo baik banget." Dylan benar-benar marah sekali.

"Gue nggak pernah melewati batas."

"Kalau nggak pernah, kenapa ada foto ini?" Dylan semakin tidak mengerti.

"Gue juga nggak tau. Tiba-tiba foto itu dikirim ke istri gue. Padahal lo tau sendiri gue udah menyelesaikan urusan dengan Bella."

"Lo yakin nggak melakukan apapun?" Dylan ingin memastikan. Tatapannya bahkan serius dan fokus menatap Alvian. Dia ingin mencari kebohongan jika Alvian memang berbohong padanya.

Alvian menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya yang semakin memuncak. Ia tahu Dylan bukan sekadar marah, sahabatnya itu kecewa.

"Lo pikir gue sebodoh itu?" suara Alvian terdengar lebih rendah, tapi penuh tekanan. "Lo kenal gue, Dylan. Walaupun gue brengsek, gue nggak sebodoh itu buat melakukan hal yang melewati batas sama perempuan yang nggak halal."

Dylan masih menatapnya tajam, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah Alvian. Namun, yang ia temukan justru kepedihan yang nyata.

"Foto ini dikirim ke Laila secara anonim," lanjut Alvian, suaranya lebih dingin. "Gue nggak pernah menyentuh Bella. Gue memang pernah ke hotel. Itu pun gue nggak sengaja ketemu sama dia. Gue cuma makan dan setelah itu pulang. Tapi entah kenapa, ada foto yang ngasih kesan sebaliknya."

Dylan melirik ponsel itu sekali lagi. Gambar di layar menunjukkan Alvian dan Bella dalam keadaan yang tidak pantas—tampak begitu nyata, begitu menghancurkan.

"Kalau lo beneran nggak ngelakuin ini, berarti foto ini palsu," gumam Dylan, kini suaranya lebih tenang tapi tetap tegang.

"Ya, gue jamin seratus persen foto itu palsu dan gue harus membuktinya," tegas Alvian. "Sebelum semuanya terlambat."

Pintu diketuk.

Tanpa menunggu izin, Renal masuk dengan langkah cepat, membawa tablet di tangannya. "Anda memanggil saya, Pak Alvian?" tanyanya sopan.

Alvian mengangguk, lalu menyerahkan ponselnya kepada Renal. Tatapannya tajam, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.

"Cek apakah foto ini nyata atau editan. Saya butuh bukti yang kredibel, secepatnya," tegasnya.

Renal menerima ponsel itu dengan ekspresi serius. Jemarinya lincah menelusuri layar, matanya fokus meneliti detail gambar. Seketika atmosfer ruangan dipenuhi ketegangan yang semakin menyesakkan.

Dylan masih menatap Alvian, seolah ingin mengajukan pertanyaan yang belum terucap. Matanya menyiratkan keraguan dan keingintahuan yang dalam.

"Lo yakin ini editan?" suara Dylan terdengar lebih pelan, tapi penuh tekanan.

"Kalau gue yakin ini asli, gue nggak bakal sebingung ini, Dylan," balas Alvian dengan nada rendah namun tegas. "Gue tahu apa yang gue lakukan dan apa yang nggak gue lakukan."

Dylan masih diam, memperhatikan perubahan ekspresi sahabatnya itu. Ia mengenal Alvian lebih dari siapapun. Jika Alvian benar-benar merasa bersalah, ia pasti sudah mengaku. Tapi saat ini, yang ia lihat bukan rasa bersalah, melainkan ketidakadilan.

"Ini aneh, Pak..." gumam Renal tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.

Dylan dan Alvian langsung menoleh ke arahnya. "Apa maksudnya?" tanya Alvian buru-buru.

Renal mengernyit, lalu memperbesar gambar di layar. "Dari segi komposisi cahaya dan tekstur, ada sesuatu yang nggak sinkron. Seperti ada bagian yang ditumpangkan di atas gambar asli. Saya perlu waktu lebih lama buat analisis mendalam, tapi insting saya bilang... foto ini nggak murni."

"Baik, berikan hasil secepatnya."

Renal mengangguk. Dia pamit keluar dari ruangan. Alvian tidak hanya diam. Dia menatap Dylan. Kemudian berkata, "Tolong handle perusahaan beberapa hari ini, kalau ada urusan yang tidak bisa diwakilkan gue akan menanganinya sendiri."

"Oke. Tapi jangan lama-lama. Pekerjaan banyak."

Dylan tidak bisa berlama-lama diruangan Alvian. Dia juga punya banyak kerjaan dan memilih keluar. Alvian mencoba untuk menghubungi Bella. Tapi sayangnya nomor Bella sudah tidak aktif lagi.

"Sialan!" umpat Alvian sambil mencengkram ponselnya dengan kuat.

Alvian tidak bisa menunggu. Dia keluar dari ruangan dan akan mendatangi tempat kerja Bella langsung. Bella sudah berani macam-macam dengannya. Alvian tidak akan diam dan akan membawa kasus ini ke jalur hukum.

Sebelum itu, Alvian akan membawa Bella bertemu dengan kakeknya lebih dulu. Bella harus menjelaskan bahwa mereka tidak punya hubungan apa-apa agar kakeknya percaya. Bella juga harus meminta maaf kepada istrinya.

Alvian pergi bersama Ryan. Jarak perusahaan dimana Bella bekerja dengan perusahaannya tidak begitu jauh. Sesampainya disana, Ryan keluar.

Ryan melangkah cepat menuju lobi gedung, sementara Alvian tetap duduk di dalam mobil, mengetukkan jemarinya dengan tidak sabar. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.

Beberapa menit berlalu sebelum Ryan kembali. Wajahnya terlihat serius, dan itu bukan pertanda baik. Alvian langsung menegakkan tubuhnya begitu Ryan masuk ke dalam mobil.

"Gimana?" tanya Alvian buru-buru.

Ryan menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Maaf, Pak. Bella sedang cuti. Tidak ada yang tahu dia dimana.

Alvian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Cuti? Kenapa tiba-tiba?"

"Saya tidak tahu, Pak. Cutinya dimulai dari dua hari yang lalu."

Alvian memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kusut. Ini terlalu mencurigakan. Bella pergi tepat setelah foto-foto itu menyebar? Apakah ini kebetulan, atau memang dia sengaja menghilang?

"Sialan!" umpat Alvian lagi.

 
 
***
Bersambung....
 
 
 
 
 
 
 


























 

Cerita Populer Lainnya

SUAMI YANG KU KIRA PENGANGGURAN

  Bab 1 Batal Menikah  Rena bersandar di tiang parkir. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Bahkan Rena sengaja sudah berada di parkiran pagi buta begini. Dia tidak peduli pandangan orang lain yang menyebutnya aneh. Tapi keberadaan Rena tentu sudah diketahui petugas keamanan hotel. Rena hanya menunggu seseorang saja. Jujur saja meskipun ia terlihat biasa saja, namun hatinya sedang kacau. "Wah...luar biasa." Rena bertepuk tangan saat seseorang laki-laki keluar sambil menggandeng perempuan. Laki-laki itu tampak terkejut dan langsung melepaskan tangan perempuan yang tadinya digandeng. Rena tersenyum lebar seakan-akan melihat sesuatu yang menyenangkan. "Re-rena..." ujar laki-laki itu dengan terbata-bata. Dia pasti kaget luar biasa. Dia menyangka Rena akan menunggu di parkiran begini. "Setelah lama aku curiga, ternyata kamu benar-benar melakukannya." Laki-laki itu menggeleng dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya. "Tidak, Rena. Aku bisa j...

Bab 13-25

 Bab 13 Tidak Sendirian Kahfi tidak ingin tahu secara setengah-setengah, jadi dia membayar orang untuk mencari kembali informasi mendalam tentang Rena. Bukan hanya tentang siapa yang dekat dengan Rena, namun tetap kehidupan Rena selama ini. Uang yang dikeluarkan Kahfi tidaklah sedikit. Namun dia tidak keberatan sama sekali. Dia hanya ingin tahu sehingga bisa melindungi Rena. Sampai sekarang, tangan Kahfi masih gemetaran. Memar ditubuh Rena tidak bisa dikatakan biasa, apalagi banyak bekas luka di lengannya. Kahfi duduk dengan pikiran yang kacau.  Kemudian Abizar datang dengan langkah tenang, jas putihnya tampak rapi seperti biasa. Tanpa berkata-kata, ia duduk disamping Kahfi. Kemudian mengulurkan kopi. Kahfi masih diam, matanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya menggenggam erat perangkat itu, seolah takut ada sesuatu yang lolos dari perhatiannya. “Kopi hitam, tanpa gula,” kata Abizar akhirnya, menatap adiknya yang jelas-jelas sedang frustasi. Kahfi melirik sekilas...

Bab 26-Ending

Bab 26 Cantik Jantung Kahfi berdegup kencang. Begitu membuka mata, wajah cantik perempuan yang telah menarik perhatiannya sejak sepuluh tahun lalu langsung menyambut pandangannya. Ia masih sulit untuk percaya. Sosok Rena kini adalah istrinya, sah di mata agama dan hukum. Kebahagiaan itu meluap begitu saja, namun terselip juga rasa sedih yang tak bisa ia abaikan. Di hari bahagianya, justru tubuhnya melemah hingga pingsan. Apa dirinya benar-benar selemah itu? Kahfi menghela napas, merasa kesal pada diri sendiri. Namun dibalik semua itu, ada perasaan hangat yang tak bisa disembunyikan. Ia senang sekaligus lega. Ia bertekad, mulai hari ini dan seterusnya, senyum harus selalu menghiasi wajah Rena. Kahfi menoleh, memperhatikan istrinya yang tertidur di sampingnya. Rena masih mengenakan hijab, tampak begitu damai dalam lelapnya. Tanpa sadar, senyum kembali terbit di bibir Kahfi. Istrinya menang cantik sekali. Selain cantik wajahnya, hatinya juga cantik. Kahfi benar-benar beruntu...