Langsung ke konten utama

Bab 26-Ending

Bab 26 Cantik

Jantung Kahfi berdegup kencang. Begitu membuka mata, wajah cantik perempuan yang telah menarik perhatiannya sejak sepuluh tahun lalu langsung menyambut pandangannya. Ia masih sulit untuk percaya. Sosok Rena kini adalah istrinya, sah di mata agama dan hukum. Kebahagiaan itu meluap begitu saja, namun terselip juga rasa sedih yang tak bisa ia abaikan. Di hari bahagianya, justru tubuhnya melemah hingga pingsan.

Apa dirinya benar-benar selemah itu? Kahfi menghela napas, merasa kesal pada diri sendiri. Namun dibalik semua itu, ada perasaan hangat yang tak bisa disembunyikan. Ia senang sekaligus lega.

Ia bertekad, mulai hari ini dan seterusnya, senyum harus selalu menghiasi wajah Rena.

Kahfi menoleh, memperhatikan istrinya yang tertidur di sampingnya. Rena masih mengenakan hijab, tampak begitu damai dalam lelapnya. Tanpa sadar, senyum kembali terbit di bibir Kahfi.

Istrinya menang cantik sekali. Selain cantik wajahnya, hatinya juga cantik. Kahfi benar-benar beruntung bisa menikah dengan Rena. Ditengah kesibukan dirinya mengagumi sang istri, Kahfi baru sadar jika dirinya belum menunaikan kewajiban dalam beragama. Dia buru-buru menatap jam yang tertempel di dinding kamar. Sudah pukul tiga sore. Buru-buru Kahfi turun dari ranjang, tapi tunggu...

Infus masih melekat di tangannya. Kahfi membawa infus itu dengan hati-hati. Tentu saja dia sudah mematikan lebih dulu sehingga aman untuk bergerak atau meletakkan dimanapun.

Kahfi melangkah ke kamar mandi dengan langkah pelan. Dia tidak mau membangunkan sang istri. Terlihat sekali kalau Rena sangat lelah.

Kahfi mengambil wudhu dengan hati-hati, memastikan tangannya yang terpasang infus tidak terkena air terlalu banyak. Setelah itu, ia kembali ke kamar dan menggelar sajadah di sudut ruangan. Dengan penuh khusyuk, ia menunaikan salat, bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan, termasuk kesempatan untuk menikahi Rena.

Sementara itu, di atas ranjang, Rena mengerjapkan mata. Matanya terasa sedikit berat, tapi keheningan yang menyelimuti ruangan membuatnya tersadar. Ia menoleh ke arah Kahfi yang tengah bersujud. Seketika, rasa canggung melingkupinya. Mereka sudah menikah, tapi semuanya masih terasa begitu asing.

Rena menatap Kahfi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa syukur, ada juga sedikit gugup. Ia tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Apa yang harus dikatakan? Apa yang harus dilakukan?

Ketika Kahfi mengucap salam terakhir dan menoleh ke kanan, ia langsung bertemu dengan tatapan Rena. Seketika, jantungnya berdegup lebih kencang.

Rena tersenyum kecil. "Sudah selesai?" tanyanya dengan suara pelan.

Kahfi mengangguk, lalu buru-buru merapikan sajadahnya. Ia merasa aneh. Biasanya, setelah salat, ia akan duduk dengan tenang, tapi sekarang ia merasa seperti anak remaja yang gugup bertemu dengan orang yang disukainya.

Rena menunduk, memainkan ujung selimutnya. Kecanggungan di antara mereka semakin terasa. Mereka sudah menikah, tapi berbicara satu sama lain tetap membuat jantung berdebar.

Kahfi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kamu sudah lama bangun?"

"Baru saja." Rena menggigit bibirnya, lalu melirik Kahfi sekilas. "Mas nggak apa-apa?"

"Baik-baik saja."

Sunyi kembali menyelimuti mereka. Keduanya saling menunggu satu sama lain untuk berbicara, tapi malah terjebak dalam tatapan yang membuat keduanya semakin salah tingkah.

Rena akhirnya berdehem pelan. "Emm... sa-saya mau ambil air." Ia mencoba berdiri, tapi Kahfi buru-buru menahan pergelangan tangannya.

"Biarkan saya saja," kata Kahfi cepat.

Rena membeku. Kulit mereka bersentuhan, dan itu cukup membuat pipinya memanas. Ia segera menarik tangannya dan menggeleng. "Tidak perlu, Mas masih sakit."

Begitu keluar dari kamar, Rena langsung disambut dengan pemandangan yang membuatnya bingung. Rumah keluarga suaminya sangat besar, jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung mewah yang memancarkan cahaya hangat. Lorong yang membentang di depannya terasa panjang, dengan beberapa pintu lain yang tertutup rapat. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal, sementara lantainya berlapis marmer dingin yang terasa halus di bawah telapak kakinya.

Rena menelan ludah. Ia seharusnya hanya pergi ke dapur atau setidaknya mencari meja kecil dengan teko dan gelas, tapi kini ia malah berdiri canggung, tidak tahu harus melangkah ke arah mana.

Saat ia hendak berbalik kembali ke kamar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jantungnya mencelos ketika melihat siapa yang muncul dari tikungan lorong. Irsyad.

Dada Rena langsung sesak. Ia menunduk, berharap bisa menghilang begitu saja seperti angin. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

"Rena?"

Suara Irsyad terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat tubuh Rena menegang. Perlahan, ia mengangkat wajah, menatap sekilas sebelum buru-buru menunduk lagi.

"Apa Kahfi sudah bangun?" tanya Irsyad, kali ini suaranya lebih santai, meski tetap terdengar berwibawa.

Rena menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Su-sudah bangun, Bang," jawabnya pelan.

Irsyad mengangkat alisnya, mungkin karena Rena menyebut Kahfi dengan sebutan 'suami saya'. Tapi ekspresinya tetap sulit ditebak.

"Syukurlah," gumam Irsyad, lalu menyilangkan tangan di dada. "Dia tadi sempat bikin semua orang panik."

Rena tidak berani menjawab. Ia hanya bisa berdiri kaku, jari-jarinya menggenggam ujung bajunya sendiri. Keheningan kembali menyelimuti mereka, dan Rena semakin tidak nyaman.

Irsyad memperhatikannya sesaat, lalu menghela napas. "Kamu mau ke mana?" tanyanya akhirnya.

Rena mengerjapkan mata, teringat tujuan awalnya keluar kamar. "Sa-saya mau ambil air."

Irsyad mengangguk. "Dapur di ujung lorong sebelah kiri."

"Oh... t-terima kasih," ucap Rena terbata-bata, lalu segera melangkah pergi sebelum percakapan mereka berlanjut.

Saat ia berjalan menjauh, jantungnya masih berdetak kencang. Rena sangat takut sekali. Dia belum terbiasa dengan keluarga suaminya.

***

Mama Ina menghela nafas panjang. "Kamu itu belum makan dari siang," ujarnya menatap sang anak yang duduk dengan infus sudah terpasang. Meskipun ada infus tetap saja Kahfi membutuhkan asupan makanan agar lebih cepat bertenaga.

"Aku nggak lapar, Ma."

"Pokoknya harus dipaksa meski nggak lapar." Mama Ina sudah menunjukkan wajah yang tidak ingin dibantah sama sekali.

Melihat kedekatan Kahfi dan keluarganya, Rena merasa sangat terharu sekali. Mungkin karena sejak ibu Rena meninggal, dia tidak mendapatkan kasih sayang sama sekali.

Mama Ina ingin beranjak dari ranjang, tetapi Rena langsung menawarkan diri untuk mengambil makanan. "Apa Mas mau dibuatin bubur?" tanyanya dengan suara pelan. Bagaimanapun Kahfi memang butuh mengisi perut. Dia juga khawatir seperti Mama Ina dan yang lain.

"Mau dibuatin bubur nggak, Mas Kahfi?" ujar Abizar menahan tawa. Namun sedetik kemudian, pinggangnya terkena cubitan manis dari Papa Indra.

"Nggak usah godain asik kamu," tegur Papa Indra.

Abizar mengerucutkan bibir. "Aku ini anak Papa sama Mama bukan sih?"

Mama Ina dan Papa Indra langsung memberikan tatapan tajam. Siapapun bisa langsung tahu bahwa Abizar anak mereka. Mulutnya itu memang minta dikasih cabe.

"Nggak usah, Rena," tolak Kahfi dengan suara tenang. Ia tidak ingin merepotkan Rena yang baru beberapa jam lalu menjadi istrinya.

"Nggak usah dimanja, Rena. Kasih nasi keras juga mau makan tu anak," celetuk Irsyad dengan santai.

Rena tiba-tiba merasa bingung. Dia harus merespon seperti apa?

"Rena duduk saja, biar anak bandel ini Mama yang urus," ujar Mama Ina sambil mengarahkan Rena untuk duduk kembali.

"Ta-tapi Ma-"

"Tidak apa-apa. Rena juga capek dan butuh istirahat," potong Mama Ina langsung.

"Ma..." panggil Irsyad.

"Apa?" jawab Mama Ina dengan nada galak.

"Pesan pizza aja, pasti anak manja ini langsung sembuh."

Kahfi langsung menatap abangnya dengan tajam. Bisa-bisanya sang abang mengatakan dirinya manja di depan Rena. Padahal Kahfi ingin terlihat keren dan berwibawa.

"Bilang aja kamu yang mau," sindir Papa Indra. Irsyad langsung menyengir.

Pada akhirnya mereka sekeluarga memesan makanan dari luar. Mama Ina juga tidak sempat memasak karena sibuk dengan pernikahan Kahfi dan Rena. Tentu saja Mama Ina bertanya apa yang diinginkan Rena. Hal itu membuat Rena sangat terharu sekali. Mama Ina menganggap dirinya sebagai anak sendiri. Bahkan mereka meminta pendapat Rena jika ingin melakukan sesuatu. Rena tersenyum dengan mata berkaca-kaca

Satu jam kemudian, pesanan datang. Abizar mengambil ke depan. Semuanya makan diruang keluarga karena cocok untuk mengumpul.

"Ini, Mas, " ujar Rena sambil memberikan mangkuk yang berisi bakso. Dibanding Pizza, Kahfi lebih ingin makan bakso.

Mama Ina tertawa kecil. "Rena nggak mau suapin Mas Kahfi?" godanya.

Rena menunduk malu. Jika hanya berdua, mungkin ia tidak akan keberatan, tetapi saat ini suasana kamar lumayan ramai. Ia terlalu malu untuk melakukan hal itu di hadapan banyak orang.

"Udah, Ma. Jangan digodain lagi. Aku bisa makan sendiri," Kahfi angkat bicara agar sang Mama tidak membuat Rena semakin tidak nyaman.

Mama Ina memberikan tatapan tajam pada putranya. Padahal, ia cukup terhibur melihat wajah Rena yang tampak malu seperti sekarang.

"Ya udah, makan buruan. Abisin itu. Awas aja enggak!" ujar Mama Ina dengan wajah galak. Biasanya, jika sedang sakit, Kahfi sedikit manja, tetapi sekarang justru sebaliknya. Mungkin ia berusaha menyesuaikan diri sebagai seorang suami.

***

Bab 27 Kancing Baju Terlepas

Rena terbiasa tidur tanpa menggunakan pendingin ruangan. Dia juga tidak tahan dengan dingin ruangan. Tapi Rena tidak mau mengatakannya. Setelah mencuci wajah, Rena keluar dari kamar mandi. Dia kira sang suami belum tidur sehingga Rena bisa bertanya sedikit tentangnya, tapi ternyata Kahfi sudah berbaring dengan mata terpejam. Padahal banyak hal yang ingin Rena tanyakan.

Rena kembali ke kamar mandi. Dia menatap dirinya di depan cermin. Hijabnya belum terbuka, bahkan suaminya belum melihat rambutnya sama sekali. Padahal Kahfi berhak untuk itu. Rena berusaha meyakinkan diri, dia sudah menikah jadi tidak masalah membuka hijabnya. Setelah yakin, Rena keluar dari kamar mandi. Dia menggunakan baju tidur yang diberikan oleh mama mertuanya. Tapi baju tidurnya sangat pas sekali dengan Rena, seperti memang dipersiapkan untuk dirinya. Apa Rena kepedean? Mungkin saja.

Perlahan-lahan Rena naik ke atas ranjang. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Udara dingin dari pendingin ruangan membuatnya semakin menggigil, tetapi ia tetap berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

Selimut tebal yang menutupi tubuhnya tidak cukup untuk menghalau rasa dingin yang menyusup ke dalam kulit. Ia menggeliat sedikit, berusaha mencari posisi yang nyaman. Namun, baru saja ia bergerak, tiba-tiba Kahfi menghela napas pelan dan bergumam dalam tidurnya.

Rena langsung membeku. Apakah ia membangunkan suaminya?

Jantungnya berdetak semakin kencang. Ini pertama kalinya ia tidur berdekatan dengan seorang pria, apalagi pria itu adalah suaminya sendiri. Ia bahkan bisa mendengar napas teratur Kahfi di sampingnya.

Pelan-pelan, Rena mengalihkan pandangannya ke arah Kahfi. Wajah lelaki itu tampak tenang dalam tidurnya. Guratan kelelahan masih terlihat di sana. Tanpa sadar, Rena menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa aneh. Ada rasa canggung, takut, dan entah mengapa, juga perasaan lain yang sulit dijelaskan.

Apakah Kahfi benar-benar tertidur? Bagaimana jika tiba-tiba dia terbangun?

Rena kembali menatap langit-langit kamar, matanya berusaha menyesuaikan diri dalam gelap. Ia mencoba mengatur napas agar lebih tenang. Mungkin besok, setelah Kahfi bangun, ia bisa bertanya banyak hal. Saat ini, yang harus ia lakukan adalah tidur dan berharap dirinya tidak jatuh sakit karena udara dingin.

Namun, bagaimana bisa ia tidur dalam kondisi seperti ini?

Dengan perasaan yang masih kacau, Rena memejamkan matanya, berharap kantuk segera datang. Tapi jantungnya masih berdetak cepat, seolah mengingatkan bahwa ia baru saja memasuki babak baru dalam hidupnya.

Rena semakin kedinginan, ternyata tidak butuh waktu lama. Pileknya muncul dan Rena berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Rena menjaga jarak, jangan sampai ia menulari sang suami. Bisa-bisa kondisi Kahfi bukannya bertambah baik malah sebaliknya.

Karena terlalu lelah, napas Rena mulai teratur. Dia sudah terlelap, sementara Kahfi justru masih terjaga. Matanya tetap terpejam sejak tadi, berpura-pura tidur karena tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kahfi langsung mematikan pendingin ruangan.

Kahfi sebenarnya bingung. Bagaimana cara memulai percakapan? Apa yang seharusnya ia lakukan agar Rena merasa nyaman?

Sejujurnya, ia tak pernah membayangkan momen ini akan datang. Wanita yang diam-diam ia kagumi kini tidur di sisinya, hanya berjarak beberapa sentimeter. Sebelumnya, ia tak pernah melihat rambut Rena karena selalu tertutup hijab. Tapi sekarang, rambut hitam itu terurai begitu saja, tampak jelas di hadapannya.

Perlahan, Kahfi membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah sang istri. Ia baru berani membuka mata setelah yakin Rena benar-benar tertidur. Sebenarnya, apa yang membuatnya begitu pengecut? Kenapa sejak tadi ia memilih berpura-pura tidur daripada menghadapi situasi ini secara langsung?

Kahfi menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ini bukan sesuatu yang seharusnya membuatnya gugup. Mereka sudah sah sebagai suami istri, baik di mata hukum maupun agama. Namun tetap saja, ia merasa belum siap untuk begitu saja bertindak lebih jauh.

Matanya kembali jatuh pada wajah Rena. Ia mengamati tiap detailnya—alis yang melengkung indah, bulu mata yang lentik, serta bibir yang sedikit terbuka karena lelapnya tidur. Tanpa sadar, senyumnya terukir. Ada rasa hangat yang mengalir di dadanya.

Orang-orang bilang, menikah dengan seseorang yang dicintai adalah sebuah anugerah. Namun setelah pernikahan terjadi, mencintai pasangan menjadi sebuah tanggung jawab. Tidak ada alasan untuk mengabaikan, menolak, atau tidak menerima kekurangan satu sama lain. Pernikahan adalah perjalanan untuk saling memahami dan menguatkan.

Kahfi mendesah pelan. Entah sejak kapan, tapi rasa nyaman mulai menyelimuti dirinya. Seakan kehadiran Rena di sampingnya sudah cukup untuk menenangkan pikirannya yang sempat kacau.

"Kenapa bisa secantik ini, sih?" gumamnya tanpa sadar.

Tangannya terangkat, jemarinya bergerak hati-hati, merapikan helaian rambut Rena yang sedikit berantakan. Ia hanya ingin melihat wajah istrinya dengan lebih jelas, tanpa ada yang menghalangi. Tapi tetap saja, ia merasa seperti pengecut karena baru berani melakukan ini saat Rena sudah terlelap.

Tanpa ia sadari, waktu berlalu begitu cepat. Kahfi yang tadinya hanya ingin mengamati, kini ikut terlelap dalam keheningan malam. Kamar itu kini dipenuhi kehangatan, meskipun kedua penghuninya masih sama-sama tenggelam dalam kebisuan.

***

Menjelang pukul lima pagi, Rena terbangun. Suara lantunan ayat suci dari masjid mulai terdengar, menandakan waktu subuh hampir tiba. Dengan mata yang masih terasa berat, ia perlahan mencoba membuka kelopak matanya. Saat mengucek mata, pandangannya tertuju pada sesuatu di sampingnya.

Sekejap, rasa kantuknya langsung hilang.

"Ahhh!"

Teriakan spontan keluar dari mulutnya, membuat tubuhnya refleks bergerak mundur hingga terjatuh ke lantai. Jantungnya berdebar kencang, rasa kaget menyelimuti dirinya.

Kahfi yang masih setengah sadar ikut tersentak bangun. Ia menoleh dengan ekspresi bingung, otaknya masih belum sepenuhnya bekerja.

"Ada apa?" suaranya terdengar parau karena baru saja bangun tidur.

Rena menatap suaminya dengan wajah merah padam. Matanya membelalak ketika melihat kondisi Kahfi bertelanjang dada! Selimut yang seharusnya menutupi tubuhnya entah bagaimana sudah terjatuh ke lantai.

Begitu menyadari situasinya, Kahfi buru-buru mencari bajunya yang terserak di lantai dan mengenakannya dengan gerakan cepat. Semalam, hawa panas membuatnya tanpa sadar melepas pakaian atasnya. Ia sama sekali tidak berpikir panjang, dan sekarang, akibat dari keputusannya itu, ia berhasil membuat Rena ketakutan.

Kahfi menghela napas panjang, merasa sedikit malu pada dirinya sendiri.

Rena meringis kesakitan. Ia baru sadar dengan status barunya sebagai seorang istri. Pantas saja kamar ini tidak hanya dihuni oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh seorang pria yang kini sah menjadi suaminya.

Siapa bilang jatuh dari tempat tidur itu tidak sakit? Jika ada yang berani berkata begitu, Rena ingin menuntut penjelasan. Jelas-jelas sekarang punggungnya terasa ngilu akibat terhempas ke lantai. Bukankah di drama-drama kejadian seperti ini sering berakhir dengan adegan romantis? Nyatanya, di dunia nyata, yang ada hanya rasa nyeri dan gengsi yang harus ditelan mentah-mentah.

Rena mengusap punggungnya yang terasa cenat-cenut. Jika tahu begini, mungkin tadi ia harus memilih kasur yang lebih rendah.

Kahfi, yang baru saja tersadar dari tidurnya, masih dalam kondisi setengah bingung. Kebiasaan tidur tanpa mengenakan atasan ternyata sulit dihilangkan, apalagi ia hanya mengenakan celana pendek selutut.

Namun, setelah lebih sadar, Kahfi baru menyadari sesuatu Rena juga tidak jauh berbeda darinya. Kancing pakaian tidur Rena terbuka dan selimut yang tadi melindunginya kini sudah terlepas entah ke mana.

"Bantuin," cicit Rena, merasa aneh karena suaminya hanya berdiri terpaku di tempat tanpa berusaha menolongnya.

Kahfi butuh beberapa detik untuk memproses situasi. "Oh, o-oke," balasnya terbata-bata. Namun, meskipun sudah menjawab, ia masih belum bergerak.

"Mas," Rena memanggil lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas.

Kahfi akhirnya benar-benar terjaga dari kantuknya. "Eh, iya." Dengan cepat, ia berjalan ke arah Rena.

Namun, bukannya langsung menolong, hal pertama yang ia lakukan adalah mengambil selimut. Otaknya seolah memberi perintah otomatis untuk menutupi tubuh istrinya yang terekspos. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat lekuk tubuh Rena dengan cukup jelas, membuatnya harus menelan ludah dengan susah payah.

Sementara itu, Rena masih berusaha mengatasi efek samping dari jatuh di lantai. Ia belum menyadari betapa ganjilnya situasi yang sedang berlangsung.

Perlu dicatat, Kahfi adalah laki-laki normal. Apalagi kini di hadapannya ada istrinya sendiri, yang meskipun dalam keadaan canggung, tetap saja terlihat menggoda. Tidak heran jika pikirannya mulai berkelana ke mana-mana, meski ia mencoba menahannya.

"Ke-kenapa bisa jatuh?" tanya Kahfi, berusaha mengalihkan pikirannya agar tetap waras.

"Saya lupa kalau udah nikah... mana Mas nggak pakai baju lagi," jawab Rena polos.

Kahfi nyaris tersedak udara mendengar jawaban itu. Bisa-bisanya istrinya lupa bahwa mereka baru saja menikah beberapa jam yang lalu.

Tanpa berpikir panjang, Kahfi mendekat dan menyelipkan satu tangan di bawah punggung serta satu lagi di bawah lutut Rena. Saat kulit mereka bersentuhan, sesuatu yang aneh langsung menjalar di tubuh mereka berdua.

Rena sontak menjerit kecil, baru menyadari betapa dekatnya mereka. Ia refleks bergerak, membuat keseimbangan Kahfi sedikit terganggu.

"Kenapa teriak lagi?" tanya Kahfi heran.

Mata Rena membelalak ketika menyadari sesuatu. Tangannya buru-buru menyilang di depan dadanya, jantungnya nyaris copot saat melihat ke bawah.

Kancing bajunya...

Terbuka.

Semua.

Rena menahan napas. Wajahnya langsung merona hebat, panasnya menyebar hingga ke ujung telinga. Sejak kapan kancingnya lepas?! Tadi saat tidur masih tertutup rapi! Jangan-jangan... saat ia jatuh tadi?

Kahfi, yang awalnya hanya fokus membantu istrinya bangun, mendadak terdiam. Matanya bergerak ke mana-mana, berusaha untuk tidak menatap hal yang tak seharusnya. Namun, refleksnya sebagai pria normal jelas memberontak.

Dengan cepat, Rena merebut selimut yang ada di tangan suaminya dan membungkus dirinya secepat kilat. "Mas!" pekiknya penuh kepanikan.

"Sa-saya nggak lihat! Sumpah, nggak lihat!" Kahfi buru-buru membuang muka, meski jelas ada jeda sepersekian detik sebelum ia berhasil melakukannya.

Rena tidak percaya. Ia mengintip dari sela-sela selimut dengan tatapan curiga. "Beneran nggak lihat?"

Kahfi menelan ludah. Bagaimana harus menjawab ini? Kalau jujur, bisa-bisa ia dituduh macam-macam. Kalau bohong... entahlah, Tuhan pasti tahu.

Ia memalingkan wajah ke arah lain, berusaha menghindari pertanyaan itu. "Itu... ehm, udah ditutup, kan?" tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

"MAS!"

Suara nyaring Rena membuatnya nyaris meloncat. Kahfi buru-buru mundur, mengangkat tangan seolah menyerah. "Beneran, saya nggak sengaja!"

Rena mendesah frustasi. "Kancingnya lepas semua..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia masih sibuk memastikan tubuhnya tertutup rapat, rasa malunya memuncak.

Masih pagi mereka sudah heboh di dalam kamar. Hal tersebut membuat orang diluar kamar yang tidak sengaja mendengar hanya tertawa saja. Mereka sudah paham, namanya juga pengantin baru.

***

Bab 28 Ciuman

Kahfi tidak berencana tinggal terlalu lama di rumah orang tuanya. Bukan karena ia keberatan jika Rena menginap di sana, tetapi ia tahu kenyamanan sejati bagi pasangan baru adalah di rumah mereka sendiri. Sebelum menikah, Kahfi sudah membeli rumah. Sayangnya, rumah itu masih dalam proses renovasi karena ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan. Untuk sementara, mereka akan tinggal di apartemen yang diberikan oleh neneknya.

Kini, mereka sudah sampai di kompleks apartemen tempat mereka akan tinggal sementara. Rena awalnya tidak banyak bertanya sepanjang perjalanan, tetapi begitu melihat lingkungan apartemen yang berdiri megah di depannya, ia terdiam.

"Ayo turun," ajak Kahfi seraya melepas sabuk pengaman.

Namun, Rena tak bereaksi. Matanya masih terpaku pada bangunan menjulang di hadapannya, dan pikirannya mendadak kosong.

"Rena?" panggil Kahfi, sedikit mengernyit heran.

Seolah baru tersadar, Rena mengerjapkan mata. "Kenapa kita berhenti di sini?" tanyanya dengan suara yang terdengar agak lambat. Ia berusaha mengolah informasi dengan otaknya yang mendadak terasa lamban.

Kahfi menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Untuk sementara, kita tinggal di apartemen dulu," jelasnya santai.

"Di sini?" Rena kembali memastikan, seolah berharap ini hanya persinggahan sementara, bukan tempat tinggal mereka.

Kahfi mengangguk tanpa ragu.

Kepala Rena terasa berat. Beberapa hari terakhir pikirannya sudah cukup dibuat pusing oleh sosok Kahfi yang penuh teka-teki. Rumah orang tuanya besar, mobilnya mewah, dan keluarganya berlatar belakang dokter. Dari mana pun ia melihatnya, Kahfi jelas bukan orang biasa. Tapi kalau begitu, kenapa dulu dia datang ke rumah makan gratis?

Rena menekan pangkal hidungnya, berusaha menenangkan pikirannya yang makin berantakan.

"Kamu kenapa?" Kahfi menundukkan tubuhnya sedikit, mencoba melihat wajah istrinya lebih jelas.

Rena mengangkat wajahnya, mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya bertanya, "Sebenarnya... Mas itu siapa?"

Kahfi terkejut. Dia merasa gugup karena belum menyiapkan diri untuk menjelaskan segalanya. Tapi dia sudah menduga, pasti Rena kebingungan melihat bagaimana keluarganya. Padahal Kahfi mengaku sebagai pengangguran. Dia memang bodoh, tapi lucunya Kahfi tidak menyesal melakukan itu.

"Na-nanti aku jelasin," jawab Kahfi terbata-bata.

Bahasa yang digunakan Kahfi dan Rena sudah tidak formal lagi. Mereka memperbaikinya karena bagi orang lain agar terdengar aneh. Mereka menilai hubungan Kahfi dan Rena tidak terlalu dekat untuk menjadi suami istri sehingga mereka segera merubah dan menyesuaikan diri dengan cepat.

"Sekarang kita turun dulu," ujar Kahfi lagi.

Rena menghela nafas panjang. Meskipun kepalanya bertambah pusing, dia tetap turun sesuai keinginan sang suami.

Kahfi mengulurkan tangan. Rena menyambut meskipun wajahnya terlihat datar. Wajar saja karena Rena butuh penjelasan.

Begitu memasuki lobi apartemen, Rena langsung merasa seperti orang asing yang tersesat di dunia yang terlalu mewah baginya. Langkahnya melambat, matanya terus mengitari ruangan luas dengan lampu kristal menggantung di langit-langit. Lantainya mengkilap seperti cermin, bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya dengan jelas.

"Ini apartemen atau apa?" gumamnya tanpa sadar.

Kahfi, yang berjalan di sampingnya, melirik sekilas lalu menahan senyumnya. "Apartemen, istriku," jawabnya.

Langkah Rena langsung terhenti. Wajahnya tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus. Kahfi sering sekali bertindak tanpa bisa diduga sama sekali. Seperti sekarang, dia tiba-tiba memanggil Rena dengan sebutan istriku. Siapa yang tidak baper saat mendengarnya? Apalagi hati Rena sangat lemah terhadap hal-hal romantis.

"Kenapa berhenti?" tanya Kahfi dengan suara lembut. Bahkan dia sengaja menatap istrinya lebih dekat lagi. Hal ini membuat jantung Rena berdetak dengan cepat.

"Jangan liatin," cicit Rena berusaha menghindari tatapan sang suami. Suaranya sangat pelan sekali, namun Kahfi mendengarnya.

Kahfi terkekeh. "Kenapa nggak boleh? Kan liatin istri sendiri."

"Aku malu," jawab Rena dengan jujur.

Kahfi langsung mengecup pucuk kepala sang istri. "Harus dibiasain apalagi kita tinggal berdua," bisiknya.

Selama dirumah orang tua Kahfi, mereka memang seperti orang yang menjaga jarak. Sentuhan dikit saja langsung spot jantung. Padahal saat dikamar tidak ada siapapun, namun terasa tidak nyaman saja kalau bermesraan.

Rena semakin malu. Dia bergegas melangkah, tentu saja Kahfi juga ikut tertarik karena dia tidak melepaskan tangan sang istri dari genggamannya.

Tapi hanya beberapa langkah karena Rena tidak tahu mereka akan kemana. Hal ini membuat Kahfi tersenyum lebar. "lucunya istriku," lirihnya.

Rena tidak bisa menyembunyikan wajahnya.

Kahfi menarik tangan Rena, membimbingnya menuju apartemen mereka. Namun, bukannya berjalan dengan tenang, Rena justru seperti anak kecil yang bingung harus ke mana. Beberapa kali ia menoleh ke kiri dan kanan, seolah mencari petunjuk arah di dalam kawasan apartemen yang terasa asing baginya.

Sesampainya di pintu apartemen, Kahfi menekan beberapa kode dan pintu terbuka. Kahfi juga memberi tahu kepada Rena berapa kode masuk ke apartemen tersebut.

Saat memasuki apartemen, Rena merasa sangat takjub sekali. Fasilitas di dalam apartemen sangat lengkap sekali. Bahkan sebelumnya Rena tidak pernah membayangkan akan tinggal ditempat yang seperti ini. Dapurnya saja sudah membuat keinginannya untuk masak keluar.

Mata Rena berbinar-binar, mau dilihat dari sisi manapun, dia akan nyaman tinggal disini. Apalagi tidak ada tetangga yang kepo, jadi dia bisa menjalani rumah tangga dengan santai tanpa ada komentar yang tidak bermutu.

Namun keterkejutan Rena terhadap apartemen langsung menghilang. Dia baru ingat kalau butuh penjelasan lebih tentang suaminya.

"Mas... Aku butuh penjelasan," ujar Rena.

Tampaknya Kahfi tidak bisa menunda lagi. Dia menarik istrinya menuju ke sofa ruang keluarga. Mereka duduk bersampingan. Kahfi tampak panik sekali. Bahkan dia meneguk air ludahnya dengan susah payah.

Rena tidak membuka mulutnya sama sekali. Dia menunggu sampai Kahfi menjelaskan sendiri. Rena juga mengerti kalau Kahfi butuh waktu.

"Rena..." lirih Kahfi dengan gugup.

"Hm..."

"Sebelumnya, aku minta maaf." Kahfi menunduk dalam. Jelas saja dia merasa bersalah karena sudah membohongi Rena. "Aku benar-benar minta maaf," lirihnya lagi.

"Aku nggak butuh permintaan maaf Mas, aku butuh penjelasan," balas Rena.

Kahfi menghela napas panjang. Ia tahu ini akan menjadi momen yang sulit. Telapak tangannya bahkan terasa dingin karena gugup. Ia menatap wajah istrinya, tetapi Rena tetap diam, menunggunya berbicara tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya.

"Aku..." Kahfi membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku bukan pengangguran."

Rena masih diam, meskipun di dalam kepalanya kata-kata itu bergema keras.

Kahfi menundukkan kepala, merasa bersalah. "Aku bekerja di Conupus Group."

"Sejak kapan?"

"Sebelum kita bertemu, aku sudah bekerja di conupus Group."

Matanya membesar, napasnya tercekat, dan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Mas pasti bercanda, kan?" Rena mencoba mencari celah di wajah suaminya, berharap ada tanda bahwa ini hanya lelucon. Tapi tidak ada. Kahfi terlihat serius, lebih serius daripada yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Aku nggak bercanda, Rena. Aku sudah bekerja lama cukup lama disana," ulang Kahfi dengan suara lebih pelan.

Rena menggeleng. Kepalanya terasa pusing. "Tapi... tapi kamu bilang kamu pengangguran! Kamu datang ke rumah makan gratis waktu itu! Kalau kamu kerja di Conupus, buat apa datang ke sana?"

Kahfi mengusap wajahnya, matanya terpejam sejenak. "Aku tahu aku salah, Ren. Aku nggak seharusnya bohong. Aku nggak ada maksud jahat, aku cuma..." Ia menarik napas, lalu melanjutkan, "Waktu itu Papa nyuruh aku buat memantau rumah makan gratis. Papa ingin aku tau sendiri bagaimana berjalannya rumah makan tersebut. Apa yang kurang dan apa yang perlu diperbaiki."

"Ha?" Kepala Rena menjadi lebih kosong. Dia tidak bisa memikirkan apapun. Kenapa tiba-tiba buntu begini?

"Aku berani bersumpah, bahwa aku nggak punya niat jahat," ujar Kahfi lagi. Dia memegang kedua tangan istrinya. Berharap istrinya bisa mengerti.

Rena terdiam. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi otaknya terasa penuh.

"Jadi... semua ini bohong?" gumamnya. "Kamu bukan pengangguran, kamu bukan orang biasa, dan kamu menyembunyikan semua itu dariku?"

Kahfi mengangguk lemah. "Ma-maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak berniat nyakitin kamu."

Rena menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia bukan marah karena suaminya kaya atau bekerja di perusahaan besar. Ia marah karena kepercayaannya dikhianati. "Aku nggak tahu harus percaya apa lagi, Mas..." suaranya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Kahfi ingin menggenggam tangan Rena, tetapi perempuan itu menariknya lebih dulu.

"Jadi dari awal, semuanya cuma kebohongan?" Rena kembali bertanya.

Kahfi menggeleng cepat. "Enggak! Perasaanku ke kamu itu nyata! Aku beneran sayang sama kamu."

"Aku beneran mau menikah sama kamu," lanjutnya.

"Kalau begitu, kenapa kamu bohong, Mas?"

Mata Kahfi berkaca-kaca. "Aku takut kamu menjauh kalau tahu siapa aku sebenarnya. Aku cuma mau dekat sama kamu makanya tiap minggu aku ke rumah makan gratis."

"Tolong Rena, jangan membenci aku," lirihnya sambil mengecup tangan Rena berkali-kali.

Rena menatap Kahfi dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Ia ingin marah, ingin berteriak, tetapi di sisi lain, hatinya juga sakit melihat Kahfi seperti ini. Lelaki itu menggenggam tangannya erat, seakan takut jika ia pergi, maka semuanya akan berakhir.

"Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu." Suara Kahfi bergetar, matanya memerah. "Aku nggak bisa menjelaskan kenapa, tapi setiap kali lihat kamu di rumah makan itu, aku selalu merasa tenang. Aku nggak peduli makanan gratisnya, aku cuma mau lihat kamu."

Rena tertegun. Napasnya tercekat mendengar pengakuan itu.

Kahfi menunduk, air matanya mulai jatuh. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Rena. "Aku tahu aku salah... Aku bodoh karena milih jalan ini. Aku nggak peduli kalau kamu marah, kalau kamu mau hukum aku, aku terima. Tapi, tolong... jangan pergi." Suaranya lirih, hampir seperti bisikan.

Rena menunduk, menatap tangan Kahfi yang menggenggamnya. Ada rasa sakit di dadanya. Ia tidak pernah melihat Kahfi seperti ini. Lelaki yang selama ini terlihat tenang dan penuh percaya diri, kini rapuh di hadapannya.

"Aku takut, Ren," bisik Kahfi, tangisnya semakin terdengar jelas. "Aku takut kamu membenciku... Aku takut kamu pergi dan memilih berpisah."

Rena membeku. Kata 'berpisah' menggema di kepalanya. Ia tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Rena menjadi sedih dan merasa bersalah melihat suaminya jadi lemah begini. Padahal Rena hanya sedikit kesal saja karena merasa tidak tahu apa-apa. Rena langsung memeluk suaminya.

"Tidak apa-apa, aku tidak marah. Hanya saja aku sedikit kesal karena tidak tau apapun tentang Mas," ucapnya.

"Kamu serius?" Kahfi menatap Rena.

Rena tersenyum. Kemudian dia mengusap pipi Kahfi yang basah karena air mata. "Iya, Mas. Terima kasih karena sudah tertarik denganku," ucapnya dengan tulus.

Kahfi terdiam, matanya menatap wajah istrinya lekat-lekat. Rasa haru bercampur dengan perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan.

"Aku tidak memben-"

Kahfi mencium bibirnya sehingga Rena berhenti berbicara.

Memang hanya kecupan ringan, sekilas saja. Tapi efeknya luar biasa. Jantung mereka sama-sama berpacu cepat. Mata Rena melebar, sementara Kahfi buru-buru menjauhkan wajahnya dengan ekspresi panik.

Gila. Apa yang barusan ia lakukan?

Padahal ia baru saja menangis, meminta maaf, dan mengkhawatirkan perasaan istrinya. Tapi bisa-bisanya ia mencium Rena di saat seperti ini?

Panik, Kahfi langsung berdiri. "A-aku... aku ke kamar dulu."

Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Rena menahan tangannya.

"Mas mau ke mana?" tanya Rena dengan tatapan tajam.

Kahfi membeku. "Aku cuma..."

"Setelah cium aku, terus kabur? Mas kok nggak bertanggung jawab banget." Rena menyilangkan tangan di dadanya, alisnya sedikit terangkat.

Kahfi menelan ludah, merasa semakin bersalah. "Ak-aku nggak kabur..."

"Terus pergi gitu aja, namanya apa?" Rena menghela napas seolah kecewa. "Aku juga mau dicium, Mas."

Mata Kahfi membesar. Napasnya tercekat di tenggorokan. "R-Ren..."

Tanpa menunggu lebih lama, Rena melangkah mendekat, menatap suaminya penuh makna. Entah keberanian dari mana, tapi saat itu, ia tidak ingin melepaskan momen ini.

Kahfi menelan ludah, kemudian tanpa banyak bicara, ia kembali mencium istrinya. Kali ini lebih dalam, lebih lama. Bibir mereka saling menyatu dalam keheningan yang hangat.

Jantung mereka berdetak kencang, tetapi tidak ada yang mau mundur.

***

Bab 29 Malam Pertama Yang Menggairahkan

Kahfi merasakan napasnya tersengal saat bibir mereka kembali bersentuhan. Kali ini, ia tak bisa menahan diri. Ada kerinduan dan keinginan yang membuncah dalam dadanya. Perasaan yang selama ini ia pendam. Tangannya secara naluriah melingkar di pinggang Rena, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertautan.

Jari-jarinya menyusuri punggung istrinya, merasakan kehangatan yang membuatnya semakin tenggelam dalam momen itu. Rena, yang awalnya masih ragu, kini dengan sendirinya mengalungkan tangannya di leher Kahfi, membiarkan suaminya semakin mendekapnya erat.

Ketika akhirnya Kahfi mengangkat tubuh istrinya dalam gendongan, Rena terkesiap, tetapi tak ada perlawanan. Ia hanya bisa berpegang dengan mengalungkan tangan di leher sang suami. Sementara Kahfi membawanya melangkah menuju kamar. Namun tautan keduanya tidak terlepas sama sekali. Rambut Rena menjadi berantakan, wajah mereka seperti kepiting rebus.

Begitu mereka sampai di kamar, Kahfi menurunkan Rena dengan lembut di atas ranjang. Ia menatap wajah istrinya lekat-lekat, seolah ingin menghafalkan setiap detail yang ada. "Aku sayang kamu," bisiknya lirih, jemarinya mengusap lembut pipi Rena.

Nafas keduanya sama-sama memburu. Padahal ciuman itu merupakan ciuman pertama mereka. Tapi kenapa sudah seintens ini? Bahkan keduanya masih sama-sama belajar. Tapi kenikmatan dari bertukar saliva tidak dibantah sama sekali.

Kahfi menatap bibir sang istri yang sedikit membengkak karena ulahnya. Bukannya berhenti, hasrat Kahfi malah semakin menjadi-jadi. Istrinya terlihat sangat sexy sekali.

Perlahan-lahan tangan Kahfi malah mendarat kemana-mana. Dia ingin menurunkan resleting pakaian sang istri. Mata Rena langsung membulat. Dia menahan tangan sang suami. Kewarasan Kahfi langsung kembali. Apa yang sudah dia lakukan? Kahfi benar-benar sudah gila.

"Ma-maaf, Rena," lirihnya penuh kefrustasian. Kahfi harus menampar dirinya sendiri karena sudah kehilangan akal. Pasti Rena semakin membencinya.

Kahfi langsung menarik tangannya, seolah baru tersadar dari ilusi yang diciptakan oleh perasaannya sendiri. Dadanya naik-turun, napasnya memburu, sementara rasa bersalah menyergapnya begitu saja.

"Ma-maaf, Rena..." suaranya serak, penuh kefrustasian. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata istrinya. "Aku keterlaluan."

Rena menggigit bibirnya, menatap suaminya yang kini memilih mundur. Napasnya juga belum stabil, tapi bukan karena takut atau marah. Ada sesuatu yang lain di sana. Keinginannya untuk mengerti, untuk memahami hubungan mereka yang masih baru.

Kahfi mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. "Aku... harus pergi sebentar."

Baru saja ia berbalik, tangan kecil Rena menarik pergelangan tangannya.

"Mas mau ke mana?" suara Rena terdengar lirih, tetapi cukup untuk menghentikan langkah Kahfi.

Kahfi terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya tahu bahwa dirinya terlalu pengecut untuk menghadapi ini semua.

"A-aku nggak kabur..."

"Terus ini apa?" Rena mendesah, lalu menggenggam tangannya lebih erat. "Aku nggak marah, Mas. Aku cuma...."

Kahfi menatapnya dalam diam. Ia bisa melihat kejujuran dalam mata istrinya.

"Aku ingin... dalam kegelapan."

Kahfi mengernyit. "Kamu serius?"

Rena mengangguk, wajahnya sudah lebih merah dari sebelumnya.

Untuk beberapa detik, hanya keheningan yang mengisi ruangan. Kemudian, dengan tangan sedikit gemetar, Kahfi berjalan ke arah jendela, menutup gorden hingga tak ada celah bagi cahaya dari luar. Setelah itu, ia mematikan lampu kamar.

Kini, mereka hanya berdua dalam kegelapan.

Suara napas terdengar lebih jelas, detak jantung terasa lebih keras. Tapi tidak ada yang bergerak lebih dulu.

Rena tidak kuasa menahan gejolak yang membara pada dirinya. Melihat bagaimana keduanya saling menginginkan satu sama lain. Raut wajah penuh kefrustasian seakan tidak bisa hilang begitu saja. Meskipun begitu, Kahfi masih meminta izin kepada sang istri. Dia tidak ingin bertindak seenaknya sendiri. Bagaimanapun, hubungan mereka terdiri dari dua orang, yang artinya bukan hanya tentang Kahfi sendiri melainkan juga tentang sang istri. Jika sang istri belum siap, maka Kahfi akan ridho dan menunggu sampai sang istri benar-benar siap dan tanpa ada rasa takut sama sekali.

"Boleh?" Pertanyaan itu mengiang-ngiang di kepala Rena. Ia terlalu lama diam membeku karena masih terperangkap dalam rasa kaget yang tidak biasa. Melihat tidak ada respons dari sang istri, Kahfi berusaha untuk mengontrol diri. Jangan tanya bagaimana tubuh Kahfi sekarang. Bahkan area pribadinya sudah aktif sejak menyentuh sang istri.

Rena mengangguk. "Tapi takut," cicitnya.

"Tidak apa-apa, aku akan melakukan dengan pelan-pelan." Kahfi meyakinkan sang istri. Padahal dia juga belum pernah melakukannya dan hanya belajar lewat buku saja. Apa memang menyakitkan? Tapi kalau tidak dicoba, maka tidak akan tahu.

Kahfi hanya bisa memejamkan mata. Terlalu mendadak karena tiba-tiba saja tangan istrinya masuk ke dalam koas yang ia gunakan. Tanpa menunggu, Kahfi membuka kaosnya dengan cepat. Badannya terasa hangat sekali. Mungkin karena hasratnya sangat membara.

Perlahan-lahan, Kahfi membuka pakaian sang melekat pada tubuh sang istri. Di tengah cahaya yang minim, Kahfi hanya bisa melihat istrinya dengan samar-samar. Padahal Kahfi ingin melihat wajah istrinya. Bagaimana dia menikmati setiap sentuhannya, bagaimana dia mengeluarkan air mata dan merasa frustasi seperti dirinya. Tapi Kahfi tetap menghargai keputusan sang istri jika ingin melakukan di kegelapan. Mungkin istrinya merasa malu.

"Apa kamu serius?" tanya Kahfi lagi. Dia masih berusaha menggunakan tali kerasionalnya.

Rena tersenyum. Ia langsung mendekatkan bibirnya ke telinga sang suami, kemudian ia membisikan sesuatu.

"Boleh, tapi pelan-pelan."

Deg! Jangan tanya bagaimana jantung Kahfi sekarang. Istrinya memang mampu membuat Kahfi menggila.

"Apa saja yang sudah kamu pelajari?" tanya Kahfi yang tengah frustasi. Wajah dan telinganya memerah. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Ia benar-benar sudah tergila-gila dengan sang istri.

Wajah Rena juga memerah. Dia bukanlah perempuan polos yang tidak tahu apa-apa. Bahkan sebelum menikah, Rena benar-benar belajar bagaimana cara berhubungan dengan baik dan menggairahkan.

"Apa ini?" tanya Kahfi sambil memberikan sentuhan-sentuhan kecil pada area sensitif Rena. Tentu saja keluar suara aneh dari bibir Rena. Dia merasa malu sendiri. Tapi Kahfi sangat menyukai suara itu. Sebelum memakan menu utama, tentu Kahfi harus memberikan jalan yang lancar untuknya bisa memasuki dunia milik sang istri. Dia tidak sebentar melakukannya karena pasti istrinya sangat kesakitan sekali. Entah sudah berapa banyak tanda-tanda yang ditinggalkan Kahfi.

"Pe-pelan pe-pelan," lirih Rena dengan perasaan yang benar-benar tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

"Maaf, Sayang."

"Apa tetap dilanjutkan?" Kahfi bertanya terlebih dahulu. Meskipun dia ingin, dia akan tetap mempertimbangkan pemikiran sang istri. Tapi tampaknya jika Rena menolak, Kahfi tetap akan mencari cara agar istrinya itu setuju karena kewarasan Kahfi sudah berada di ujung jurang kenikmatan.

Rena mengangguk dengan yakin karena dia juga menikmatinya.

Kahfi melanjutkan aktivitas menyenangkan dan juga mendebarkan yang tertunda. Ia kembali memberi sentuhan-sentuhan pada tubuh sang istri. Kahfi tidak lupa membaca doa sebelum melakukan hubungan intim dengan istrinya. Hal ini berguna agar apa yang mereka lakukan mendapat kebaikan.

Rena cenderung menahan diri sekuat tenaga untuk tidak bersuara. Padahal laki-laki sangat suka melihat perempuannya bersuara saat melakukan aktivitas seperti ini. Hasratnya pasti akan semakin naik karena mendengar suara sang istri.

"Jangan ditahan," bisik Kahfi.

"Nanti...nanti kedengaran sama orang luar."

Kahfi tersenyum. "Tidak akan, Sayang. Apartemen ini kedap suara jadi kamu tenang saja."

Rena tidak lagi menahan suaranya. Dia serasa terbang ke dimensi lain. Keringat bercucuran pada tubuh Rena. Rena malah menangis karena kesakitan. Air matanya keluar. Rasanya benar-benar sangat asing bagi dirinya. Entah sudah berapa kali Rena mencakar tubuh suaminya. Setiap dorongan memberikan sensasi yang benar-benar menggilakan. Bahkan suaminya juga berkeringat. Jika saja Rena melihat bagaimana raut wajah Kahfi, maka Rena akan menemukan Kahfi dengan Versi berbeda.

Ditengah cahaya minim, Kahfi tersenyum penuh kepuasan. Melakukan dengan menggerakan seluruh tenaga yang ada. Mendengar suara-suara yang membuat isi kepalanya melayang.

***

Bab 30 Nikmat Masih Berbekas

Kahfi terbangun dengan perasaan yang luar biasa. Ternyata rasanya semenakjubkan itu. Pantas saja orang-orang jika sudah terjerat susah untuk keluar. Kahfi bersyukur bisa menjaga diri begitupun dengan Rena. Mereka sama-sama melakukan untuk pertama kalinya. Wajar jika Kahfi dan Rena mengalami kesulitan. Bahkan Rena sampai menangis saking sakitnya. Dibalik itu semua, Rena memang sudah menjadi miliknya. Kahfi tersenyum. Dia memiringkan tubuhnya, namun di tengah cahaya yang minim dia tidak bisa melihat sang istri. Kahfi ingin melihatnya dengan jelas.

Kahfi turun dari ranjang. Ternyata pinggangnya juga sedikit pegal. Tampaknya dia harus rajin berolahraga agar staminanya selalu bagus untuk menyenangkan sang istri kedepannya.

Kahfi turun dengan perlahan-lahan agar tidak mengganggu waktu istirahat Rena. Apalagi durasi Kahfi melakukan cukup lama. Lamanya bukan saat inti tapi saat ingin menuju ke inti karena berusaha mencari sesuatu yang menjadi area luar biasa untuk sang istri.

Kahfi memutuskan untuk menyalakan lampu. Rena hanya ingin melakukan dalam keadaan gelap, tapi sekarang mereka tidak ingin melakukan jadi tidak masalah menyalakan lampu. Semoga saja istrinya tidak terbangun.

Jam sudah menunjukkan pukul empat lewat, masih ada waktu untuk memandangi wajah sang istri. Kahfi kembali ke ranjang. Sungguh luar biasa saat melihat tubuh istri yang hanya tertutupi selimut. Ada bekas-bekas pergulatan panas mereka. Bahkan Kahfi menandai dibanyak tempat. Dia benar-benar sudah gila ternyata

Tapi tunggu... Kahfi terdiam sejenak. Dia melihat beberapa bekas luka di kulit putih Rena. Bekasnya sedikit memudar. Tapi ada bekas yang luar biasa lebar di paha sang istri. Sepertinya luka bakar karena Kahfi pernah melihat bekas luka seperti itu sebelumnya.

Kahfi mengernyit. Ia menelan ludah, matanya terpaku pada bekas luka bakar yang cukup besar di paha Rena. Hatinya mencelos. Ia menunduk, menatap lebih lama, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Ini bukan luka kecil yang didapat karena kecerobohan. Luka ini besar, pasti menyakitkan.

Kahfi semakin penasaran. Ia perlahan menarik selimut, bukan dengan niat mesum, tetapi karena ingin tahu sebanyak apa bekas luka di tubuh istrinya. Saat selimut terangkat, matanya membelalak.

Tidak hanya luka bakar itu, ada lebih banyak bekas luka lain. Ada bekas goresan panjang di betis, bekas lebam samar di pergelangan tangan, dan beberapa bekas luka kecil yang tersebar di lengan serta punggung. Semuanya sudah memudar, menandakan bahwa luka-luka itu bukanlah hal baru.

Jantung Kahfi berdegup keras. Apa-apaan ini?

Siapa yang menyakiti istrinya sampai seperti ini? Apakah ini alasan dia selalu memakai pakaian panjang, bahkan di rumah? Bahkan mereka melakukan dalam keadaan minim cahaya. Apa karena ini?

Kahfi menggertakkan giginya, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, bukan pada Rena, tetapi pada siapa pun yang telah membuat istrinya terluka seperti ini.

Tangannya mengepal, tapi kemudian ia sadar bahwa Rena masih terlelap. Wajah istrinya begitu damai dalam tidurnya. Tidak ada jejak kesakitan di sana, seolah semua hal buruk itu sudah berlalu. Tapi benarkah? Atau Rena hanya pandai menyembunyikannya?

Kahfi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tidak bisa membangunkan Rena sekarang, tidak dengan emosinya yang sedang bergejolak. Kahfi memutuskan untuk ke balkon. Dia berusaha menenangkan diri. Bekas luka sebanyak itu pasti bukan karena teledor. Apalagi Kahfi mengingat bahwa Rena pernah dicambuk oleh ayahnya sendiri dengan ikat pinggang.

"Apa yang sudah kamu alami selama ini?" lirihnya dengan hati yang terluka.

Kahfi tidak terlalu lama berada di balkon. Dia hanya menenangkan dirinya sebentar. Jika tidak, bisa-bisa Kahfi akan langsung mendatangi ayah mertuanya. Saking ingin langsung menghajarnya.

Kahfi kembali ke kamar. Dia naik ke atas ranjang dan berbaring di samping sang istri. Kahfi menatap wajah istrinya yang terlihat begitu lelah. Meski begitu, dalam tidurnya, Rena tampak begitu damai, seolah tidak ada beban yang mengganggu pikirannya.

Perlahan, Kahfi menarik selimut yang sempat turun, menutup kembali tubuh polos istrinya. Ia masih ingin memeluk dan menyentuh Rena, tapi ia sadar, istrinya pasti masih kelelahan. Kahfi tidak mau menjadi pria yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli kondisi istrinya.

Tatapan Kahfi tak lepas dari wajah Rena. Semakin lama ia menatapnya, semakin ia menyadari betapa cantiknya istrinya. Rena benar-benar anugerah baginya, dan ia tidak akan pernah bosan untuk mengagumi kecantikan perempuan itu.

Waktu terus berlalu, tetapi Kahfi tidak menyadarinya. Menatap Rena dalam tidur terasa begitu menenangkan, seperti menikmati keindahan alam yang luas dan tak terbatas.

Namun, tiba-tiba, ada pergerakan halus di kelopak mata Rena. Ia mulai terbangun. Benar saja, perlahan-lahan mata istrinya terbuka, menatapnya dengan pandangan yang masih samar. Kahfi langsung menyambutnya dengan senyum hangat.

"Ma-mas sudah bangun?" tanya Rena dengan suara yang masih serak. Ia terkejut karena mendapati suaminya sedang menatapnya lekat-lekat dengan senyum yang begitu lembut. Jantungnya langsung berdebar kencang.

"Sudah," jawab Kahfi dengan nada lembut.

Rena mengerjapkan mata, lalu tiba-tiba ia merasakan nyeri di tubuhnya, terutama di area sensitifnya. Wajahnya langsung memanas. Apakah yang terjadi tadi malam bukan sekadar mimpi? Apakah benar mereka telah melewati malam pertama?

Rena menunduk, pipinya merona. Ia mengira pengalaman itu akan seperti dalam novel romantis penuh kehangatan dan cinta. Namun, kenyataannya, ada rasa sakit yang menyertainya. Malu rasanya mengingat bagaimana ia sempat meringis kesakitan.

Di tengah pikirannya yang kalut, tiba-tiba Kahfi kembali membuka suara. "Istriku cantik sekali," puji pria itu tiba-tiba. Rena semakin tersipu. Apalagi mereka masih berada di ranjang yang sama, hanya berbalut selimut tipis.

"Jangan dilihat!" protes Rena sambil buru-buru menutup mata Kahfi dengan tangannya.

Kahfi tertawa pelan. "Tapi memang benar, kamu cantik," ujarnya tanpa ragu. Ucapan itu membuat Rena semakin tenggelam dalam rasa malunya.

Dengan cepat, Rena bersembunyi di balik selimut. Suaminya ini benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk bernapas normal. Selalu saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Namun, Kahfi tidak membiarkannya bersembunyi lama. Ia menarik selimut yang menutupi wajah Rena dengan mudah. Lalu dengan suara lembut, ia berbisik, "Terima kasih sudah menjaganya."

Setelah itu, Kahfi memberikan kecupan singkat di seluruh wajah istrinya, membuat Rena semakin gugup.

"Jam berapa sekarang?" tanya Rena akhirnya, berusaha mengalihkan perhatian.

Kahfi melirik jam di nakas. "Sebentar lagi azan."

Mata Rena membelalak. "Kok bisa?"

Kahfi kembali tertawa. "Waktu berjalan, Sayang."

Rena menghela napas. Kemudian, ia menggerakkan tubuhnya sedikit dan langsung meringis. Rasa sakit itu masih terasa. Ia menggigit bibir, berusaha menyembunyikannya, tapi Kahfi langsung menyadarinya.

"Masih sakit?" tanya Kahfi seraya merengkuh istrinya dalam pelukan hangat.

Rena mengangguk pelan. "Iya..."

Kahfi mengusap punggungnya dengan lembut. "Maaf ya, aku masih belajar."

Rena tersenyum tipis. "Nggak apa-apa Mas, kata orang yang pertama memang agak menyakitkan."

Tangannya tanpa sadar meraba punggung Kahfi, dan seketika ia teringat bagaimana jemarinya mencengkram kulit pria itu tadi malam. Pasti ada bekas cakaran di sana.

Kahfi seolah bisa membaca pikirannya. "Nggak apa-apa kok," katanya sebelum Rena sempat bertanya.

Rena mencoba menggerakkan tubuhnya lagi dan merasakan tubuhnya yang lengket oleh keringat. Ia merasa tidak nyaman.

"Aku mau mandi," ucapnya seraya mencoba turun dari ranjang.

Kahfi segera menahan tangannya. "Tunggu sebentar, aku siapkan air hangat dulu."

Ia bergegas turun dari ranjang dan mulai mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Namun, Rena buru-buru menahannya.

"Mas nggak perlu repot-repot. Aku bisa mandi pakai air biasa kok."

Kahfi menghampirinya dan menatapnya serius. "Aku yang ingin melakukannya, jadi tunggu di sini, ya." Sebelum pergi, ia sempat memberikan kecupan di kening istrinya dan menyerahkan handuk untuk menutupi tubuhnya.

Rena tidak bisa menolak. Ia tahu suaminya keras kepala dalam hal seperti ini.

Saat ia mencoba berdiri, tiba-tiba lututnya gemetar hebat. Ia hampir terjatuh, tetapi segera berpegangan pada tepian ranjang. Kenapa sesakit ini? Ia memang sudah membaca bahwa malam pertama bisa terasa menyakitkan, tetapi ia tidak menyangka akan separah ini.

Namun, Rena tidak ingin terlihat lemah. Ia memaksakan diri untuk berdiri dan mulai mengumpulkan sprei yang terkena noda darah.

Baru saja ia hendak membawanya ke kamar mandi, Kahfi masuk dan langsung heboh. "Eh, eh! Apa yang kamu lakukan?"

"Nggak apa-apa," jawab Rena cepat, berusaha menyembunyikan bercak darah yang menempel di sprei.

Kahfi melangkah mendekat dan mengambil sprei dari tangannya. "Duduk aja, biar aku yang urus."

"Tapi Mas-"

Kahfi mencubit hidung istrinya dengan gemas. "Katanya mau jadi istri yang baik," ujarnya.

Rena langsung terdiam. Ia memang sudah bertekad menjadi istri yang baik, jadi ia tidak akan membantah suaminya.

Sementara itu, Kahfi sibuk menyiapkan air hangat untuk istrinya. Setelah itu, ia juga mencuci sprei yang menjadi saksi malam pertama mereka.

Rena menatap suaminya dengan mata berbinar. Kahfi bukan hanya seorang suami yang hangat, tetapi juga pria yang penuh tanggung jawab. Ia benar-benar bersyukur memilikinya dalam hidupnya.

***

Bab 31 Direndahkan

"Kok bajunya pada pas semua ya, Mas?" tanya Rena sambil menunjukkan pakaian yang melekat pada tubuhnya. Semua pakaian yang diberikan mama mertuanya sangat pas sekali. Bahkan pakaian dalamnya juga. Rena jadi malu sendiri karena pakaian dalam pun diberikan oleh Mama mertuanya.

Kahfi yang sedang menyiapkan sarapan tersenyum. "Firasat seorang Ibu ya begitu," jawabnya.

"Ini emang Mama semua yang beli?"

Kahfi mengangguk. "Mama senang banget pas milih. Mungkin karena semua anaknya laki-laki jadi pas tahu punya menantu jadi semangat banget beliin bajunya."

Rena merasa terharu sekali. Dia harus mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada Mama mertuanya. Bukan hanya Mama mertua tapi seluruh keluarga sang suami.

"Bagus banget bajunya, aku suka."

"Syukurlah kalau kamu suka. Ayo sini kita sarapan dulu."

Kahfi menarik kursi untuk Rena sebelum duduk di sampingnya. Sebelum Kahfi duduk, Rena kembali berdiri dan memberikan kecupan singkat. "Terima kasih," ujarnya dengan malu-malu. Kahfi langsung salah tingkah, dia bahkan pura-pura mengambil air minum padahal dimeja makan sudah ada air minum.

Kahfi menenangkan jantungnya terlebih dahulu. Setelah itu, dia kembali duduk di samping sang istri. Rena tampak menikmati nasi goreng buatannya. Dia sengaja memasukkan barang sayur, dan daging. Istrinya sangat kurus, jadi Kahfi akan memperbaiki berat badan istrinya terlebih dahulu. Bahkan di dalam kulkas sudah ada buah-buahan, coklat dan makanan lainnya.

"Enak nggak?" tanya Kahfi, ingin tahu pendapat Rena tentang masakannya.

Rena mengangguk cepat. "Enak banget! Nggak nyangka Mas bisa masak seenak ini."

Kahfi terkekeh. "Harus bisa dong. Dulu pas kuliah sering masak sendiri."

Rena meliriknya sambil tersenyum. "Berarti aku beruntung, ya. Nggak perlu khawatir kelaparan kalau lagi malas masak."

"Jangan sering-sering malasnya," goda Kahfi sambil menyodorkan segelas air untuk istrinya.

Rena mencibir manja, lalu melanjutkan makannya. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu dan mendongak. "Mas, serius Mama beli semua ini sendiri?"

Kahfi mengangguk. "Iya. Bahkan waktu belanja, Mama sampai nanya ke aku, kira-kira selera kamu gimana. Aku sih jawab aja kalau kamu pasti cocok pakai apa aja."

Pipi Rena sedikit memanas. "Kok Mas bisa tahu?"

Kahfi menyeringai. "Soalnya aku yang punya."

Rena langsung meraih sendoknya dan memukul pelan tangan Kahfi. "Mas ini ada-ada aja!"

Kahfi tertawa puas melihat Rena yang salah tingkah. Baginya, pagi seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak tergantikan.

Berhubung sisa cuti Rena tinggal satu hari lagi, maka Kahfi menemani Rena untuk mengambil barang-barangnya dirumah lama. Sebenarnya Rena ingin mengambil sendiri, dia tidak ingin suaminya terlalu mengetahui gimana perlakuan ayahnya kepada Rena. Namun Kahfi tidak membiarkan hal itu terjadi.

Kini keduanya sudah berada di dalam mobil. "Nanti Mas tunggu di dalam mobil aja ya?" ujar Rena.

"Kenapa gitu?"

"Pokoknya tunggu di dalam mobil aja." Rena memberikan raut wajah memohon jadi Kahfi tidak bisa berbuat apa-apa.

"Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa langsung panggil."

Rena tersenyum kemudian mengangguk. Sesampainya di depan rumah, Rena membuka salbethnya. "Tunggu," ucap Kahfi sebelum Rena keluar.

"Kenapa, Mas?"

"Cium dulu," pinta Kahfi dengan wajah polosnya.

Rena terkekeh. Padahal dia hanya mengambil barang saja, tapi sudah seperti pergi jauh. Rena langsung mencium sang suami. Awalnya hanya kecupan singkat, tapi Kahfi menahan kepada Rena agar tidak menjauh.

Kahfi berhenti mencium istrinya saat sang istri memukul dadanya.

"Mas ini," omel Rena.

Kahfi hanya menyengir.

"Kita lagi di luar. Malu kalau ada yang lihat." Mata Rena melotot. Padahal wajahnya sangat memerah sekali.

"Iya iya, Maaf." Kahfi mengusap bibir sang istri karena sedikit basah.

"Ya udah, tunggu disini dan jangan kemana-mana."

"Siap, istriku." Kahfi memberikan gerakan hormat.

Rena menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil. Hatinya terasa berat, tapi ia harus mengambil barang-barangnya. Perlahan, ia melangkah menuju rumah yang selama ini ia tinggali sebelum menikah.

Begitu pintu terbuka, ia langsung disambut tatapan sinis dari ibu dan adik tirinya. Ayahnya duduk di sofa dengan wajah dingin seperti biasa.

"Kamu datang juga akhirnya," ucap ibu tirinya dengan nada mencemooh. Matanya menatap Rena dari atas ke bawah. "Baju apa ini?" Ibu tiri Rena menarik bajunya. Rena tentu saja kaget. "Lepas!" ketus Rena.

"Pasti palsu, Bu. Nggak mungkin asli," celetuk adik tiri Rena.

"Pastilah. Mana mungkin asli. Jelas-jelas suaminya aja pengangguran." Ibu dan adik tiri Rena tertawa. Rena sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin mengambil barang-barangnya saja.

"Mana suamimu?" tanya Ayah.

"Aku cuma sendiri," jawab Rena. Dia takut sekali kalau ayahnya bertemu dengan suaminya. Apalagi kalau tahu suaminya punya mobil bagus.

Ayahnya mendengus, wajahnya langsung mengeras. "Sendiri? Kamu takut suamimu nggak punya muka karena pengangguran?"

Rena menatap ayahnya tanpa ekspresi. "Terserah ayah mau ngomong apa."

"Kamu itu buat malu aja. Semua orang bilang kamu bodoh karena nikah sama pengangguran."

Ayahnya menatapnya tajam. "Aku masih nggak habis pikir, kenapa kamu mau nikah sama dia? Aku sudah carikan pria yang lebih layak buat kamu! Orang kaya, punya bisnis sendiri, masa depan terjamin! Tapi kamu malah milih pengangguran!" lanjutnya lagi.

Rena menatap ayahnya dengan mata berkilat marah. "Aku udah kasih uang 500 juta tanpa protes, tanpa banyak tanya, karena aku pikir setelah itu Ayah bakal berhenti ikut campur dalam hidupku. Tapi ternyata, Ayah masih aja merendahkan suamiku!"

Ayahnya mendengus. "Aku minta uang itu karena aku berhak! Kamu pikir dari mana biaya kamu sekolah? Dari mana kamu bisa makan selama ini?"

Rena tertawa sinis. "Dari mana? Dari uang peninggalan Ibu yang Ayah pakai seenaknya, kan?"

Mata Ayahnya membelalak. Wajahnya merah padam karena emosi, sementara ibu tiri dan adik tirinya tampak terkejut mendengar kata-kata Rena.

"Kamu—"

"Aku udah capek, Yah," potong Rena. "Aku datang ke sini cuma mau ambil barang-barangku. Aku nggak peduli dengan apapun yang ayah bilang."

Ayahnya melangkah maju dengan gerakan mengancam. "Jaga mulutmu, Rena!"

Tapi Rena tak gentar. Dia malah mendekat, menatap tajam ke arah pria yang seharusnya menjadi pelindungnya itu. "Ayah udah tandatangani surat pernyataan, jadi jangan pernah ganggu hidupku lagi."

Setelah mengatakan itu. Rena menarik satu koper satu 3 tas miliknya. Dia membawa dengan sedikit kesusahan. Saat berada di pintu keluar. Kopernya ditendang begitu saja oleh adik tirinya."Pergi sana! Jangan kesini lagi!"

Rena menatapnya dengan rahang menegang. "Dasar nggak tau malu! Anak sama ibu sama aja. Nggak sadar kalau cuma jadi benalu di keluarga orang lain."

"Apa kamu bilang?" Adik tiri Rena tidak terima.

"Kamu dan ibumu benalu. Kamu kira rumah ini milik kalian ha?"

"Dasar perempuan gila!" Adik tiri Rena menendang koper Rena sekali lagi. Ibu tirinya hanya melihat saja. Tampak senang dengan tindakan bar-bar sang anak.

Rena mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak terpancing emosi. Tapi saat adik tirinya menendang kopernya sekali lagi, ia merasa kesabarannya sudah habis.

Dengan cepat, Rena maju dan langsung menampar adik tirinya itu. Suara tamparan itu bergema di udara, membuat adik tiri Rena terkejut bukan main. Pipinya langsung memerah, matanya membulat penuh amarah dan tidak terima.

"Kamu berani nampar aku?!" jeritnya histeris, tangannya terangkat hendak membalas.

Namun, Rena tak gentar. Ia berdiri tegak, menatapnya dengan tajam. "Itu peringatan buat kamu. Kalau lain kali berani kurang ajar lagi, aku nggak akan segan-segan lebih dari ini."

Adik tirinya mendengus marah, lalu berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak, "Ayah! Rena nampar aku! Ayah!!"

Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Ayah Rena muncul dengan wajah merah padam. "Rena! Apa yang kamu lakukan?!"

Rena tetap diam, menatap ayahnya tanpa gentar.

"Ayah!" Adik tirinya mengadu dengan suara penuh drama. "Lihat ini, pipiku sakit! Dia nampar aku!"

Ayahnya semakin marah. "Kurang ajar! Kamu pikir kamu siapa, hah?! Berani-beraninya kurang ajar di rumah ini!"

Tiba-tiba, dengan cepat, ia mengangkat tangannya, hendak menampar Rena.

Namun, sebelum tamparan itu mendarat, sebuah tangan kuat lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

"Apa yang sedang Ayah lakukan?"

Suara Kahfi terdengar rendah, dingin, dan penuh ketegasan. Matanya menatap tajam ke arah ayah mertuanya, tidak sedikit pun menunjukkan ketakutan.

Ayah Rena tersentak kaget. "Kamu siapa?! Berani-beraninya menahan tanganku?!"

Kahfi tidak langsung menjawab. Ia hanya mempererat genggamannya di pergelangan tangan pria itu sebelum akhirnya melepaskannya dengan sedikit dorongan, cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh istrinya.

"Saya suami Rena," jawab Kahfi dengan suara mantap. "Dan sebagai suaminya, saya nggak akan tinggal diam kalau ada yang mencoba menyakitinya, termasuk Ayah sekalipun."

Ayah Rena semakin marah. "Kurang ajar! Kamu pikir kamu bisa melawan aku, hah? Dasar pengangguran nggak tahu diri!"

Kahfi terkekeh pelan, tetapi tawanya terdengar dingin. "Pengangguran?"

"Sudahlah, Mas. Kita pulang saja," ucap Rena. Dia sudah sangat lelah. Padahal dia datang baik-baik tapi malah diperlakukan seperti sampah oleh keluarganya sendiri.

"Saya ingatkan! Jangan pernah mengganggu istri saya lagi. Kalau sampai kalian mengganggunya lagi, saya nggak akan tinggal diam. Saya akan menjebloskan kalian semua ke penjara!" Ancam Kahfi.

"Jebloskan ke penjara? Emang kamu punya uang buat laporin?" Ayah Rena tertawa.

"Orang miskin tapi belagu sekali," sambung Ibu tiri Rena.

"Kalau miskin nggak usah banyak tingkah! Sana kalian pergi!" usir Ayah Rena.

Kahfi menatap mereka dengan sorot dingin. Ia menghela napas pelan, lalu menyeringai tipis. "Lucu sekali," katanya dengan nada meremehkan. "Kalian pikir saya ini siapa?"

Rena menoleh ke suaminya, sedikit bingung dengan ekspresinya. Kahfi tampak begitu tenang, tetapi ada aura mengintimidasi yang terpancar darinya.

"Silakan tertawa sekarang," lanjut Kahfi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Tapi nanti, jangan menangis kalau hidup kalian jadi lebih sulit dari ini."

Ayah dan ibu tiri Rena tersentak, tiba-tiba merasa ada yang aneh dengan pria di depan mereka.

"Apa maksudmu?" tanya Ayah Rena, mulai waspada.

Kahfi hanya tersenyum kecil kemudian meraih tangan Rena, menggenggamnya erat. "Ayo pulang, Sayang," katanya lembut.

Kahfi membantu sang istri membawa barang-barangnya keluar dari pekarangan rumah. Berhubung dia meletakkan mobilnya sedikit jauh dari rumah Rena, jadi Kahfi memajukan sedikit mobilnya agar mudah memasukkan barang-barang sang istri.

Saat mobil mahal itu berhenti tepat di depan rumah, Ayah Rena, ibu tiri, dan adik tirinya saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut. Mereka menatap kendaraan itu dengan penuh keraguan.

"Itu... mobil siapa?" gumam adik tiri Rena, suaranya dipenuhi kebingungan.

"Bagus banget mobilnya," puji Ibu tiri Rena. Bahkan matanya berbinar-binar melihat mobil tersebut. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Matanya membelalak melihat Kahfi keluar dari mobil dan berjalan dengan tenang menuju bagasi untuk memasukkan barang-barang Rena.

"Kenapa si miskin itu bisa keluar dari mobil mewah begitu?" tanya Ibu Rena tidak percaya.

"Jangan-jangan cuma mobil rental," sahut adik tiri Rena dengan nada meremehkan. "Biar kelihatan kaya, padahal aslinya kere."

Ayah Rena mengangguk, seolah membenarkan. "Iya, paling juga mobil pinjaman. Orang miskin mana bisa beli mobil kayak gitu."

***

Bab 32 Mantan Datang Lagi

Meskipun sudah menikah dengan cucu dari pemilik conupus Group, Rena tetap memilih untuk bekerja. Dia tidak mau terlalu bergantung kepada Kahfi. Mungkin karena kehidupan yang dijalani Rena penuh dengan bebatuan dan duri. Meskipun begitu, Kahfi tidak melarang sama sekali. Mungkin Rena lebih suka bekerja dan dia sangat mendukung hal tersebut. Pagi-pagi, Kahfi mengantar Rena terlebih dahulu ke tempat kerjanya. Barulah setelah itu dia pergi ke perusahaannya.

"Ini warnanya bagus nggak, Mas?" tanya Rena sambil menyatukan bibir atas dan bibir bawahnya. Dia sedang menunjukkan warna bibirnya.

"Bagus kok," jawab Kahfi.

"Warnanya terlalu mencolok atau enggak?" Rena bukannya ingin berdandan cantik ke tempat kerja, namun dia hanya menghilang kan warna bibirnya yang memang pucat.

"Enggak kok, Sayang." Kahfi mengusap pucuk kepala sang istri.

"Syukurlah."

"Nanti kalau pulangnya cepat kabari ya?"

Rena mengangguk. "Mas nggak repot ya ngantar aku pagi-pagi begini?"

Kahfi menggeleng. "Aku malah suka."

"Gombalnya."

"Bukan gombal, Sayang." Kahfi tersenyum lebar.

Rena mengecek kembali isi tasnya. "Eh undangannya kok nggak ada?" Rena melihat isi tasnya kosong dengan undangan pesta pernikahan mereka.

Rena tidak bisa menolak permintaan keluarga besar Kahfi. Apalagi Mama dan Papa mertuanya bukan orang biasa. Mana mereka baru punya menantu pertama setelah sekian lama. Jadi wajar mengadakan pesta pernikahan. Hanya saja, Rena menjelaskan kondisi keluarganya kepada Papa dan Mama mertuanya. Rena takut membuat malu keluarga besar sang suami. Tapi untungnya mertuanya tidak keberatan. Tanpa Rena jelaskan, mereka juga sudah paham.

Pesta pernikahan akan diadakan di hotel. Banyak rekan kerja Kahfi yang mungkin akan datang. Rena sudah beberapa kali melakukan fitting baju. Sungguh bajunya sangat mewah sekali.

Mama sangat antusias menyiapkan semua. Rena juga ikut membantu tapi biasanya hanya untuk urusan kecil-kecilan saja. Mama mertuanya tidak mau Rena kelelahan.

"Ayo diingat, kamu letakin dimana?"

Rena mengerutkan kening. Dia berusaha mengingat kembali dimana terakhir kali undangannya berada.

"Ya ampun... aku letakin diatas meja ruang keluarga." Rena panik sendiri.

Kahfi terkekeh. Lalu dia menyuruh sang istri membuka tas kerja miliknya. Ternyata undangan tersebut ada di tas kerja Kahfi. Memang benar Rena meninggalkan undangan tersebut di atas meja ruang keluarga, tapi Kahfi mengambil dan menyimpannya ke dalam tasnya sendiri.

"Terima kasih, Mas..." Rena menggelitik dagu Kahfi. Hal itu membuat Kahfi tersenyum. Dia mengambil tangan sang istri dan mengecupnya berulang-ulang kali. Matanya masih fokus ke depan karena sekarang mereka sedang berada di dalam mobil.

Sesampainya di tempat kerja Rena, Kahfi membantu sang istri melepas salbeth. "Semangat kerjanya, Sayang..." lirihnya.

"Mas juga semangat kerjanya," balas Rena.

Seperti biasa, Rena mencium punggung tangan Kahfi dan Kahfi membalas dengan mencium pucuk kepala sang istri.

Rena melangkah keluar dari mobil dengan santai, tetapi ia bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa rekan kerjanya yang sudah mulai berbisik-bisik. Tidak biasanya dia datang dengan mobil mewah seperti itu, apalagi dengan seorang pria yang jelas-jelas memperlakukannya dengan penuh kelembutan.

"Ya ampun, itu siapa yang nganterin Rena?" bisik salah satu rekan kerja.

"Aku nggak tahu! Deon kali ya?" sahut yang lain.

"Rena nggak ada hubungan sama Deon lagi," jelas Anjel.

"Ha? Kok bisa? Bukannya mereka mau nikah?"

"Deon ketahuan ke hotel sama mantannya, makanya Rena batalin nikah sama dia," jelas Anjel.

"Gila! Cowok tampang pas-pasan itu masih sempat-sempatnya selingkuh?" Rekan kerja Rena terkejut.

"Ya begitulah, cowok nggak tau diri. Sampah lagi."

"Terus kalau bukan Deon siapa dong? Mana mobilnya mewah gitu. Nggak mungkin mobil online, kan?"

"Nggak mungkin lah menurutku. Kamu emang nggak tau Jel?"

Anjel menggeleng karena dia memang tidak tahu.

Belum sempat bisikan-bisikan itu mereda, Anjel sekaligus rekan kerjanya yang paling kepo, langsung menyusul Rena dengan wajah penuh selidik. Begitu Rena duduk di kursinya, Anjel sudah berdiri dengan alis yang dinaik turunkan. "Hayo... Tadi berangkat sama siapa? Tumben pakai mobil," godanya.

"Eh biasanya juga pakai mobil," jawab Rena. Sayangnya rekan kerja Rena hanya melihat pagi ini saja. Sedangkan hari-hari sebelumnya tidak. Makanya mereka baru terkejut sekarang.

"Ha? Serius?"

"Iya."

Rekan kerja lain pun ikut mendekat, penasaran dengan percakapan mereka.

"Emang kamu diantar siapa?"

"Iya, Ren! Jangan-jangan pacar barumu?" ujar yang lain.

"Kamu kan cuti, jangan-jangan selama ini cuti buat liburan sama pacar?"

Rena mengangkat alis lalu tersenyum kecil. Daripada menjawab satu per satu, dia membuka laci meja dan mengeluarkan beberapa lembar undangan. Dengan santai, ia meletakkan undangan tersebut di atas meja.

"Bukan pacar, tapi suami," ujarnya ringan.

Seisi ruangan langsung gempar.

"HAH?! SERIUS?! KAPAN?!" Anjel langsung meraih undangan itu dengan mata membelalak.

"Nikahnya udah. Tinggal pesta pernikahan aja. Aku harap kalian datang," jelas Rena.

"Sumpah ni anak. Nggak ada angin, nggak ada hujan," tiba-tiba udah nikah aja"

Rena hanya menyengir. "Udah jodohnya makanya nikah."

"Tapi kayaknya suami kamu orang kaya," goda rekan kerja yang lain.

"Enggak kok."

"Enggak gimana? Mobil yang dia pakai mahal banget itu."

Rena masih saja membantahnya.

"Jadi Mbak udah nikah?" tanya Randi dengan raut wajah sedih.

Rena mengangguk. "Datang ya," ucapnya sambil memberikan undangan.

"Patah hati deh, sabar ya." Anjel menepuk pundak Randi berusaha menguatkan.

"Patah hati kenapa?" tanya Rena dengan wajah polos.

"Nggak apa-apa kok. Nggak usah didengarin," ucap rekan kerja yang lain. Mereka membawa Randi menjauh. Tampaknya hanya Rena sendiri yang tidak sadar jika Randi tertarik padanya. Namun karena Rena sudah menikah, maka pupus sudah harapan Randi untuk mendekatinya. Padahal Randi sudah senang saat tahu Rena gagal menikah dengan Deon.

Rena kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia hanya mengundang yang meman dekat dengannya saja. Setiap rekan terkejut ketika menerima undangan dari Rena. Wajar saja karena terlalu mendadak padahal setahu mereka Rena tidak jadi menikah.

Sekitar pukul lima lewat, Rena keluar dari perusahaan. Dia menunggu suaminya datang. Jam lima kurang, Kahfi mengirim pesan mengatakan jika dia terlambat sedikit untuk menjemput karena sedang ada pekerjaan diluar. Rena tidak masalah karena Kahfi pasti punya banyak pekerjaan yang penting.

Saat ingin menuju ke halte depan, seseorang sudah menunggunya. "Aku ingin bicaranya," ujarnya.

Rena berusaha untuk tidak peduli.

"Rena... tolong jangan seperti ini," ujarnya lagi. Beberapa rekan kerja yang ada disekitar menatap ke arah Rena. "Apa kamu ingin kita menjadi pusat perhatian?"

Rena mengepalkan tangan. "Apa lagi?" ujar Rena dengan ketus.

Deon menatap Rena dengan ekspresi yang sulit dibaca antara penuh penyesalan dan harapan. Dia melangkah mendekat, tetapi Rena tetap diam di tempatnya, ekspresinya datar.

"Aku tahu aku salah, Rena," ujar Deon dengan suara lirih. "Aku benar-benar menyesali semuanya. Aku nggak seharusnya mencari kepuasan di tempat lain."

Rena menyilangkan tangan di dada. "Terus? Kamu kira aku masih peduli?"

Deon menelan ludah. "Aku mencintaimu, Rena. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku tahu aku bukan pria sempurna, tapi aku janji akan berubah. Aku akan memperbaiki semuanya. Jadi tolong, kembalilah padaku."

Rena tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Lucu sekali, Deon. Dulu kamu bilang aku yang akan menyesal, ternyata kamu. Tapi Maaf saja, aku sama sekali tidak ingin berhubungan apapun denganmu lagi."

Deon tampak semakin putus asa. "Aku sungguh-sungguh, Rena. Aku akan mengembalikan uang yang kamu berikan pada ibuku, lima puluh juta, bahkan lebih dari itu! Asal kamu mau kembali padaku. Tolong, Rena. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu."

"Aku sudah menikah, jadi jangan pernah datang menemui aku lagi."

"Jangan gila, Rena. Kamu belum menikah dan jangan berbohong hanya untuk membuatku menjauh."

"Aku tidak punya waktu untuk bohong hanya karena kamu, Deon. Jadi pergilah, aku sudah menikah dan jangan datang ke sini lagi. Kalau kamu masih tidak mengerti, aku akan lapor polisi."

Deon tiba-tiba meraih tangan Rena, mencengkeramnya dengan kuat. Matanya penuh kepanikan, seolah jika dia melepaskannya, dia akan kehilangan Rena selamanya.

"Rena, aku mohon! Jangan begini! Aku janji akan memperlakukanmu lebih baik! Aku benar-benar mencintaimu!" suaranya terdengar hampir putus asa.

Rena meronta, mencoba menarik tangannya, tetapi Deon semakin erat menggenggam.

Sebuah suara pintu mobil dibanting terdengar jelas di udara, diikuti oleh langkah berat yang mendekat. Kahfi sudah keluar dari mobilnya.

Mata pria itu berkilat tajam, rahangnya mengeras, dan aura mengintimidasi yang biasa ia sembunyikan kini muncul dengan penuh. Tatapannya jatuh pada tangan Deon yang masih mencengkram pergelangan Rena.

"Lepaskan."

Suaranya datar, tapi dingin dan tajam seperti pisau yang siap mengiris siapa pun yang menentangnya.

Deon menoleh dan langsung merinding melihat ekspresi Kahfi. Ada sesuatu yang berbahaya dalam tatapan Kahfi karena bukan sekadar kecemburuan, melainkan ancaman nyata.

"Bukan urusanmu!" Deon balas menantang. "Aku hanya ingin bicara dengan Rena!"

Kahfi melangkah mendekat, posturnya tegap, tubuhnya lebih besar dari Deon. Udara di sekitar mereka seakan menegang.

"Saya bilang lepaskan, Sialan!"

Kali ini suaranya lebih rendah, tetapi ada tekanan yang membuat siapapun yang mendengarnya tidak bisa mengabaikan.

Deon menelan ludah, tapi masih mencoba bertahan. "Siapa kamu sampai larang-larang, brengsek?"

Sebelum Deon bisa bereaksi, tangan Kahfi bergerak cepat, mencengkram pergelangan Deon dan memelintirnya sedikit.

"AARRGH!" Deon meringis kesakitan dan terpaksa melepaskan tangan Rena.

Kahfi kemudian berdiri tegak, menatapnya dengan tatapan tajam yang mengandung peringatan. "Dengar baik-baik, Deon," suaranya tetap tenang, tapi nadanya berbahaya. "Istri saya bukan milikmu. Dan saya tidak suka serangga seperti kamu menyentuhnya."

Beberapa rekan kerja Rena yang berada di sekitar mulai berbisik-bisik, melihat pemandangan yang semakin tegang.

Kahfi menghela napas, mencoba menahan amarahnya karena mereka berada di tempat umum. Dengan gerakan lembut, dia menarik Rena ke sisinya, merangkul bahunya dengan penuh protektif.

"Jangan pernah mendekati istri saya lagi," lanjutnya. "Karena kalau sampai itu terjadi, saya tidak akan hanya memperingatkan dengan kata-kata. Saya benar-benar akan menjebloskan kamu ke dalam penjara."

Deon menatapnya dengan frustasi, tetapi dia tahu dia kalah. Tatapan Kahfi terlalu yakin, terlalu kuat.

Tanpa berkata-kata lagi, Kahfi menuntun Rena ke dalam mobil. Namun sebelum masuk, dia menoleh sekali lagi ke arah Deon.

"Jangan coba-coba ganggu istri saya lagi!" Kahfi mengambil undangan dari tas Rena dan melemparnya ke arah Deon.

Kemudian, pintu mobil tertutup, meninggalkan Deon yang masih berdiri di tempat, menggenggam pergelangannya yang terasa nyeri bukan hanya karena cengkeraman Kahfi, tapi juga karena hatinya yang kini hancur berkeping-keping. Tangannya memegang undangan dimana ada nama Rena disana. Apalagi Rena masuk ke dalam mobil yang mewah. Rasa sakit Deon menjadi berkali-kali lipat.

"Tidak mungkin. Mana mungkin dia menikah. Laki-laki mana yang mau dengan perempuan yang punya keluarga problematik seperti Rena," ujarnya bermonolog sendiri.

"Heh, sadar diri, dasar cowok gila!" suara tajam seorang rekan kerja Rena terdengar jelas, membuat beberapa orang lainnya ikut menoleh. "Dia yang selingkuh, dia pula yang berasa jadi korban. Dasar cowok mokodo!" Bahkan Anjel ada disana. Tadinya mereka ingin menyelamatkan Rena, tapi suami Rena lebih dulu datang.

Beberapa karyawan lainnya mulai terkikik mendengar ejekan itu. Sementara Deon semakin gelisah.

"Benar!" sahut seorang perempuan lain dengan suara yang cukup lantang. "Malu-maluin banget. Udah selingkuh, terus masih berani balik buat merengek-rengek? Apa nggak ada harga dirinya, ya?"

Anjel, yang sedari tadi berdiri dengan tangan terlipat di dada, kini melangkah maju, menatap Deon dengan tatapan mengejek. "Makanya, kalau muka pas-pasan, jangan sok-sokan selingkuh! Masih untung ada yang mau sama dia, eh malah dikhianati. Sekarang baru sadar kalau nggak ada yang mau lagi, kan?"

Deon mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan malu. Dia bisa merasakan tatapan remeh dari orang-orang di sekelilingnya.

"Eh, mungkin dia kira masih jadi pilihan pertama," celetuk seseorang lagi, disusul tawa kecil yang lain. "Padahal mah, cuma cadangan yang nggak kepake."

"Udah, nggak usah buang waktu buat yang begini," kata Anjel lagi dengan nada mencemooh. "Rena udah bahagia sama suaminya yang jelas jauh lebih berkualitas. Yang ada, lo cuma kayak sampah yang tiba-tiba nyangkut lagi di kehidupan dia."

Orang-orang kembali tertawa, dan Deon merasa telinganya panas. Dadanya sesak oleh rasa malu yang luar biasa. Dengan kesal, dia menggeram pelan lalu melangkah pergi dengan langkah tergesa-gesa.

Sementara itu, Anjel dan rekan-rekan kerja Rena masih tertawa puas, merasa kemenangan ada di pihak mereka.

"Baguslah, akhirnya pergi juga si badut itu!" ujar salah seorang karyawan.

"Serius deh," ungkap Anjel, "aku masih nggak nyangka dia berani datang ke sini dan bikin drama. Syukur banget suami Rena cepat datang, kalau nggak, aku udah niat buat lemparin sepatu ke mukanya."

"Besok kita siram aja pakai air comberan. Kalau perlu diviralin biar malu tu cowok gila."

Rekan-rekan kerja Rena setuju.

***

Bab 33 Marah 

Nafas Kahfi naik turun. Darahnya memang sangat mendidih ketika melihat bagaimana laki-laki sampah itu menggenggam pergelangan istrinya dengan kasar. Kahfi bahkan sangat ingin menghajarnya sampai tidak bisa hanya untuk melihat matahari terbit. Tapi Kahfi tidak bisa melakukan itu. Apalagi sang istri berusaha membuat dirinya untuk tidak bertindak gegabah.

Kahfi berada didalam mobil bersama istrinya. Dia memeriksa tubuh Rena. Kali saja ada yang terluka. Jika benar, dia akan melaporkan laki-laki sampah itu ke pihak berwenang. Tampaknya Deon menganggap ancaman Kahfi main-main.

"A-apa Mas marah?" tanya Rena sedikit khawatir. Kedua tangan Rena bahkan saling bertautan.

Kahfi tidak langsung menjawab. Dia bahkan sengaja tidak memperlihatkan wajah kacaunya kepada sang istri. Kahfi menenangkan diri terlebih dahulu sampai benar-benar tidak menunjukkan wajah yang menakutkan.

"Maaf, Mas. Aku benar-benar nggak ada hubungan apapun lagi dengan Deon," jelas Rena. Dia semakin khawatir jika suaminya malah kecewa terhadap dirinya. Bertemu mantan bukanlah hal yang baik karena bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Kahfi menatap sang istri. Lantas dia tersenyum seakan-akan tidak ada hal buruk yang terjadi. "Aku nggak marah," ucapnya.

Rena menunduk. Dia tidak percaya, apalagi tadi suaminya seperti menghindari kontak mata dengan dirinya setelah masuk ke dalam mobil. "Maaf, Mas." Hanya itu yang bisa Rena katakan. Tangannya sampai gemetaran karena takut Kahfi kecewa dan menyesal menikah dengannya. Padahal selama menikah, Rena merasa sangat nyaman sekali hidup bersama Kahfi.

"Hey, Sayang... Coba tatap aku." Kahfi menyentuh tangan istrinya dengan lembut.

"Sayang..." panggil Kahfi dengan lembut.

Meskipun sedikit ragu. Rena mengangkat wajahnya. Dia bisa melihat wajah sang suami yang tersenyum kepadanya. "Aku nggak marah," ujar Kahfi lagi.

"Emang aku marah kenapa, Sayang?"

Panggilan sayang membuat Rena meleleh. Apalagi tatapan mata suaminya, sungguh godaan yang luar biasa.

"Takutnya Mas marah karena aku ketemu sama De-"

Cup

Kahfi buru-buru mengecup bibir sang istri karena tidak ingin nama Deon keluar dari mulut sang istri. Tentu saja Rena terkejut. Tubuhnya bahkan membeku beberapa detik.

"Jangan sebut namanya, aku nggak suka," ungkap Kahfi.

Tanpa diduga, senyum Rena terbit dengan sendirinya. Suaminya memang luar biasa sekali. "Iya, Mas. Aku nggak ada sebut." Pipi Rena memerah. Dia ingin menghindari tatapan sang suami, tapi tampaknya tidak bisa. Mata Kahfi memiliki daya tarik sendiri. Semakin dilihat, akan semakin tenggelam di dalamnya.

"Pintarnya..." puji Kahfi sambil mengusap pucuk kepala Rena. "Istri siapa sih?" lanjutnya lagi.

"Istri siapa ya?" Rena pura-pura berpikir.

Kahfi mengerucutkan bibirnya seolah berpikir keras. "Hmm, istri siapa, ya?" gumamnya sambil menatap Rena dengan ekspresi jahil.

Rena terkikik pelan, tetapi pipinya semakin merona. "Kayaknya istri Mas Kahfi, deh," ujarnya akhirnya.

Kahfi langsung menyeringai puas. "Pinter banget, istri Mas," katanya sambil menarik Rena ke dalam dekapannya. Dia mengecup pucuk kepala istrinya dengan penuh kasih sayang, lalu menatapnya lagi.

Tatapan mereka bertemu. Mata Kahfi terlihat dalam, penuh ketulusan dan sesuatu yang membuat hati Rena berdebar lebih cepat.

Selanjutnya, Kahfi memeriksa pergelangan tangan Rena. Tampak sedikit memerah. Kahfi tidak melewatkan momen itu. Dia mengambil gambar pergelangan tangan Rena sebagai barang bukti.

"Sakit?" tanya Kahfi dengan nada lembut, tetapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.

Rena menggeleng cepat. "Enggak kok, Mas. Aku baik-baik aja."

Kahfi tidak langsung percaya. Dia menatap pergelangan tangan istrinya yang memerah, lalu mengusapnya dengan ibu jarinya. "Merah banget, Sayang. Gimana kalau kita ke rumah sakit?"

Rena terkekeh pelan, berusaha menenangkan suaminya. "Nggak usah, Mas. Nanti kalau Papa tau, bisa heboh."

Kahfi mengangkat alis. Iya juga, sih. Papanya memang bukan tipe orang yang bisa diam kalau sudah menyangkut kesehatan Rena. Waktu istrinya cuma mengeluh pusing ringan saja, Papa mertuanya langsung heboh, bahkan sempat ingin membawanya ke dokter spesialis.

"Iya juga, ya," gumam Kahfi, akhirnya menyerah.

Dia menggenggam tangan Rena lebih erat dan mengecup pergelangannya berkali-kali, seolah ingin menghapus rasa sakit yang mungkin masih tertinggal di sana. "Ya udah, kita pulang aja."

Rena tersenyum, hatinya menghangat melihat perhatian suaminya. "Iya, ayo kita pulang."

Sesampainya di apartemen, Rena langsung membersihkan diri sedangkan Kahfi malah melihat bahan-bahan makanan di dalam kulkas. Rencananya ia ingin membuat makan malam. Tapi Kahfi bingung. Meskipun kalau dirumah Kahfi jarang masak, tapi saat dia tinggal sendiri di luar negeri, dia sangat rajin masak. Lidahnya masih menyukai makanan lokal.

Sepertinya Kahfi akan memasak semur ayam dicampur tahu saja. Bahan-bahan semuanya ada jadi dia tinggal eksekusi saja.

Rena sudah selesai membersihkan diri. Dia tidak melihat keberadaan sang suami. "Mas..." panggil Rena.

"Iya, Sayang. Mas didapur," jawabnya dengan sedikit berteriak.

Rena langsung ke dapur. "Eh eh, Mas mau buat apa?" Dia panik sendiri.

"Mau buat semur ayam, kenapa?" Kahfi merespon dengan wajah polos.

"Ya ampun, Mas. Kenapa mau masak segala."

"Emang kenapa, Sayang?" Kahfi mengerutkan kening.

"Mas kan capek pulang kerja, jadi ngapain masak?" Rena merasa menjadi istri yang jahat saja.

"Ya pengen aja, Sayang."

"Nggak usah masak. Biar aku aja yang masak," ujar Rena ingin mengambil alih pekerjaan sang suami. Tapi Kahfi menghentikan itu semua.

"Jangan, Sayang. Aku yang mau masak."

"Tapi Mas-"

"Udah udah, kamu duduk, Sayang," potong Kahfi langsung. Dia membawa tubuh sang istri untuk duduk di sofa ruang keluarga.

Kahfi kembali melanjutkan kegiatan memasaknya. Rena tidak tenang, jadi dia memilih untuk menyapu apartemen. Memang tidak ada yang kotor, tapi Rena tetap menyapunya.

***

"Eh, Mas?" Rena sedikit terkejut.

Senyum Kahfi langsung terbit. Tanpa banyak kata, ia masuk ke dalam kamar, menutup pintu.

"Rindu," lirihnya sebelum langsung menarik tubuh Rena ke dalam pelukan. Kahfi baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan diruang kerjanya.

Rena tertawa kecil. "Rindu gimana? Aku nggak kemana-mana lo..."

"Tetap rindu," balas Kahfi, suaranya dalam dan lembut.

Hati Rena menghangat. Tatapan suaminya begitu teduh dan penuh kasih. "Duduk dulu, kelihatannya Mas lelah."

"Nggak mau," rengek Kahfi, semakin mengeratkan pelukan. "Mas masih mau peluk."

Rena menghela napas kecil sambil tersenyum. "Iya, iya. Tapi kalau berdiri terus, nanti kaki Mas pegal."

Kahfi akhirnya melonggarkan pelukannya, tetapi bukan untuk melepaskan Rena. Ia menatap wajah istrinya dengan serius, memastikan tidak ada bekas lelah atau lecet di wajah cantiknya. Setelah puas memastikan semuanya baik-baik saja, ia malah tersenyum lembut.

"Jangan lihat aku terus gitu..." cicit Rena, wajahnya mulai memanas.

"Kenapa? Kamu tambah cantik, Sayang."

Pipi Rena semakin merona. Jarak mereka begitu dekat, dan pujian suaminya membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

"Kenapa malah nunduk?" tanya Kahfi, masih dengan suara lembut yang mampu membuat tubuh Rena merinding.

"Malu..." Rena menjawab lirih, tangannya mencengkeram ujung bajunya sendiri.

Kahfi tersenyum geli sebelum menangkup dagu Rena dan mengangkatnya perlahan. "Aku mau lihat wajah kamu, jangan nunduk."

Tatapan mereka bertemu. Napas saling bersahutan. Kahfi menurunkan wajahnya, semakin dekat dan semakin dekat... hingga bibir mereka akhirnya bertaut.

Rena sedikit terkejut, tapi naluri membawanya untuk membalas ciuman sang suami. Sentuhan itu hangat dan dalam, seolah Kahfi ingin menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah membiarkan Rena pergi.

Bibir Kahfi semakin menekan lembut, membuat Rena kehilangan tenaga. Tangan kekarnya menahan tubuh sang istri, tidak membiarkannya jatuh ke dalam kehampaan. Dia ingin menikmati setiap detik, menyesap rasa yang selalu membuatnya candu.

Saat akhirnya mereka melepaskan tautan itu, napas keduanya memburu, wajah mereka memerah, dan rambut Rena sedikit berantakan karena ulah sang suami.

Kahfi menatap istrinya dengan penuh pesona, lalu berbisik lembut di telinganya, "Kamu cantik sekali, istriku."

Rena semakin malu. Ia memukul pelan dada bidang Kahfi yang kini naik turun akibat napas yang masih belum stabil. Kahfi tidak henti-hentinya mengagumi kecantikan sang istri. Dia kembali mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri. Bibir yang ranum itu seakan memanggil dirinya. Kahfi tidak bisa menahannya dan Rena pun mengerti kemana arah kegiatan mereka selanjutnya.

"Matiin lampu dulu," ujar Rena. Dia mengalungkan tangannya di leher sang suami. Berusaha mengatur nafas yang semakin memburu.

"Kali ini nggak usah matiin lampu ya?" Wajah Kahfi seakan menunjukkan ekspresi memohon.

Rena menunduk. "Matiin," lirihnya.

"Kenapa harus matiin lampu, Sayang? Aku pengen lihat wajah kamu."

Rena jadi gugup. Dia merasa malu terhadap tubuhnya sendiri yang terdapat bekas luka. Pasti setelah melihat bekas luka di tubuhnya, Kahfi menjadi jijik. Rena tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Sayang..." panggil Kahfi.

"Boleh ya?" pintanya.

Rena tidak bisa menjawab.

"Aku mau lihat kamu," ucapnya lagi.

"Sayang..." Kahfi semakin mendesak.

"Aku malu," cicit Rena. Suaranya sangat pelan sekali.

"Malu kenapa hm?" Kahfi tidak mengalihkan pandangannya dari sang istri.

Rena meneguk air ludahnya dengan susah payah. Sampai kapan dia akan bersembunyi? Dia tidak akan bisa selamanya menyembunyikan bekas lukanya. Dengan memberanikan diri, meski terluka nantinya, Rena akan jujur. "Tu-tubuhku banyak bekas lukanya," jawab Rena dengan penuh kegugupan dan ketakutan.

Kahfi tidak memberi respon. Perasaan Rena semakin kacau. Dia masih menunduk, tidak berani menatap sang suami. Tapi karena tidak ada respon dari sang suami, pada akhirnya Rena mengangkat wajah. Dia tidak menemukan raut kekecewaan atau jijik dari Kahfi.

"Apa Mas nggak jijik?" tanyanya.

Kahfi tersenyum. Bukannya menjawab, dia membawa sang istri menuju ke atas ranjang. Tangannya dengan lihai untuk melepaskan penghalang dari kulit sang istri. Rena hampir berteriak, dia buru-buru menutupi tubuhnya.

Mata Rena berkaca-kaca. Dia siap menangis karena malu. Tapi bukannya merasa jijik, Kahfi menunjukkan betapa dia mendambakan setiap inci tubuh sang istri. Bahkan bibir Kahfi menyentuh setiap bekas luka Rena dan menandai kepemilikan disana.

Wajah Rena memerah. Dia merasakan kenikmatan namun air matanya tetap mengalir. Dia menahan diri agar tidak bersuara. Meski tanpa kata-kata, tapi segala perlakuan Kahfi menjelaskan semuanya. Kahfi tidak merasa jijik dengan tubuh Rena.

"Kamu sempurna, Sayang. Aku mencintai kamu," bisik Kahfi ditengah-tengah aktivitas menjelajahi kenikmatan. Air mata Rena mengalir dengan deras. Dia benar-benar bersyukur bertemu dengan Kahfi.

***

Bab 34 Panggilan Polisi

Deon tidak pernah menyangka bahwa ancaman dari pria yang mengaku sebagai suami Rena akan menjadi kenyataan. Awalnya, ia mengira laki-laki itu hanya menggertak dan tidak mungkin buang-buang waktu untuk urusan sepele seperti ini. Tapi siapa sangka, surat pemanggilan dari kepolisian justru datang menghampirinya. Dan lebih parahnya lagi, surat itu dikirim langsung ke tempat kerjanya.

Rasanya seperti ditampar di depan umum. Deon merasakan tatapan penuh tanya dari rekan-rekan kerjanya saat ia melangkah keluar dari ruang HRD. Ia tahu, bisik-bisik pasti sudah mulai menyebar.

"Deon dipanggil polisi?"
"Serius? Dia bikin masalah apa?"
"Katanya soal perempuan..."

Mulut Deon terasa kering. Ia menelan ludah dan mengeratkan genggaman tangannya. Ini benar-benar keterlaluan! Hanya karena menggenggam pergelangan tangan Rena sebentar, polisi sampai repot-repot mengurusnya? Sejak kapan hal sepele seperti ini dianggap sebagai penguntitan dan kekerasan?

Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Sepanjang hari, ia harus sibuk memberi klarifikasi ke rekan-rekan kerja, meyakinkan mereka bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman.

"Itu cuma salah paham, guys. Mantan calon istri aku itu belum bisa move on. Makanya dia sengaja bikin drama," ujar Deon, berusaha terdengar santai meskipun hatinya bergejolak.

Beberapa orang tampak ragu, tapi sebagian justru menatapnya dengan ekspresi skeptis.

"Hah? Aneh banget zaman sekarang," seseorang berseloroh.

Deon nyaris mengumpat. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan menjadi bahan gosip. Ini semua gara-gara suami Rena! Jika pria itu tidak berlebihan, hidupnya tidak akan menjadi berantakan seperti sekarang.

Ia mengepalkan tangan. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Surat pemanggilan itu membuat Deon harus datang ke kantor polisi. Dia dimintai keterangan oleh polisi dengan bukti-bukti yang ada. Ada foto memar di pergelangan tangan Rena, kemudian bukti CCTV karena saat itu Deon dan Rena berada di depan perusahaan. Bahkan ada saksi mata yang melihat.

Deon merasakan tubuhnya semakin panas. Bukan hanya karena ruangan ini terasa pengap, tapi juga karena dirinya sedang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Polisi di depannya masih menatapnya dengan ekspresi tenang, sementara dia sendiri sedang diliputi kecemasan.

"Jadi begini, Saudara Deon," ujar penyidik sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kami bisa meneruskan kasus ini ke penyidik lebih lanjut. Dengan bukti yang ada, kemungkinan besar kasus ini bisa naik ke tahap berikutnya. Namun, ada opsi lain yang bisa Anda pertimbangkan."

Deon mengerutkan kening. "Opsi lain?"

"Mediasi," jawab penyidik. "Artinya, Anda bisa bertemu dengan korban dan mencoba menyelesaikan masalah ini di luar jalur hukum. Jika korban bersedia memaafkan dan mencabut laporannya, kasus ini bisa dihentikan. Tapi tentu saja, semua tergantung pada pihak korban."

Deon mendengus pelan. Lagi-lagi semua ini kembali ke tangan Rena dan suaminya. Kenapa Kahfi begitu menyebalkan? Dia sudah merebut Rena darinya, dan sekarang masih ingin mempermalukannya dengan kasus ini?

"Kalau saya tidak mau mediasi?" tanyanya, meskipun dia tahu jawabannya mungkin tidak akan menyenangkan.

Penyidik itu mengangkat bahu. "Kalau begitu, kami akan meneruskan proses hukum. Anda akan menghadapi penyelidikan lebih lanjut, dan kemungkinan bisa berakhir di pengadilan."

Deon terdiam. Bayangan dirinya dipanggil ke pengadilan, diberitakan di media, bahkan mungkin kehilangan pekerjaannya, membuatnya merasa mual.

Mediasi terdengar seperti pilihan yang lebih baik, tetapi... meminta maaf? Kepada Rena? Dan terlebih lagi, di hadapan Kahfi? Itu berarti dia harus menundukkan kepala dan mengakui kesalahannya. Harga dirinya akan hancur.

"Saya... butuh waktu untuk berpikir," gumamnya akhirnya.

Penyidik mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Kami hanya memberikan kesempatan ini sekali. Jika korban tidak bersedia, kasus akan tetap berjalan."

Deon mengusap wajahnya dengan kasar. Ini tidak adil! Seharusnya dia yang menjadi korban. Kenapa malah dia yang harus meminta maaf?

Dia menggeram pelan. Deon tidak ingin kasusnya sampai ke pengadilan. Sepertinya, satu-satunya cara untuk keluar dari masalah ini adalah dengan menghadap Rena dan suaminya. Meski itu berarti dia harus menelan egonya mentah-mentah.

***

Beberapa hari ini Deon berusaha untuk menemui Rena, tapi ternyata tidak mudah. Deon tidak bisa bertemu dengan Rena. Apa yang Deon lakukan sekarang. Dia benar-benar pusing. Jika laporan tidak dicabut, maka kemungkinan besar dia bisa masuk ke dalam penjara. Selain itu, dia juga harus kehilangan pekerjaannya. Membayangkan saja sudah sangat menakutkan sekali.

Mau tidak mau, Deon akan menemui laki-laki yang mengaku sebagai suami Rena. Berbekal nama lengkap yang sempat ia lihat di depan undangan pernikahan Rena dan laki-laki itu. Deon mencari sosial medianya. Tapi sayangnya tidak ada sama sekali.

Deon mencoba untuk berpikir keras. Dia iseng mengetik nama lengkap suami Rena di google. Tapi dia menemukan hasil yang mengejutkan sekali.

Deon merasa kepalanya hampir meledak. Dia tidak pernah menyangka bahwa pria yang menikahi Rena bukanlah orang biasa. Seorang direktur eksekutif Canopus Group? Gila! Perusahaan itu bukan sembarang perusahaan, melainkan salah satu konglomerasi terbesar di negeri ini.

Jadi itu alasan kenapa polisi begitu cepat memproses laporan Rena. Itu juga alasan kenapa tidak ada satupun orang yang berani membantunya atau membelanya. Lawannya adalah seseorang yang punya pengaruh besar.

"Sial!" Deon mengumpat pelan sambil mencengkram rambutnya. Dia terlalu meremehkan Kahfi. Selama ini dia mengira pria itu hanya seorang suami biasa, tapi ternyata jauh dari dugaan.

Tapi kenapa Rena bisa mendapatkan laki-laki seperti itu?

Deon mencengkeram ponselnya erat-erat, tatapannya masih terpaku pada layar yang menampilkan profil Kahfi di berbagai berita bisnis. Semakin lama ia membaca, semakin panas darahnya.

Direktur eksekutif Conupus Group.
Lulusan universitas luar negeri.
Punya koneksi dengan para konglomerat.

Deon merasa ingin meninju sesuatu. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Kahfi, pria yang dulu dia kira pengangguran tidak berguna, ternyata adalah seseorang dengan latar belakang sehebat ini?

Dadanya terasa sesak. Semua orang mungkin berpikir Rena beruntung karena bisa menikahi pria seperti Kahfi. Tapi bagi Deon, ini seperti penghinaan. Setelah apa yang terjadi, setelah Rena membatalkan pernikahan mereka karena satu kesalahan, kini dia malah mendapatkan seseorang yang seribu kali lebih baik darinya?

Tidak adil!

Pikiran Deon bertambah buntu. Dia tidak punya pilihan lain selain menemui Kahfi secara langsung. Meskipun Deon tidak tahu hasilnya nanti bagaimana, dia akan datang ke tempat kerja Kahfi.

Dengan langkah berat, Deon akhirnya berdiri di depan gedung megah Conupus Group. Gedung itu menjulang tinggi, mencerminkan kekayaan dan kekuasaan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan berkaitan dengan pria yang telah merebut Rena darinya.

Ia menelan ludah, merapikan kemejanya yang kusut, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam lobi. Begitu melewati pintu kaca otomatis, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berbeda jauh dengan kepalanya yang terasa panas oleh emosi.

Matanya menyapu sekeliling. Lobi ini luas, elegan, dengan lantai marmer yang mengkilap dan lampu gantung besar di langit-langit. Beberapa orang berlalu-lalang dengan jas mahal, membawa berkas-berkas atau berbicara lewat telepon dengan nada serius.

Namun, Deon tidak datang untuk mengagumi tempat ini. Tujuannya jelas. Dengan langkah tegap, ia menuju meja resepsionis.

Seorang wanita berseragam rapi menyambutnya dengan senyum profesional. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

Deon menarik napas. "Saya ingin bertemu dengan Pak Kahfi," katanya, suaranya terdengar lebih serak dari yang ia harapkan.

Resepsionis itu mengerjap sesaat sebelum bertanya, "Boleh saya tahu siapa nama Anda dan ada keperluan apa?"

"Nama saya Deon," jawabnya singkat. "Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan beliau."

Wanita itu mengangguk sopan, kemudian bertanya, "Apakah Bapak sudah membuat janji sebelumnya?"

Deon menggeleng, tubuhnya semakin terasa lesu. "Tidak, tapi saya benar-benar harus bertemu dengannya."

Resepsionis itu tersenyum tipis. "Mohon tunggu sebentar, saya akan menghubungi lantai atas terlebih dahulu."

Deon mengangguk tanpa suara. Ia berdiri di sana, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Perasaan gelisah mulai merayapi pikirannya. Bagaimana jika Kahfi menolak menemuinya? Atau lebih buruk, bagaimana jika dia menganggap ini semua sebagai lelucon?

Tak lama kemudian, resepsionis kembali menatapnya dengan ekspresi maaf. "Mohon maaf, Pak Deon. Pak Kahfi sedang sibuk dan tidak bisa dijumpai saat ini."

Deon mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Ia sudah menduganya.

"Tidak bisakah saya menunggunya?" tanyanya, mencoba menekan rasa frustrasi yang mulai mendidih dalam dirinya.

Resepsionis itu tetap tersenyum ramah, tapi sorot matanya tegas. "Saya sudah menyampaikan permintaan Anda, Pak Deon. Sayangnya, Pak Kahfi memang tidak dapat menerima tamu tanpa janji temu."

Deon menggertakkan gigi.

Tidak ada cara untuk bertemu dengan Kahfi. Tidak ada kesempatan untuk berbicara dengannya secara langsung.

Ini semua terasa seperti konspirasi untuk menjatuhkannya lebih dalam lagi.

Dadanya semakin sesak. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jika ia tidak bisa meminta Kahfi untuk mencabut laporan itu, maka kemungkinan besar ia akan benar-benar kehilangan segalanya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Deon merasa benar-benar kalah.

Di sisi lain, Kahfi duduk dengan tenang, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh arti. Seolah sudah menduga bahwa Deon akan datang mencarinya. Ini bukan kejutan baginya—justru, ia telah menanti momen ini.

Kahfi sudah menyusun rencana matang. Secara hukum, jika kasus ini berlanjut ke pengadilan, Deon mungkin hanya dikenai denda karena tingkat kekerasannya tergolong ringan. Apalagi, ini adalah pelanggaran pertama yang terbukti secara hukum. Tapi bagi Kahfi, membiarkan Deon lolos begitu saja bukanlah pilihan. Ia tidak ingin sekadar menghukumnya, ia ingin memastikan pria itu tidak lagi berani mendekati Rena dan untuk itu, ada cara yang jauh lebih efektif daripada sekadar hukuman denda.

Dari laporan orang-orang yang ia tugaskan untuk mengawasi, Kahfi tahu Deon masih berada di sekitar perusahaan. Pria itu tampaknya menunggu dengan harapan bisa bertemu dengannya.

Namun, Kahfi tidak akan memberinya kesempatan semudah itu. Ia membiarkan Deon merasakan ketidakpastian, frustasi, dan ketakutan. Hari ini, Kahfi sengaja akan pulang larut. Lagipula, istrinya tidak berada di apartemen malam ini karena Rena sedang menghabiskan waktu di rumah orang tuanya, mempersiapkan pesta pernikahan mereka yang hanya tinggal dua hari lagi.

Dan sementara Deon terjebak dalam penantian yang sia-sia, Kahfi akan menikmati bagaimana rencananya berjalan sesuai kehendaknya.

Pukul sembilan malam, Kahfi keluar dari perusahaan. Mobilnya sudah berada didepan perusahaan. Dia sengaja melakukannya agar Deon melihat dirinya masuk ke dalam mobil. Benar saja, Deon langsung ingin mengejar Kahfi. Tapi sayangnya, petugas keamanan perusahaan tidak memperbolehkan Deon untuk masuk.

Kahfi hanya menatap saja. Seakan Kahfi benar-benar menunjukkan sesuatu yang akan membuat Deon bertambah frustasi.

Kahfi masuk ke dalam mobil. Saat mobilnya keluar, Deon berusaha untuk menghentikan dan meminta agar Kahfi menghentikan mobil karena dia ingin bicara. Sayangnya Kahfi tidak berhenti dan langsung meninggalkan perusahaan.

***

Hari ini Deon kembali ke perusahaan Kahfi. Dia menunggu sampai Kahfi mau bertemu dengannya. Hari ini pun Kahfi ingin menyelesaikan segalanya karena dia tidak mau Deon malah mengganggu pesta pernikahan mereka nantinya.

Saat Kahfi berjalan ke lobby, Deon langsung menghampirinya dengan raut wajah penuh kefrustasian.

Deon tidak lagi peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

"Kahfi!" Deon berseru, suaranya parau dan penuh tekanan. Wajahnya menunjukkan frustasi yang hampir meledak.

Namun, sebelum ia bisa semakin dekat, dua pria berbadan tegap yang mengenakan setelan hitam dengan sigap bergerak, menghadangnya. Satu orang mencengkram lengannya dengan kuat, sementara yang lain menahan tubuhnya agar tidak bisa mendekati Kahfi.

"Lepaskan aku! Aku cuma mau bicara!" Deon berusaha meronta, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat.

Beberapa karyawan yang masih berada di lobby menoleh, menatapnya dengan ekspresi ketakutan dan kebingungan.

"Siapa itu?" bisik seseorang.

"Baiklah, kita bicara di ruangan saya," ujar Kahfi pada akhirnya. Deon sudah membuat keributan di lobby.

Deon memperbaiki pakaiannya yang sempat kusut karena orang-orang menahan tubuhnya. Dia mengikuti langkah Kahfi. Saat itu Deon benar-benar merasakan perbedaan diantara mereka. Sampai kapanpun, dia tidak akan bisa melawan orang yang punya power seperti Kahfi.

Sesampainya di dalam ruangan. Kahfi langsung bertanya apa yang diinginkan Deon tanpa basa basi.

"To-tolong cabut laporannya," ujarnya dengan gugup.

Kahfi tersenyum. "Apa kamu sudah merasa takut?" tanyanya.

Deon hanya bisa terdiam.

Kahfi bersandar di kursinya, menautkan jemarinya di atas meja dengan ekspresi penuh kemenangan. Matanya menatap Deon seperti seorang hakim yang tengah mempertimbangkan hukuman bagi terdakwa.

"Jadi, sekarang kau memohon?" Kahfi mengangkat alisnya. "Padahal sebelumnya kau begitu sombong, merasa tidak bersalah, bahkan menyalahkan Rena atas semua ini."

Deon mengepalkan tangan di atas pahanya. "Aku... aku hanya tidak ingin hidupku hancur karena masalah ini."

Kahfi terkekeh kecil. "Tidak ingin hidupmu hancur? Lucu sekali.

Deon menundukkan kepala, rahangnya mengeras.

Kahfi mengamati pria itu selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, aku bisa mempertimbangkan untuk mencabut laporan."

Deon mendongak dengan mata berbinar penuh harapan. "Se-sungguh?"

Kahfi mengangguk, lalu menyeringai. "Tapi ada syaratnya."

Deon menelan ludah. "Apa syaratnya?"

Kahfi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Deon dengan sorot mata tajam yang membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat. Suaranya merendah, tapi ada ketegasan yang tak bisa dibantah.

"Kau tidak boleh muncul di hadapan Rena lagi."

Deon menelan ludah, tapi segera mengangguk. "Baik. Aku akan melakukannya." Baginya, syarat itu sangat mudah. Toh, setelah mengetahui siapa Kahfi sebenarnya, ia memang tak berniat mencari masalah lagi.

Kahfi tertawa kecil, nada suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati kemenangan. "Apa kau kira hanya itu saja?"

Deon kembali tegang. Matanya menatap Kahfi dengan waspada.

"Selain itu, kau harus membuat pernyataan permintaan maaf. Akui bahwa kau berselingkuh dan telah mendatangi Rena hingga membuatnya ketakutan."

Deon menghembuskan napas lega. Syarat itu masih masuk akal. "Baik, aku akan melakukannya."

Namun, senyuman Kahfi semakin melebar. "Pernyataan itu harus kau unggah di media sosial."

Pupil mata Deon langsung membesar. "Jangan gila!" serunya, suaranya bergetar antara marah dan panik.

Kahfi menatapnya tanpa ekspresi. "Apa kau punya hak untuk menolak? Sadarlah, kau adalah orang yang sedang memohon sekarang."

Deon terdiam. Rahangnya mengeras, tapi ia tak bisa berkata apa-apa.

"Dan satu lagi," Kahfi bersedekap, nada suaranya penuh tekanan. "Kembalikan uang istri saya."

Darah Deon seakan membeku. Ia merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan seketika. "Uang itu... sudah tidak ada lagi."

Kahfi hanya mengangkat bahu dengan santai, seolah itu bukan urusannya. "Kalau tidak ada, maka cari."

Deon merasakan guncangan hebat dalam dirinya. Ia bisa menerima untuk tidak menemui Rena lagi, bahkan membuat pernyataan permintaan maaf. Tapi mengembalikan uang? Dari mana ia mendapatkan uang sebesar itu sekarang?

Kahfi berdiri, menyisakan jarak di antara mereka. "Silahkan tentukan pilihanmu, Deon. Aku tidak punya waktu untuk berdebat."

Deon mengepalkan tangannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia benar-benar terpojok. Jika ia menolak, kasus ini akan naik ke pengadilan. Dan saat itu terjadi, ia bukan hanya akan kehilangan pekerjaan, tapi juga harga dirinya di mata semua orang.

Ia menarik napas panjang, menelan kepahitannya bulat-bulat, sebelum akhirnya berkata dengan suara serak, "Baik. A-aku terima. Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan."

***

Bab 35 Pelajaran Untuk Deon

Deon memang melakukan apa yang diminta oleh Kahfi. Hal ini membuat rekan kerja Deon ataupun temannya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi tentang batalnya pernikahan Deon. Tentu saja Deon sangat malu. Beberapa orang menghindar karena tidak menyangka Deon akan bertindak dengan begitu murahan seperti itu. Bahkan postingan di sosial medianya menjadi viral sekali. Hal ini membuat Deon bertambah malu. Dia tidak berani main sosial media lagi. Bahkan dia hanya berani ke tempat kerja saja meskipun harus menebalkan muka dengan tatapan dan cibiran orang lain. Selama ini rekan kerja Deon hanya tahu bahwa pernikahan Deon batal karena kesalahan Rena, tapi ternyata malah sebaliknya.

Selain itu, Deon sudah mengirim uang sebanyak 50 juta ke rekening Rena. Deon juga meminta maaf kepada Rena. Semua sudah dia lakukan sehingga Kahfi mencabut laporannya.

Masalah dengan Deon selesai, Rena juga tidak terlalu peduli. Kahfi juga mulai tenang kembali karena Deon tidak akan mendatangi istrinya lagi. Kalau masih berani, maka Deon benar-benar akan mendekam di dalam penjara.

Malam ini Rena disuruh untuk beristirahat karena besok dia akan sangat lelah untuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan. Jumlah undangan yang disebar adalah 1000. Itupun sudah banyak yang dikurangi dan hanya mengundang yang dekat-dekat saja.

"Apa kamu gugup, Sayang?" tanya Kahfi yang baru saja masuk ke dalam kamar hotel. Mereka memang menginap di hotel agar tidak repot untuk bolak balik nantinya.

"I-iya, Mas." Rena mengakui hal itu.

Kahfi tersenyum dan langsung menghampiri sang istri. "Gugupnya kenapa hm?" Dia berjongkok di hadapan sang istri sehingga begitu jelas menatap wajah Rena.

"Nanti kalau aku bikin malu gimana, Mas?"

Kahfi menghela nafas panjang. Tangannya langsung mencubit hidung istrinya dengan gemas. "Jangan mikir yang aneh-aneh," ungkapnya.

"Tapi-"

"Hei, Sayang. Coba lihat aku."

Rena masih tidak berani menatap sang suami.

"Sayang..." panggil Kahfi dengan lembut.

"Jangan mikir yang aneh-aneh ya?" pinta Kahfi dengan wajah memohon. "Aku mohon," ujarnya lagi. Bahkan Kahfi mengecup tangan Rena berkali-kali.

Rena akhirnya menatap Kahfi dengan ragu. Sorot matanya masih dipenuhi kegelisahan.

"Aku takut salah, Mas," gumamnya pelan. "Takut semua orang menatapku aneh, takut mereka berpikir aku nggak pantas buat kamu."

Mendengar itu, Kahfi menghela napas kecil. Perlahan, ia meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat. "Sayang, kamu itu sempurna buat aku. Nggak ada yang lebih pantas selain kamu."

"Tapi—"

"Enggak ada tapi." Kahfi tersenyum lembut, lalu mengecup punggung tangan Rena sekali lagi. "Dengar ya, kamu cuma perlu jadi dirimu sendiri. Semua orang akan melihat betapa luar biasanya kamu."

Rena menggigit bibir, masih ada keraguan di wajahnya.

"Aku nggak mau kamu kepikiran yang nggak-nggak, oke?" Kahfi menatapnya penuh keyakinan. "Hari ini adalah hari bahagia kita. Aku mau kamu menikmati setiap detiknya, bukan malah sibuk khawatir ini dan itu."

Rena menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya.

"Percaya sama aku?" tanya Kahfi sambil mengeratkan genggamannya.

Rena akhirnya mengangguk. "Percaya."

"Bagus." Kahfi tersenyum lega. "Sekarang, ayo tarik nafas dalam-dalam."

Rena menurut, mengikuti instruksi suaminya. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, ketegangan di wajahnya perlahan mencair.

"See?" Kahfi mengusap lembut pipinya. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu bakal jadi pengantin tercantik yang pernah ada."

Pipi Rena memerah. "Mas bisa aja..."

Kahfi tertawa kecil. "Karena itu kenyataan." Ia menempelkan keningnya ke kening Rena, memberi kehangatan yang begitu menenangkan. "Jadi, nggak perlu takut lagi, ya?"

Rena mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman kecil di bibirnya. "Iya, Mas. Makasih, ya."

"Iya, Sayang." Kahfi berdiri.

"Sini sayang," ujarnya sambil menarik sang istri agar duduk dipangkuannya. Kini Kahfi melihat wajah Rena dengan jelas. Rambutnya juga terurai sehingga membuat penampilan istrinya terlihat sexy sekali. Rena sangat malu. Apalagi jarak mereka sangat dekat sekali.

Kahfi terkekeh pelan, suaranya serak penuh godaan. "Kamu cantik banget malam ini, Sayang..." katanya sambil mencium aroma tubuh Rena melalui kulit leher, hal ini membuat bulu kuduknya meremang.

"Mas, geli..." Rena meringis kecil, tapi pipinya sudah memanas.

Kahfi hanya tersenyum jahil. Dia langsung saja melahap bibir sang istri yang terlihat sangar ranum dan memabukkan itu. Rena menerima dengan senang hati. Kemampuannya juga semakin meningkat setiap harinya.

"Mas..." suaranya terdengar lemah, tapi ia tidak benar-benar menolak. Wajah Rena sangat merah sekali.

Sentuhan Kahfi begitu lembut, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga. Rena bisa merasakan debaran jantungnya yang semakin tak menentu. Dia tahu dia seharusnya malu, tapi saat Kahfi membelai wajahnya dengan penuh kasih, dia justru kehilangan pertahanan.

Tanpa sadar, Rena yang justru meminta lebih. Tangan kecilnya meraih lengan Kahfi, menariknya lebih dekat. Nafas mereka saling bertaut, hangat, penuh kerinduan yang tak terucapkan.

"Capek?" Kahfi berbisik di antara kecupan, menatap Rena dalam-dalam.

Rena menggeleng pelan, matanya berbinar penuh rasa yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Senyuman Kahfi melembut. Ia mengangkat Rena dalam dekapan hangatnya, lalu membawanya perlahan ke tempat tidur. Gerakan mereka tidak terburu-buru, seolah ingin menikmati setiap detik yang berharga ini.

Namun tiba-tiba, Kahfi berhenti.

Rena mengerjapkan mata, napasnya masih tersengal. "Kenapa berhenti?" tanyanya dengan nada kecewa.

Kahfi menatapnya penuh arti. Ia ingin lebih dari sekadar momen ini. Ia ingin Rena benar-benar merasakan setiap kasih sayang yang ia berikan. "Kamu mau?" tanyanya dengan suara serak.

Alih-alih menjawab, Rena malah meraih kemeja Kahfi dan dengan tangan gemetar penuh hasrat, ia membuka satu per satu kancingnya sehingga membuang jarak yang tersisa di antara mereka.

Mereka sedang memadu kasih dengan gelora yang membara. Peluh keringat saling bercucuran. Tubuh menjadi lengket. Kahfi ingin semakin dalam masuk ke dalam tubuh sang istri. Dia ingin melihat bagaimana perasaan Rena menerima cinta yang dia berikan dengan bertubi-tubi.

Namun, di tengah gelora yang semakin memuncak, suara bel pintu tiba-tiba berbunyi nyaring, menembus keheningan kamar.

Ding dong!

Kahfi dan Rena tidak mendengarnya. Mereka masih bersemangat dalam memadu kasih dan cinta.

Bel kembali berbunyi.

Seakan belum cukup, suara ketukan menyusul setelahnya, disertai suara yang begitu familiar.

"Kahfi? Rena? Kalian di dalam?" Suara lembut Mamanya menggema dari luar pintu.

Mata Rena membulat sempurna. Panik langsung menyerangnya tanpa ampun. Ia menoleh ke arah Kahfi yang masih berada di atasnya dengan ekspresi sama terkejutnya.

"I-itu Mama!" bisik Rena dengan suara tertahan, mendorong dada suaminya dengan kedua tangannya.

Kahfi yang awalnya masih dibalut dengan sisa hasrat, akhirnya tersadar dan buru-buru menjauh, meskipun ada sedikit kekesalan di matanya.

Bel kembali berbunyi. Kali ini lebih lama.

Rena dengan gerakan cepat memakai kemeja sang suami. Dia hanya mengambil yang terlihat saja. Tangannya gemetar saat mencoba mengancingkan kembali satu per satu kancing yang sebelumnya ia buka dengan penuh gairah.

Sementara itu, Kahfi bangkit dari tempat tidur, menarik napas panjang sebelum berjalan ke pintu dengan wajah berusaha tetap tenang.

Saat pintu terbuka, wajah sang Mama muncul. Pintu hanya dibuka sedikit saja. Kahfi juga hanya memakai celana pendek saja. "Kenapa, Ma?" tanyanya langsung.

Mama mengerutkan kening. Apalagi melihat keringat menetes di dahi dan leher anaknya. Apalagi anaknya sedang bertelanjang dada.

"Rena mana?" tanya Mama Ina.

"Didalam, emang kenapa sih?"

"A-ada apa, Ma?" Rena muncul dengan wajah merah. Dia hanya mengintip sedikit saja. Tapi Mama sudah mengerti apa yang baru saja terjadi. Apalagi melihat kemerahan di leher Rena.

"Ini tadi Papa kasih vitamin supaya besok tetap fit," ujar Mama sambil memberikan plastik yang berisi vitamin.

Rena tersenyum. "Terima kasih, Ma."

"Iya, Nak. Malam ini tidur ya, jangan begadang." Mama memberikan penekanan. Kahfi pura-pura tidak dengar saja.

"I-iya, Ma."

"Ya udah, Rena istirahat sana. Mama masih mau ngomong sama Kahfi."

"Baik, Ma."

"Aku juga mau istirahat," ujar Kahfi. Tapi Mama Ina tidak membiarkan Kahfi menutup pintu.

"Kamu ini ya!" omel Mama sambil menjewer telinga Kahfi. "Udah tau besok resepsi, tapi masih sempat-sempatnya begituan," lanjut Mama lagi.

"Apa kamu nggak kasihan sama Rena?"

"Emang aku ngapain, Ma?"

Mata Mama langsung melotot. "Harusnya kalian pisah kamar aja."

"Enggak mau!" Kahfi menolak.

Mama Ina mendecak kesal sambil melipat tangan di dada. "Kahfi, kamu ini anak Mama atau bukan, sih?"

Kahfi meringis, telinganya masih terasa perih akibat jeweran barusan. "Ya jelas anak Mama..."

"Kalau anak Mama, harusnya dengar kata Mama! Besok itu hari penting! Kamu nggak boleh bikin Rena kelelahan!"

Kahfi menghela napas, mencoba memasang wajah polos. "Tapi, Ma... Aku cuma mau nemenin Rena biar dia nggak gugup. Lagipula, aku kan suaminya."

Mama Ina mendengus, lalu memukul pelan bahu Kahfi dengan punggung tangannya. "Alasannya bagus, tapi tetap saja, kalian itu harus jaga kondisi. Besok pagi Rena harus segar, nggak boleh ada lingkaran hitam di matanya!"

Kahfi mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Baik, baik. Aku janji nggak akan ganggu

Mama Ina mendelik, lalu mendekatkan wajahnya dengan tatapan menyelidik. "Jelaslah nggak bakal ganggu lagi. Soalnya kamu udah ganggu!"

Kahfi menyengir. "Mama tau aja."

"Awas kalau minta tambah lagi, Mama sunat dua kali kamu," ancam Mama Ina.

Kahfi terkekeh. "Jangan dong, Ma. Nanti kalau disunat lagi, Mama nggak bisa dapat cucu."

Mama Ina memijat pangkal hidungnya. Pusing sekali menghadapi anak bungsunya itu. "Udahlah, Mama capek ngomong sama kamu. Pokoknya biarkan Rena istirahat malam ini."

"Iya, Ma...."

Setelah itu, Mama langsung melangkah meninggalkan Kamar Kahfi dan Rena. Tapi Mamanya tampak sangat kesal sekali. Haha.

***

Menjadi raja dan ratu sehari bukanlah hal yang mudah. Senyum mereka harus tetap terpasang, bahkan saat wajah mulai terasa kaku dan gigi terasa mengering. Banyak sekali tamu yang datang. Bahkan Rena yakin tamu yang datang adalah orang-orang penting.

Keluarga Kahfi sangat menjaga perasaan Rena. Mereka memastikan bahwa hanya Kahfi dan Rena yang berdiri di pelaminan, tanpa tambahan orang lain yang bisa membuat suasana tidak nyaman. Mereka tidak ingin menantu mereka menjadi bahan omongan. Apalagi, orang-orang selalu punya komentar tentang kehidupan orang lain, sering kali tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.

Namun, di tengah kebahagiaan yang terpancar dari para tamu, Rena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perutnya tiba-tiba terasa sakit. Rasa nyeri itu datang begitu saja, membuatnya sedikit gelisah. Padahal, ia sudah menjaga pola makan meskipun nafsu makannya sejak pagi memang tidak terlalu baik.

Kahfi, yang cukup peka, langsung menyadari perubahan ekspresi istrinya. Ia mencondongkan tubuh sedikit dan bertanya dengan suara rendah, hanya cukup untuk didengar oleh mereka berdua.

"Kamu kenapa?"

Rena menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab jujur, tanpa berniat menyembunyikan apa pun. "Perut aku sedikit sakit, Mas."

Seketika, raut wajah Kahfi berubah. Ia refleks berdiri dengan ekspresi panik. "Kalau begitu, ayo turun dulu."

Rena buru-buru menggeleng. Mana mungkin mereka meninggalkan pesta pernikahan begitu saja, apalagi saat tamu masih berdatangan. Ia tidak ingin menjadi bahan pembicaraan, bukan karena takut akan omongan orang, melainkan karena ia khawatir hal itu akan memberi kesan buruk bagi keluarga Kahfi.

"Masih bisa ditahan," ujarnya, berusaha menenangkan suaminya. Perlahan, tangannya terlepas dari perutnya, berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Kahfi masih tampak ragu, tapi Rena menggenggam tangannya, menepuknya pelan sebelum menariknya agar duduk kembali. Beberapa tamu mulai melirik ke arah mereka, membuat Rena semakin tidak ingin membuat kegaduhan.

"Ayo duduk," pintanya dengan senyum tipis.

Kahfi menghela napas panjang. Matanya menatap istrinya lekat-lekat, seolah menilai apakah Rena benar-benar sanggup bertahan atau hanya berpura-pura. Ia tidak ingin istrinya menahan sakit hanya karena tuntutan formalitas.

"Kalau nanti makin sakit, kamu harus bilang, ya?" suaranya penuh ketegasan dan kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.

Rena mengangguk kecil, merasa hangat dengan perhatian suaminya. "Iya, Mas. Aku janji."

Kahfi masih tampak enggan, tapi ia akhirnya kembali duduk, meskipun tangannya tetap menggenggam tangan Rena erat, seakan tidak ingin melepasnya.

Teman-teman serta rekan kerja Rena juga datang. Mereka tersenyum bahagia melihat Rena berdiri di pelaminan. Setiap momen tidak dilewatkan sama sekali. Mereka mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media.

***

Bab 36 Membuat Keributan

Rilla merebahkan dirinya di atas ranjang dengan nyaman, jari-jarinya lincah menggulir layar ponsel. Ia sedang asyik menelusuri berbagai unggahan di media sosial ketika tiba-tiba matanya membelalak. Sebuah story dari akun teman kakak tirinya, Rena, muncul di layar.

Di dalam video itu, terlihat pesta pernikahan yang begitu megah. Lampu kristal menggantung indah di langit-langit, dekorasi bunga memenuhi seluruh ruangan dengan warna-warna lembut yang elegan. Para tamu mengenakan pakaian mewah, dan di tengah-tengah mereka, berdiri Rena dan Kahfi yang menjadi pasangan pengantin yang tampak begitu serasi. Rena tampak anggun dalam gaun putihnya, sementara Kahfi tampak gagah dengan setelan jasnya.

Rilla terkejut. Ia tak menyangka bahwa pernikahan Rena akan semewah ini. Dengan panik, ia bangkit dari ranjang, hampir menjatuhkan ponselnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari keluar kamar menuju ruang tengah, tempat ibunya sedang duduk.

"Ibu! Ibu, lihat ini!" serunya, nyaris terengah-engah saat sampai di hadapan ibunya.

Sang ibu, yang awalnya sibuk dengan ponselnya sendiri, mendongak dengan kening berkerut. Rilla buru-buru menyodorkan layar ponselnya, memperlihatkan video pesta pernikahan Rena.

"Lihat, Bu! Pesta pernikahan Rena mewah banget! Mereka nikah di tempat semegah ini?! Kenapa kita nggak tahu apa-apa?" Rilla berseru penuh rasa tidak percaya.

Ibunya memperhatikan layar dengan tatapan tajam. Matanya menyipit, seolah berusaha menelaah setiap detail yang ada dalam video itu. Ekspresinya perlahan berubah, dari terkejut menjadi sesuatu yang sulit diartikan antara marah, kecewa, dan mungkin sedikit rasa iri.

"Bagaimana bisa dia menikah semegah ini tanpa bilang sama kita?" gumam ibunya dengan suara yang mengandung ketidaksenangan.

Rilla menggigit bibir bawahnya, ikut merasakan ketegangan yang mulai memenuhi ruangan. "Makanya, Bu. Kenapa mereka yang nggak bilang sama kita? Dimana pula dia dapat uang sampai pesta besar begini?"

Ibunya terdiam, bibirnya menipis. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya, dan Rilla bisa merasakannya.

"Benar-benar anak kurang ajar!" Ibu Rilla mengumpat seakan tidak rela. Bisa-bisanya anak tirinya menggelar pesta pernikahan mewah begitu. Kalau tahu punya uang banyak, mending pesta dirumah saja. Ibu Rilla bisa pamer pada teman-temannya.

"Iya, Bu. Rena itu benar-benar nggak tahu diri," ujar Rilla, suaranya penuh emosi, seolah ingin semakin menyulut bara di hati ibunya.

"Dia nikah di hotel bintang lima, Bu! Mewah banget! Gila, kan?" Rilla kembali berseru, matanya masih terpaku pada layar ponselnya. Semakin ia melihat, semakin dadanya terasa panas.

Ibunya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Nggak bisa dibiarkan! Kita harus kasih tahu ayah kamu!" suaranya penuh ketegasan, mencerminkan amarah yang mulai memuncak.

Rilla mengangguk cepat, matanya berkilat penuh dendam. "Benar, Bu."

Rilla dan ibunya segera bergegas menuju toko barang harian milik ayahnya. Dengan langkah cepat, Rilla membuka pintu toko dan langsung menghampiri sang ayah yang sedang sibuk menghitung uang di meja kasir.

"Ayah, lihat ini!" seru Rilla, menyodorkan ponselnya dengan layar masih menampilkan video pesta pernikahan Rena dan Kahfi yang megah.

Sang ayah mengernyit, lalu mengambil ponsel itu dari tangan Rilla. Matanya menajam seiring detik berlalu. Di layar, terpampang dekorasi mewah, para tamu berpakaian elegan, serta Rena yang tersenyum anggun di pelaminan berdampingan dengan Kahfi.

Bibirnya menegang. Kedua tangannya terkepal kuat di atas meja, buku-buku jarinya memutih. "Kurang ajar!" dengusnya dengan suara tertahan.

"Dia pesta mewah begini tapi sedikitpun nggak ingat sama kita, Yah!" Rilla menambahkan, semakin menyulut kemarahan ayahnya.

Sang ibu menyambung dengan nada penuh kebencian, "Kita ini keluarganya, tapi dia malah berpura-pura seperti nggak punya keluarga"

Ayah menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya, namun api di dalam dadanya semakin berkobar. "Nggak bisa dibiarkan. Enak saja dia begitu."

"Iya, Yah."

Rilla masih memegang ponselnya ketika tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang suami Rena. Jika pesta pernikahannya saja semewah itu, pasti laki-laki itu bukan orang sembarangan.

Dengan cepat, dia mengetik nama lengkap Kahfi di kolom pencarian Google. Butuh beberapa detik sebelum layar menampilkan berbagai artikel, foto, dan berita tentang pria itu. Mata Rilla membulat seketika.

"Bu... Ayah..." suaranya bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ditemukannya.

"Ada apa?" tanya sang ibu, mendekat penasaran.

Rilla menelan ludah, lalu mengangkat layar ponselnya agar kedua orang tuanya bisa melihat dengan jelas. "Laki-laki yang dinikahi Rena... dia bukan pengangguran!"

Ayahnya mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Di-dia direktur eksekutif di Conupus Group! Salah satu perusahaan terbesar di negeri ini!" Rilla nyaris menjerit. Tangannya gemetar saat ia menggulir layar, membaca lebih dalam.

Sang ibu ternganga, sementara wajah ayahnya mengeras. "Apa?!" suaranya meninggi.

"Dia bukan orang biasa, Yah. Dia kaya raya! Kalau dipikir-pikir, nggak heran kalau pesta pernikahan mereka mewah. Tapi kenapa Rena diam saja? Kenapa dia nggak kasih tahu kita?!" Nada suara Rilla penuh dengan kekesalan dan kecemburuan yang membara.

Sang ibu mulai mendecak penuh kemarahan. "Dia sengaja! Dia nggak kasih tau pekerjaan asli suaminya. Bisa-bisanya dia berbohong begitu. Pantas saja dia dengan mudah ngasih uang 500 juta sama kita. Ternyata suaminya kaya raya."

Ayahnya mendengus keras, rahangnya mengatup kuat. Mendapat menantu kaya adalah mimpinya. Tapi anaknya malah menyembunyikan fakta itu dan menikmati sendiri. Ayah Rena tidak bisa membiarkan begitu saja.

"Dimana alamat hotelnya?" tanya ayah.

"Di jalan Sudirman, Yah."

"Ayo ke sana." Ayah Rena buru-buru menutup kedainya. Dia pergi menggunakan mobil yang baru dibeli 1 minggu yang lalu. Mobil itu dibeli menggunakan uang yang Rena berikan sebagai syarat nikah. Kalau tahu suami Rena kaya, maka Ayah Rena akan meminta lebih dari 500 juta. Dia sangat rugi besar.

Kehadiran Ayah Rena, ibu tiri, dan Rilla di depan hotel langsung menarik perhatian banyak orang. Mereka berdiri di depan pintu masuk dengan wajah penuh amarah, suara mereka menggema di sepanjang lobi hotel.

"Saya ini ayah kandung Rena! Anak saya sendiri menikah di sini, tapi saya bahkan tidak diundang!" suara Ayah Rena membahana, menarik perhatian tamu-tamu yang berlalu-lalang.

Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, saling bertanya siapa sebenarnya pria yang sedang membuat keributan itu.

"Apa ini benar?"

"Kenapa ayahnya tidak diundang?"

"Memalukan sekali datang dan mengamuk begini."

Para petugas keamanan sudah bersiaga, berdiri tegap di depan pintu masuk agar mereka tidak bisa menerobos masuk. "Maaf, Pak. Jika Anda tidak memiliki undangan, kami tidak bisa mengizinkan Anda masuk," ujar salah satu petugas dengan tegas.

"Tidak bisa begitu! Saya ayahnya!" Ayah Rena semakin emosi, bahkan mendorong salah satu petugas keamanan, membuat suasana semakin panas.

"Kalian tidak tahu siapa saya? Saya punya hak untuk menemui anak saya! Apa anak saya sudah diajari jadi kacang yang lupa kulitnya?" teriaknya, nadanya penuh dendam.

Rilla ikut menimpali dengan nada menyakitkan. "Benar, Yah! Kita ini keluarganya! Masa kita nggak boleh masuk?! Kita cuma mau kasih restu kok!" ucapnya penuh kepalsuan, padahal wajahnya menyiratkan kecemburuan.

Ibu tiri Rena menatap bangunan hotel dengan sinis. "Hebat ya, sekarang bisa pesta di hotel bintang lima. Dulu hidup susah bareng kita, sekarang lupa sama keluarga!"

Suasana mulai memanas. Beberapa tamu undangan yang kebetulan lewat menatap dengan ekspresi tidak nyaman. Beberapa bahkan mulai merekam kejadian itu dengan ponsel mereka.

Di dalam, orang tua Kahfi mendengar laporan dari salah satu staf hotel. Mereka bertukar pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dan menghadapi keributan ini langsung.

"Kita temui mereka," kata Papa Kahfi dengan nada tegas.

Mama Ina menghela napas panjang. "Kita harus menenangkan situasi. Tidak baik kalau ini sampai merusak acara pernikahan anak kita."

Dengan langkah penuh wibawa, mereka berjalan keluar, diikuti beberapa orang staf hotel yang bersiap berjaga-jaga kalau situasi semakin kacau.

Begitu melihat mereka, mata Ayah Rena langsung menajam. Dia merapatkan bahunya, seakan bersiap untuk pertempuran besar. Sementara itu, Rilla dan ibu tirinya memandang mereka dengan ekspresi penuh penilaian.

Ayah Kahfi berhenti di depan mereka, menatap langsung ke arah Ayah Rena dengan ekspresi dingin namun berwibawa.

"Selamat siang Pak Dani. Ada masalah apa di sini?" tanyanya dengan nada tenang, namun tegas.

Ayah Rena mendengus, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Masalahnya? Anak saya menikah dan saya bahkan tidak diundang! Itu masalahnya! Kalian ini besan macam apa?" suaranya meninggi.

Papa Kahfi tetap tenang. "Jika Anda tidak diundang, berarti ada alasan dibaliknya. Saya yakin anak saya dan menantu saya punya pertimbangan sendiri."

"Itu tidak adil!" sergah Rilla dengan suara tajam. "Kami ini keluarganya! Kami berhak ada di sana!"

Ayah Kahfi menatap mereka dengan penuh penilaian. Lalu, dengan nada rendah namun menusuk, ia berkata, "Keluarga? Keluarga macam apa yang datang hanya untuk menuntut, bukan untuk memberi restu?"

"Kalian luar biasa jahat. Kalian membuat saya seperti ayah yang jahat." Ayah Rena pura-pura sedih. Bahkan ada yang merekam insiden itu. Siapa yang tidak tertarik dengan masalah yang cucu pemilik perusahaan besar. Tentu saja video itu akan jadi viral seketika.

"Pak Dani, mohon tenang dulu." Papa Kahfi tidak menyangka ayah Rena akan selicik ini.

"Bagaimana saya bisa tenang? Walaupun saya tidak kaya, tapi apa tidak boleh saya melihat anak kandung saya sendiri di pesta pernikahannya?"

Bisik-bisik mulai terdengar di antara para tamu dan orang-orang yang lewat di depan hotel. Beberapa dari mereka menatap Ayah Rena dengan ekspresi iba, sementara yang lain hanya sekadar penasaran.

"Kok tega banget sih anaknya, masa ayahnya sendiri nggak diundang?" bisik seorang ibu yang membawa anak kecil.

"Iya, ya. Biar bagaimanapun, dia tetap ayahnya. Apa nggak kasihan?" sahut seorang pria paruh baya dengan nada prihatin.

"Orang tua mana yang nggak mau lihat anaknya menikah? Harusnya Rena tetap undang dia meskipun cuma sekadar formalitas," ujar seorang wanita muda yang merekam kejadian itu dengan ponselnya.

"Benar! Masa orang lain bisa datang, tapi ayah kandungnya sendiri malah dihalangi?" tambah seseorang yang berdiri agak jauh.

"Aku dengar suaminya Rena itu cucu pemilik perusahaan besar, loh. Jangan-jangan setelah menikah, Rena lupa sama keluarga lamanya?" bisik seorang gadis remaja kepada temannya.

Namun, tak sedikit juga yang berkomentar sebaliknya.

"Kalau sampai nggak diundang, pasti ada sesuatu. Anak mana yang tega ninggalin orang tuanya tanpa alasan?" seorang pria berkacamata berkomentar skeptis.

"Jangan cuma lihat dari satu sisi. Kita nggak tahu apa yang terjadi di keluarga mereka. Bisa saja ada alasan kuat kenapa dia nggak mau mengundang ayahnya," sahut wanita lain yang tampak berpakaian elegan.

Bisikan-bisikan itu semakin membuat situasi memanas. Ayah Rena menundukkan kepala seolah benar-benar merasa tersakiti, padahal dalam hati ia puas karena mendapatkan simpati dari beberapa orang. Ia tahu, semakin banyak orang yang membicarakan ini, semakin besar kemungkinan Rena akan terpojok.

Di sisi lain, Papa Kahfi semakin waspada. Ia bisa melihat betapa cepatnya situasi ini berpotensi menjadi skandal besar. Jika dibiarkan lebih lama, ini bisa mencoreng nama baik keluarga mereka.

"Pak Dani," katanya, mencoba tetap tenang, "saya mengerti perasaan Anda, tapi tolong jangan membuat masalah di sini. Ini pesta pernikahan anak kita, bukan tempat untuk drama keluarga."

"Drama?!" suara Ayah Rena meninggi. "Apa menurut Anda ini drama?! Aku hanya ingin melihat anakku sendiri di hari bahagianya!"

Suasana semakin tegang. Kamera-kamera ponsel masih terus merekam, dan orang-orang yang lewat berhenti untuk menonton adegan yang semakin memanas.

Sungguh kekacauan yang membuat sakit kepala. Bahkan hal itu sampai ke dalam gedung pernikahan.

Bisik-bisik didalam gedung membuat Rena dan Kahfi penasaran apa yang terjadi di luar.

Rena baru saja ingin duduk sejenak untuk mengistirahatkan kakinya yang mulai pegal akibat berdiri terlalu lama. Namun, bisik-bisik dari para tamu membuatnya mengangkat kepala.

"Ada apa di luar?" tanyanya, menoleh ke arah Kahfi yang juga tampak memasang ekspresi serius.

Kahfi menggeleng. "Aku juga nggak tau, Sayang. Papa dan Mama kedepan buat lihat."

Salah satu kerabat Kahfi yang baru masuk ke dalam gedung segera menghampiri mereka dengan wajah tegang. "Ada yang buat onar," ujarnya.

Jantung Rena berdebar kencang. "Siapa?"

Kerabat itu menelan ludah sebelum menjawab, "orang yang mengaku sebagai ayah Rena."

Dunia seakan berhenti berputar. Rena merasa sekujur tubuhnya menegang. Tangannya yang tadi sibuk menggenggam gaun pengantin kini terkulai lemas di pangkuannya.

"Apa?" Kahfi langsung berdiri. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke arah pintu masuk.

Rena merasa pandangannya mulai berputar. Telinganya mendengung, dan kakinya tiba-tiba kehilangan tenaga. Napasnya memburu, namun udara yang dihirupnya terasa begitu berat.

"Rena?" suara Kahfi yang penuh kekhawatiran menjadi hal terakhir yang ia dengar sebelum tubuhnya limbung ke depan.

"Rena!"

Sontak, Kahfi menangkap tubuh istrinya sebelum jatuh ke lantai. Para tamu yang menyaksikan kejadian itu langsung panik, beberapa bergegas mendekat.

"Rena, Sayang, bangun!" Kahfi menepuk pelan pipi istrinya, tapi tidak ada respons. Wajah Rena semakin pucat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

***

Bab 37 Viral

Pesta pernikahan berjalan kacau. Dalam hitungan jam, video beredar dan viral. Pihak Public Relations (PR) perusahaan Conopus Group sudah menyuruh beberapa akun untuk meng take down video. Namun penyebaran begitu cepat sehingga sulit sekali menanganinya.

Rapat darurat segera digelar di kantor pusat Canopus Group. Beberapa eksekutif PR dan tim manajemen krisis duduk di ruang rapat dengan wajah tegang.

"Ini sudah diluar kendali," ujar Kepala PR dengan suara penuh tekanan. "Kita berhasil menghapus beberapa video, tapi netizen terlalu cepat. Setiap kali satu video di-take down, ada puluhan lainnya yang muncul di berbagai platform media sosial."

CEO Canopus Group, yang juga merupakan abang sepupu Kahfi, duduk dengan ekspresi dingin. Matanya menatap layar yang menampilkan berbagai berita dan komentar dari netizen.

"Cucu pemilik perusahaan besar menikah diam-diam, tapi ayah kandung pengantin wanita justru tidak diundang?!"

"Gimana sih keluarga ini? Kok kayak nggak punya hati?"

"Mau sekaya apapun, tetap nggak bisa melawan hukum karma. Kasihan bapaknya!"

"Pernikahan mewah tapi malah penuh drama. Udah kayak sinetron!"

Komentar-komentar negatif terus mengalir deras. Bahkan, beberapa media gosip sudah mulai memberitakan skandal ini.

"Kalau dibiarkan, ini akan berpengaruh pada citra perusahaan," ujar salah satu direktur. "Harga saham perusahaan bisa turun karena dikaitkan dengan drama keluarga seperti ini."

REnaldi mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menatap Kepala PR dengan tajam. "Apa solusi yang bisa kita ambil?"

"Kita butuh pernyataan resmi secepatnya," jawab Kepala PR. "Kita harus mengontrol narasi sebelum media semakin menggiring opini yang salah."

Renaldi mengangguk. "Buat rilis pers sementara terlebih dahulu. Pastikan kita tidak terlihat defensif, tetapi tetap menunjukkan ketegasan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak seharusnya dikaitkan dengan perusahaan."

"Baik, Pak," jawab Kepala PR sigap.

Sementara itu, di kamar hotel, Kahfi duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Rena yang masih terbaring lemah. Napasnya berat, pikirannya bercampur aduk antara kekhawatiran pada istrinya dan amarah terhadap orang-orang yang sudah mengganggu hari bahagia mereka.

"Kapan kamu bangun, Sayang?" lirih Kahfi. Tangannya saja gemetaran. Kahfi sangat takut sekali kalau istrinya kenapa-kenapa.

"Jangan begini, Sayang. Tolong sadar," pintanya. Matanya sudah berkaca-kaca. Kahfi menahan diri agar tidak menangis.

"Apa Rena sudah sadar?" tanya Papa Indra yang baru saja masuk ke dalam kamar.

"Belum, Pa." Tubuh Kahfi sangat tidak bertenaga sama sekali. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia, malah sebaliknya.

"Mama gimana, Pa?" tanya Kahfi. Tadi Mamanya sempat ingin pingsan.

"Lagi istirahat. Kamu nggak usah khawatir. Udah ada Bang Abizar sama Bang Irsyad disana."

Kahfi sedikit lega. Namun dia tetap merasa bersalah. "Maaf, Pa," lirihnya.

Papa Indra menepuk pundak Kahfi. "Ini bukan kesalahan kalian, jadi nggak perlu dipikirkan."

Kahfi merasa sangat kalut sekali. Apalagi videonya sampai viral.

"Nenek gimana, Pa?"

Papa Indra tersenyum. "Nggak gimana-gimana. Nenek nggak akan marah, jadi nggak perlu khawatir."

"Ta-tapi citra perusahaan buruk karena aku," lirih Kahfi sambil menunduk.

"Semua bisa diselesaikan. Abang kamu pasti bisa menyelesaikannya," ujar Papa Indra. Masalah yang menghadapi perusahaan tidak hanya kali ini saja. Bahkan sudah sering terjadi.

Kahfi merasa bersalah kepada abang sepupunya. Pasti dia sangat pusing sekali.

"Kamu mandi dulu sana, jangan kelihatan kayak orang hidup segan mati nggak mau." Papa sedikit bercanda.

"Baik, Pa." Kahfi juga merasa badannya sangat lengket sekali.

Papa sudah keluar dari kamar Kahfi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Kahfi menatap istrinya sebentar. Sudah beberapa jam, tapi Rena belum juga sadar. Kahfi sangat khawatir sekali.

kahfi harap semuanya akan segera selesai.

Disisi lain, ada keluarga yang merasa senang keviralan video tersebut.

"Lihat, Yah. Kita viral," ujar Rilla merasa bangga. Bahkan dia sengaja mencari followers karena banyak yang kepo tentang cerita mereka. Bahkan sampai sekarang, jumlah pengikut Rilla di sosial media sampai ratusan ribu. Rilla pura-pura bertindak sebagai adik yang tersakiti karena sang kakak menggelar pesta pernikahan tanpa mengatakan kepada keluarga.

"Baguslah. Kita tunggu pihak sana menghubungi kita. Pasti mereka malu sekali." Ayah Rena memiliki banyak rencana licik. Tampaknya dia ingin mengancam keluarga Kahfi dengan bertindak sebagai ayah yang terlupakan. Tentu saja keinginan Ayah Rena adalah meminta uang agar dia memberi klarifikasi kepada masyarakat sehingga citra keluarga Kahfi tidak rusak. Membayangkan mendapat uang banyak sungguh membuat ayah Rena bersemangat sekali.

"Benar, Yah. Bahkan banyak komentar yang berpihak pada kita. "

Bersamaan dengan itu, ponsel Rilla bergetar. Sebuah pesan masuk dari akun resmi salah satu stasiun televisi nasional.

"Halo, kami dari stasiun TV tranyu ingin mengundang keluarga Anda untuk hadir dalam program talk show kami. Kami ingin mendengar langsung kisah di balik pernikahan kakak Anda yang kini menjadi sorotan publik. Jika bersedia, mohon hubungi kami secepatnya. Terima kasih."

Mata Rilla berbinar membaca pesan tersebut. Dengan penuh semangat, ia menunjukkan layar ponselnya kepada ayah dan ibunya. "Lihat ini, Yah, Bu! Kita diundang ke TV!"

Ayah Rena menyeringai lebar. "Bagus! Ini kesempatan kita untuk membuat mereka semakin terpojok. Kita harus pintar memainkan peran."

Rilla mengangguk antusias. "Aku bisa bilang kalau aku benar-benar sedih karena Kak Rena melupakan kita. Aku akan menangis di TV, pasti orang-orang semakin kasihan sama kita."

Ibunya pun ikut tersenyum puas. "Jangan lupa sebutkan kalau dulu Rena dibesarkan dengan susah payah. Bilang saja dia berubah setelah menikah dengan keluarga kaya."

Ayah Rena mengangguk setuju. "Kita harus tunjukkan ke publik kalau kita keluarga yang tersakiti. Begitu perhatian masyarakat semakin besar, pihak sana pasti panik. Kita bisa minta uang tutup mulut supaya masalah ini tidak semakin besar."

Rilla langsung mengetik balasan ke pihak stasiun TV, menyatakan kesediaan mereka untuk hadir di acara tersebut.

***

Kahfi tersenyum saat istrinya sudah membuka mata. "Apa ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut.

Rena hanya diam, tapi air matanya mengalir. Dia benar-benar merasa bersalah sekali karena sudah membuat keluarga Kahfi malu.

Kahfi menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati mengusap air mata yang mengalir di pipi Rena. "Sayang, jangan nangis, ya. Ini bukan salah kamu."

"Tapi, Mas..." suara Rena bergetar. "Karena aku, keluarga Mas jadi kena masalah. Nama baik keluargamu tercoreng. Aku..." Rena menggigit bibirnya, merasa begitu sesak. "Aku tidak pantas ada di sini..."

"Hei, jangan ngomong gitu!" Kahfi langsung menggenggam tangan istrinya erat. "Kamu istriku, kamu bagian dari hidupku. Kita menghadapi ini bersama-sama."

Rena menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, keluarga Mas pasti kecewa sama aku..."

Kahfi menggeleng. "Mereka lebih peduli sama kamu dibanding yang kamu kira. Mama dan Papa justru khawatir sama kondisi kamu. Mereka marah, bukan ke kamu, tapi ke orang-orang yang bikin masalah ini."

Rena terdiam.

Kahfi mengecup kening istrinya, berusaha memberikan ketenangan. "Sayang, dengar aku baik-baik, ya. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu, apalagi bikin kamu ngerasa bersalah seperti ini. Kamu nggak sendirian."

Hati Rena terasa sedikit lebih ringan, meskipun bayangan masa lalu dan luka yang baru saja terbuka kembali masih menghantuinya. Tapi, disisi lain, ada Kahfi yang selalu ada untuknya, menggenggam tangannya erat, memastikan bahwa mereka akan melewati semua ini bersama.

"Jadi, jangan menangis lagi, ya?" Kahfi menyentuh pipinya, menghapus sisa air mata yang masih menetes.

Kahfi naik ke atas ranjang. Dia berbaring di samping sang istri dan langsung memeluknya. "Nggak apa-apa, Sayang. Semua pasti bakal baik-baik aja," lirihnya. Dia berusaha untuk tidak membuat Rena merasa bersalah.

Tangis Rena semakin menjadi-jadi. Kahfi membiarkan itu. Lebih baik dikeluarkan daripada dipendam. Tentu saja Kahfi merasa sesak mendengar tangis sang istri. Tapi dia berusaha untuk tetap kuat.

***

Kahfi tidak bisa hanya diam dan menunggu abang sepupunya untuk menyelesaikan masalah yang memang karenanya. Apalagi setelah ayah Rena, ibu dan adik tiri Rena muncul di televisi untuk menjual cerita sedih. Semua semakin menyudutkan Rena. REna juga sudah ada dirumah kedua orang tuanya. Untuk sementara waktu, Rena tidak memegang ponsel ataupun melihat televisi. Kesehatan Rena adalah hal terpenting.

Kahfi berangkat ke perusahaan meskipun kuli dibawah matanya menghitam. Sesampainya di perusahaan, dia mendengar Bisik-bisik karyawan. Kahfi berusaha untuk tidak peduli. Memang Ada yang percaya dan ada yang tidak terhadap video viral tersebut. Semua tergantung pemikiran masing-masing.

Kahfi langsung menuju ke ruang CEO perusahaan. Dia mengetuk pintu. Renaldi menyuruhnya masuk. Saat masuk, Kahfi melihat kulit dibawah mata abangnya lebih hitam dari dirinya. Tampaknya sang abang tidak tidur karena masalah ini.

"Kenapa kamu datang ke perusahaan?" Renaldi kaget. Dia sudah menyuruh KAhfi untuk cuti beberapa hari sampai masalah ini selesai.

"AKu nggak mungkin diam aja, Bang."

Renaldi menghela nafas panjang. "Apa kamu baik-baik aja?"

Kahfi mengangguk.

"Duduklah dulu," ujar Renaldi. Dia berdiri dari kursi dan melangkah untuk duduk di sofa agar lebih nyaman untuk bicara.

"Makasih bang."

Renaldi mengangguk.

Keheningan terjadi beberapa detik.

"Besok, perusahaan akan menggeleng konferensi pers," ujar Renaldi memberitahu.

"Mungkin kita akan menyiarkan kisah tentang Rena sebenarnya," lanjut Renaldi lagi. Dia juga sudah mendapat izin dari Rena.

"Iya, Bang. Rena tidak keberatan."

"Hanya saja, kita tidak punya bukti kuat untuk mendukung pernyataan kita."

"Bukti apa, Bang?"

"Ditengah kehebohan ini. Pasti masyarakat lebih percaya pada ayah Rena dibanding Rena sendiri. Apalagi video yang beredar mengandung sesuatu yang kuat yaitu Rena tidak mengundang ayahnya sendiri di pesta pernikahannya. Jadi kita butuh bukti yang mendukung pernyataan nanti dimana Rena selama ini diperlakukan dengan tidak baik," jelas Renaldi.

Kahfi berpikir sejenak. Apa yang dikatakan abangnya tidak salah. Mereka butuh bukti pendukung. Tiba-tiba Kahfi ingat jika dia memiliki hasil visum Rena. Meskipun visum dilakukan tanpa persetujuan Rena saat itu.

"Aku ada bukti visum dimana ada memar di kulit Rena karena cambukan ikat pinggang."

"Kamu serius?" Wajah Renaldi tampak sedikit bersemangat.

"Iya, Bang."

"Syukurlah. Abang juga udah menyuruh beberapa orang bertanya kepada tetangga Rena. Kali saja ada yang buka mulut tentang perlakukan Ayah Rena selama ini."

"Terima kasih, Bang." Kahfi benar-benar terbantu sekali.

***

Bab 38 Ending Main Story

Konferensi pers yang bertujuan untuk mengklarifikasi apa yang terjadi agar masyarakat tidak hanya menilai dari satu pihak saja. Acara ini diadakan di perusahaan conupos Group dan Renaldi telah memastikan bahwa agenda ini akan dikenal di seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua channel televisi menayangkannya, sementara siaran langsung juga tersedia di YouTube, Instagram, dan Facebook. Semua platform media sosial dimanfaatkan secara maksimal.

Rena berusaha menguatkan dirinya. Kahfi berada disampingnya. Dia menemani sang istri apapun yang terjadi. Persiapan sudah dilakukan dengan sangat maksimal.

"Kalau kamu merasa ini terlalu berat, kita bisa membatalkannya," ujar Kahfi.

Rena menggeleng tegas. "Aku bisa, Mas. Tolong percaya padaku."

Keluarga Kahfi sangat mendukung keputusan Rena. Bahkan Mama Ina juga datang untuk menemani Rena. Sayangnya Papa Indra tidak ada karena ada jadwal operasi. Begitupun dengan abang KAhfi yang memiliki jadwal dinas. Mereka sudah mengambil cuti saat pernikahan Kahfi.

Semua orang harus tahu kebenaran tentang perbuatan keji dari orang-orang yang kini hidup seolah tanpa dosa. Bahkan Ayah Rena sudah menghubungi Rena meminta uang agar masalah ini diselesaikan dengan cara damai. Tapi Rena menolaknya.

Dengan langkah mantap, Rena masuk ke ruang konferensi pers bersama Kahfi. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, membuat tubuhnya sedikit gemetar. Namun, genggaman hangat dari sang suami memberinya keberanian.

Rena duduk di kursi yang telah disediakan, tangannya mengepal di atas pangkuannya. Sorotan kamera, mikrofon, dan tatapan tajam para wartawan membuat jantungnya berdebar semakin kencang. Namun, ketika mengingat bagaimana keluarga suaminya mendapat segala caci maki dari orang karena tidak tahu kejadian yang sebenarnya.

Kahfi mengambil mikrofon lebih dulu. "Terima kasih kepada semua yang telah hadir di sini. Hari ini, istri saya, Rena, ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini dia pendam."

Ruangan menjadi hening. Semua orang menunggu dengan penuh antisipasi. Begitu mikrofon berpindah ke tangannya, Rena menarik napas dalam.

Dia harus melakukannya. Rena menatap lurus kedepan dengan penuh tekad. Dia tidak boleh mundur.

"Sebagaimana dengan video yang Viral mengenai saya dan keluarga saya, saya ingin menyampaikan kebenarannya," ujar Rena.

Masyarakat yang melihat tayangan itu masih mengolok-olok Rena. Bahkan ada yang enggan untuk melihat karena sudah muak dengan Rena padahal mereka tidak saling kenal.

"Tidak semua yang kalian lihat di media adalah kebenaran."

Suara Rena bergetar, tetapi sorot matanya tajam.

"Hubungan saya dengan ayah saya tidak baik," lanjutnya, suaranya mulai stabil. "Begitu pun dengan ibu tiri dan adik tiri saya. Sejak kecil, saya sering diperlakukan tidak baik. Saya sering mendapat kekerasan dari ayah dan ibu tiri saya. Jika masakan yang saya buat tidak enak, maka ayah akan memukul saya."

Rena menarik nafas dalam-dalam. "Kekerasan ini sudah saya terima sejak ibu saya meninggal. Kira-kira mulai dari SD dimana ayah melampiaskan kemarahan kepada saya. Tidak hanya ayah, ibu tiri saya juga memperlakukan saya dengan sangat buruk. Ibu tiri dan adik tiri saya pernah menuduh saya mencuri uang toko keluarga saya. Padahal yang mengambil adalah adik tiri saya. Saat itu ayah sangat marah dan tidak percaya kepada saya. Ayah langsung membakar paha saya sampai menyebabkan luka bakar dan bekasnya masih ada sampai sekarang."

Layar menunjukkan bekas luka bakar di paha Rena. Dan dokter memang menyatakan bahwa bekas itu dari luka bakar.

Kahfi menggenggam erat tangan Rena dibawah meja. Ia sebenarnya tidak sanggup mendengar kisah sang istri. Hatinya sakit luar biasa, seolah ikut merasakan setiap luka yang pernah diderita Rena. Namun, ia harus kuat. Jika dia goyah, maka bagaimana dengan istrinya?

Gambar di layar kembali berganti, menampilkan hasil visum medis yang mencatat luka-luka yang pernah diderita Rena. Lebam keunguan di punggung dan lengannya terpampang jelas, membuat suasana ruangan semakin mencekam. Semua yang tadinya sibuk mencemooh kini terdiam. Beberapa menahan napas, yang lain saling berpandangan dengan ekspresi terkejut.

"Terakhir kali saya mendapat kekerasan adalah sebelum menikah," suara Rena terdengar lebih lirih, tetapi penuh luka yang tak bisa disembunyikan. "Ayah ingin menikahkan saya dengan seorang pria tua yang sudah beristri. Saya menolak, dan sebagai balasannya, saya dicambuk dengan ikat pinggang hingga jatuh pingsan. Keesokan harinya, saya sadar-sadar sudah di rumah sakit."

Sejumlah wartawan menutup mulut mereka dengan tangan. Kamera tetap menyorotnya, menangkap setiap detail ekspresi dan keteguhan yang terpancar di wajahnya. Bahkan di media sosial, komentar yang awalnya penuh kebencian mulai berubah. Orang-orang yang sebelumnya mengejek mulai merasa bersalah.

"Jadi, tolong, sebelum kalian menilai seseorang, pahami dulu apa yang sebenarnya terjadi," lanjutnya dengan suara bergetar. "Saya bukan anak durhaka. Saya hanya berusaha melindungi diri saya sendiri."

Tatapan Rena menyapu ruangan. Dia tidak ingin dikasihani. Dia hanya ingin kebenaran terungkap.

Tetapi dia belum selesai.

"Sebelum menikah, ayah saya mengira jika suami saya seorang pengangguran. Karena tidak mendapat restu, ayah meminta uang lima ratus juta sebagai 'uang damai'. Jika tidak diberikan, dia tidak mau menjadi wali saya," suara Rena terdengar lebih kuat. "Di KUA, ayah hanya datang untuk menikahkan saya. Dia tidak menunggu atau menghormati keluarga suami saya. Setelah selesai, dia pergi begitu saja. Saya hanya sendiri di KUA tanpa ada satupun keluarga menemani. Tapi keluarga suami saya sangat baik. Mereka menerima saya sepenuh hati. Mereka tidak pernah menyinggung soal keluarga saya, apalagi merendahkan saya karena latar belakang saya."

Mata Rena sedikit memerah, tetapi ia menatap lurus ke kamera.

"Ayah, ibu tiri, dan adik tiri saya tidak pernah menyukai suami saya. Mereka menghina suami saya sebagai orang miskin, bahkan melarang saya untuk datang ke rumah mereka lagi. Tapi anehnya, saat pesta pernikahan kami, mereka datang. Saya juga kaget. Saya tidak mengundang mereka. Ternyata, mereka sudah tahu siapa suami saya sebenarnya. Mereka ingin mencari keuntungan. Makanya mereka membuat kehebohan."

Beberapa wartawan saling berbisik, mencatat setiap pernyataan yang mengejutkan ini.

"Setelah video kami viral, ayah saya menghubungi saya," suara Rena semakin tegas. "Dia tidak meminta maaf. Dia tidak ingin menjelaskan. Dia hanya menuntut lima miliar rupiah sebagai 'uang tutup mulut'. Jika saya memberinya uang itu, dia akan membuat klarifikasi di media bahwa semua ini hanya salah paham. Tapi saya tidak mau."

Sorot mata Rena kini penuh keteguhan.

"Saya sudah melaporkan ayah saya ke pihak berwenang. Semua bukti sudah saya serahkan."

Ruangan masih terdiam. Semua mata tertuju pada Rena. Tidak ada lagi cemoohan, hanya tatapan penuh keterkejutan dan mungkin... rasa malu karena telah menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Saya meminta maaf kepada masyarakat atas video yang viral. Saya harap netizen berhenti untuk menghina keluarga suami saya. MEreka sudah sangat baik kepada saya."

Rena menunduk dalam. "Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang perhatian dengan saya dan keluarga saya."

Setelah mengatakan itu. Rena keluar dari ruangan bersama Kahfi. Tubuhnya sangat gemetaran sekali. Kahfi langsung memeluk sang istri. "Kamu sudah luar biasa, Sayang. Terima kasih sudah bertahan selama ini."

Rena merasakan pelukan suaminya sangat nyaman sekali. Dia benar-benar punya sandaran yang selalu ada untuknya.

Mama Ina tersenyum melihat sang menantu. Setelah dipeluk Kahfi, Rena juga dipeluk Mama mertuanya. Mama Ina sangat sayang sekali kepada Rena.

Setelah siaran langsung berakhir. Banyak komentar dari netizen yang berbalik menyerang ayah Rena, Ibu tiri dan adik tirinya. Bahkan ada yang mengaku sebagai tetangga Rena dan membenarkan jika Rena mendapatkan kekerasan dari ayahnya sendiri. Dukungan kepada Rena bertambah.

Sementara itu, di rumah Ayah Rena...

Suasana mencekam. Beberapa polisi berseragam berdiri di depan rumah yang kini dikerumuni oleh tetangga yang penasaran. Berita tentang penganiayaan yang dilakukan Ayah Rena terhadap putrinya telah menyebar luas. Bahkan, laporan resmi dari pihak Rena membuat polisi bergerak cepat.

Tok! Tok! Tok!

"Pak Dani, kami dari kepolisian. Mohon buka pintunya," ujar salah satu petugas dengan suara tegas.

Di dalam rumah, Ayah Rena, Ibu Tiri, dan Rilla panik. Mereka tidak menyangka akan secepat ini didatangi polisi.

"Kita harus pergi! Cepat!" seru Ayah Rena, tangannya gemetar saat mencoba memasukkan beberapa lembar uang ke dalam tas. "Kita harus keluar sebelum mereka masuk!"

"Tapi, Yah, kalau kita kabur sekarang, bukannya malah makin jelas kalau kita bersalah?" Rilla berbisik panik, wajahnya pucat.

Ibu Tiri Rena, yang juga terlihat cemas, mencoba melihat ke jendela. "Terlambat," desisnya. "Mereka sudah mengepung rumah ini."

BRUK!

Pintu terbuka paksa. Polisi masuk dengan cepat. "Pak Dani, Anda kami amankan atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga serta percobaan pemerasan," ujar seorang petugas sambil menunjukkan surat penangkapan.

Ayah Rena berusaha berkelit. "Apa maksud kalian?! Saya ini korban! Anak saya memfitnah saya!" serunya, berpura-pura marah. "Kalian tidak bisa menangkap saya tanpa bukti!"

Polisi menatapnya dengan dingin. "Semua bukti sudah kami terima, termasuk visum dan kesaksian beberapa saksi. Kami mohon Anda untuk bekerja sama."

"TIDAK!" Ayah Rena tiba-tiba mencoba lari ke pintu belakang, tapi polisi sudah lebih dulu mengantisipasinya. Dua orang petugas langsung menahannya, memelintir lengannya ke belakang.

"Aduh! Lepaskan saya!" jeritnya, mencoba melawan.

Rilla dan Ibu Tirinya juga ikut panik. "Yah! Tolong lepaskan ayah saya! Dia tidak bersalah!" Rilla berteriak, tapi tidak ada yang peduli.

Beberapa tetangga yang menyaksikan kejadian itu hanya berbisik-bisik.

"Tuh kan, sudah kuduga. Dari dulu Pak Dani memang kasar sama anaknya."
"Kasihan Rena. Untung dia sudah menikah dan pergi dari rumah ini."
"Biarin aja, orang kayak dia pantas dipenjara."

Polisi menggiring Ayah Rena keluar dari rumahnya. Wartawan yang sudah menunggu langsung mengabadikan momen itu. Kilatan kamera menyilaukan, dan suara bisikan serta komentar netizen di siaran langsung makin ramai.

***END***


Cerita Populer Lainnya

SUAMI YANG KU KIRA PENGANGGURAN

  Bab 1 Batal Menikah  Rena bersandar di tiang parkir. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Bahkan Rena sengaja sudah berada di parkiran pagi buta begini. Dia tidak peduli pandangan orang lain yang menyebutnya aneh. Tapi keberadaan Rena tentu sudah diketahui petugas keamanan hotel. Rena hanya menunggu seseorang saja. Jujur saja meskipun ia terlihat biasa saja, namun hatinya sedang kacau. "Wah...luar biasa." Rena bertepuk tangan saat seseorang laki-laki keluar sambil menggandeng perempuan. Laki-laki itu tampak terkejut dan langsung melepaskan tangan perempuan yang tadinya digandeng. Rena tersenyum lebar seakan-akan melihat sesuatu yang menyenangkan. "Re-rena..." ujar laki-laki itu dengan terbata-bata. Dia pasti kaget luar biasa. Dia menyangka Rena akan menunggu di parkiran begini. "Setelah lama aku curiga, ternyata kamu benar-benar melakukannya." Laki-laki itu menggeleng dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya. "Tidak, Rena. Aku bisa j...

Bab 13-25

 Bab 13 Tidak Sendirian Kahfi tidak ingin tahu secara setengah-setengah, jadi dia membayar orang untuk mencari kembali informasi mendalam tentang Rena. Bukan hanya tentang siapa yang dekat dengan Rena, namun tetap kehidupan Rena selama ini. Uang yang dikeluarkan Kahfi tidaklah sedikit. Namun dia tidak keberatan sama sekali. Dia hanya ingin tahu sehingga bisa melindungi Rena. Sampai sekarang, tangan Kahfi masih gemetaran. Memar ditubuh Rena tidak bisa dikatakan biasa, apalagi banyak bekas luka di lengannya. Kahfi duduk dengan pikiran yang kacau.  Kemudian Abizar datang dengan langkah tenang, jas putihnya tampak rapi seperti biasa. Tanpa berkata-kata, ia duduk disamping Kahfi. Kemudian mengulurkan kopi. Kahfi masih diam, matanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya menggenggam erat perangkat itu, seolah takut ada sesuatu yang lolos dari perhatiannya. “Kopi hitam, tanpa gula,” kata Abizar akhirnya, menatap adiknya yang jelas-jelas sedang frustasi. Kahfi melirik sekilas...