Bab 13 Tidak Sendirian
Kahfi tidak ingin tahu secara setengah-setengah, jadi dia membayar orang untuk mencari kembali informasi mendalam tentang Rena. Bukan hanya tentang siapa yang dekat dengan Rena, namun tetap kehidupan Rena selama ini. Uang yang dikeluarkan Kahfi tidaklah sedikit. Namun dia tidak keberatan sama sekali. Dia hanya ingin tahu sehingga bisa melindungi Rena. Sampai sekarang, tangan Kahfi masih gemetaran. Memar ditubuh Rena tidak bisa dikatakan biasa, apalagi banyak bekas luka di lengannya.
Kahfi duduk dengan pikiran yang kacau. Kemudian Abizar datang dengan langkah tenang, jas putihnya tampak rapi seperti biasa. Tanpa berkata-kata, ia duduk disamping Kahfi. Kemudian mengulurkan kopi.
Kahfi masih diam, matanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya menggenggam erat perangkat itu, seolah takut ada sesuatu yang lolos dari perhatiannya.
“Kopi hitam, tanpa gula,” kata Abizar akhirnya, menatap adiknya yang jelas-jelas sedang frustasi.
Kahfi melirik sekilas, lalu menghela napas panjang. “Makasih, Bang.”
Abizar menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati raut wajah Kahfi yang penuh tekanan. Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai obrolan.
“Nggak usah terlalu dipikirkan,” ujarnya.
Kahfi memijat pangkal hidungnya. “Aku maunya juga gitu, tapi…” Kahfi berhenti berbicara.
“Aku maunya juga gitu, tapi…” Kahfi berhenti berbicara. Napasnya memburu, seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya.
“Tapi apa?”
Kahfi hanya menggenggam kopinya dengan erat, seakan sedang mencari keberanian dari benda mati itu.
“Aku nggak ngerti, Bang. Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Kenapa dia memilih diam padahal jelas-jelas dia mengalami kekerasan?” Suaranya terdengar putus asa.
Abizar menghela napas. “Karena nggak semua orang bisa terbuka soal apa yang mereka alami. Rena mungkin sudah terlalu sering bertahan sendirian.”
Kahfi menunduk. Apa tidak ada satupun orang disamping Rena? Bahkan dia ke rumah sakit hanya sendiri dan sampai saat ini tidak ada orang yang datang sama sekali untuk mencari dirinya.
“Aku sudah bayar orang untuk menyelidiki semuanya, Bang. Aku butuh tahu siapa yang melakukan ini ke dia.”
Abizar menatap Kahfi dalam diam, lalu berkata, “Dan kalau sudah tahu? Kamu mau apa?”
Kahfi mengepalkan tangan. “Aku nggak akan diam.”
“Jangan bertindak gegabah, Kahfi,” tegur Abizar tegas. “Kalau Rena sendiri masih memilih diam, kamu nggak bisa sembarangan bertindak. Apalagi kamu tidak punya hubungan apa-apa dengannya."
Seperti bom yang menyambar, kata-kata abangnya begitu sangat menyadarkan diri Kahfi. Ya memang benar, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Rena. Tapi dia tidak bisa hanya diam saja.
“Jadi aku harus gimana, Bang?” Kahfi menatap abangnya dengan penuh kefrustasian.
“Dekati Rena secara perlahan-lahan. Abang yakin, kamu bisa membuat Rena tertarik. Apalagi kamu cukup tampan."
Kahfi terkejut. Selama dia hidup, abangnya tidak pernah mengatakan dia tampan atau sejenisnya. “Apa aku tampan, Bang?” tanyanya memastikan.
Abizar terkekeh. Kemudian dia pura-pura berpikir. “Kayaknya enggak sih,” jawabnya.
Kahfi langsung cemberut. Hal itu menjadi kesenangan sendiri untuk Abizar. Dia sangat suka menggoda adik bungsunya itu. Tidak lama setelah mengobrol dengan abanganya, Kahfi kembali melihat Rena. Pikirannya masih tidak tenang sama sekali.
Saat membuka mata, Rena terkejut dengan kehadiran sosok yang tidak asing bagi dirinya. Dia memastikan apa penglihatannya bermasalah atau tidak.
"Halo..." sapa Kahfi sambil tersenyum.
Rena bingung. Kenapa Kahfi ada di sini? Apalagi dia sedang berada dirumah sakit.
"Kenapa Mas ada disini?" tanya Rena dengan suara pelan. Tubuhnya masih lemah. Meskipun begitu, wajahnya menunjukkan rasa keterkejutan.
"Tadi aku nganterin pesanan makanan, terus nggak sengaja lihat kamu," jawab Kahfi asal. Semoga saja Rena percaya. Tapi dia memang mengantarkan pesanan makanan kakaknya saat Rena tidur tadi.
"Mas udah dapat kerja ya?" Rena sedikit antusias.
"Kerja sampingan doang, bukan kerja tetap," jawab Kahfi.
"Syukurlah." Rena lega meskipun pria di depannya ini belum mendapat pekerjaan tetap. Tapi tatapan Kahfi membuat dirinya merasa canggung sekali. Mereka tidak kenal secara dekat, tapi pertemuan keduanya benar-benar tidak bisa ditebak.
Kahfi bertanya mengenai kondisi Rena, dia seperti orang yang pura-pura tidak tahu. Padahal Abizar sudah mengatakan bagaimana kondisi Rena sekarang.
"Apa Mas tidak lanjut bekerja?" tanya Rena karena Kahfi masih berada di sini.
"Tidak ada pesanan yang masuk."
"Biasanya sehari dapat berapa pesanan?"
"Nggak tentu arah. Kadang nggak dapat, kadang dapat satu." Kahfi menundukkan kepala.
Rena menatap Kahfi dengan sedih. Padahal dia tampak seperti orang yang bisa diterima dimana saja saat melamar pekerjaan, tapi nyatanya dia hidup terluntang lanting dengan penghasilan yang tidak tetap.
“Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Kahfi.
Rena tersenyum tipis, kemudian menggeleng. Tidak ada keluarga yang menemani dirinya. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan kalaupun dirinya sekarat, ayahnya juga tidak akan peduli. Tiba-tiba air mata Rena mengalir begitu saja. Tentu saja Kahfi panik saat melihatnya.
Kahfi segera bangkit dari duduknya, panik melihat air mata Rena jatuh tanpa suara. Dia mengira Rena kesakitan, mungkin ada sesuatu yang salah dengan kondisinya.
“Apa yang sakit, Mbak?” tanyanya dengan napas memburu. Dia ingin memanggil dokter, namun sebelum Kahfi sempat melakukannya, Rena menghentikannya.
“Jangan,” ucapnya cepat.
Kahfi mengerutkan kening. “Kenapa? Kamu menangis. Pasti ada yang sakit. Saya akan panggil dokter.”
Rena justru tersenyum lebar, wajahnya sedikit memerah, mungkin karena menahan tawa. “Saya tidak apa-apa, Mas.”
“Tapi kamu nangis,” balas Kahfi, masih bersikeras. Matanya menatap penuh khawatir.
Rena menghela napas, lalu menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Saya nangis bukan karena sakit. Saya hanya ingin menangis saja.”
“Jangan menangis,” pinta Kahfi dengan sorot matanya sedu.
“Saya tidak apa-apa, Mas. Jangan khawatir.” Rena kembali tersenyum untuk meyakinkan.
Namun, Kahfi masih belum bisa tenang. Ia menatap Rena dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran, seolah tak bisa menerima begitu saja jawaban gadis itu.
“Kamu yakin?” tanyanya pelan, masih mencari tanda-tanda bahwa Rena sebenarnya menahan sakit.
Rena mengangguk kecil. “Yakin. Saya hanya merasa… saya nggak tahu.” Ia tertawa kecil, meskipun matanya masih sedikit berkaca-kaca. “Mungkin saya cuma lelah.”
Kahfi mendesah pelan. Ia duduk kembali di kursinya, menatap gadis di hadapannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Kalau kamu lelah, kamu bisa istirahat,” katanya. “Kalau butuh sesuatu, bilang ke saya.”
Rena tersenyum, lalu menatap Kahfi dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kenapa Mas Kahfi baik sekali ke saya?”
Kahfi terdiam. Ia tidak langsung menjawab. Ada banyak alasan di kepalanya, tetapi ia sendiri tidak yakin mana yang paling tepat untuk diucapkan.
Akhirnya, ia hanya berkata, “Karena kamu orang baik.”
Rena sedikit terkejut mendengar jawaban itu. “Sepertinya Mas salah paham, saya bukan orang baik.”
Kahfi mengernyit, jelas tidak setuju dengan pernyataan Rena. “Kenapa kamu bilang begitu?” tanyanya, menatap gadis itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Rena tersenyum samar, namun ada kesedihan yang tersirat di matanya. “Saya bukan orang baik, Mas. Kalau saya memang baik, saya nggak akan ada di sini sendirian. Saya nggak akan…” Ia menggigit bibirnya, seolah ragu untuk melanjutkan.
Kahfi menunggu, tapi saat Rena memilih diam, ia akhirnya berkata, “Jangan bilang begitu. Orang baik pun bisa mengalami hal buruk.”
Rena menoleh, matanya bertemu dengan mata Kahfi. Ada kehangatan di sana, sesuatu yang membuatnya ingin percaya, tapi juga takut.
“Kamu nggak sendirian,” lanjut Kahfi, suaranya terdengar mantap.
Kata-kata Kahfi sungguh membuat Rena tidak bisa menahan air matanya. Memang hanya kata sederhana, tapi nyatanya sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang sudah mengalami hal yang sangat buruk dan tidak ada satupun orang disisinya.
Rena mengusap air matanya, lalu menatap Kahfi dengan senyum penuh rasa terima kasih. “Makasih, Mas Kahfi. Saya benar-benar berterima kasih.”
Kahfi hendak membalas, tapi kemudian melihat air mata kembali mengalir di pipi Rena. Panik, ia langsung maju sedikit, seolah siap melakukan sesuatu. “Mbak Rena, kenapa nangis lagi? Apa yang sakit? Saya panggil dokter, ya?”
Namun, alih-alih menjawab dengan wajah sedih, Rena malah tertawa kecil. Tawanya jernih dan ringan, membuat Kahfi terdiam di tempat.
“Saya baik-baik saja, Mas,” ucap Rena di antara tawanya. “Ini namanya terharu. Saya nggak pernah dapat kata-kata sebaik itu sebelumnya.”
Kahfi masih terpaku, matanya menatap Rena yang tertawa. Saat itu, ia baru menyadari tawa Rena begitu indah. Seolah-olah cahaya kembali muncul di wajahnya yang tadi terlihat penuh kesedihan.
Tanpa sadar, bibir Kahfi bergerak, suaranya lirih namun jelas. “Cantik.”
Rena langsung menghentikan tawanya. Mata mereka saling bertemu, dan tiba-tiba keheningan melingkupi ruangan. Kahfi baru menyadari apa yang baru saja ia katakan, dan dalam sekejap, telinganya terasa panas.
“E-Eh, maksud saya…” Kahfi berusaha mencari alasan, tapi kata-katanya justru menggantung di udara.
Rena masih menatapnya, wajahnya memerah. Lalu, perlahan, sudut bibirnya kembali tertarik membentuk senyum. “Mas bilang apa barusan?” tanyanya, suaranya penuh godaan.
Kahfi mengalihkan pandangan, mendadak merasa keringat dingin di tengkuknya. “Nggak, nggak apa-apa. Lupakan aja.”
Tapi Rena masih menatapnya dengan senyum jahil. “Makasih, ya, Mas,” katanya pelan.
Kahfi meneguk ludah. Entah kenapa, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
***
Bab 14 Kedatangan Orang Gila
Kahfi menggenggam laporan itu dengan tangan gemetar. Setiap kata yang tertulis di sana seperti bara api yang membakar dadanya. Matanya menelusuri halaman demi halaman, dan semakin dalam ia membaca, semakin kencang rahangnya mengatup.
Sejak ibu kandungnya meninggal, Rena diperlakukan seperti sampah oleh ayahnya sendiri.
Jari-jari Kahfi mengepal begitu erat hingga buku laporan itu sedikit terlipat di sudutnya. Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang ayah tega melakukan hal seperti itu pada anaknya sendiri.
Bukan hanya ayahnya, tetapi juga ibu tiri Rena yang seharusnya merawat dan melindungi justru memperlakukannya lebih buruk daripada pembantu.
Kahfi menekan dahinya, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin meledak-ledak. Ia benar-benar marah. Marah pada pria yang seharusnya disebut "ayah" oleh Rena. Marah pada wanita yang tidak punya hati nurani. Marah pada kenyataan bahwa Rena harus menanggung semua penderitaan itu sendirian.
Namun, yang membuat darahnya benar-benar mendidih adalah bagian terakhir dari laporan itu.
Rena akan dijodohkan dengan pria brengsek yang bahkan lebih buruk dari ayahnya sendiri.
Kahfi langsung berdiri, melempar laporan itu ke meja dengan kasar. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, otot-ototnya menegang seakan siap menghancurkan sesuatu. Dadanya terasa sesak oleh amarah yang tidak bisa ia bendung.
Sial. Tidak. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Dengan langkah lebar dan kasar, Kahfi mengambil ponselnya. Jemarinya bergetar saat ia membuka kontak dan menekan nomor seseorang. Begitu panggilan tersambung, suaranya terdengar dingin, penuh amarah yang tertahan.
“Cari tahu siapa laki-laki brengsek itu. Aku mau semua informasinya sekarang juga.”
Ia tidak akan tinggal diam. Tidak lagi. Dia akan menggagalkan semua rencana gila ayah Rena. Rasanya Kahfi ingin menghajar ayah Rena sekarang juga. Tapi dia tidak boleh gegabah, bisa-bisa Rena malah semakin menderita karena sekarang Kahfi bukan siapa-siapa Rena.
Kahfi bangkit dari kursi kerjanya. Dia bersiap-siap untuk menjenguk Rena kembali. Tentu saja Kahfi sudah mengganti pakaiannya. Dia tidak mau Rena menjauh jika tahu siapa dirinya. Apalagi Rena sangat menghindari laki-laki yang mapan karena mantan gilanya itu. Padahal mantannya hanya pegawai sipil biasa, tapi sudah bersikap sok punya segalanya sampai bermain perempuan.
Kahfi pergi menggunakan ojek online. Dia juga sempat berhenti diminimarket untuk membeli beberapa hal termasuk buah-buahan, cake dan juga yogurt.
Sesampainya di rumah sakit, Kahfi langsung menuju ke ruang rawat inap Rena. Dia mengetuk pintu, kemudian membukanya setelah mendapat izin dari orang yang ada didalamnya. Pintu terbuka dan Kahfi dikejutkan dengan keadaan dimana Rena malah duduk sambil menatap laptop. Padahal dia butuh istirahat total.
“Eh, Mas,” ujar Rena. Dia juga terkejut karena tidak menyangka Kahfi datang lagi.
Kahfi menghela napas panjang, menutup pintu dengan pelan lalu melangkah masuk. Tatapannya langsung tertuju pada layar laptop di depan Rena. Dahinya berkerut, dan matanya menyipit penuh ketidaksetujuan.
“Kamu harusnya istirahat,” tegur Kahfi, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
Rena tersenyum kecil, tapi tatapannya sedikit bersalah. “Saya baik-baik saja, Mas. Lagipula, saya hanya mengetik sedikit.”
Kahfi tidak langsung menjawab. Ia menaruh kantong plastik belanjaannya di meja kecil di samping ranjang, lalu menatap Rena. “Rena,” panggilnya dengan nada serius. “Kamu sadar nggak kalau kondisi kamu belum pulih sepenuhnya?”
Rena menghela napas, lalu menutup laptopnya dengan pelan. “Saya sadar, Mas. Tapi saya ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda," jelasnya.
Kahfi menatapnya dalam diam. Matanya menangkap guratan kelelahan di wajah Rena, meskipun gadis itu berusaha menutupinya dengan senyum. Ternyata selain keluarga Rena, tempat kerja Rena juga kurang ajar sekali. Sudah jelas karyawannya sedang dirawat, tapi masih saja disuruh bekerja. Benar-benar membuat Kahfi sangat marah.
Ingin rasanya Kahfi memeluk Rena, tapi dia tidak bisa melakukan itu. Mereka berdua belum halal sama sekali.
“Oh ya ini apa Mas?” Rena berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ada buah, ada yogurt sama cake.”
Pupil mata Rena membesar. Isi plastikanya bukan makanan biasa. Rena saja berpikir berkali-kali untuk membelinya, namun Kahfi malah membelikan untuk dirinya.
“Ini berapa, Mas?” Rena ingin menggantinya.
Kahfi menatap Rena dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gadis itu benar-benar ingin mengganti uangnya?
“Tidak usah,” jawab Kahfi.
“Tapi ini nggak murah, Mas.” Dahi Rena mengerut. Dia tidak bisa membiarkan orang yang sedang berusaha mencari pekerjaan tetapi malah membelikan makanan mahal untuknya.
“Tidak apa-apa. Kebetulan tadi malam saya dapat bonus dari kerjaan sampingan saya.”
“Serius, Mas?” Rena merasa berat hati.
Kahfi tersenyum. “Serius, Mbak. Jadi tidak perlu diganti.”
“Tapi Mas…”
“Mbak nggak mau nerima pemberikan saya ya?” potong Kahfi langsung dengan wajah sedih.
“Bu-bukan begitu, Mas.” Rena menuduk dalam. Dia bukan tidak tahu terima kasih, hanya saja dia tidak ingin merepotkan orang lain.
Kahfi terkekeh pelan melihat wajah Rena yang jelas-jelas merasa bersalah. “Ya udah, kalau bukan begitu, terima aja. Anggap ini hadiah karena Mbak udah mau istirahat dan nggak maksa kerja terus.”
Rena menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Makasih, Mas.”
“Nah, gitu dong.” Kahfi tersenyum puas. “Kalau masih merasa nggak enak, Mbak bisa bayar saya dengan cepat sembuh.”
Rena terkekeh mendengar ucapan itu. “Kalau gitu saya usahakan cepat sembuh.”
“Bagus.” Kahfi bersandar di kursi, memperhatikan bagaimana rona wajah Rena perlahan lebih cerah dibanding sebelumnya. Ia lega, setidaknya Rena sudah mulai menerima kehadirannya tanpa rasa canggung yang berlebihan.
Pintu kamar rawat inap Rena terbuka tiba-tiba. Kahfi dan Rena sama-sama melihat ke arah pintu masuk. Seorang pria tua melangkah masuk dengan percaya diri, senyumnya melebar dengan tatapan yang membuat bulu kuduk Rena meremang. Meskipun Rena tidak pernah bertemu secara langsung, namun dia sangat tahu tentang pria itu.
“Halo, Sayang,” sapanya dengan santai. Matanya yang penuh nafsu menelusuri tubuh Rena dari kepala hingga kaki, seakan-akan dia bukan manusia, melainkan barang dagangan yang siap diambil kapan saja.
“Si-siapa kamu?” ujar Rena langsung. Dia sangat ketakutan sekali. Bahkan ia berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
Tubuh Kahfi menegang saat melihat ekspresi ketakutan di wajah Rena. Matanya menatap tajam ke arah pria tua itu, penuh kewaspadaan.
Pria itu terkekeh pelan, seakan tidak terpengaruh oleh ketegangan yang terjadi di ruangan itu. “Jangan pura-pura tidak tahu, Sayang. Aku yakin ayahmu sudah memberitahumu tentang aku.”
Rena menggigit bibirnya, tubuhnya mulai gemetar. Ia benar-benar tidak ingin percaya, tapi pria ini… orang yang dijodohkan dengannya? Dadanya sesak, dan rasa mual memenuhi tenggorokannya.
“Pergi,” suaranya nyaris tidak terdengar.
Pria itu malah semakin mendekat, mengabaikan peringatan Rena. “Oh, jangan begitu. Kita akan segera menikah. Aku datang untuk menjengukmu.”
“MENIKAH?!” suara Kahfi meninggi, membuat pria itu akhirnya menoleh padanya. Wajahnya berubah sedikit masam saat menyadari keberadaan orang lain di ruangan itu.
“Siapa laki-laki bajingan ini?” tanya pria tua itu dengan nada suara meremehkan.
Kahfi mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras menahan emosi. Bajingan tua ini berani-beraninya masuk ke sini dan mengganggu Rena?
“Anda tidak perlu tau!” ketus Rena dengan tubuh bergetar.
“Sayang…. Kamu tidak boleh seperti itu kepada calon suamimu sendiri.”
Mata Rena berkaca-kaca, napasnya memburu di antara ketakutan dan kemarahan. “Jangan panggil saya seperti itu! Saya tidak pernah setuju dengan perjodohan ini, dan saya tidak akan pernah menikah dengan Anda!” suaranya bergetar, tetapi penuh ketegasan.
Pria itu mengangkat alisnya, seolah terkejut mendengar penolakan langsung dari Rena. “Oh? Jadi kamu berani menentang ayahmu sekarang?” Nada suaranya berubah dingin, penuh tekanan.
Kahfi memperhatikan dengan rahang mengatup. Bajingan ini benar-benar berpikir Rena adalah barang yang bisa dia ambil kapan saja!
“Ayah saya tidak berhak menjual saya!” bentak Rena, matanya penuh kemarahan bercampur rasa sakit.
Pria tua itu mendengus dan melipat tangan di depan dada. “Tapi sayang, kesepakatan sudah dibuat. Aku sudah membayar mahal untukmu. Kamu pikir bisa bebas begitu saja?”
Darah Rena membeku. Hatinya mencelos mendengar kata-kata menjijikkan itu. Napasnya tersengal, dan tubuhnya mulai gemetar hebat.
“Keluar…” ucapnya lirih.
Pria itu mengerutkan dahi. “Apa?”
“Keluar!!” Rena berteriak, kali ini suaranya memenuhi ruangan. Matanya basah, tetapi sorotannya penuh kebencian dan perlawanan. “Saya lebih baik mati daripada menikah dengan Anda! Sekarang pergi dari sini sebelum saya teriak minta bantuan!”
Kahfi tidak sanggup untuk tidak ikut campur, dia langsung mencengkeram kerah jas pria tua itu dengan tangan kuat, menyeretnya keluar dari kamar tanpa sedikit pun memedulikan protes atau perlawanan. Langkahnya tegas, penuh amarah yang tertahan. Begitu mereka mencapai lorong rumah sakit yang sepi, Kahfi mendorong pria itu dengan kasar hingga punggungnya menghantam dinding.
Pria tua itu terbatuk, wajahnya merah padam karena terkejut dan tersinggung. “Kurang ajar! Siapa kau berani—”
“Diam,” potong Kahfi dengan suara rendah, hampir seperti geraman. Tatapannya gelap, menusuk tajam seperti mata seekor predator yang siap menerkam mangsanya.
Pria itu tersentak, merasakan hawa bahaya yang menguar dari pemuda di depannya.
Kahfi mendekat, suaranya lirih tapi sarat dengan ancaman yang nyata. “Dengar baik-baik. Jika kau berani menyentuh Rena lagi, berani mendekatinya lagi maka aku akan membuatmu tidak bisa berjalan selama sisa hidupmu lagi.”
Pria itu menelan ludah, namun berusaha mempertahankan harga dirinya. “Kau pikir siapa dirimu, hah? Aku sudah membayar untuknya! Dia milikku!”
BRAK!
Kahfi menghantamkan kepalan tangannya ke dinding, hanya beberapa inci dari kepala pria itu. Dinding rumah sakit bergetar, dan suara dentuman keras menggema di lorong. Beberapa perawat yang lewat menoleh dengan kaget, tetapi Kahfi tidak peduli.
“Brengsek! Jangan main-main, sialan. Aku bisa membunuhmu sekarang juga."
Pria tua itu terdiam, tubuhnya menegang.
Kahfi menarik napas panjang, mencoba menahan dorongan untuk menghancurkan wajah pria itu saat itu juga. “Sekarang pergi. Sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran.”
Pria itu mengatupkan rahangnya, tampak ragu sejenak. Namun, sorot mata Kahfi yang penuh amarah membuatnya sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak bisa dia remehkan. Dengan mendengus, ia merapikan jasnya dan melangkah pergi dengan gerutuan tak jelas.
Kahfi tetap berdiri di tempatnya, menunggu sampai sosok menjijikkan itu benar-benar menghilang dari pandangannya.
Hanya setelah itu, ia menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang masih bergemuruh di dadanya. Tatapannya kembali mengarah ke pintu kamar Rena.
***
Bab 15 Pilih Saya!
Kahfi menarik napas panjang, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berdentam kencang setelah konfrontasi barusan. Dengan langkah cepat, ia kembali memasuki kamar rawat Rena.
Begitu pintu tertutup, matanya langsung menangkap sosok Rena yang duduk di ranjang, tubuhnya masih gemetar hebat. Napas gadis itu tersengal, dan wajahnya sedikit pucat. Kedua tangannya mencengkeram ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa menenangkannya.
“Mbak Rena…” suara Kahfi melunak. Ia melangkah mendekat, siap menenangkan gadis itu. “Tidak apa-apa, dia tidak akan berani mengganggu Mbak lagi,” lanjut Kahf tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di layar ponsel Rena.
Alisnya berkerut. Dengan refleks, ia langsung mengambil ponsel itu dari tangan Rena.
“Apa yang Mbak lakukan?” tanyanya dengan napas yang masih naik turun.
Tatapannya membeku begitu membaca tulisan di layar. Sebuah aplikasi pencarian jodoh terbuka, dengan kolom pendaftaran yang sudah hampir selesai diisi.
Rena terkejut dan langsung berusaha merebut kembali ponselnya, tetapi Kahfi mengangkatnya lebih tinggi, tak membiarkan gadis itu mendapatkannya. “Mas, kembalikan!” suara Rena penuh kepanikan.
Kahfi mengeraskan rahangnya. “Mbak mau cari suami di aplikasi ini?” suaranya terdengar tak percaya. “Apa Mbak serius melakukannya?”
Rena mengalihkan tatapannya, menggigit bibirnya dengan gelisah. “Sa-saya… Saya harus melakukan sesuatu, Mas. Kalau saya punya suami, Ayah tidak akan bisa menjodohkan saya dengan pria tua itu lagi.”
Kahfi mengepalkan tangan, menahan emosi yang kembali mendidih di dadanya. “Dan solusinya adalah mencari suami sembarangan di aplikasi?” desisnya tajam. “Apa Mbak pikir itu keputusan yang benar?”
Mata Rena memerah. “Lalu saya harus bagaimana, Mas?” suaranya bergetar. “Aku tidak punya siapa-siapa. Tidak ada yang bisa melindungi saya. Ayah akan terus menjual saya seperti barang dagangan. Kalau saya punya suami, setidaknya saya punya alasan kuat untuk menolak!”
Kahfi terdiam. Hatinya mencelos melihat air mata yang mulai menggenang di mata Rena. Gadis ini begitu putus asa, sampai rela menyerahkan dirinya pada seseorang yang bahkan belum ia kenal, hanya demi terbebas dari ayahnya sendiri.
Ia mengepalkan ponsel itu, menahan diri agar tidak langsung menghancurkan benda itu di tangannya. Dadanya naik turun, otaknya berpikir cepat.
Akhirnya, ia menarik napas panjang dan menatap Rena dengan serius. “Kalau mbak butuh alasan kuat untuk menolak perjodohan itu…” ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara mantap, “Kenapa bukan saya saja?”
Mata Rena membelalak, tubuhnya menegang. “A-apa?”
Kahfi menatapnya tanpa ragu. “Pilih saya menjadi suami, Mbak," ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Rena benar-benar terkejut. Keheningan terjadi beberapa detik, sampai keheningan itu terpecah dengan tawanya. “Mas nggak udah bercanda,” ujarnya.
Namun, Kahfi tidak tertawa. Tatapannya tetap serius, menunjukkan bahwa ucapannya bukan sekadar candaan.
“Saya tidak bercanda, Mbak.” Suaranya tegas, nyaris terdengar seperti perintah. “Kalau memang satu-satunya cara agar Mbak Rena bisa menolak perjodohan itu adalah dengan menikah, kenapa bukan saya saja?”
Tawa Rena perlahan menghilang. Wajahnya berubah tegang. “Mas... jangan ngomong aneh-aneh. Pernikahan bukan sesuatu hal yang main-main."
“Mbak tau bahwa pernikahan bukan sesuatu yang main-main, tapi kenapa Mbak mencari suami melalui aplikasi tidak jelas itu?”
Rena terdiam.
Kahfi melangkah mendekat, menatap Rena dengan sorot tajam yang penuh ketegasan. “Jadi, Mbak lebih percaya sama orang asing di aplikasi dibanding saya?”
Rena menunduk, jemarinya menggenggam erat selimut di pangkuannya. “Bukan begitu…” suaranya melemah. Rena juga bingung sendiri.
“Jadi kenapa?” Kahfi butuh sebuah penjelasan. Jangan sampai Rena terjebak dengan laki-laki yang tidak baik. Dia tidak bisa membayangkan jika itu terjadi.
“Saya tidak ingin membuat Mas terjebak dalam situasi yang buruk,” jelas Rena.
“Situasi buruk seperti apa, Mbak?”
“Mas bisa menikah dengan orang yang Mas cintai, bukan saya.”
Rahang Kahfi menegang.
"Jadi kenapa?" Kahfi menuntut jawaban, tatapannya tajam menusuk. Ia butuh penjelasan. Jangan sampai Rena terjerumus ke dalam pernikahan dengan pria yang tidak baik. Membayangkan hal itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak.
“Saya tidak ingin menyeret Mas ke dalam situasi yang buruk,” suara Rena terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang penuh keraguan.
"Situasi buruk seperti apa, Mbak?" Kahfi tetap tak mengalihkan tatapannya, berusaha membaca setiap ekspresi di wajah Rena.
Rena menelan ludah, menundukkan kepala. "Mas bisa menikah dengan orang yang Mas cintai… bukan saya," ucapnya dengan getir.
Rahang Kahfi mengeras. Ada sesuatu dalam jawaban Rena yang mengusiknya. Ia tidak menyukai cara gadis itu meremehkan dirinya sendiri, seolah-olah ia tidak pantas untuk dicintai.
“Jadi menurut Mbak, saya tidak bisa mencintai Mbak?”
Rena terdiam. Jemarinya menggenggam erat selimut di pangkuannya. Hatinya penuh ketakutan dan kebimbangan.
Kahfi menghela napas dalam. “Mbak, saya bukan tipe orang yang asal bicara. Saya nggak mungkin menawarkan diri kalau saya nggak siap dengan segala konsekuensinya.”
“Tapi…”
“Menurut Mbak, kenapa saya setiap minggu datang ke rumah makan gratis? Kemudian saya juga datang ke sini melihat Mbak, menurut Mbak kenapa saya melakukan ini semua?" potong Kahfi langsung.
Tubuh Rena langsung membeku. Dia berusaha untuk memahami perkataan Kahfi.
Kahfi menatapnya lekat, seolah menunggu Rena menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.
“Apa menurut Mbak saya melakukan semua ini hanya karena kasihan?” lanjutnya, suaranya sedikit lebih lembut namun tetap penuh ketegasan.
Rena menelan ludah, hatinya mulai dipenuhi kebingungan yang semakin dalam. "Mas... jangan bilang kalau—"
“Ya, saya tertarik dengan Mbak,” potong Kahfi sebelum Rena sempat menyelesaikan kalimatnya. “Dari awal saya sudah tertarik dengan Mbak,” lanjutnya lagi tanpa ada keraguan sama sekali.
Mata Rena melebar. Napasnya tercekat, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Saya mungkin nggak bisa memaksa Mbak untuk langsung percaya," lanjut Kahfi dengan suara lebih tenang. “Tapi kalau Mbak benar-benar ingin keluar dari perjodohan ini, biarkan saya jadi alasan Mbak untuk menolaknya.”
Rena menggeleng pelan, hatinya masih berperang. “Mas nggak tahu apa-apa tentang saya…”
Kahfi tersenyum tipis. “Kalau begitu, izinkan saya mengenal Mbak lebih jauh, bukan sebagai seseorang yang kebetulan ada, tapi sebagai calon suami Mbak.”
Rena tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Ruangan terasa begitu sunyi, seolah waktu berhenti sesaat. Rena menunduk, menatap jemarinya yang kini saling menggenggam erat di atas pangkuannya.
"Mas..." Suaranya nyaris tak terdengar, penuh kebingungan.
Kahfi tetap diam, membiarkan Rena mencari kata-kata yang tepat.
"Sa-saya... butuh waktu." Rena akhirnya mengangkat wajahnya, matanya menyiratkan ketidakpastian. "Terlalu banyak yang terjadi hari ini. Saya butuh waktu untuk sendiri dulu, Mas."
Kahfi menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Baik, saya mengerti."
Dia berdiri dari kursinya, tatapannya masih penuh perhatian. "Tapi saya harap Mbak benar-benar mempertimbangkannya. Saya tidak main-main dengan apa yang saya katakan tadi."
Rena menatap Kahfi dengan sorot mata rumit. Kahfi melangkah keluar, meninggalkan Rena yang masih duduk dengan pikiran yang berantakan.
***
Bab 16 Ayo Kita Menikah
Kahfi benar-benar memberikan waktu kepada Rena untuk memikirkan segalanya. Namun disamping itu, dia sangat gelisah sekali. Dia takut jika Rena tidak memilihnya dan malah memilih laki-laki lewat aplikasi perjodohan. Jika sampai itu terjadi, Kahfi akan langsung mencari laki-lakinya dan akan mengancam agar dia menolak Rena. Kalau perlu Kahfi akan memberikan uang, tidak peduli berapa yang akan laki-laki itu minta nantinya asal tidak mau menikah Rena.
Saat jam makan siang, Kahfi mengantar makanan ke rumah sakit. Namun dia hanya menitipkan kepada perawat saja. Dia tidak menemui Rena secara langsung. Apalagi sore ini Rena akan keluar dari rumah sakit. Kahfi harap, Rena tidak akan mendapat perlakuan yang tidak baik dari ayahnya.
Setelah mengantar makanan, Kahfi memutuskan untuk kembali ke perusahaan. Namun, pikirannya kacau. Langkahnya terasa berat, dan pandangannya kosong.
Tanpa sadar, ia berjalan melewati seseorang tanpa memperhatikan, bahkan saat orang itu menoleh dan mengernyit bingung.
"Kahfi?"
Abizar, kakaknya, mengerutkan dahi melihat adiknya yang tampak linglung. Tidak biasanya Kahfi seperti ini. Dengan langkah cepat, ia segera menyusul dan menepuk bahunya.
"Hei, melamun aja," ujar Abizar, sedikit menyenggol bahu Kahfi.
Kahfi tersentak kecil, seolah baru kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dengan wajah letih. "Kenapa?" tanyanya lemah, suaranya hampir tak bertenaga.
Abizar memperhatikan adiknya lebih saksama. Sorot mata Kahfi sayu, kantung matanya menghitam, jelas menunjukkan kurang tidur. Tubuhnya juga tampak lebih lemas dari biasanya, seolah semua energi menguap begitu saja.
"Ya ampun, kamu kelihatan seperti zombie," gumam Abizar, mengerutkan kening. "Kamu nggak tidur berapa hari?"
Kahfi menghela napas panjang. "Nggak tahu. Mungkin dua hari, mungkin lebih."
Abizar semakin terkejut. “Apa yang terjadi?”
Kahfi menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam sorotnya yang membuat dada Abizar sedikit sesak dengan rasa frustasi, ketidakpastian, dan mungkin... luka.
Tanpa berpikir panjang, Abizar langsung merangkul adiknya dan menuntunnya menuju parkiran. Tidak mungkin membiarkan Kahfi terlihat seperti ini di dalam rumah sakit. Bagaimanapun, Kahfi adalah direktur eksekutif di perusahaan ternama. Jika ada yang melihatnya dalam keadaan rapuh seperti ini, gosip bisa menyebar dengan cepat.
Sesampainya di parkiran, Abizar bersandar di mobil sambil menatap adiknya dengan serius. “Sekarang ceritakan. Kamu kenapa?”
Kahfi menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Kayaknya aku ditolak, Bang.”
“Hah?” Alis Abizar terangkat tinggi. “Ditolak gimana?”
Tanpa ragu, Kahfi menjelaskan semuanya dari awal hingga akhir. Tidak ada yang ia sembunyikan. Ia memang lebih nyaman berbagi dengan kedua abangnya dibandingkan dengan orang tuanya. Bukan karena tidak percaya, hanya saja... rasanya canggung jika membahas urusan hati dengan mereka.
Abizar mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk atau mengerutkan dahi. Setelah Kahfi selesai bicara, ia menghela napas dan menepuk pundak adiknya dengan lembut.
“Nggak apa-apa, dia belum memberikan jawaban. Kamu tidak perlu khawatir,” ujar Abizar.
“Tapi dia tidak menghubungiku sampai sekarang.”
“Mungkin dia memang butuh waktu. Kamu harus sabar menunggunya.”
“Tapi Bang-”
“Kahfi… Menikah bukanlah keputusan yang mudah. Apalagi kalian baru kenal. Kamu memang sudah mengenalnya sejak lama, tapi bagi dia kamu adalah orang baru,” potong Abizar langsung agar adiknya itu sadar. Kalau menunggu saja tidak bisa, bagaimana dia bisa menghadapi kehidupan rumah tangga nanti yang penuh dengan hal yang tidak terduga.
“Jadi kamu masih kekanak-kanakan begini, kamu belum pantas untuk menikah,” lanjut Abizar lagi.
“Abang kenapa ngomong begitu? Aku nggak kekanak-kanakan!”
Abizar mendengus kecil, menyilangkan tangan di dada. “Terus? Kalau nggak kenakan-kanakan apa dong? Baru disuruh tunggu aja udah kayak nggak ada semangat hidup. Itu bukan sikap laki-laki yang siap menikah, Kahfi.”
Kahfi mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi. “Aku serius sama Rena, Bang. Aku nggak main-main.”
Abizar menatapnya tajam. “Kalau kamu serius, buktikan. Jangan cuma ngomong.”
Kahfi terdiam.
“Kamu harus pahami dulu, Rena itu bukan cewek yang gampang percaya. Dia udah keburu takut sama perjodohan ini, terus tiba-tiba kamu datang dan bilang mau menikah dengannya? Wajar kalau dia ragu,” lanjut Abizar, suaranya lebih lembut tapi tetap penuh ketegasan.
Kahfi menghela napas berat. “Terus aku harus gimana?”
Abizar menepuk bahunya, kali ini lebih bersahabat. “Sabar. Tunggu sampai dia hubungi kamu. Kalau emang nggak ada, ya udah berarti dia nggak mau sama kamu.”
“Abang!” rengek Kahfi.
Abizar menahan tawanya. “Udah udah, kamu kembali ke perusahaan sana! Kasihan Bang Renaldi kalau kamu kerja nggak benar.”
“Iya iya." Kahfi langsung masuk ke dalam mobil. Namun sebelum pergi dia membuka kaca mobil. “Tolong jagain Rena,” ucapnya.
Abizar hanya bisa geleng-geleng kepala.
Disamping itu, Rena merasa sangat sepi. Kahfi tidak datang sama sekali, bahkan hari ini juga. Entah kenapa kehadiran Kahfi membuat tempat tersendiri untuk Rena. Apa karena Kahfi datang disaat Rena sedang merasa di ujung jurang? Entahlah, Rena sama sekali tidak mengerti. Perkataan Kahfi tempo hari berputar-putar di kepala Rena bagai kaset rusak. Rena sedikit tidak percaya, bagaimana mungkin Kahfi menyukai dirinya. Lihat saja diri Rena, dia tidak cantik sama sekali. Apalagi keluarganya juga problematik. Kahfi bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari Rena. Apalagi wajah Kahfi juga tampan.
Rena menghela napas, menatap kosong ke luar jendela kamar rawat inapnya. Langit mulai meredup, menciptakan semburat jingga di cakrawala. Tapi hatinya tetap suram.
Haruskah dia merasa lega karena Kahfi tidak datang? Atau justru semakin gelisah?
Tangan Rena meremas selimut dengan gelisah. Kalau Kahfi benar-benar serius dengan ucapannya, kenapa dia menghilang begitu saja? Harusnya dia berusaha meyakinkan Rena, bukan malah menghilang tanpa kabar.
“Atau… dia sadar kalau aku bukan pilihan yang tepat?” gumamnya lirih.
Logikanya berkata itu lebih masuk akal. Kahfi mungkin hanya terbawa emosi waktu itu. Sekarang, setelah berpikir lebih jernih, dia pasti menyadari kalau Rena bukan orang yang pantas untuknya.
Dadanya terasa sesak. Harusnya dia senang, kan? Bukankah ini yang sejak awal dia inginkan?
Rena memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan. Jika tidak, kondisi tubuhnya pasti semakin memburuk karena banyak beban pikiran.
***
Sore ini, Rena pulang dengan memesan mobile online. Dia hanya bisa menatap pasien lain dengan hati sedih. Pasien lain memiliki keluarga, sedangkan dirinya hanya sendiri. Jangankan untuk datang ke rumah sakit, ayahnya tidak begitu peduli dia meski dia mati sekalipun.
Rena menghela nafas panjang. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu. Rena masuk ke dalam mobil online. Dia menyiapkan diri untuk menghadapi ayahnya nanti. Cukup diam dan segera masuk ke dalam kamar. Apapun perkataan ayahnya, jangan didengar.
Sesampainya dirumah, Rena membuka pintu. Ia berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan di hadapannya dengan perasaan kosong. Aroma keju panggang dan saus tomat yang menggoda memenuhi udara, tapi bukannya merasa lapar, hatinya justru semakin berat. Ayah, ibu dan adik tirinya sedang memakan pizza.
Mereka terlihat seperti keluarga yang utuh, bahagia. Tanpa dirinya.
Ayahnya sama sekali tidak menoleh, seolah kehadirannya tidak berarti. Ibu tirinya sibuk menyuapi anaknya dengan penuh kasih sayang, sementara adik tirinya yang jauh lebih muda tertawa riang.
Seakan-akan Rena hanyalah tamu di rumahnya sendiri.
Dia menelan ludah, menahan perih yang tiba-tiba menyerang dadanya. Sudah biasa, batinnya mencoba meyakinkan diri. Tapi tetap saja… rasanya tidak pernah benar-benar terbiasa.
Dengan langkah pelan, Rena melewati ruang makan, berusaha menuju kamarnya tanpa menarik perhatian. Namun, suara berat ayahnya menghentikan langkahnya.
“Siapa laki-laki yang menemanimu di rumah sakit?"
“Tidak ada.”
“Tidak usah bohong! Balil bilang kalau ada laki-laki saat dia menjenguk.”
Rena mengepalkan tangan.
“Siapa dia?!"
Rena mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan sorot mata yang tajam meski tubuhnya sedikit gemetar. “Itu bukan urusan Ayah,” jawabnya lirih, tapi tegas.
Meja berguncang saat ayahnya menampar permukaannya dengan kasar. “Jangan coba-coba membantah! Siapa laki-laki itu?”
Ibu tiri dan adik tirinya terdiam, menikmati pertunjukan itu seolah ini adalah drama yang mereka nantikan.
Rena menarik napas panjang, mencoba menahan emosi. Dia tahu, semakin dia membantah, semakin buruk situasinya.
“Hanya teman. Kebetulan dia ada di rumah sakit, lalu membantu-”
“Teman macam apa yang datang berkali-kali?” potong ayahnya dengan nada mencemooh. “Jangan bilang padaku kalau kau sudah berhubungan dengan laki-laki sembarangan di belakangku?”
Rena menggigit bibirnya. Sakit. Selalu seperti ini. Seolah dirinya tak pernah punya hak atas hidupnya sendiri.
“Dengar, Rena,” lanjut ayahnya, kali ini suaranya lebih dingin. “Jangan pikir kau bisa bebas menentukan segalanya. Aku sudah merencanakan pernikahanmu, dan aku tidak mau ada laki-laki lain mengacaukan semuanya.”
Rena mengepalkan tangannya semakin erat.
“Mulai sekarang, kau tidak boleh menemui laki-laki itu lagi,” perintahnya. “Jangan sampai aku melihatnya ada di dekatmu.”
Jantung Rena berdetak semakin cepat. Dia ingin melawan, ingin berkata kalau hidupnya bukan boneka yang bisa diatur sesuka hati.
Tapi dia tahu, melawan hanya akan berujung lebih buruk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rena berbalik dan berjalan menuju kamarnya, membiarkan ayahnya terus mengomel di belakangnya.
Setelah pintu kamarnya tertutup, barulah dia membiarkan dirinya terjatuh di lantai, menggigit bibir kuat-kuat agar tangisnya tidak terdengar.
Lalu tanpa sadar, tangannya meraih ponsel di dalam tasnya.
Dia tidak tahu kenapa, tapi ada satu nama yang muncul dalam pikirannya.
Kahfi.
Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan. Kemudian Rena menyentuh tombol kirim.
[Rena : Ayo kita menikah]
***
Bab 17 Kalut
Di meja kerjanya, Rena menghela napas panjang. Sejak tadi pagi, dia sengaja mematikan ponselnya. Bukan karena baterainya habis, bukan juga karena ada masalah teknis tapi karena dia takut.
Takut melihat balasan Kahfi. Takut menghadapi kemungkinan bahwa laki-laki itu akan menarik ucapannya. Rena masih belum sanggup untuk melihat balasannya
"Eh Ren, kenapa WhatsApp-mu centang satu?"
Rena tersentak dari lamunannya. Anjel, rekan kerjanya, menatapnya dengan kening berkerut.
"Ponselmu mati, ya?" tanya Anjel lagi.
Rena menelan ludah, lalu mengangguk cepat. "Iya, tiba-tiba mati sendiri. Mungkin baterainya bermasalah."
Padahal tidak. Ponselnya baik-baik saja. Hanya saja, dia sendiri yang belum siap menghadapi dunia luar.
Anjel tampak tidak terlalu curiga. Dia malah tersenyum kecil. "Oh gitu, aku kira kenapa." Anjel sedikit lega. Dia kira sang rekan kerja memblokir kontaknya. Pikiran Anjel entah kemana-mana padahal Rena tidak mungkin melakukan itu. "Udah jam istirahat ni, apa kamu mau ikut cara makan siang di luar?" tanya Anjel sambil menatap jam yang ada di pergelangan tangannya.
Rena mengangguk tanpa pikir panjang. Mungkin menghirup udara luar bisa sedikit meredakan pikirannya.
Saat mereka berjalan keluar gedung, seorang junior di kantor mereka, Randi, ikut bergabung tanpa diundang. "Mbak Rena, Mbak Anjel, saya boleh ikut nggak?"
Anjel tertawa. "Ya ampun, Randi. Tentu saja boleh."
Randi hanya nyengir. "Terima kasih, Mbak."
Mereka bertiga akhirnya berjalan ke salah satu warung makan sederhana di dekat perusahaan.
Namun, bahkan setelah duduk dan memesan makanan, Rena tetap tidak bisa fokus. Pikirannya melayang ke satu hal: Kahfi.
Dia terus bertanya-tanya, apa laki-laki itu marah? Apa dia merasa diremehkan? Bagaimana jika setelah ini Kahfi menghilang dari hidupnya?
"Eh, Mbak Rena."
Rena tersentak lagi. Kali ini, Randi yang menatapnya dengan bingung.
"Apa Mbak Rena sudah benar-benar sembuh?" tanyanya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Rena memaksa dirinya untuk tersenyum. "Tentu saja. Saya sudah sembuh."
Meski dalam hatinya, dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Bukan tubuhnya yang terasa sakit melainkan hal lain yang tidak Rena mengerti sama sekali.
"Apa kamu ada masalah?" tanya Anjel.
Rena terkekeh. "Enggak kok, emang masalah apa?"
"Kali aja kamu ada masalah tapi memilih untuk memendamnya sendiri."
Rena langsung menggeleng dengan cepat. "Enggak ada masalah apa-apa kok, mungkin aku hanya kelelahan aja."
"Syukurlah kalau gitu." Anjel merasa lega.
Setelah makan siang, mereka bertiga kembali ke perusahaan. Namun, sampai sekarang, Rena masih belum menyalakan ponselnya. Dia tahu dia tidak bisa menghindar selamanya, tapi untuk sekarang, dia belum siap. Belum siap menghadapi jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.
Rena kembali melanjutkan pekerjaannya, begitupun dengan karyawan yang lain. Sejenak Rena bisa melupakan rasa gelisahnya, tapi hanya sejenak saja.
Sekitar pukul lima sore, banyak karyawan yang bersiap-siap untuk pulang. Namun Rena seperti enggan untuk pulang. Tubuhnya masih berada terduduk di kursi kerja. Tidak bergerak sama sekali. Padahal hampir semua karyawan sudah keluar dari perusahaan.
Rena menghela nafas panjang. Dia seperti seorang pengecut yang memilih menghindar dibanding menghadapi apapun yang sudah menunggu.
Langit sudah mulai menggelap ketika Rena akhirnya beranjak dari kursinya. Hampir semua karyawan sudah pulang, hanya beberapa orang yang masih membereskan sisa pekerjaan.
Dengan langkah pelan, Rena berjalan keluar dari gedung perusahaan. Namun, baru beberapa langkah di depan pintu, suara seseorang menghentikannya.
"Mbak Rena!"
Rena menoleh. Randi berlari kecil menghampirinya, napasnya sedikit tersengal.
"Ada apa?" tanya Rena heran.
Tanpa banyak bicara, Randi mengulurkan sebuah paper bag coklat ke arahnya.
Rena mengernyit. "Apa ini?"
Randi menggaruk tengkuknya, tampak sedikit canggung. "Ini... sebagai permintaan maaf, Mbak."
"Permintaan maaf?"
Randi mengangguk cepat. "Iya, Mbak. Saya minta maaf kalau selama ini aku sering merepotkan Mbak. Saya masih banyak belajar, tapi rasanya saya nggak belajar cukup cepat. Mbak pasti kesulitan karena saya terkesan lambat."
Rena menatapnya, lalu tertawa kecil. "Kamu ini ngomong apa sih?"
Randi menunduk sedikit, tampak malu.
Rena menggeleng. "Tidak apa-apa, Randi. Kamu masih karyawan baru, wajar kalau belum terbiasa. Lagipula, aku nggak pernah merasa kamu merepotkan, kok."
Randi tersenyum lega. "Terima kasih banyak, Mbak."
Randi menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Ka-kalau boleh tau, Mbak pulang naik apa?" tanya dengan canggung.
"Paling Bus. Emang kenapa?"
"Ap-
Sebelum Randi sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara yang tak asing langsung menyela dari belakang.
"Rena..."
Rena tersentak. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Dia menoleh, dan di sana, berdiri seseorang yang selama ini terus berputar-putar di pikirannya. Laki-laki itu adalah Kahfi.
Rena langsung membeku di tempat. Tidak percaya bahwa pria itu benar-benar ada di hadapannya sekarang.
Randi yang melihat perubahan ekspresi Rena pun ikut menoleh. Dia bertanya-tanya siapa laki-laki tampan itu. Seingat Randi, wajah mantan calon suami Rena tidak seperti itu.
Kahfi mendekat. Wajahnya tampak lebih kacau dari Rena. Bahkan tanpa sepengetahuan Rena, Kahfi sudah menunggu selama 2 jam.
Saat membawa pesan Rena yang mengajaknya untuk menikah, jantung Kahfi langsung berdetak dengan cepat. Dia kira ada masalah dari matanya. Tapi ternyata tidak. Saat itu juga Kahfi menghubungi Rena, sayangnya panggilan tidak terhubung sama sekali. Kahfi merasa gelisah luar biasa. Takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kahfi bahkan mendatangi rumah Rena, tapi dia tidak masuk. Dia hanya menatap rumah Rena dari luar saja.
Semalaman Kahfi tidak tidur, bahkan dia juga tidak fokus bekerja. Rena membuat hidup Kahfi yang seperti air mengalir menjadi sebuah banjir bandang yang tidak bisa diprediksi.
"Siapa, Mbak?" tanya Randi memecahkan keheningan yang tenggelam dalam lautan bingung.
Rena bingung harus menjawab apa. "Hanya kenalan," jawabnya.
Mendengar hal itu, Kahfi tentu saja merasa tidak nyaman. Apa dia hanya sebatas kenalan saja? Kalau hanya sebatas kenalan, kenapa Rena mengirim pesan untuk mengajaknya menikah.
"Oh begitu ya, Mbak." Randi tersenyum lebar. Tatapan mata Kahfi sangat tajam sekali. Dia tidak suka dengan Randi yang tersenyum lebar kepada Rena. Siapapun tahu arti tatapan dan gerak-gerik Randi.
Tampaknya Randi tertarik dengan Rena. Makanya Kahfi tidak menyukainya.
Tanpa membuang waktu, Kahfi langsung melangkah lebih dekat ke arah Rena. Tatapan tajamnya masih tertuju pada Randi, seolah mengusir pria itu secara halus.
"Bukankah ada yang harus kita bicarakan?" tanya Kahfi kepada Rena.
Rena menelan ludah. Dia bisa merasakan ketegangan yang begitu nyata di antara mereka. Kali ini Rena tidak bisa menghindar lagi. Rena menarik napas dalam sebelum menoleh ke arah Randi. "Maaf, Randi. Saya harus pergi dulu, ada yang harus saya bicarakan dengan..." Ia melirik Kahfi sekilas sebelum melanjutkan, "...dengan Mas ini."
Randi mengangguk pelan, tampak mengerti. "Nggak apa-apa, Mbak. Hati-hati di jalan."
Kahfi masih menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan memastikan tidak ada yang mencurigakan dari Randi. Namun, Randi hanya tersenyum kecil sebelum berbalik dan pergi.
Begitu Randi menghilang dari pandangan, Kahfi kembali menatap Rena. "Apa kamu ingin mempermainkan saya?" tanyanya langsung tanpa basa basi.
Pupil mata Rena langsung melebar. Wajahnya terlihat sangat panik sekali. "Ti-tidak, Mas. Saya tidak mempermainkan Mas," jawabnya dengan cepat.
Kahfi menatapnya lekat, seakan mencari kebohongan di wajahnya. "Lalu kenapa kamu menghilang begitu saja? Mematikan ponsel dan menghindar?"
Rena menggigit bibirnya, hatinya berdebar tak karuan. "Saya... saya takut."
Dahi Kahfi mengerut. "Takut apa? Takut kalau saya main-main?"
"Ti-tidak, Mas. Sa-saya...saya takut kalau Mas menyesal."
Kahfi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dari tadi jantungnya berdetak dengan tidak karuan. Gelisah, takut dan juga merasa marah dengan keadaan.
"Saya tidak pernah menyesal dan tidak akan pernah menyesal," jelasnya.
Rena menjadi gugup sendiri.
"Jadi tolong, jangan mempermainkan saya," pintanya dengan wajah sedu.
Rena merasa sangat bersalah sekali melihat hal itu. Apalagi penampilan Kahfi tampak berantakan.
Hati Rena terasa semakin sesak. Dia tidak pernah melihat Kahfi seperti ini sebelumnya. Lelaki itu selalu terlihat tenang dan penuh kendali, tapi sekarang... wajahnya mencerminkan kepedihan yang begitu nyata.
"Saya tidak berniat mempermainkan Mas..." suara Rena melemah. Jemarinya saling meremas, mencerminkan kegelisahannya.
"Kalau begitu, kenapa kamu menghindar?" Kahfi menurunkan tangannya, menatap Rena dengan mata yang menyimpan kelelahan dan harapan sekaligus. "Apa kamu tidak percaya pada saya?"
Rena menggeleng cepat. "Bukan begitu. Saya... saya hanya takut kalau saya tidak cukup baik untuk Mas. Saya takut kalau nanti Mas sadar kalau saya bukan orang yang tepat."
Kahfi menatapnya lebih lama, lalu tiba-tiba menghela napas panjang. Dia mendekat, menatap Rena dengan lembut, tapi juga penuh ketegasan.
"Kamu pikir saya tidak tahu siapa kamu? Saya tahu kamu keras kepala. Saya tahu kamu terbiasa sendirian. Saya tahu kamu takut untuk berharap, takut untuk percaya," suara Kahfi semakin pelan, tapi menusuk jauh ke dalam hati Rena. "Tapi kamu juga harus tahu satu hal, Rena. Saya tidak akan memilih seseorang yang saya ragukan."
Rena terdiam, tubuhnya terasa lemas. Air matanya menggenang di pelupuk mata, tapi dia menahannya agar tidak jatuh.
"Mas..." suaranya nyaris tak terdengar.
Kahfi tersenyum kecil, tapi tidak ada keceriaan di sana. "Saya tidak minta kamu langsung menerima saya, Rena. Saya hanya minta satu hal, tolong jangan lari lagi."
Rena menatapnya dengan perasaan berkecamuk. Dia ingin percaya. Dia ingin menerima.
***
Bab 18 Pingsan
Rena merasa benar-benar diinginkan oleh Kahfi. Bahkan Kahfi terlihat sangat frustasi sekali karena Rena menghindar setelah mengajaknya menikah. Tapi apa Kahfi benar-benar menginginkan dirinya? Masih ada perasaan ragu yang bersemayam didalam dirinya. Apalagi Rena pernah dikhianati oleh laki-laki yang menurutnya baik. Siapa lagi kalau bukan Deon. Awalnya Deon seperti benar-benar mencintai Rena, namun pada kenyataannya tidak. Deon malah bermain perempuan di belakangnya.
Namun Rena tidak punya banyak pilihan. Dibanding harus mengenal orang baru melalui aplikasi mencari jodoh, lebih baik memilih orang yang ada di depannya ini. Apalagi perlahan-lahan, Rena juga mulai memikirkan Kahfi.
Rena menatap Kahfi. Berusaha meyakinkan diri meski keraguan datang lebih lebih banyak dari sebelumnya.
"Mas..." panggilnya.
Kahfi mengangkat wajahnya. Dia menunggu apa yang akan Rena katakan meski dia sangat takut sekali.
Rena menarik nafas dalam-dalam lebih dulu, kemudian hembuskan secara perlahan. Senyum Rena terbit begitu saja. "Ayo kita menikah," ajaknya.
Kahfi terdiam. Untuk beberapa detik, dia berpikir kalau dia hanya berhalusinasi karena kurang tidur. Tapi melihat Rena yang menatapnya serius, dia sadar ini nyata.
"Kamu serius?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Rena mengangguk mantap. "Ya, saya serius. Ayo kita menikah."
Kahfi menelan ludah, jantungnya berdetak begitu keras sampai dia bisa merasakannya di telinga. "Apa kamu sudah yakin? Kamu tidak akan menarik kata-kata kamu lagi? Apa lagi saya pengangguran."
"Saya sudah memikirkan ini dengan matang, Mas," jawab Rena dengan mantap. "Tapi saya harus bertanya, apa Mas yakin dengan saya?"
Tanpa ragu, Kahfi menjawab, "Saya sangat yakin sekali."
Rena menunduk sesaat, menggigit bibirnya. "Tapi keluarga saya tidak baik..."
Kahfi tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Saya tidak peduli. Yang saya nikahi itu kamu, bukan keluargamu."
Rena mengangkat wajahnya, menatap Kahfi dalam-dalam. Ada sesuatu di matanya keraguan yang perlahan-lahan memudar. Dia menarik napas panjang. "Baiklah, ayo kita menikah." Dia mengatakan dengan begitu yakin.
Hati Kahfi meluap dengan kebahagiaan yang begitu besar. Seolah-olah beban yang selama ini menekan dadanya mendadak lenyap. Dia ingin tertawa, ingin berteriak, ingin melakukan apa pun untuk meluapkan rasa leganya.
Namun, kelegaannya itu berubah menjadi kesadaran bahwa tubuhnya sudah mencapai batasnya. Selama beberapa hari terakhir, dia kurang tidur, stres, dan terlalu banyak berpikir. Semua itu akhirnya menuntut bayaran.
Kepalanya mendadak terasa berat, pandangannya kabur, dan sebelum dia bisa mengatakan apapun. Tubuh Kahfi ambruk.
Saat itu juga mata Rena langsung melotot. Dia syok luar biasa.
Jantung Rena seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Pemandangan Kahfi yang tergeletak di lantai membuatnya membeku, tetapi kepanikannya segera mengambil alih.
"Tolong! Ada yang bisa bantu?!" serunya dengan suara gemetar.
Tangannya berusaha menepuk-nepuk wajah Kahfi, mencoba membangunkannya, tetapi lelaki itu tidak merespons.
Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, Rena berdiri dan berlari ke arah pos keamanan yang tidak jauh dari lobby perusahaan. Napasnya memburu saat melihat seorang petugas berjaga.
"Pak! Tolong bantu saya! Ada yang pingsan!" katanya terburu-buru.
Petugas keamanan, yang awalnya duduk santai, langsung berdiri dengan sigap. "Di mana, Mbak?"
"Di depan pintu keluar kantor!" Rena hampir menangis karena panik.
Tanpa banyak tanya lagi, petugas itu bergegas mengikuti Rena. Begitu mereka sampai, Kahfi masih tergeletak di lantai tanpa gerakan.
"Astaga," gumam petugas itu sebelum segera berjongkok untuk memeriksa Kahfi.
Rena menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Apa dia baik-baik saja, Pak?"
"Kita bawa ke rumah sakit terdekat dulu," kata petugas itu.
Rena mengangguk cepat. Dengan bantuan petugas keamanan lainnya, mereka berhasil mengangkat tubuh Kahfi ke dalam mobil perusahaan yang digunakan untuk keadaan darurat.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Rena sangat ketakutan sekali. "Mas, bangun... Jangan gini dong," bisiknya, suaranya bergetar.
Wajah Kahfi memang terlihat pucat sekali. Dia seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. Hati Rena bertambah sesak saat menatap wajah Kahfi.
Tidak lama kemudian, mobil sampai ke rumah sakit terdekat dimana Rena juga dirawat 2 hari yang lalu di rumah sakit tersebut. Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, Rena langsung keluar dengan terburu-buru. Petugas keamanan yang membantunya pun ikut sigap membuka pintu belakang dan mengangkat tubuh Kahfi yang masih tak sadarkan diri.
"Bantu kami! Ada pasien gawat darurat!" seru salah satu petugas keamanan kepada perawat yang berjaga di pintu masuk.
Beberapa perawat segera datang dengan membawa ranjang dorong. Mereka dengan cekatan memindahkan Kahfi ke atas ranjang dan segera membawanya masuk ke ruang UGD.
Rena mengikuti dari belakang dengan langkah tergesa. Napasnya tersengal karena panik dan gugup. Begitu sampai di depan pintu ruang gawat darurat, langkahnya terhenti ketika salah satu perawat menghadangnya.
"Maaf, Mbak. Hanya tenaga medis yang boleh masuk," ujar perawat itu dengan lembut namun tegas.
"Tapi... saya..." Rena menatap Kahfi yang mulai menghilang ke dalam ruang UGD. Dadanya terasa sesak.
"Kami akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Mbak bisa menunggu di luar. Nanti dokter akan memberi tahu kondisinya," lanjut perawat itu.
Dengan berat hati, Rena mengangguk dan melangkah mundur. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.
Saat pintu UGD tertutup, rasa panik dalam diri Rena semakin menjadi. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang menggenang.
Apa yang terjadi pada Kahfi? Seberapa parah keadaannya?
Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya.
Sambil menatap pintu UGD yang tertutup rapat, Rena hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga Kahfi baik-baik saja.
Setelah hampir satu jam menunggu dalam kegelisahan, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. Rena langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri dengan wajah penuh harap.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya dengan suara cemas.
Dokter itu tersenyum kecil, mencoba menenangkan Rena. "Jangan khawatir, kondisi pasien stabil. Dia hanya mengalami kelelahan berat dan kurang tidur. Tidak ada masalah serius, tapi tubuhnya benar-benar kehabisan energi. Untuk sementara, kami akan merawatnya selama satu hari agar dia bisa beristirahat dengan baik."
Rena menghela napas lega, tapi kekhawatiran di hatinya belum sepenuhnya hilang. "Jadi dia baik-baik saja?"
"Ya, hanya butuh istirahat. Kami sudah memberinya infus dan vitamin untuk membantu pemulihannya. Saat ini dia sedang tidur," jelas dokter.
Rena mengangguk, sedikit lebih tenang. Tapi masalah lain segera muncul di kepalanya yaitu keluarga Kahfi. Dia bahkan tidak tahu harus menghubungi siapa.
Dia menggigit bibir bawahnya, berpikir keras. "Dok, um... apakah saya boleh melihatnya?"
"Tentu saja," ujar dokter sebelum pergi.
Rena melangkah masuk ke ruang perawatan dengan hati-hati. Kahfi terbaring di ranjang dengan infus terpasang di tangannya. Wajahnya masih tampak pucat, tapi nafasnya sudah lebih teratur.
Rena duduk di kursi di samping ranjangnya, menatap Kahfi dengan perasaan campur aduk.
Bagaimana jika keluarganya mencarinya? Siapa yang harus dia hubungi?
Rena mengambil ponselnya dan menatap layar kosong. Dia ingin menghubungi seseorang, tapi tidak tahu siapa. Haruskah dia menunggu Kahfi sadar? Atau mencoba mencari tahu sendiri?
Pikirannya semakin kacau. Ponsel Kahfi juga ada padanya. Tapi dia tidak bisa membukanya karena terkunci. Rena menunduk dalam dengan keadaan yang sangat bingung sekali.
Tiba-tiba, kain penutup ranjang UGD tersibak dengan kasar.
Rena tersentak kaget. Jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Dia bahkan nyaris jatuh dari kursi jika tidak segera berpegangan pada tepian ranjang.
Sosok yang muncul di hadapannya adalah seorang pria tinggi dengan keringat membasahi wajahnya. Nafasnya memburu seperti orang yang baru saja berlari. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan cemas, sebelum akhirnya menemukan Kahfi yang terbaring lemah di ranjang.
Rena terdiam seperti patung saat laki-laki itu memeriksa keadaan Kahfi. Wajahnya terlihat sangat khawatir sekali.
"Hanya kelelahan, Dok. Sepertinya kurang tidur," jelas perawat yang mengikuti dari belakang.
"Syukurlah." Laki-laki itu tampak lega sekali.
Rena tidak tahu sedang menghadapi situasi seperti apa. Tapi saat matanya bertatapan dengan laki-laki itu, Rena langsung menunduk seperti orang ketakutan.
***
Bab 19 Otw Nikah
"Darimana kamu baru pulang jam segini?" ujar ayah saat Rena baru saja sampai dirumah. Dia terlihat sangat lelah, tapi ayahnya langsung menodongnya dengan nada yang tinggi.
"Dari rumah sakit."
"Kenapa lagi kamu ke rumah sakit?"
"Ada teman aku yang pingsan, jadi aku bawa ke rumah sakit."
"Ck. Merepotkan saja." Ayah tidak bertanya lebih dalam lagi. Dia masuk ke kamar meninggalkan Rena.
Rena melangkah ke dapur, dia sangat lapar sekali. Wajar saja karena dia
belum mengisi perut sejak siang hari. Tapi saat dia membuka tudung
saji, Rena tidak mendapati apapun. Dia malah melihat di tempat sampah
ada kotak brand makanan yang sangat terkenal.
Padahal setiap bulan Rena memberikan uang bulanan kepada ibu tirinya. Tapi Rena bahkan tidak bisa makan meski nasi putih saja. Dia benar-benar merasa sangat lelah sekali. Uang yang diberikan Rena tidak sedikit, bahkan tersisa tidak banyak.
Rena melangkah ke kamar dengan langkah lesu. Dia kehilangan banyak tenaga apalagi setelah insiden dimana Kahfi tiba-tiba pingsan.
Rena harap Kahfi baik-baik saja. Dia tidak bisa berlama-lama disana karena bagaimanapun Rena perempuan dan dia harus pulang. Saat pulang, Kahfi belum bangun sama sekali. Tampaknya dia benar-benar sangat lelah sekali.
Rena mulai membersihkan diri. Setelah itu, dia berbaring di atas ranjang. Rena hanya mengisi perutnya dengan air putih saja. Jika Rena memesan makanan, pasti nanti ibu tirinya akan menyindir dirinya. Rena terlalu lelah untuk berdebat dengan ibu tirinya, jadi dia akan menahan sampai besok pagi.
Disamping itu, Kahfi berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan matanya dengan cahaya yang terasa terlalu terang. Kepalanya terasa berat, seolah baru saja bangun dari tidur yang sangat panjang.
Dia mengerang pelan, berusaha mengangkat tangannya, tetapi sesuatu menahan pergerakannya. Saat menoleh, dia melihat selang infus yang terpasang di pergelangan tangannya.
Ruangan ini... serba putih. Bau khas antiseptik langsung memenuhi hidungnya.
Rumah sakit?
Dahi Kahfi mengernyit. Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa ada di sini?
Dia mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Dia ingat Rena... Ingat percakapan mereka... Lalu...
Kepalanya mendadak terasa berat. Pandangannya buram sesaat sebelum ingatan terakhir muncul dengan jelas di benaknya.
Oh.
Dia pingsan.
Karena apa? Karena terlalu senang?
Kahfi hampir tertawa sendiri. Betapa konyolnya. Tapi, bagaimanapun, tubuhnya benar-benar mencapai batasnya setelah berhari-hari kurang tidur dan terlalu banyak berpikir.
"Apa yang sakit, Nak?" tanya seorang perempuan dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Kepala atau bagian lain?" tanyanya lagi, suaranya cemas.
Kahfi mengerjap, terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya. "Mama," lirihnya kaget.
Ternyata, bukan hanya Mamanya yang datang. Papa dan kedua abangnya juga ada di sana. Padahal, dia merasa baik-baik saja.
"Omelin aja, Ma," celetuk Irsyad, yang tengah berbaring santai di sofa.
Kahfi hanya bisa menghela napas. Ruang VIP tempatnya dirawat memang cukup luas dan memiliki fasilitas lengkap, jadi wajar jika keluarganya bisa ikut menemaninya di dalam.
Papa hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu itu bikin Mama panik saja," ujarnya dengan nada setengah kesal.
"Aku nggak apa-apa kok, Ma, Pa," jawab Kahfi, mencoba meyakinkan mereka. Dia berusaha duduk, dan Mama dengan sigap membantunya agar lebih nyaman.
"Nggak apa-apa gimana? Kamu sampai pingsan lo."
"Maaf, Ma." Kahfi menunduk dalam, merasa bersalah.
Irsyad malah tertawa, bukannya membantu. "Dia nggak tidur beberapa hari ke belakang, Ma," adunya santai.
Mata Kahfi langsung melotot. "Apaan sih, Bang?" Dengusan kesalnya terdengar jelas.
Papa yang sejak tadi diam akhirnya ikut bersuara. "Kenapa kamu nggak tidur?" Beliau mendekat, menatap Kahfi penuh selidik. "Apa ada masalah di perusahaan?"
Kahfi buru-buru menggeleng. "Nggak ada, Pa."
"Terus kenapa?"
"Dia takut ditolak, Pa. Makanya nggak tidur-tidur," jawab Irsyad, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Abang!" Kahfi semakin kesal. Kalau saja tangannya tidak diinfus, dia pasti sudah buru-buru membungkam mulut abangnya. Memang, Irsyad ini tidak bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia!
Papa makin penasaran. "Ditolak siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan perempuan yang dia kejar," sahut Irsyad dengan nada menggoda.
Mama yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini menatap Kahfi dengan serius. "Apa benar?" tanyanya, ingin memastikan.
Kahfi menggaruk lehernya yang tidak gatal, berusaha menghindari tatapan keluarganya. "Umm..."
"Terus-terus gimana? Kamu benar-benar ditolak?" Mama lebih serius dibanding sebelumnya. Bahkan dia menunggu jawaban dengan sedikit khawatir.
Senyum Kahfi langsung muncul. "Enggak, Ma," jawabnya dengan penuh percaya diri. Bahkan telinganya ikut memerah.
"Ha?"
Papa, Mama serta abang kedua Kahfi sama-sama kaget. Bahkan Irsyad yang tadinya berbaring langsung duduk. "Kamu serius?" tanyanya.
Kahfi mengangguk. "Laki-laki tampan begini mana mungkin ditolak," ujarnya dengan bangga.
"Ck, bilang aja kamu maksa dia. Makanya diterima."
"Enak aja, enggak lah. Aku sabar nunggu sampai dia kasih keputusan dan dia benar-benar mau nikah sama aku kok."
Mata Mama langsung berbinar-binar. "Ya ampun anak ganteng Mama satu ini," ujarnya histeris. Bahkan Mama mencium pucuk kepala Kahfi berulang-ulang kali saking senangnya.
Bagi kedua orang tua Kahfi, kabar ini sangat membahagiakan sekali. Mana ada orang tua yang mau anaknya melajang terus apalagi usianya sudah cukup matang.
"Jadi, siapa calon menantu Mama?" Mama sangat penasaran sekali.
Kahfi menelan ludah. Ini bagian tersulit. "Namanya Rena..."
"Rena?" Papa mengerutkan dahi. "Sejak kapan kalian dekat? Papa bahkan belum pernah mendengar nama itu sebelumnya."
Kahfi tersenyum kaku. "Baru beberapa waktu ini, Pa. Tapi aku udah kenal dia sejak lama."
"Sejak lama gimana?"
"Apa Mama dan Papa ingat, dulu saat aku kuliah terus libur dan balik ke sini. Aku babak belur karena dipukul orang."
"Iya Mama ingat. Mana mungkin Mama lupa hal mengerikan itu," balas Mama.
"Orang yang nyelamatin aku itu adalah Rena."
Mama dan Papa saling pandang. Dulu mereka memang pernah mencari orang yang menyelamatkan anak mereka, tapi sulit sekali.
"Kamu serius?"
"Iya, Ma. Aku bertemu kembali tapi dia nggak ingat sama aku." Wajah Kahfi mendadak sedih.
"Nggak apa-apa kalau nggak ingat. Apalagi udah lama. Yang penting dia mau menikah sama kamu." Mama memberikan semangat kepada anak bungsunya itu.
"Iya, Ma. Terima kasih."
Mama Kahfi menghela napas pelan. "Apa Kamu benar-benar serius, Nak? Bukan karena terburu-buru atau mungkin merasa kasihan?"
Kahfi menggeleng cepat. "Aku serius, Ma. Aku ingin menikahi Rena aku ingin hidup bersamanya."
Papa Kahfi terdiam sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, membuat Kahfi semakin gugup.
"Kamu yakin?"
"Iya, Pa. Aku yakin. Tapi..." Kahfi berhenti berbicara. Ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Tapi apa?" Mama dan Papa menunggu kelanjutannya supaya lebih jelas.
"Abang Abi dan Abang Irsyad belum menikah, apakah boleh aku melangkahi mereka?" Kahfi menunduk dalam.
"Aku nggak masalah kok," jawab Irsyad. "Aku juga belum mau nikah," lanjutnya.
Mata Mama langsung melotot. "Kamu normal kan, Nak?" tanya.
"Ya ampun Ma, aku normal. Mama jangan mikir aneh-aneh."
Papa Kahfi menghela napas, lalu melirik ke arah istrinya. Mama Kahfi tersenyum kecil sebelum menepuk tangan Kahfi dengan lembut.
"Nak, menikah itu bukan soal siapa yang lebih dulu atau lebih belakangan," ujar Mama. "Kalau memang sudah jodohnya, kenapa harus menunda?"
"Tapi, Ma, abang..." Kahfi masih ragu.
Papa Kahfi akhirnya angkat bicara, suaranya tetap tenang namun penuh ketegasan. "Kahfi... Selama ini baik Abang Abizar dan Abang Irsyad tidak pernah mempermasalahkan siapa yang menikah lebih dulu. Mereka selalu mendukung adik-adiknya. Kalau memang kamu sudah siap, Papa tidak akan melarang dan kedua abangmu juga tidak keberatan."
"Kalau menunggu mereka menikah dulu, lama-lama kamu juga jadi perjaka tua seperti mereka," ujar Mama menyindir anaknya. Yang disindir hanya menyengir polos saja.
"Sebelum itu, aku ingin memberitahu beberapa hal," ungkap Kahfi. Dia tidak mau menutupi apapun.
"Silahkan. Papa dan Mama akan mendengarnya."
Kahfi mulai memberitahu tentang Rena, termasuk pekerjaannya dan keluarganya. Kemudian dia juga mengatakan bagaimana Rena menganggapnya sebagai seorang pengangguran yang sedang berusaha mencari pekerjaan. Awalnya Mama sangat marah karena Kahfi memulai dari kebohongan. Jelas saja kebohongan itu tidak baik. Tapi Kahfi sudah terlanjur dan dia berjanji akan jujur kepada Rena.
Banyak hal yang Kahfi katakan, dia juga memuji-muji Rena didepan orang tuanya. Kahfi harap kedua orang tuanya memiliki pikiran terbuka dan mau menerima Rena apa adanya.
***
Bab 20 Berikan 500 Juta
Perkenalan Rena dan Kahfi sebelum menikah benar-benar dijalani dengan lancar. Bahkan Rena sudah bertemu dengan kedua orang tua Kahfi di sebuah rumah makan sederhana. Mereka makan siang bersama. Tentu suasana sangat canggung sekali. Rena takut tidak diterima seperti keluarga Deon sebelumnya. Namun hal itu tidak terjadi. Kedua orang tua Kahfi memperlakukan dirinya dengan baik. Rena sampai tidak percaya. Apa mungkin hal yang ia jalani sekarang hanya mimpi belaka atau bahkan
Sebelum pertemuan terjadi, Kahfi bahkan mencarikan pakaian yang paling sederhana untuk kedua orang tuanya. Kahfi takut Rena merasa insecure atau sejenisnya. Apalagi Rena pernah bercerita jika dia tidak menginginkan suami yang mapan.
Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Kahfi berhasil, bahkan kedua orang tua Kahfi juga mendukung Kahfi untuk segera menikahi Rena, selanjutnya Rena harus membawa Kahfi bertemu dengan Ayahnya terlebih dahulu.
Rencananya malam ini Kahfi akan datang ke rumah Rena. Dia tidak sabar menunggu hal itu terjadi. Namun berulang-ulang kali Rena mengatakan bahwa mungkin ayahnya bisa saja menolak atau melakukan hal yang tidak baik. Rena harap Kahfi tidak terkejut.
Kahfi mengirim pesan singkat. Meskipun mereka akan menikah, tapi tetap saja mereka hanya akan berkomunikasi untuk hal-hal yang penting saja.
[Kahfi : Rena... ]
Kahfi menunggu balasan. Tidak lama, balasan datang.
[Rena : Iya, Mas... Ada apa?]
Kahfi tersenyum.
[Kahfi : Nanti malam bagusnya saya bawa apa ya?]
Balasan kali ini sedikit lama dibalas. Tampaknya Rena sedang sibuk bekerja atau sedang fokus istirahat. Kahfi juga tidak sabaran saja. Dia berbincang dengan beberapa orang. Kahfi sedang ada urusan di sebuah hotel. Sebenarnya urusannya sudah selesai dan sekarang sedang makan siang bersama.
Getaran ponselnya terasa. Kahfi langsung melihat.
[Rena : Apa saja, Mas. ]
[Kahfi : Kamu lagi dimana?]
Tidak ada lagi balasan dari Rena. Kahfi juga harus kembali ke perusahaan. Dia menyimpan ponsel dan mulai bangkit dari kursi untuk segera meninggalkan hotel. Namun beberapa orang mengantarnya karena memang Kahfi yang diundang ke sini.
Sepanjang jalan, Kahfi mengobrol santai dengan pihak yang mengundang dirinya. Namun langkahnya langsung terganggu. Dia melihat Rena.
Jantung Kahfi langsung berdetak tidak karuan. Ia tidak menyangka akan melihat Rena di sini. Seharusnya Rena sedang bekerja, tapi kenapa dia ada di hotel ini?
Tanpa berpikir panjang, Kahfi langsung menundukkan kepala dan berusaha menutupi wajahnya dengan tangan. Ia bahkan sedikit memiringkan tubuhnya ke arah lain agar Rena tidak menyadari keberadaannya.
Pak Imran, salah satu kolega bisnisnya, melirik dengan bingung. "Pak Kahfi, ada apa? Apa Bapak baik-baik saja?"
Felix, sekretarisnya, juga ikut bingung melihat tingkah aneh atasannya. "Pak Kahfi, kenapa tiba-tiba seperti itu?"
Kahfi berdehem, mencoba bersikap normal, meskipun jelas sekali sikapnya tidak biasa. "Ah, tidak... tidak apa-apa."
"Tapi kenapa Anda menutupi wajah seperti itu?" Felix makin curiga.
Kahfi melirik sedikit ke arah Rena. Perempuan itu sedang berbicara dengan seseorang, tampak serius. Napasnya tercekat.
Sial.
Dia belum siap ketahuan.
Bukan karena dia tidak ingin Rena tahu, tapi dia ingin mengatakan sendiri tentang siapa dirinya sebenarnya. Bukan dengan cara kebetulan seperti ini. Jika Rena melihatnya sekarang, di tengah orang-orang penting dan perlakuan yang ia dapatkan sebagai seorang CEO, semuanya bisa kacau.
"Tunggu sebentar, saya ke toilet dulu," ujar Kahfi buru-buru. Ia langsung berbalik, hendak mencari tempat untuk bersembunyi sebelum Rena sempat melihatnya. Namun, langkahnya justru terburu-buru dan hampir saja menabrak pelayan hotel yang membawa nampan penuh dengan gelas.
Brak!
Gelas-gelas di nampan itu oleng, beberapa jatuh dan pecah di lantai. Kahfi menutup mata sejenak, mengutuk dirinya dalam hati. Dia tidak peduli pakaiannya kotor atau apapun. Yang jelas, Kahfi ingin segera menghilang terlebih dahulu.
Kahfi meminta maaf dan langsung melangkah cepat ke kamar mandi. Felix dan beberapa kolega bisnis tampak bingung sekali.
"Sepertinya panggilan yang mendesak," ujar Felix sedikit canggung.
"Ya sepertinya begitu." Pak Imran juga berpikiran hal yang sama.
Kahfi berada di dalam kamar mandi. Jas dan kemeja putih miliknya terkena cairan berwarna. Kahfi memercikkan air ke wajahnya. Merasa belum siap jika Rena mengetahui siapa dirinya.
Kahfi menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat kacau, bukan karena noda di pakaiannya, tapi karena kepanikannya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya masih berdebar tidak karuan.
"Kenapa harus sekarang?" gumamnya pelan.
Tangan Kahfi meraih tisu dan mencoba membersihkan jas serta kemejanya. Percuma, noda itu tidak akan hilang begitu saja. Ia hanya berharap bisa menenangkan diri sebelum harus kembali ke luar.
Pikirannya berputar cepat. Bagaimana kalau Rena benar-benar melihatnya? Bagaimana kalau dia tahu kenyataannya sekarang? Apa Rena akan merasa dibohongi?
Sial.
Kahfi meremas rambutnya, frustasi. Ia ingin menikahi Rena tanpa ada kebohongan, tapi dia sudah terlanjur begini. Setelah menikah, Kahfi akan jujur kepada Rena.
***
Setelah insiden tadi siang, Kahfi merasa hari ini dia akan mengalami berbagai macam kejadian. Kahfi bersiap menuju ke rumah Rena. Dia pergi menggunakan sepeda. Ternyata rumah mereka tidak terlalu jauh. Kira-kira empat puluh menit perjalanan. Tentu saja Kahfi tidak datang dengan tangan kosong. Dia membawa buah-buahan, kue dan minuman. Sebenarnya Kahfi ingin langsung membawa kedua orang tuanya, namun Rena menolak. Mungkin Rena tidak ingin menunjukkan respon ayahnya nanti kepada kedua orang tua Kahfi.
Disisi lain, Rena menunggu Kahfi dengan sedikit khawatir. Jika ayah hanya marah dan memukul dirinya, Rena tidak masalah. Rena takut kalau Kahfi mendapat perlakuan yang buruk. Bahkan Deon saja yang punya pekerjaan stabil awalnya juga ditolak oleh ayahnya, apalagi Kahfi. Tapi Rena sudah yakin menikah dengan Kahfi. Jika suami Rena bukan dari kalangan orang kaya, atau tidak punya pekerjaan dengan penghasilan rendah, maka ayahnya tidak akan mengganggu Rena dan suaminya. Makanya Rena memilih Kahfi.
Dari jauh, Kahfi tersenyum lebar melihat Rena menunggu dirinya. Bagaimana jika mereka sudah menikah? Pasti rasanya lebih bahagia dari ini. Kahfi menjadi tidak sabar.
"Harusnya tadi pakai gojek atau grab aja," ujar Rena merasa tidak tega melihat Kahfi sampai berkeringat begini.
"Nggak apa-apa kok. Sekalian olahraga," balas Kahfi.
"Kenapa banyak sekali?" tanya Rena sambil melihat plastik bawaan Kahfi.
"Namanya berkunjung ke rumah calon istri, ya harus banyak gini dong. "Kahfi menyengir.
Rena tersenyum dengan malu-malu. "Mas lap dulu keringatnya," suruh Rena. Dia ingin mengelapnya langsung, tapi mereka belum halal jadi tidak bisa.
"Iya juga." Kahfi langsung mengelap keringatnya. Mau gimanapun, Kahfi tetap terlihat tampan. Rambut rapi maupun rambut acak-acak sekalipun.
"Dirumah siapa saja?"
"Ada semua. Oh ya, nanti kalau Mas diperlakukan tidak baik, saya minta maaf." Rena sedikit khawatir.
"Tidak apa-apa. Namanya juga menuju halal, harus ada tantangannya sedikit." Kahfi menjawab dengan santai.
Setelah Kahfi selesai melap keringatnya. Dia dibawa masuk oleh Rena. Rumah itu terasa lebih dingin dari yang Kahfi bayangkan. Bukan karena AC atau angin yang berhembus, tapi karena suasana yang begitu canggung. Tidak ada yang menyambutnya, tidak ada sapaan ramah, hanya suara televisi yang menggelegar memenuhi ruangan.
Di sudut ruangan, Ayah Rena duduk dengan ekspresi datar, matanya terpaku pada layar televisi seolah kedatangan Kahfi tidak berarti apa-apa. Sementara itu, ibu tiri Rena duduk di sebelahnya, sibuk memainkan ponselnya tanpa sedikit pun berniat untuk menoleh ke arah tamu yang baru saja masuk.
Kahfi menelan ludah, mencoba tetap tenang. Dia sudah mempersiapkan mentalnya, tapi tetap saja, perlakuan dingin ini terasa menusuk.
Rena tampak canggung, dia menoleh ke Kahfi dengan raut wajah meminta maaf. "Mas duduk dulu, ya," ucapnya sambil menunjuk kursi kayu di ruang tamu.
Kahfi mengangguk dan duduk perlahan. Dia meletakkan plastik-plastik bawaan di lantai dengan hati-hati. Tangannya sedikit berkeringat, entah karena gugup atau karena perjalanan tadi.
Beberapa menit berlalu, namun tidak ada satupun yang berbicara. Hanya suara acara televisi yang terus mengisi keheningan.
Akhirnya, dengan sedikit batuk kecil, Kahfi mencoba membuka percakapan. "Permisi, Pak, Bu... saya Kahfi," ujarnya dengan sopan.
Ayah Rena akhirnya mengalihkan pandangannya dari televisi, menatap Kahfi sekilas sebelum kembali fokus ke layar. Ibu tiri Rena bahkan tidak mengangkat wajahnya sama sekali.
"Jadi, kamu yang katanya mau nikah sama Rena?" suara berat Ayah Rena akhirnya terdengar, tanpa emosi.
Kahfi menegakkan bahu, berusaha menunjukkan keyakinannya. "Iya, Pak. Saya datang ke sini untuk menyampaikan niat baik saya," jawabnya dengan nada tegas.
Ayah Rena hanya menghela napas, lalu mengambil remote dan mengecilkan volume televisi. "Kamu kerja apa?" tanyanya singkat.
Kahfi sedikit menegang. Ini pertanyaan yang sebenarnya ia harapkan, tapi tetap saja sulit menjawabnya. Sebelum Kahfi menjawab, Rena sudah langsung angkat bicara.
"Aku sudah jelasin sama Ayah, kenapa ditanya lagi?" ujarnya.
"Apa kamu bodoh?" tanya Ayah kepada Rena.
"Aku tidak bodoh. Mas Kahfi akan mendapat pekerjaan secepat mungkin. Dia juga lulusan universitas terbaik jadi tidak akan sulit mendapatkan pekerjaan. Jadi ayah tidak perlu meragukan Mas Kahfi lagi."
Ayah Rena menatap putrinya tajam, seolah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja keluar dari mulutnya. Dia meletakkan remote di meja dengan sedikit kasar, membuat suara dentuman kecil terdengar di tengah ruangan yang sunyi.
"Jadi, kamu membela dia?" suara Ayah Rena rendah, namun penuh tekanan.
Rena menahan napas. Tangannya mengepal di pangkuannya, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Aku tidak membela siapa-siapa, Yah. Aku hanya ingin Ayah tahu kalau Mas Kahfi bukan orang sembarangan. Dia orang baik dan bertanggung jawab."
Ayahnya tertawa kecil, tapi bukan tawa yang hangat melainkan penuh ejekan. "Orang baik? Bertanggung jawab?" Dia menggeleng pelan. "Lihat dia! Datang ke rumah ini tanpa pekerjaan yang jelas, berani-beraninya meminta izin menikahi anakku!"
Kahfi tetap duduk dengan tenang meskipun dadanya terasa sesak. Dia sudah menduga akan mendapat penolakan, tapi mendengarnya secara langsung tetap saja tidak mudah.
"Lebih baik kamu menikah dengan pilihan ayah."
"Tidak! Aku tidak mau!" Rena menolak dengan keras.
Perdebatan antara Rena dan ayahnya semakin menjadi-jadi. Bahkan ibu tiri Rena juga ikut membuat kondisi semakin tidak terkendali.
"Saya punya pekerjaan, Pak," jelas Kahfi.
Ayah Rena menatap Kahfi dengan tawa mengejek. "Tidak usah bohong, kamu hanya menang tampang saja."
"Tidak, Pak. Saya memang punya pekerjaan." Kahfi tidak bisa lagi menyembunyikan identitasnya. Dia ingin mengeluarkan kartu namanya, tapi belum sempat melakukan itu ayah Rena kembali angkat bicara.
"Saya tidak setuju. Rena akan menikah dengan laki-laki pilihan saya bukan dengan kamu yang tidak jelas ini."
"Tidak, Yah! Aku tidak mau. Lebih baik aku mati daripada harus menikah dengan laki-laki pilihan ayah."
Mata Kahfi langsung melotot.
"Anak ini semakin kurang ajar saja!" Ayah Rena ingin melayangkan tamparan, namun Kahfi langsung melindungi Rena. Tamparan itu mengenai punggung Kahfi.
Rena sudah memejamkan mata, bersiap menerima tamparan yang akan mendarat di pipinya. Jantungnya berdebar kencang, tetapi dia tidak bergerak, seolah sudah pasrah.
Namun sebelum tangan itu sempat menyentuhnya, suara menggelegar memenuhi ruangan.
"Cukup, Pak! Jangan lakukan ini!"
Darah Kahfi mendidih. Tangannya mengepal kuat, menahan diri agar tidak melakukan hal yang sama kepada pria tua di depannya. Baru sekarang semuanya jelas, memar di tubuh Rena bukan karena kecelakaan atau kecerobohannya sendiri, melainkan karena ayahnya. Bahkan di depan matanya pun, pria itu masih tega melayangkan tamparan.
Ayah Rena menoleh tajam. "Apa hak kamu ikut campur?" bentaknya kasar.
Kahfi tidak mundur sedikitpun. Matanya menyala dengan amarah yang sulit dibendung. "Jelas saya punya hak! Saya calon suami anak Bapak."
Pria tua itu menyeringai sinis. "Jangan kurang ajar kamu! Saya tidak pernah setuju."
Kahfi menghela napas, berusaha menahan emosinya yang meluap-luap. "Apa yang harus saya lakukan agar Bapak setuju?" desisnya, napasnya naik turun menahan kemarahan.
Ayah Rena tersenyum miring, lalu menyebutkan sesuatu yang membuat darah Kahfi semakin mendidih. "Beri saya lima ratus juta, baru saya akan setuju."
"Ayah!" Rena terkejut, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa ayahnya sendiri menukar hidupnya dengan uang?!
***
Bab 21
Pikiran Rena benar-benar kacau. Ayahnya sudah buta karena uang—bagaimana mungkin dia meminta 500 juta sebagai syarat restu pernikahan? Itu jumlah yang mustahil bagi Rena.
Dengan tangan gemetar, Rena membuka buku tabungannya. Angka yang tertera di layar hanya 72 juta. Masih jauh dari cukup.
Matanya menelusuri seisi kamar, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijual. Namun, tidak ada barang berharga di sana. Hanya perabotan sederhana dan satu-satunya benda paling berharga yang dia miliki adalah laptopnya.
Rena menggigit bibir. Menjual laptop berarti dia akan kesulitan untuk bekerja. Rena tidak bisa melakukan itu.
Rena menghela nafas panjang. Ponselnya bergetar, Rena langsung melihat siapa yang mengirim pesan. Ternyata calon suaminya yaitu Kahfi.
Rena langsung mengambil ponsel dan membuka pesan tersebut.
[Kahfi : Kamu tidak perlu khawatir. Jangan terlalu dipikirkan, kita pasti akan menikah]
Rena tersenyum. Dia juga tidak ingin khawatir, tapi mau bagaimana lagi, dia harus mencari cara mendapatkan uang 500 juta itu.
Rena baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Panik, dia segera mengambil tas dan bergegas keluar rumah. Jika naik ojek online, biayanya akan lebih mahal—sesuatu yang tidak bisa dia tanggung saat ini. Maka, pilihan terbaiknya adalah naik bus.
Angin pagi yang dingin menerpa wajahnya saat dia berjalan cepat menuju halte. Pikirannya masih kacau, tapi dia mencoba mengabaikannya. Satu langkah dalam satu waktu.
Sesampainya di kantor, dia melangkah masuk dengan napas sedikit terengah. Dia baru saja menyalakan komputer saat Randi tiba-tiba muncul di hadapannya, membawa secangkir kopi.
"Ini buat Mbak Rena," katanya sambil tersenyum.
Rena mengerjapkan mata, terkejut. Dia ingin menolak karena tidak terbiasa menerima pemberian orang lain. Namun sebelum Rena sempat membuka mulut, Randi sudah berbalik dan pergi.
Dia menatap kopi itu. Uapnya masih mengepul, aromanya begitu menggoda. Dalam situasi seperti ini, mungkin sedikit kafein bisa membantunya berpikir lebih jernih.
Rena meletakkan cangkir kopi di meja dan menarik napas dalam. Hari ini dia harus tetap fokus. Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal dan dia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya saat ini.
Sebagai staff administrasi, tugas Rena mungkin terlihat sederhana, tapi membutuhkan ketelitian tinggi. Setiap pagi, dia memeriksa dan merapikan dokumen-dokumen penting perusahaan sebelum diserahkan kepada atasan. Dia juga bertanggung jawab untuk menginput data transaksi, menyusun laporan keuangan ringan, serta memastikan semua file karyawan dan klien tersusun dengan rapi.
Pagi ini, Rena mulai dengan membuka email dan mengecek daftar tugasnya. Ada beberapa invoice yang harus dia proses, serta laporan bulanan yang harus dikompilasi. Tidak boleh ada kesalahan angka. Jika ada selisih sedikit saja, dia harus mencari penyebabnya sebelum diberikan ke bagian keuangan.
Saat sedang fokus menyalin data dari lembaran nota ke komputer, seorang rekan kerja menghampirinya, menyerahkan berkas baru untuk diproses.
"Rena, ini laporan dari divisi operasional. Tolong dicek sebelum dikirim ke Pak Anton, ya," ujar pria itu.
Rena mengangguk, menerima berkas dengan hati-hati. Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat pada keputusan bisnis perusahaan. Dia tidak ingin menjadi penyebab masalah.
Sementara jarinya cekatan mengetik di keyboard, pikirannya terus dipenuhi dengan pertanyaan yang sama: Bagaimana cara mendapatkan 500 juta?
Namun untuk saat ini, dia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.
Rena menghela napas panjang, baru menyadari betapa lelahnya dirinya setelah terus bekerja tanpa henti sejak pagi. Dia bahkan lupa waktu hingga resepsionis perusahaan menghubunginya.
"Mbak Rena, ada pesanan makanan atas nama Anda. Bisa ke resepsionis sekarang?"
Rena mengerutkan kening. Dia tidak memesan makanan. Siapa yang mengirimnya? Apa mungkin ada kesalahan?
Dengan sedikit ragu, dia bangkit dari kursinya dan melangkah ke depan. Hatinya was-was. Jika ini dari seseorang yang dia kenal, siapa yang cukup perhatian untuk mengirimkan makanan kepadanya?
Sesampainya di meja resepsionis, seorang pegawai menyerahkan kantong kertas berisi makanan hangat yang aromanya langsung menggugah selera. Rena melirik struk yang menempel di sampingnya, tetapi tidak ada nama pengirim. Hanya tertulis:
"Untuk Rena. Jangan lupa makan siang."
Jantungnya berdebar.
Siapa yang mengirim ini?
Rena menoleh ke arah resepsionis. "Maaf, makanan ini dikirim oleh siapa?"
Resepsionis itu menggeleng. "Kurirnya tidak bilang, Mbak. Dia cuma titip pesan itu saja."
Rena semakin bingung. Apakah dia harus menerimanya? Atau mengembalikannya? Tapi sebuah pesan masuk membuat dia tersenyum.
[Kahfi : Apa makanannya sudah sampai?]
Rena lega. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada resepsionis dan kembali ke meja kerjanya.
"Wah wah... pesan makanan nggak bilang-bilang ya," ujar Anjel.
"Bu-bukan begitu. Ini dikirim orang," jelas Rena agar Anjel tidak salah paham.
Anjel tersenyum. Bersiap untuk menggoda sang teman. "Hayo dikirim siapa?"
Rena malu sendiri. "Orang," jawanya tanpa menatap Anjel.
"Orangnya siapa? Nggak laki-laki gila itu, kan?" Anjel sudah tahu tentang Deon yang mengkhianati Rena. Jadi dia sangat membenci Deon.
"Enggak kok, Mbak."
"Jadi siapa?" Anjel begitu penasaran.
"Nanti aku ceritain," jawab Rena.
"Oke deh, aku tunggu." Anjel segera pergi karena dia juga ingin membeli makanan. Saat Anjel tidak ada lagi, Rena baru membalas pesan dari Kahfi.
[Rena : Sudah, Mas. Terima kasih...]
Tidak lama balasan datang. Kahfi seperti orang yang terus memegang ponsel. Pokoknya dia tidak pernah lambat membalas.
[Kahfi : Iya sama-sama. Makan yang banyak ya]
Rena tersenyum lebar. Jantungnya juga berdetak cepat.
[Rena : Baik, Mas. Mas juga harus makan yang banyak]
[Kahfi : Tentu saja. Semangat kerjanya]
[Rena : Iya, Mas]
Rena meletakkan ponselnya di atas meja. Dia melihat isi dari makanan yang dikirim Kahfi. Harganya tidak murah. Kahfi benar-benar mengeluarkan uang begitu saja. Padahal dia sulit mencari uang. Rena harus menghabiskannya. Namun sebelum itu, Rena memilih untuk menunaikan ibadah shalat zuhur lebih dulu.
***
Rena merasa dirinya benar-benar sudah gila. Bisa-bisanya dia kembali menghubungi Deon dan memintanya untuk bertemu. Jika bukan karena keadaan yang mendesak, dia tidak akan pernah melakukannya.
Tapi dia memang tidak punya pilihan lain.
Rencananya sederhana: Dia ingin meminta kembali uang yang pernah dia berikan kepada ibu Deon. Mereka batal menikah, jadi tidak ada alasan bagi Deon untuk menyimpan uang itu. Meskipun tidak bisa mencukupi 500 juta, setidaknya jika Deon bersedia mengembalikan, dia akan memiliki tambahan 50 juta.
Lagipula, jika dipikir-pikir, Deon lah yang seharusnya memberi kompensasi. Pernikahan mereka batal bukan karena Rena, tapi karena lelaki itu. Jadi apa salahnya jika dia meminta haknya kembali?
Rena dan Deon akan bertemu di cafe yang tidak jauh dari tempat kerja Rena. Bahkan sebelum kesana, Rena sudah mengatakan kepada Kahfi bahwa dia ada urusan sebentar sehingga tidak langsung pulang. Kahfi hanya menyuruhnya untuk berhati-hati dan tidak banyak bertanya.
Rena lebih dulu sampai. Dia menunggu dengan perasaan yang tidak jelas. Rena bukannya tidak bisa move on. Hanya saja dia begitu benci melihat Deon tapi dia harus menahannya demi uangnya kembali.
Tidak lama, Deon datang. Dia tidak berubah sama sekali. Dia datang dengan wajah yang membuat Rena muak. Tapi dia harus menahannya.
Wajah Deon tampak senang. "Sudah lama tidak bertemu," ujarnya.
"Hm," balas Rena dengan tidak niat.
Deon duduk dihadapan Rena. "Apa kamu sudah pesan minuman?" tanyanya.
"Tidak perlu."
Wajah Deon langsung berubah. Tapi dia pura-pura tidak peduli dengan respon ketus Rena. "Kalau begitu, aku pesan dulu. Kamu seperti biasanya, kan?"
"Aku bilang nggak perlu," jelas Rena dengan sorot mata tajam.
Deon memesan minuman untuk dirinya sendiri. Padahal dia sengaja berpenampilan rapi dan keren begini. Tapi Rena malah ketus padanya.
Setelah memesan minuman, Deon kembali duduk. "Kamu apa kabar belakangan ini?" tanyanya.
"Tidak usah banyak tanya."
Deon menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Rena dengan senyum tipis yang terkesan santai, padahal matanya jelas menyiratkan rasa penasaran.
"Jadi, ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanyanya, memainkan sendok kecil di tangannya.
Rena menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Dia tidak ingin basa-basi.
"Aku mau uangku kembali," ucapnya tegas.
Senyum di wajah Deon seketika pudar. Gurat terkejut muncul di matanya, tapi hanya sesaat. Dia kembali menyandarkan tubuhnya, kali ini dengan ekspresi lebih serius.
"Uang?" ulangnya, berpura-pura bingung.
Rena mengepalkan tangan di pangkuannya. "Ya, uang yang dulu kuberikan untuk ibumu. Aku ingin kau mengembalikannya."
Deon menghela napas panjang, lalu tertawa kecil, seolah permintaan Rena adalah lelucon baginya.
"Apa kamu bercanda?"
"Apa aku terlihat bercanda?" Rena menatapnya tajam.
Deon mengusap dagunya, menatap Rena dengan ekspresi sulit ditebak. "Kamu tahu sendiri ibuku bagaimana. Uang itu sudah dipakai, tidak mungkin aku mengembalikannya begitu saja."
Rena sudah menduganya, tapi tetap saja hatinya terasa panas.
Rena menatap Deon dengan mata berkilat emosi, tangannya mengepal begitu erat hingga kukunya hampir melukai telapak tangannya. Rasanya dadanya sesak. Amarah dan kekecewaan bercampur menjadi satu.
"Jadi, setelah membatalkan pernikahan, kamu bahkan tidak merasa bertanggung jawab sedikit pun?" suaranya bergetar, menahan marah.
Deon mendengus pelan, matanya menatap Rena dengan tatapan meremehkan. "Bukan aku yang membatalkan pernikahan kita, tapi kamu..."
Rena tertawa sinis. "Siapa yang masih mau menikah dengan pria yang tidur dengan mantannya, hah?"
Deon mengusap wajahnya, tampak frustasi. "Rena... Aku sudah menjelaskan semuanya. Itu cuma khilaf. Harus berapa kali aku bilang?"
"Khilaf?" Rena mendengus, tawa dinginnya begitu menyakitkan—bahkan untuk dirinya sendiri. "Mau khilaf atau apapun, aku tidak peduli. Aku hanya ingin uangku kembali."
Deon menggeleng santai. "Tidak bisa."
Darah Rena mendidih. Ia mengepalkan tangan lebih erat. "Jangan gila, Deon! Itu uangku!"
Deon bersedekap, wajahnya tetap tenang, seolah tidak peduli dengan api yang menyala di mata Rena. "Kamu sudah memberikannya, jadi sekarang itu milik ibuku."
Rena terdiam sesaat. Bisa-bisanya pria ini berbicara tanpa rasa malu sedikitpun?
"Aku memberikannya karena kita mau menikah," suaranya lebih pelan, tapi tajam, menusuk seperti belati ke dalam dada Deon. "Tapi sekarang? Kita tidak jadi menikah, jadi kembalikan."
Deon tersenyum miring. "Berapa kali pun kamu meminta, jawabannya tetap sama. Uangnya sudah habis."
Rena membelalak, matanya semakin berkilat marah. "Apa kamu gila?"
Deon tetap tenang. Bahkan, dia malah tersenyum sinis.
"Bukannya kamu akan menikah dengan laki-laki tua bangka yang kaya itu?"
Hening.
Rena menegang, menatap Deon dengan ekspresi tidak percaya. "Apa maksudmu?" suaranya terdengar lebih pelan, tetapi penuh ancaman.
Deon bersandar santai ke kursi, seolah menikmati reaksinya. "Ya, aku dengar kamu akan menikah dengan pria yang jauh lebih tua darimu. Kenapa tidak minta uang ke dia saja?"
Rena mengepalkan tangannya lebih erat. Deon benar-benar sudah keterlaluan.
***
Bab 22 Syok
"Jaga mulutmu!" sentak Rena. Padahal dia ingin bicara baik-baik.
"Apa yang harus aku jaga? Bukankah kenyataannya memang begitu? Kamu akan menikah dengan laki-laki tua yang kaya."
"Dasar orang gila! Kembalikan uangku."
"Aku sudah bilang, uangnya sudah habis. Jadi kamu ikhlaskan saja."
"Kamu dan keluargamu memang tidak tau malu ya."
"Lebih tidak malu keluargamu. Bahkan dia menjual anaknya sendiri ke laki-laki tua. Lebih baik menikah denganku dibanding laki-laki tua itu."
"Sampai matipun aku tidak sudi menikah denganmu. Lebih baik aku mati daripada hidup dengan laki-laki brengsek sepertimu."
"Jaga mulutmu!" sentak Deon.
"Apa yang salah? Aku mengatakan yang sebenarnya. Kamu benar-benar brengsek."
Mata Deon berkilat marah. "Apa kamu gila?"
"Ya aku memang gila, lebih gilanya aku karena pernah mencintai bajingan sepertimu," desis Rena. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tertahan begitu lama.
Deon terkekeh sinis. "Kamu benar-benar sudah berubah, ya? Dulu kamu lembut, penyayang—tapi sekarang?"
"Sekarang aku sadar," potong Rena cepat. "Aku sadar bahwa pria sepertimu tidak pantas mendapatkan sedikitpun kebaikan dariku."
Deon menyipitkan mata. "Jadi, ini caramu mengemis uang?"
Rena tertawa sinis. Mengemis?
"Aku menuntut hakku, Deon," ucapnya, suaranya tegas. "Dan kalau kau pikir aku akan diam saja setelah kau mencuri dariku, kau salah besar."
Wajah Deon berubah serius. "Kau tidak akan bisa mendapatkan uang itu kembali."
Rena sangat marah. "Kembalikan uangku brengsek!"
Semua mata tertuju pada mereka. Bisik-bisik terdengar. Bahkan ada yang bersiap merekam mereka seperti mendapatkan sesuatu yang menarik. Sebelum itu terjadi, Deon langsung bangkit dari kursinya. Dia menarik tangan Rena dengan kasar dan membawanya keluar. Rena sudah berusaha untuk melepaskan diri. Dia bahkan meronta-ronta dan meminta tolong, tapi tidak ada yang bisa menolak. Pergelangan tangan Rena sangat sakit sekali.
"Lepaskan aku, gila!"
Deon tidak mendengarkannya. Dia tetap menarik Rena dengan kasar.
Saat itu terjadi begitu cepat. Rena masih meronta, mencoba melepaskan genggaman kasar Deon di pergelangan tangannya yang semakin sakit. Namun sebelum ia bisa berteriak lebih kencang, sebuah bogeman keras menghantam wajah Deon.
Bugh!
Tubuh Deon langsung terhuyung ke belakang, lalu jatuh tersungkur di tanah. Rena terkejut bukan main. Matanya membulat melihat sosok yang berdiri di hadapannya dengan napas memburu.
Kahfi.
Wajah pria itu tegang, rahangnya mengeras, dan tatapannya tajam, penuh kemarahan yang seolah siap meledak. Ini pertama kalinya Rena melihat Kahfi sebrutal ini.
Deon mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Dia mendongak dengan sorot mata penuh amarah. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau ikut campur?!"
Kahfi tidak menjawab. Tanpa banyak bicara, dia kembali melayangkan pukulan ke wajah Deon, lebih keras dari yang pertama.
Bugh!
Deon terjerembab ke lantai lagi, kali ini lebih parah. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka mulai panik. Ada yang berteriak, ada yang buru-buru mengeluarkan ponsel untuk merekam.
"Berhenti!" Rena mencoba menahan Kahfi sebelum dia melakukan hal yang lebih gila lagi.
Namun Kahfi tidak mendengarkan. Dia menarik kerah baju Deon yang masih setengah sadar, menatapnya dengan mata membara. "Awal kalau kau menyentuhnya lagi, aku akan benar-benar membunuhmu," suaranya rendah, penuh ancaman yang nyata.
Deon meludah ke samping, mencoba melawan, tapi tangannya bergetar. "Brengsek...! Kau pikir siapa kau?! Jangan sok pahlawan!"
Kahfi menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. Tapi melihat Rena yang tadi ditarik paksa, melihat ketakutan di matanya itu sudah lebih dari cukup untuk membuat darahnya mendidih.
Dia mendekatkan wajahnya ke arah Deon. "Aku calon suaminya."
Kata-kata itu terucap tegas.
Deon membelalak. "Tidak mungkin," ujarnya.
"Apa yang tidak mungkin, sialan?" Kahfi ingin melayangkan pukulan. Tapi Rena langsung menghentikannya. "Jangan, Mas. Aku mohon..." pintanya. Rena bukan takut Deon kenapa-kenapa, tapi dia takut kalau Kahfi masuk penjara karena masalah ini. Apalagi Deon adalah orang yang sangat licik.
"Ayo kita pergi," ujar Rena lagi.
Kahfi menatap Rena dengan sorot mata penuh kekecewaannya. Sepertinya Kahfi salah paham. Dia mengira Rena masih memiliki perasaan kepada Deon.
Kini keduanya sedang berada ditaman yang tidak jauh dari tempat Kahfi menghajar Deon. Rena duduk dengan pikiran kacau. Sedangkan Kahfi masih berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Mas..." lirih Rena.
Kahfi tidak menjawab. Dia bahkan tidak bisa menatap Rena untuk saat ini. Seharusnya Kahfi menunjukkan sisi yang baik dari dirinya, tapi malah sebaliknya.
"Mas marah ya?" tanya Rena dengan hati-hati.
Kahfi membalikkan badan. "Jadi urusan yang kamu bilang tu ketemu sama mantan kamu?"
Rena terkejut. Bagaimana mungkin Kahfi tahu? Dia tidak pernah sekalipun menceritakan tentang Deon.
"Mas tahu kalau dia mantan calon suami saya?" tanyanya hati-hati.
"Hm," gumam Kahfi pelan, tapi cukup untuk membuat jantung Rena berdebar.
Dia mengingat-ingat lagi, mencoba mencari celah dalam ingatannya. Apa dia pernah bercerita? Tidak, seingatnya, tidak pernah.
"Maaf, Mas..." Rena menundukkan kepala.
Kahfi menghela napas panjang, sorot matanya sedikit melembut. "Kamu nggak perlu minta maaf," ujarnya tenang.
Namun sesaat kemudian, dia kembali bertanya, kali ini dengan nada yang lebih dalam, seakan menahan sesuatu. "Apa kamu masih berharap sama dia?"
Pertanyaan itu membuat dada Rena berdenyut. Kahfi menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak, tapi Rena bisa merasakan ada ketakutan di sana—takut jika jawaban yang keluar dari bibirnya bukan yang diinginkan.
Rena buru-buru menggeleng. "Astagfirullah... Demi Tuhan, tidak, Mas. Saya tidak berharap apapun padanya."
Sekilas, Rena melihat bahu Kahfi mengendur, tapi ekspresi tegasnya masih belum hilang.
"Kalau begitu, kenapa kamu masih mau bertemu dengannya?"
Rena menggigit bibirnya, menunduk, tak ingin membuat Kahfi salah paham lebih jauh. Tapi dia juga tidak bisa berbohong. Dengan suara kecil, nyaris seperti cicitan, dia menjawab, "Saya cuma mau meminta uang saya kembali..."
"Uang apa?"
Rena mulai menceritakan bagaimana ia memberikan uang kepada ibu Deon. Mendengar hal itu membuat Kahfi bertambah marah. Deon dan keluarganya sama saja. Mereka tidak tahu malu.
"Apa dia mau memberikannya?"
Rena menggeleng.
Kahfi mengepalkan tangan. Seharusnya dia lebih menghajar Deon. Kalau perlu kakinya sampai patah sehingga tidak bisa berjalan selama beberapa waktu.
"Tidak perlu dipikirkan lagi."
"Tapi kalau dia mau mengembalikan uangnya, setidaknya bisa menambah tabungan saya untuk mencari 500 juta itu," ujar Rena.
Hati Kahfi langsung terasa sesak. Ternyata Rena mau bertemu dengan mantannya karena mau mencari uang 500 juta yang menjadi syarat dari ayahnya. Padahal KAhfi sudah menyuruhnya untuk tidak terlalu memikirkannya. Bahkan Rena ingin mencari sendiri tanpa meminta sepeserpun padanya. Rena benar-benar membuat Kahfi tidak bisa berkata-kata lagi. "Saya sudah bilang, jangan terlalu dipikirkan."
"Kalau tidak dipikirkan, bagaimana kita bisa menikah?"
Kahfi menahan senyumnya. Ternyata Rena benar-benar mau menikah dengannya. Kahfi tentu saja merasa senang.
Kahfi langsung mengambil ponsel dari saku celana. Entah apa yang dia lakukan, padahal mereka sedang membicarakan hal yang serius.
"Berapa nomor rekening kamu?" tanya Kahfi.
"Untuk apa?"
"Kirim saja."
Rena mengambil ponsel di dalam tas. Dia mengirim nomor rekeningnya. Mungkin Kahfi ingin sedikit membantu untuk mengumpulkan 500 juta.
Tidak lama kemudian, notif dari m-bankingnya muncul. Kahfi mengirim uang kepadanya. Dia melihat sekilas kemudian menyimpan ponselnya lagi. Tapi tunggu... ada sesuatu yang aneh. Rena mengambil kembali ponselnya dan membuka m-banking. Dia menghitung jumlah nol dari saldo rekeningnya. Bahkan Rena mengucek matanya berkali-kali. Mungkin saja dia salah lihat. Tapi ternyata tidak.
Saldonya bertambah Lima ratus juta. Nolnya tidak berkurang. Angka itu nyata. Saldo rekeningnya kini memiliki jumlah yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Apa ini?" tanyanya dengan suara bergetar, tangannya masih gemetaran saat menggenggam ponsel.
Kahfi, yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi santai, hanya mengangkat bahu. "Saya sudah bilang, jangan terlalu dipikirkan."
Rena membeku. Pikirannya benar-benar kacau. Darimana Kahfi mendapatkan uang sebanyak ini? Tidak mungkin tabungannya sebesar itu!
Tanpa berpikir panjang, dia melangkah cepat ke arahnya. Bahkan saking tangannya gemetaran, ponsel Rena terjatuh. Namun dia tidak peduli sama sekali. "Apa yang Mas lakukan?" tanyanya
Kahfi mengernyit, bingung. "Ha?"
Rena menatapnya lekat-lekat, lalu tanpa ragu, dia menarik kaos Kahfi ke atas, memperlihatkan perutnya. Dia mencari sesuatu seperti bekas operasi, jahitan, atau luka yang menandakan Kahfi melakukan sesuatu yang gila demi mendapatkan uang itu.
Tapi untunglah tidak ada bekas operasi sama sekali. Rena langsung terduduk lemas di tanah. Bahkan air matanya mengalir begitu saja. Tentu saja Kahfi panik.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya yang sekarang sudah berjongkok.
Rena menutup wajahnya dengan telapak tangan. Isak tangisnya semakin menjadi-jadi. Untuk pertama kalinya Rena menangis di hadapan orang lain.
"Saya mohon, jangan menangis," lirih Kahfi. Dia tidak mengerti kenapa Rena menangis. Namun Kahfi tidak bisa memeluk atau menyentuh Rena. Dia hanya bisa melihatnya saja.
"Jangan lakukan hal gila," ujar Rena disela isak tangisnya.
"Saya tidak melakukan hal gila."
"Lalu darimana uang 500 juta itu?" Wajah Rena terlihat berantakan sekali. Dia tidak peduli. Dia hanya butuh kejelasan karena pikirannya memikirkan hal-hal yang buruk.
"Uang saya sendiri, Rena."
"Tidak mungkin." Rena menggeleng tidak percaya.
"Saya tidak berbohong. Uang itu memang milik saya. Kamu tenang saja, saya tidak menjual apapun termasuk organ tubuh saya sendiri," ucap Kahfi meyakinkan.
Rena masih menangis. Dia sangat syok sekali.
***
Bab 23 Surat Pernyataan
Berulang kali Rena memastikan tentang uang yang diberikan oleh Kahfi. Namun jawaban Kahfi tidak pernah berubah. Uang itu memang miliknya, dia bahkan berani bersumpah bahwa uang itu tidak didapat dengan cara yang buruk. Pada akhirnya Rena percaya dan memutuskan untuk segera memberikan kepada sang ayah.
Berhubung uangnya sudah ada. Rena dan Kahfi mulai untuk mendaftarkan pernikahan mereka dengan melakukan berbagai persiapan termasuk pemeriksaan secara keseluruhan. Tubuh mereka baik-baik saja, tidak ada penyakit berbahaya. Hanya saja, tubuh Rena memang tergolong lemah. Dia kekurangan vitamin D sehingga rambutnya banyak yang rontok. Kahfi sudah membelikan beberapa vitamin atas rekomendasi dari Papanya.
Setelah semua persyaratan pernikahan terkumpul, Rena dan Kahfi langsung mendaftar ke kantor KUA yang tidak jauh dari rumah Rena. Tidak ada pesta mewah, tidak ada acara besar. Rena hanya ingin pernikahan sederhana di KUA, dan Kahfi setuju tanpa ragu.
Bagi orang lain, mungkin ini terkesan terburu-buru. Tapi bagi Kahfi, ini bukan tentang tergesa-gesa. Ini tentang membawa Rena pergi dari tempat yang telah terlalu banyak menyakitinya.
Saat mereka keluar dari kantor KUA, Kahfi melirik arlojinya. "Apa kamu mau langsung kembali ke kantor?" tanyanya. Mereka datang terpisah, seperti biasa. Belum halal, batasan tetap harus dijaga.
"Iya, Mas. Saya cuma izin sebentar."
"Baiklah. Nanti saya GoFood-in makanan, ya?"
Rena langsung menggeleng. "Nggak usah, Mas. Saya bisa beli di warung dekat perusahaan saja."
Kahfi menatapnya dengan ekspresi sedikit terluka. "Kita udah mau nikah, tapi kenapa kamu selalu menolak perhatian saya?"
Rena terdiam. Ada sesuatu dalam suara Kahfi yang membuat dadanya terasa hangat sekaligus bersalah.
"Bukan begitu... Sa-saya cuma merasa nggak enak hati," gumamnya pelan.
"Tidak enak hati gimana?"
Rena menggigit bibir. "Uang Mas pasti udah banyak habis. Jadi jangan ditambah lagi."
Kahfi menghela napas panjang. "Rena, uang saya banyak."
Rena langsung meliriknya curiga. "Mas selalu bilang gitu. Emang sekarang udah dapat kerja?"
"Udah dong," jawab Kahfi santai.
"Serius? Kerja di mana?" Mata Rena berbinar-binar. Jika Kahfi sudah mendapatkan pekerjaan, tentu itu kabar baik.
"Di Conupus Group."
Mata Rena langsung membesar. "Hah?! Perusahaan besar itu?!"
Kahfi tersenyum tipis, menikmati ekspresi terkejutnya. "Makanya kamu nggak perlu khawatir setelah menikah nanti."
Rena terkekeh kecil. "Iya, iya. Saya percaya, kok."
Kahfi melihat jam di pergelangan tangannya. Dia juga ada jadwal rapat sebentar lagi sehingga harus kembali ke perusahaan.
"Kamu hati-hati ya, dan jangan mampir kemana-mana," ujar Kahfi.
"Iya, Mas."
Kahfi sengaja memesankan mobile online agar Rena aman sampai ke tempat kerjanya. Dia bahkan mencari driver perempuan terpercaya. Setelah memastikan Rena masuk ke dalam mobil, barulah Kahfi menghubungi Felix untuk segera menjemput dirinya.
Rena melambaikan tangan sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. Kahfi tersenyum dan membalas lambaian tangan tersebut. Dia tidak sabar untuk segera menikah.
Sebenarnya Kahfi tidak benar-benar menikah hanya di KUA saja. Apalagi keluarga, terutama Mamanya sangat antusias sekali. Nanti Kahfi akan meminta maaf kepada Rena. Dia pasti syok berat. Namun yang paling penting, mereka sah terlebih dahulu sehingga Rena tidak akan kemana-mana meskipun terkejut dengan siapa Kahfi sebenarnya.
Kahfi menghela nafas panjang. Sejak tadi Mamanya sibuk bertanya kapan Rena mau bertemu dengannya. Sebenarnya Rena pasti mau-mau saja bertemu dengan Mamanya, namun Kahfi tidak ingin membebani Rena terlebih dahulu. Lebih baik mereka menikah dulu, baru mengurus yang lain.
***
Pulang bekerja dengan uang yang terdapat di dalam plastik hitam. Rena benar-benar menyembunyikan uang itu dengan baik. Kalau hilang, maka hancurlah semua rencana mereka termasuk menikah. Rena akan memberikan uang itu kepada ayahnya malam ini. Tentu saja Rena tidak memberikan dengan mudah. Dia sudah membuat surat pernyataan dimana harus ditandatangani oleh sang ayah agar tidak mengganggu kehidupannya lagi setelah menikah.
Apapun pemikiran orang lain, Rena tidak peduli. Dia sudah cukup menderita selama ini. Bahkan bekas luka di tubuhnya adalah ulah dari ayahnya sendiri. Rena memang bodoh karena tidak berani melaporkannya. Tapi setidaknya setelah menikah, Rena akan keluar dari tempat yang menyesakkan ini.
Pukul delapan lebih sedikit, setelah selesai shalat Isya, Rena akhirnya keluar dari kamar. Dadanya berdebar, tapi wajahnya tetap datar saat berdiri di hadapan sang ayah.
"Aku ingin bicara," ujarnya tegas.
Ayahnya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada acara televisi. Tidak ada perubahan. Mereka tetap sama seperti dulu. Jika membeli sesuatu, hanya untuk mereka bertiga. Rena? Bahkan ditawari pun tidak.
Tanpa basa-basi, ayahnya langsung bertanya, "Apa uangnya sudah kamu dapatkan?" Suaranya penuh nada meremehkan, seolah mustahil bagi Rena untuk mengusahakannya sendiri.
"Sudah," jawab Rena tenang.
Ayahnya menoleh, jelas terkejut. "Ha? Di mana kamu pinjam?"
"Ayah tidak perlu tahu."
Ayah mengangkat bahu, seakan tidak peduli. "Ya ya ya, terserah kamu. Mana uangnya?"
Rena tidak langsung menyerahkan uang itu. Sebagai gantinya, dia mengeluarkan selembar kertas dengan materai yang sudah tertempel rapi di pojoknya. Dia menyodorkannya ke meja di depan ayahnya.
"Sebelum itu, tanda tangani ini dulu," katanya.
Ayahnya mengerutkan kening, mengambil kertas itu, dan membaca sekilas. Tidak butuh waktu lama sebelum dia mendengus lalu tertawa sinis.
"Kamu kira ayahmu ini apa?" katanya meremehkan.
Rena tetap diam, tidak ingin membuang tenaga untuk debat yang tidak perlu.
"Mana uangnya dulu?" ulang ayahnya, nadanya menuntut.
Rena menatapnya tanpa berkedip. "Tanda tangan dulu, baru aku kasih uangnya."
"Ck, merepotkan saja." Ayah Rena langsung menandatangani tanpa ragu sama sekali. Rena mengamankan surat pernyataan itu. Akhirnya dia bisa bebas dari tali yang dibuat ayah untuknya. Rena benar-benar sangat lega sekali.
"Mana uangnya?" tanya ayah lagi.
Rena langsung memberikan plastik hitam. Meskipun hatinya berat, Rena tidak punya jalan lagi. Nanti kalau dia sudah bisa mengumpulkan uang, maka dia akan mengganti uang milik sang calon suami.
Begitu Rena menyerahkan plastik hitam itu, mata ayahnya langsung berbinar penuh keserakahan. Tangannya yang kasar meraih plastik itu dengan tergesa-gesa, seolah takut uang itu akan menghilang jika ia tidak segera menggenggamnya.
Dengan cepat, ia merogoh isi plastik dan menarik keluar tumpukan uang yang terbungkus rapi. Alisnya sempat berkerut, curiga, lalu dia mengambil salah satu lembaran dan meraba teksturnya, bahkan mengangkatnya ke cahaya untuk memastikan keasliannya.
"Hah!" Ayah Rena tertawa puas. "Ini asli!" serunya.
Mendengar itu, ibu tiri dan adik tirinya yang tadinya hanya mengintip dari kejauhan langsung mendekat. Mereka terperangah melihat begitu banyak uang tunai di hadapan mereka, dan tanpa malu-malu, mereka pun ikut tertawa senang.
"Astaga! Sebanyak ini?" suara ibunya penuh kegirangan.
"Wow! Kita bisa beli apa aja dengan uang segini!" adik tirinya berseru penuh semangat.
Mereka bertiga menatap uang itu seolah sedang melihat harta karun, tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana perjuangan Rena mendapatkannya. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada simpati dan hanya kerakusan yang terpancar jelas dari ekspresi mereka.
"Jangan sampai tidak datang ke KUA besok," ujar Rena mengingatkan. Terakhir kali ayahnya akan menjalankan tugasnya sebagai ayah meski harus diberikan uang lebih dulu.
"Iya iya, kamu tenang saja." Ayah tertawa sambil memegang tumpukan uang tersebut.
Rena kembali ke kamar. Hatinya sangat sedih sekali. Air matanya mengalir. "Ibu... aku rindu," lirihnya sambil menatap langit-langit kamar. "Apakah aku bisa merasakan sedikit kebahagian, Bu?" ujarnya lagi. Semakin lama, dada Rena terasa sesak sekali.
Besok dia akan menikah, Rena harap semuanya berjalan baik. Dia berdoa agar semuanya akan baik-baik saja. Semoga pilihan kali ini tidak salah. Dia akan mencoba untuk percaya kepada Kahfi.
***
Bab 24 Menikah
Papa Kahfi yaitu Indra berdiri di samping Kahfi, ekspresinya penuh kekhawatiran melihat kondisi sang anak. Perlahan, rombongan keluarga Kahfi memasuki kantor KUA, mereka membawa berbagai hantaran yang ditata rapi di tempatnya. Tapi Rena belum juga datang. Sebenarnya Kahfi ingin menyuruh abangnya untuk menjemput, tapi Rena menolak. Dia akan datang sendiri.
Mama Ina menatap Kahfi dengan cemas. Meski anaknya berusaha tersenyum, ia tetap bisa melihat betapa buruk kondisinya. Perlahan, ia mendekati sang suami dan berbisik agar tak ada yang mendengar.
"Kira-kira Kahfi bakal pingsan, nggak?" tanyanya.
"Nggak tau," jawab Papa Indra.
"Menurut aku pingsan si Ma," ujar Abizar ikut nimbrung dalam pembicaraan itu. Mama Ina langsung melotot kepada anak sulungnya itu. "Kamu itu, doain yang baik-baik aja kenapa?"
Abizar menyengir. "Ya mau gimana, dia demam dari semalam."
"Anak kamu ini emang aneh ya, Mas. Mau nikah malah demam pula." Mama Ina sampai tidak tahu harus menyalahkan siapa. Padahal makanan Kahfi sangat bergizi. Pekerjaan juga sudah dikurangi, tapi tiba-tiba tengah malam badannya malah panas.
Papa Indra tampak ragu. "Anak kamu juga, Sayang," balasnya singkat.
"Gimana kalau nanti beneran pingsan?" celetuk Irsyad yang sejak tadi diam.
"Enggak bakal. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh Syad," Papa Indra mencoba berpikir positif. Obat juga sudah diberikan.
Kahfi menarik napas dalam-dalam. "Mama, Papa, lagi ngomongin apa?" tanyanya, jelas mendengar pembicaraan mereka.
"Kamu dengar?" Mata Mama Vina sedikit membesar.
"Telinga aku masih baik, Ma," Kahfi tersenyum tipis. Dengan kondisi seperti ini, siapa pun yang berada di posisinya pasti bisa menangkap percakapan orang tuanya.
"Kalau mau pingsan, siap ijab kabul aja ya," bisik sang Mama.
Kahfi menatap ibunya dengan ekspresi tidak percaya. "Mama doain aku pingsan?"
Mama Ina buru-buru menggeleng. "Bukan gitu, Nak! Aduh, gimana jelasinnya..." Ia semakin panik, sementara tangannya menggenggam tangan Kahfi yang terasa panas.
Selain keluarga inti, ada nenek Kahfi dan juga Bibi Ana beserta keluarganya. Mereka sangat menunggu momen Kahfi menikah. Bahkan mereka datang dengan beberapa mobil.
"Dimana cucu menantu nenek itu?" tanya nenek karena Rena tidak kelihatan dari tadi.
"Sebentar lagi datang, Nek." Kahfi sudah berkeringat. Mama Ina langsung mengusap keringat sang anak.
"Ini calon kamu beneran datang atau malah kabur, Kaf?" goda Renaldi.
"Renal!" ujar Nenek, Mama Ina dan Bibi Anna secara bersamaan. Renaldi langsung mengangkat tangan. "Maaf maaf," ujarnya.
Tidak lama, Rena datang. Sebenarnya dia bingung saat melihat begitu banyak mobil didepan kantor KUA. Dia kira bukan hanya dia saja yang menikah hari ini.
Rena datang sendiri saja. Mama Ina langsung mendekati Rena. "Ya ampun, menantu Mama cantik sekali," sambutnya dengan antusias. Sebenarnya Mama Ina sangat sedih dan teriris melihat Rena datang sendiri. Dia tidak memiliki keluarga. Bukan hanya Mama Ina yang merasakan itu. Seluruh keluarga Kahfi merasakan itu, hanya saja mereka tidak mau terlalu menunjukkannya.
"Te-terima kasih, Mama." Rena gugup. Bahkan Kahfi yang sejak tadi menatap Rena jadi pangling sendiri. Rena terlihat cantik dengan gaun berwarna putih. Make up yang digunakan tidak tebal dan sangat natural sekali.
"Maaf ya, Ma. Ayah sebentar lagi akan datang," jelas Rena. Dia bersikap seolah-olah hubungannya dengan sang ayah sangat baik. Padahal keluarga Kahfi tahu bahwa hubungan keduanya tidak baik.
"Iya, Nak. Menunggu berapa jam pun tidak masalah."
Tidak lama kemudian, ayah Rena datang. Dia hanya sendiri saja, bahkan pakaian yang dia gunakan tampak tidak pantas untuk digunakan dalam acara pernikahan anak sendiri. Padahal banyak pakaian ayahnya yang bagus, tapi mau bagaimana lagi. Rena hanya bisa menahan diri agar tidak mengeluarkan air mata.
Ayah Rena melangkah masuk dengan tatapan penuh selidik. Pandangannya langsung tertuju pada deretan mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Dahinya berkerut, matanya berbinar penuh ketertarikan. "Mobil siapa itu?" tanyanya dengan nada penuh kepentingan. Mobilnya sangat bagus dan pasti mahal.
Papa Indra langsung menyalami ayah Rena. Bagaimanapun, mereka adalah besan dimata orang-orang.
Penghulu langsung duduk ditempat yang sudah disediakan di kantor KUA. Berkas-berkas pernikahan diteliti lagi agar tidak terjadi kesalahan nantinya.
"Tegang sekali," ucap Pak Penghulu karena melihat raut wajah Kahfi. Semua yang ada di dalam rumah mendadak tertawa kecil.
Kahfi hanya bisa memaksakan diri untuk ikut tertawa, padahal kepalanya sudah sangat berat. Mama Ina mengambil tisu kemudian mengusap bulir keringat yang keluar dari dahi dan leher Kahfi.
"Sudah siap?" tanya Pak penghulu.
Detak jantung Kahfi semakin menggila. Keringat dingin tidak berhenti untuk keluar.
"Si-siap Pak," jawab Kahfi terbata-bata. Tidak jauh berbeda dengan Kahfi, Rena juga berkeringat dingin.
Sorotan mata Kahfi dan ayah Rena bertemu. Ijab kabul segera berlangsung.
Suasana ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Kahfi dan ayah Rena yang duduk berhadapan. Napas Rena terasa semakin berat. Ia berusaha menenangkan diri, tapi tangannya tetap gemetar di atas pangkuan.
Seorang penghulu duduk di antara mereka, menatap Kahfi dengan tatapan tenang namun penuh wibawa. "Baiklah, jika semuanya sudah siap, kita akan segera memulai ijab kabul," ujarnya.
Ayah Rena menghela napas dan merentangkan tangannya, bersiap untuk mengucapkan akad. Wajahnya datar, nyaris tanpa emosi, seolah ini bukanlah momen sakral yang akan mengubah hidup putrinya.
Kahfi mengusap telapak tangannya yang berkeringat. Ia menegakkan punggung, mencoba menguatkan diri.
Penghulu mulai membacakan doa, lalu dengan suara tegas, ia berkata, "Baik, silahkan Pak, mulai ijabnya."
Ayah Rena mengangguk, lalu dengan suara berat dan monoton, ia mengucapkan, "Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya, Rena Zahira binti Dani, dengan engkau, Kahfi bin Indra, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai."
Semua mata kini tertuju pada Kahfi. Ruangan terasa semakin sunyi, bahkan detak jantungnya sendiri terdengar begitu keras di telinganya. Kahfi menarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara mantap, ia mengucapkan, "Saya terima nikahnya Rena Zahira binti Dani dengan mas kawin tersebut, tunai."
Seketika, suara saksi menggelegar, "Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Ruangan langsung dipenuhi suara lirih dari keluarga Kahfi yang terharu. Mama Ina tak bisa menahan air matanya. Sedangkan Papa Indra mengangguk dengan bangga.
Namun, ekspresi ayah Rena tetap datar. Tak ada haru, tak ada kebanggaan. Yang ada hanya ketidakpedulian. Setelah itu, Ayah Rena pergi tanpa mengatakan apapun. Rena berusaha untuk tetap kuat. Tapi jujur saja, hatinya sangat sakit sekali. Apa ayahnya tidak bisa menunggu, sebentar saja. Tidak akan butuh waktu lama, pasti keluarga Kahfi tidak menyukai dirinya karena melihat ayah Rena seperti itu. Rena menunduk karena tidak berani menatap siapapun.
"Selama ya, Nak. Terima kasih karena sudah mau menikah dengan anak Mama," ujar Mama Ina sambil memeluk Rena. MAma Ina sangat terharu sekali. Air matanya tidak bisa tertahankan lagi.
"Maaf, Ma," lirih Rena dengan bibir bergetar.
Mama Ina melonggarkan sedikit pelukannya. Kemudian menatap Rena sambil tersenyum. "Minta maaf untuk apa, Sayang?" tanyanya lembut.
Rena tidak bisa menjawab.
"Kamu tidak perlu minta maaf, Sayang. Keluarga Kahfi sangat berterima kasih kepada kamu," ujar Mama.
Air mata Rena langsung keluar. Mama Ina mengusapnya dengan lembut.
"Terharunya nanti dulu ya, kita tanda tangan buku nikahnya dulu," ujar Pak Penghulu sambil sedikit tertawa.
Rena dan Kahfi duduk bersebelahan, mengikuti arahan dari Pak Penghulu yang menyerahkan buku pernikahan untuk mereka tanda tangani. Saat hendak mengambil pena, Kahfi tanpa sengaja menjatuhkannya. Tangannya terasa lemah, seolah seluruh energinya terkuras habis. Padahal dia tidak melakukan apa-apa, namun gejolak dalam hatinya cukup untuk membuatnya kehilangan tenaga.
Di sisi lain, jantung Rena berdebar tak menentu. Meski ijab kabul telah diucapkan dengan jelas, keringat dingin masih mengalir di pelipisnya. Ia menundukkan kepala, enggan menatap siapapun, termasuk pria yang kini sah menjadi suaminya.
Ketika Kahfi merunduk untuk mengambil pena yang jatuh ke bawah meja, Rena pun melakukan hal yang sama. Tanpa sengaja, kepala mereka bertubrukan.
"Aduh..." Rena meringis, sementara Kahfi mengusap dahinya yang terasa nyeri.
Suasana mendadak berubah. Gelak tawa terdengar dari keluarga yang menyaksikan kejadian itu, termasuk Mama Ina yang menutup mulutnya sambil menahan senyum.
"Elus kepalanya dong, Mas Kahfi. Udah sah, lho," goda Pak Penghulu dengan nada bercanda.
Wajah Kahfi langsung memerah. Refleks, ia menyembunyikan tangannya di bawah meja. Menghadapi negosiasi bisnis dengan investor besar tidak pernah membuatnya gugup, tapi menghadapi Rena, istrinya sendiri malah membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Bahkan hanya sekadar menatapnya saja sudah cukup membuatnya salah tingkah.
Pak Penghulu kembali fokus pada prosesi. "Silakan tanda tangan di sini."
Rena menjadi yang pertama menandatangani buku nikah, disusul Kahfi. Sepanjang proses itu, mereka berusaha menghindari kontak mata, membuat Pak Penghulu tak bisa menahan tawa kecil.
"Seperti dinikahkan karena dipaksa, ya," celetuknya.
Tawa kembali pecah, sementara Rena dan Kahfi hanya bisa tersipu.
Lalu, Pak Penghulu menatap Kahfi dengan tatapan usil. "Kahfi... Apakah kamu sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.
Kahfi mengernyit, tidak segera menangkap maksud pertanyaan itu. Tangan yang memegang microphone terasa licin akibat keringat.
"Be-belum, Pak," jawabnya gugup.
Mendengar jawaban itu, Rena spontan mencubit pinggang Kahfi pelan. Sentuhan mendadak itu membuat tubuh Kahfi menegang.
Pak Penghulu berpura-pura kaget. "Oh, jadi belum menikah? Terus tadi itu apa?"
Kahfi yang akhirnya sadar akan maksudnya, buru-buru meralat, "Su-sudah, Pak. Saya sudah menikah."
Ruangan kembali dipenuhi tawa. Rena semakin menunduk dalam, sementara Kahfi hanya bisa menyunggingkan senyum canggung. Hari ini benar-benar hari yang penuh kejutan bagi keduanya.
***
Bab 25 Demam
Rena tidak menyangka keluarga Kahfi ternyata sangat baik dan ramah-ramah. Mereka sangat menerima Rena sebagai anggota keluarga yang baru. Bahkan Rena baru tahu bahwa sosok dokter yang ia temui di rumah sakit adalah kakak pertama Kahfi.
Wajah Kahfi tampak semakin pucat, membuat Mama Ina berbisik khawatir, "Nak, kamu kelihatan lemas."
"Mama tenang saja, aku masih kuat kok," jawab Kahfi, mencoba menenangkan sang ibu. Ia tidak ingin kekhawatiran itu merusak momen bahagianya, meskipun dirinya sendiri tidak tahu sampai kapan tubuhnya bisa bertahan.
"Adik aku udah benar-benar dewasa ya," ujar Abizar sambil memeluk adik bungsunya itu.
"Jelaslah, aku udah dewasa ya." Kahfi mengatakan dengan percaya diri.
"Dewasa darimana?" goda Irsyad.
Kahfi langsung cemberut. Irsyad malah tertawa melihat respon sang adik.
"Pokoknya selamat untuk adik paling susah dibilang. Jangan sakiti istrimu," nasehat Irsyad.
"Iya, Bang. Terima kasih."
"Ayo foto dulu!" seru Bibi Anna dengan semangat yang menggebu.
"Kok masih canggung sih?" Mama Ina ikut menggoda. Sejak tadi, Kahfi dan Rena belum juga bersentuhan.
"Maamaa..." Kahfi merintih malu, membuat semua orang tertawa kecil.
Keluarga Kahfi semakin antusias mendorong pasangan pengantin itu agar lebih dekat. Kahfi dan Rena kini saling berhadapan, tapi keduanya tetap berusaha menghindari kontak mata. Apakah mereka benar-benar setegang itu? Sepertinya begitu.
"Cium tangannya dong," ujar Renaldi sambil tersenyum jahil.
Kahfi mengulurkan tangannya, dan Rena segera menyambutnya. Namun, di saat Rena hendak mencium punggung tangan Kahfi, secara refleks Kahfi juga menunduk ingin melakukan hal yang sama. Akibatnya, dahi mereka bertubrukan.
"Aduh..." Rena meringis.
Tawa kembali pecah di ruangan itu.
"Yang cium tangannya itu Rena, bukan kamu, Kahfi!" seru Papa Indra, nyaris tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah laku anaknya yang sulit ditebak.
Kahfi menutupi wajahnya dengan kedua tangan, semakin malu karena refleksnya yang di luar dugaan.
Ketika tangan mereka kembali bersentuhan, perbedaan suhu terasa begitu jelas. Tangan Kahfi hangat, sementara tangan Rena terasa dingin. Namun, keduanya sama-sama basah oleh keringat.
Dengan hati-hati, Rena menarik tangan Kahfi dan kembali mencoba menciumnya. Begitu bibirnya menyentuh punggung tangan Kahfi, ada sensasi aneh yang menyebar ke seluruh tubuh. Jantung Kahfi berdegup semakin kencang, dan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya.
Tiba-tiba, pandangannya mulai kabur. Dunia terasa berputar, dan sebelum sempat berkata apa-apa, tubuhnya oleng ke depan.
"Mas!" Rena refleks menangkap tubuh suaminya agar tidak terjatuh ke lantai.
Kahfi pingsan. Di hari bahagianya, justru dia yang tidak sadarkan diri. Semua orang di dalam ruangan sontak panik.
Rena membelalakkan mata, wajahnya dipenuhi kepanikan. "Ma-mas Kahfi kenapa" tanyanya dengan suara gemetar.
Mama Ina dan Papa Indra langsung mendekat, wajah mereka pun dipenuhi kekhawatiran.
"Tidak apa-apa, Rena. Kahfi hanya kelelahan," jawab Abizar. Dia tidak menunjukkan rasa khawatir sama sekali. Tampaknya Abizar sudah menebak apa yang terjadi.
Irsyad bahkan langsung memeriksa adiknya itu. Mereka tidak perlu membawanya ke rumah sakit. Apalagi ada 3 dokter disana.
"Aduh aduh... Hari pernikahan malah pingsan," celetuk Renaldi sambil geleng-geleng kepala.
"Kayak kamu enggak aja," sindir Nenek.
"Aku mana ada pingsan, Nek. Kalau demam mah wajar, namanya juga gugup."
"Bawa ke mobil dulu," suruh Papa Indra. Mereka memilih untuk pulang, setidaknya Rena dan Kahfi bisa beristirahat di rumah. Pasti mereka berdua sama-sama lelah.
Tubuh Kahfi langsung diangkat ke dalam mobil. Suhu tubuh Kahfi ternyata sangat tinggi dan hal ini yang menyebabkan dia tidak sadarkan diri.
"Ayo masuk, Nak," ajak Mama Ina sambil mengulurkan tangan. Rena sedikit canggung, apalagi dia hanya dekat dengan Kahfi saja.
Meskipun canggung dan malu, Rena menerima uluran tangan itu. Dia masuk ke dalam mobil. Kahfi bersandar, nafasnya sudah sedikit beraturan.
"Sejak semalam Kahfi demam, Nak. Makanya bisa pingsan begitu," jelas Mama Ina agar Rena tidak perlu terlalu khawatir.
"Oh begitu ya Ma," balas Rena. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Kahfi bersandar di pundak Rena. Hal itu membuat jantung Rena berdebar tidak tentu arah. Apalagi nafasnya begitu terasa.
Mama dan Papa Kahfi hanya tersenyum melihat hal tersebut. Apalagi wajah Rena tampak memerah. Namun mereka tidak berniat menggoda, takutnya bukan hanya Kahfi yang pingsan tetapi Rena juga.
Mobil melaju dengan tenang menuju rumah keluarga Kahfi. Di dalam mobil, Rena tetap diam, tidak tahu harus bersikap seperti apa. Sementara itu, kepala Kahfi masih bersandar di pundaknya, membuatnya semakin gelisah.
Suhu tubuh Kahfi masih terasa hangat di kulitnya. Napasnya terdengar berat meskipun sudah lebih stabil dibanding sebelumnya. Rena melirik ke arah wajah suaminya, melihat raut wajah yang sedikit pucat namun tetap terlihat tampan.
"Rena, kamu sudah makan?" tanya Papa Indra, mencoba mencairkan suasana.
Rena menggeleng pelan. "Belum, Pa."
"Kalau begitu, nanti makan dulu ya. Jangan sampai ikut sakit," ujar Mama Ina dengan lembut.
Rena hanya mengangguk. Namun, debaran jantungnya semakin menggila ketika tiba-tiba tangan Kahfi bergerak dan secara refleks menggenggam jemarinya. Rena langsung menoleh, tapi Kahfi masih terpejam, seolah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya.
Mama Ina dan Papa Indra saling berpandangan sebelum tersenyum kecil. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tapi jelas sekali mereka senang melihat kedekatan itu.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan rumah keluarga Kahfi. Rena yang sejak tadi menunduk akhirnya mengangkat wajahnya, dan saat itulah matanya membelalak lebar.
Rumah di hadapannya begitu besar dan megah. Bangunan bertingkat dengan desain modern itu tampak lebih seperti mansion daripada rumah biasa. Pilar-pilar tinggi, halaman luas dengan taman yang tertata rapi, serta beberapa mobil mewah yang terparkir di garasi membuat Rena benar-benar terkejut.
Jantungnya berdegup kencang. Siapa sebenarnya Kahfi? Dari mana datangnya semua kemewahan ini? Setahunya, Kahfi hanyalah seorang pria yang baru saja mulai bekerja. Bagaimana mungkin dia memiliki uang 500 juta, keluarga dengan mobil mewah, dan rumah sebesar ini?
Rena masih terpaku di tempatnya ketika kedua abang Kahfi sigap membantu menurunkan Kahfi dari mobil dan membawanya ke kamar. Abizar dengan cepat memasang infus agar Kahfi lebih cepat pulih.
"Rena, kamu temani Kahfi di kamar, ya," pinta Mama Ina dengan nada lembut.
Rena menelan ludah, masih sedikit canggung dengan semua yang terjadi. "S-saya, Ma?"
Mama Ina tersenyum menenangkan. "Kalian sudah menikah," ujarnya lembut.
Rena menggaruk tengkuknya, tersenyum canggung. "Eh, iya juga, Ma," balasnya.
"Ya sudah, Mama ambil pakaian untukmu. Pasti kamu tidak nyaman memakai pakaian seperti itu."
"Baik, Ma."
Rena memang belum membawa apa-apa. Barang-barangnya masih di rumah kontrakannya, sudah dikemas rapi, tinggal diambil nanti.
Setelah Mama Ina pergi, Rena berdiri canggung di dalam kamar Kahfi. Ukuran kamarnya pun jauh lebih besar dibanding kontrakan yang ia tempati. Tempat tidur king-size, lemari besar dengan pintu kaca, serta interior yang tampak mahal membuat Rena semakin bingung.
Apa Kahfi selama ini menyembunyikan sesuatu darinya?
Suara ketukan pintu mengalihkan pikirannya. Rena buru-buru membuka pintu, dan Mama Ina berdiri di sana sambil membawa setumpuk pakaian.
"Ini, Nak, pakaiannya. Tidak usah canggung, ya," ucapnya lembut.
"Iya, Ma. Terima kasih."
Setelah menerima pakaian itu, Rena menutup pintu kembali. Kini hanya ada dirinya dan Kahfi di kamar. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Kain yang diberikan Mama Ina terasa lembut dan nyaman di kulitnya. Meski sudah menikah, Rena tetap memakai hijabnya.
Setelah selesai, ia mendekati ranjang tempat Kahfi terbaring. Matanya menatap wajah suaminya yang masih pucat.
"Siapa Mas sebenarnya?" lirih Rena dengan banyak pertanyaan yang bertumpuk di dalam pikirannya.
Pelan-pelan, Rena duduk di kursi di samping ranjang. Tangannya ingin menyentuh dahi Kahfi untuk memastikan suhu tubuhnya, tapi ia masih merasa malu.
"Ayo, Rena! Dia suami kamu!" Hati Rena berusaha meyakinkan dirinya sendiri agar tidak terus merasa canggung.
Perlahan, ia mengulurkan tangannya ke dahi Kahfi. Suhu tubuh Kahfi memang panas. Setelah selesai, Rena naik ke ranjang dengan hati-hati agar tidak mengganggu Kahfi yang masih terbaring lemah.
Namun, begitu melihat kondisi suaminya, alis Rena langsung berkerut. "Kok malah keringetan?" gumamnya pelan.
Keringat membasahi dahinya hingga ke leher. Rena langsung panik. Rena segera mengambil tisu yang ada di atas nakas dan mulai mengusap keringat yang membasahi wajah serta leher suaminya.
Saat sedang mengusap, tanpa sadar Rena memperhatikan wajah Kahfi lebih dekat. "Kok bisa sih nggak ada jerawatnya?" gumamnya tanpa sadar.
Wajahnya sendiri masih memiliki beberapa bekas jerawat, sedangkan Kahfi nyaris tidak memiliki satupun. Kulitnya mulus, bahkan di jarak sedekat ini pun terlihat begitu bersih.
Perlu Rena akui bahwa suaminya benar-benar tampan. Wajar saja karena orang tua Kahfi juga tampan dan cantik. Abang-abang Kahfi juga tampan. Gen yang tidak diragukan sama sekali.
Bagaimana dengan anak mereka nanti?
Eh, kenapa Rena sudah sampai memikirkan tentang anak mereka. Dia malu sendiri dan buru-buru membuang pikiran tersebut. Baru juga menikah, tapi dia malah sudah memikirkan tentang anak. Untungnya tidak ada yang mengetahui pikiran Rena, bahaya kalau ada yang tahu.