Bab 1 Batal Menikah
Rena bersandar di tiang parkir. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Bahkan Rena sengaja sudah berada di parkiran pagi buta begini. Dia tidak peduli pandangan orang lain yang menyebutnya aneh. Tapi keberadaan Rena tentu sudah diketahui petugas keamanan hotel. Rena hanya menunggu seseorang saja. Jujur saja meskipun ia terlihat biasa saja, namun hatinya sedang kacau.
"Wah...luar biasa." Rena bertepuk tangan saat seseorang laki-laki keluar sambil menggandeng perempuan.
Laki-laki itu tampak terkejut dan langsung melepaskan tangan perempuan yang tadinya digandeng. Rena tersenyum lebar seakan-akan melihat sesuatu yang menyenangkan.
"Re-rena..." ujar laki-laki itu dengan terbata-bata. Dia pasti kaget luar biasa. Dia menyangka Rena akan menunggu di parkiran begini.
"Setelah lama aku curiga, ternyata kamu benar-benar melakukannya."
Laki-laki itu menggeleng dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya. "Tidak, Rena. Aku bisa jelasin." Nafasnya tidak beraturan. Tampaknya dia masih berusaha mencari-cari alasan. Padahal sudah tertangkap basah begini.
"Apa yang kamu ingin jelaskan?"
Rena menyilangkan kedua tangannya, berdiri tegak di depan laki-laki itu dengan pandangan tajam. Wajahnya masih dihiasi senyum tipis, tapi matanya menyiratkan kemarahan yang mendalam.
"Apa yang mau kamu jelaskan, hah?" ulang Rena, kali ini dengan nada dingin yang menusuk.
Laki-laki itu, yang kini terlihat gelisah, menggaruk-garuk kepalanya dengan gugup. Perempuan di sebelahnya tampak ikut panik dan melangkah mundur perlahan, seperti ingin menghindar dari situasi ini.
"Rena, dengar dulu. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan," katanya, suaranya nyaris bergetar.
Rena mengangkat satu alisnya. "Oh? Jadi aku salah lihat, ya? Aku salah lihat kamu menggandeng perempuan ini? Salah lihat kamu keluar hotel subuh-subuh berdua? Tolong jelaskan, biar aku tahu aku salah paham," balasnya dengan nada sarkastik.
Rena beralih menatap perempuan yang sejak tadi menunduk. Wajahnya tidak asing sama sekali. Setelah Rena sadar, dia tertawa. "Wah... ternyata perempuan ini mantan kamu. Aku baru sadar."
Perempuan itu semakin menyembunyikan wajahnya. Entah malu atau bagaimana, aku tidak bisa menebaknya.
Laki-laki itu semakin gugup. Dia membuka mulut, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Akhirnya, dia berkata dengan terbata-bata, "Rena, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku... aku cuma khilaf."
"Khilaf?" beo Rena. Setelah itu dia kembali tertawa, jelas sekali menertawakan diri sendiri.
"Iya. Sebelum kamu menyalahkan aku, harusnya kamu intropeksi diri sendiri."
Rena semakin tidak percaya bahwa ternyata laki-laki yang akan menikah dengannya satu bulan lagi adalah laki-laki gila. Rena benar-benar tidak mengenalnya dengan baik. Dia bernama Deon. Seseorang yang begitu serius mengajaknya untuk menikah.
"Apa yang salah dariku?"
"Apa kamu tidak sadar bahwa aku mencari perempuan lain karena kamu sendiri?"
Rena semakin bingung. "Apa maksud kamu?"
"Aku tidak bisa memuaskan hasratku. Selama kita memiliki hubungan, kamu tidak mau untuk aku sentuh sama sekali. Jangankan berhubungan intim, untuk bersentuhan saja kamu selalu menolak. Zaman sekarang mana ada hubungan yang seperti itu. Apalagi ujungnya kita menikah, apa salahnya melakukannya? Toh aku juga bertanggung jawab."
Rena sangat terkejut sekali. Dia memang tidak ingin melewati batas. Bahkan meskipun dia sudah lama saling mengenal, Rena tetap menjaga diri.
"Apa kamu tidak bisa menunggu? Padahal kita menikah satu bulan lagi."
"Apa bedanya sebelum menikah dan setelah menikah? Bagiku sama saja. Hanya saja kamu terlalu jual mahal. Maka jangan salahkan apa yang aku lakukan sekarang."
Deon sudah sangat gila. Dia bertindak sebagai korban, padahal dialah pelakunya.
"Kamu benar-benar gila," ujar Rena sambil menahan air mata.
Deon mendengus, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. "Gila? Aku hanya jujur, Rena. Hubungan kita bukan lagi hubungan main-main, tapi kamu malah tidak mau untuk disentuh. Sepertinya kamu tidak mencintaiku sama sekali."
Rena menatap Deon dengan penuh kekecewaan. Air mata mulai mengalir di pipinya, tapi dia tidak ingin terlihat lemah. "Aku menjaga diriku bukan karena aku tidak mencintaimu, Deon. Justru karena aku mencintaimu, aku ingin semuanya berjalan sesuai dengan cara yang benar. Aku ingin pernikahan kita suci, tanpa ada yang ternodai."
Deon tertawa sinis. "Suci? Kamu pikir ini zaman apa, Rena? Lihat dunia luar. Semua orang melakukannya. Hanya kamu yang masih percaya dengan prinsip kuno itu."
Rena menggeleng, hatinya semakin hancur mendengar kata-kata Deon. "Prinsip kuno? Itu yang kamu sebut menghargai diri sendiri dan orang yang kamu cintai? Kalau kamu benar-benar mencintai aku, kamu akan menghormati apa yang aku percayai, bukan memaksakan kehendakmu."
Deon melangkah maju, mencoba mendekati Rena, tapi dia segera mundur selangkah, mengangkat tangannya untuk menghentikannya. "Jangan mendekat. Aku bahkan tidak mengenalmu lagi. Deon yang aku kenal bukan orang yang akan menghancurkan hubungan hanya karena nafsu."
Deon mengangkat bahunya, tampak tidak peduli. "Ya sudah, kalau memang kamu tidak mau mengerti aku, mungkin aku juga tidak perlu mengerti kamu lagi."
Kata-kata itu menusuk hati Rena seperti belati. Tapi dia tahu, ini adalah saatnya dia membuat keputusan. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Baiklah jika itu yang kamu pikirkan. Aku membatalkan pernikahan kita. Silahkan kamu jelaskan kepada orang tuamu," katanya tegas, meskipun air mata masih mengalir.
Deon terdiam, tampak bingung. "Ha? Jangan gila kamu. Pernikahan kita tinggal satu bulan lagi. Ibuku juga sangat menyukaimu. Tapi seenaknya kamu membatalkan hanya karena masalah sepele begini."
"Aku tidak mau menikah dengan orang gila seperti kamu. Silahkan menikah dengan perempuan yang ada disampingmu itu. Sepertinya kalian memiliki cara hidup yang sama."
"Ck, terserah kamu. Aku yakin kamu akan menyesal mengatakan ini," ujar Deon.
"Bukan aku yang akan menyesal, tapi kamu," balas Rena. Setelah mengatakan itu, Rena pergi meninggalkan area hotel. Nafasnya semakin tidak beraturan. Ternyata sakit sekali rasanya. Dia memegang dada yang entah kenapa sangat menyiksa sekali.
"Kenapa rasanya sesakit ini?" lirih Rena sambil bersandar dipohon.
***
Bab 2 Penderitaan Rena
Rena pulang ke rumah dengan wajah lesu. Dia sudah puas menangis hingga matanya bengkak. Untungnya Rena membawa kacamata hitam, jadi sepanjang perjalanan pulang ia tidak menjadi pusat perhatian.
Saat Rena membuka pintu rumah. Ayahnya sudah menunggu dengan wajah marah. "Darimana saja kamu?" tanya dengan tegas.
Rena menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya meskipun ia tahu, tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari amarah ayahnya kali ini. Ia menunduk, menutup pintu pelan, dan melangkah masuk dengan langkah berat.
"Aku... aku dari nginap dirumah teman, Ayah," jawabnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
"Bohong, Ayah! Aku udah tanya sama teman-temannya, tapi mereka bilang Kak Rena tidak ada disana," ujar Rilla. Dia adalah adik tiri Rena. Setelah ibu Rena meninggal, ayah menikah lagi. Hubungan Rena dengan ibu tiri serta adik tirinya sangat tidak baik. Ayah seperti orang yang sangat mudah terpengaruh. Padahal Rena adalah anak kandungnya sendiri, tapi selalu diperlakukan dengan buruk.
Rena menatap adik tirinya dengan tajam. Selalu saja, Rilla berusaha membuat Rena terlihat buruk didepan ayah. Rena tidak yakin Rilla menghubungi teman-temannya. Pasti dia berusaha menyudutkan Rena. "Aku tidak bohong," ujar Rena membela diri. "Aku memang menginap dirumah teman," lanjutnya lagi.
"Rumah siapa?" tanya Ayah.
Rena sedikit bingung untuk menjawabnya. Hal ini membuat Rilla tersenyum puas. "Sudahlah, Kak. Tidak usah berbohong."
"Rumah siapa?" bentak Ayah. Aku sampai kaget sendiri. Suaranya sangat keras sekali.
"Mau rumah siapapun, itu terserah aku. Sejak kapan ayah peduli?"
Wajah ayah memerah. Dia bertambah marah mendengar respon Rena. Selama ini Rena hanya diam saat ditindas. Meskipun dia membela diri, tidak ada satupun yang percaya. Bahkan ayahnya sendiri.
"Rena!"
Ayah berdiri dari kursinya, tubuhnya bergetar karena marah. "Kamu bilang apa tadi? Sejak kapan aku peduli? Aku ini ayahmu, Rena!"
Rena menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Kali ini, ia tidak akan mundur. Hatinya terlalu penuh dengan luka dan kemarahan. "Kalau ayah memang ayahku, harusnya ayah percaya padaku bukan pada orang lain."
Plak!
Satu tamparan mendarat. Rena sangat terkejut karena hal ini terjadi secara tiba-tiba. Bahkan dia tidak bisa menghindar sama sekali.
"Jaga ucapan kamu! Siapa yang kamu anggap orang lain itu?" bentak ayah.
Rena memegang pipinya yang terasa panas dan sakit.
"Sudah, Mas. Wajar jika Rena menganggap aku dan Rilla sebagai orang asing," ujar ibu tiri Rena. Dia terlihat seperti malaikat yang selalu membela anak tirinya, tapi pada kenyataannya dia adalah penyebab Rena selalu mendapat perlakukan yang tidak baik dari ayahnya.
"Tidak bisa! Kamu itu istriku dan tentu saja sudah menjadi ibunya. Harusnya dia menghormati kamu," tegas ayah.
"Minta maaf kepada ibumu," ujar Ayah lagi.
Rena membuang muka. Dia tidak salah apa-apa, jadi kenapa harus minta maaf.
"Rena! Minta maaf," suruh ayah.
Rena mengepalkan tangan. Dia tidak ingin minta maaf dan ingin segera masuk ke dalam kamar. Perasaan Rena kacau apalagi setelah memergoki Deon. Dia lelah dan ingin memejamkan mata walau sebentar.
"Aku tidak salah, jadi untuk apa aku minta maaf? Seharusnya ayah bisa melihat siapa yang salah selama ini," ujar Rena. Setelah itu dia melangkah ingin masuk ke dalam kamar. Namun aksi itu tidak bisa dilakukan karena tangan Rena dipegang oleh Rilla.
"Ayah masih bicara, Kakak jangan pergi begitu saja," ujar Rilla.
"Lepas!" pinta Rena.
Rilla tidak melepaskan Rena sama sekali. Dia tersenyum mengejek, itu hanya ditujukan untuk Rena saja. Sudah jelas dia sedang memasang wajah lugu dan patuh kepada orang tua. Padahal itu hanya topeng didepan ayah saja. Rilla mengambil tas Rena dan mengeluarkan semua isinya.
Rena terkejut. "Apa kamu gila?"
Rena buru-buru memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam tas. Namun Rilla menemukan apa yang ia cari. Tampaknya Rilla sudah tahu dimana dia semalam menginap.
"Lihat ayah, kak Rena menginap di hotel." Rilla menyerahkan kertas yang ternyata adalah bukti pembayaran hotel.
Mata ayahnya membelalak saat membaca bukti tersebut. Tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Ia langsung menatap Rena dengan pandangan penuh amarah dan kekecewaan. "Apa ini, hah?!"
"Itu bukan seperti yang Ayah pikirkan," jawab Rena cepat, suaranya mulai gemetar.
"Jangan bohong lagi, Rena! Kamu pikir aku bodoh?! Apa kamu tahu apa artinya ini?! Kamu menginap di hotel mewah semalam, bersama siapa?!" Suaranya menggelegar di ruang tamu, membuat Rena meringis ketakutan.
Rena mencoba menjelaskan, tapi ayahnya tidak memberinya kesempatan. "Apa bersama Deon? Apa kamu tidak bisa tahan, padahal tinggal 1 bulan lagi sebelum kalian menikah. Kamu benar-benar memalukan keluarga! Kamu pikir setelah ibumu meninggal, aku akan membiarkan kamu hidup seenaknya, hah? Kamu ini sama saja seperti dia, perempuan murahan!"
Kata-kata itu menusuk hati Rena. Ia menatap ayahnya dengan mata yang mulai berair. "Jangan bawa-bawa Ibuku ! Ibuku tidak seperti itu!"
PLAK!
Tangan ayahnya melayang, menampar pipi Rena dengan keras. Suara tamparan itu memenuhi ruangan, dan Rena hampir terjatuh ke lantai. Pipinya terasa panas, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kata-kata yang baru saja ia dengar.
"Kamu jangan membantah aku, Rena! Ibu kamu memang begitu, dan sekarang kamu pun sama saja! Perempuan hina!" bentak ayahnya.
Rena memegang pipinya yang memerah, matanya penuh dengan air mata. Namun, ia tidak bisa melawan. Ia tahu, sekeras apa pun ia mencoba menjelaskan, ayahnya tidak akan mendengar.
Rena buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Dia menangis sekuat-kuatnya. Dua tamparan membuat bibirnya terluka saking kuatnya tamparan itu. Hal ini bukan kali pertama, tapi ayah sudah pernah melakukan beberapa kali sebelumnya.
Rena ingin keluar dari rumah ini. Tapi ayah hanya memperbolehkan kalau dia menikah. Kini, pernikahan juga tidak terjadi. Sampai kapan Rena mendekam di rumah yang seperti neraka ini?
***
Bab 3 Pertemuan
Rena berangkat kerja menggunakan masker. Dia pergi pagi-pagi sekali. Sejak pulang pagi kemarin dan mendapat tamparan 2 kali dari ayahnya, Rena tidak keluar dari kamar sama sekali. Dia bahkan tidak makan sama sekali dan hanya minum air keran di kamar mandi. Rena berharap perutnya tidak sakit sama sekali.
Rena merasa lega setelah keluar dari rumah. Dia bisa menghirup udara segar lagi. Mau sebesar apapun rumahnya, Rena tidak merasa nyaman. Berada dirumah seperti berada ditempat yang menyeramkan.
Sebelum menuju ke tempat kerjanya, Rena memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Dia sudah sangat lapar sekali. Jam kerjanya juga masih ada 2 jam lagi. Jadi Rena bisa sedikit santai.
Rena mampir di warung yang menjual sarapan pagi. Rena sering makan disana dan ibunya juga mengenal Rena. Rena bisa memanggilnya Bu Darmi.
"Pagi, Bu..." sapa Rena.
"Eh Rena," ujar Bu Darmi sedikit kaget.
"Ada yang bisa aku bantu nggak, Bu?" tawar Rena. Bu Darmi sangat baik kepada Rena, bahkan saat Rena dulu tidak punya uang karena uangnya ditahan oleh ayahnya, Rena makan disini dengan gratis. Bu Darmi mengetahui sedikit kisah menyedihkan Rena.
"Eh eh, nggak usah. Kamu duduk saja." Bu Darmi melarang, apalagi Rena sudah berpakaian rapi begitu.
"Tapi Bu, aku ma-"
Mata Bu Darmi langsung melotot. "Kalau kamu begini, Ibu bakal larang kamu untuk datang," potongnya.
Rena menghela nafas panjang. "Baiklah, Bu. Kalau butuh bantuan bilang saja."
Bu Darmi mengangguk. "Apa kamu sakit?" tanya Bu Darmi sambil menggoreng goreng tahu.
"Enggak kok."
"Kalau nggak sakit, kenapa pakai masker?" Bu Darmi penasaran.
Rena tertawa kecil. "Style zaman sekarang, Bu. Biasalah."
Bu Darmi geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja ternyata," ungkapnya.
Rena duduk di dekat Bu Darmi sehingga mereka bisa mengobrol. Tidak lama pembeli berdatangan. Warung ini memang terkenal karena yang dijual juga enak-enak. Jadi pantas saja selalu ramai setiap paginya. Apalagi Bu Darmi selalu menjaga kebersihan. Meskipun warung sederhana, tapi soal kebersihan jangan diragukan lagi.
Ada yang membantu Bu Darmi. Dua orang yang dia bawa dari desanya sehingga bisa membantu perekonomian keluarga. Jadi Bu Darmi tidak terlalu kerepotan.
"Kamu jadi mau nikah bulan depan?" tanya Bu Darmi.
Meskipun hatinya sakit, tapi Rena tidak mau menunjukkannya. "Enggak, Bu."
"Ha? Kenapa nggak jadi?" Bu Darmi kaget luar biasa. Untung saja adonan gorengan tidak sampai jatuh.
"Bukan jodohnya, Bu. Jadi ya batal."
Meskipun wajah Rena tertutupi masker, tapi Bu Darmi bisa melihat dari mata Rena betapa dia sedang tidak baik-baik saja. "
"Ya sudah, tidak apa-apa. Masih banyak laki-laki diluaran sana. Ibu kalau ada anak laki-laki yang belum nikah udah ibu jodohin sama kamu."
Rena tertawa kecil. "Sayangnya anak laki-laki ibu sudah nikah," katanya.
Bu Darmi membuatkan pesanan Rena seperti biasa yaitu lontong sayur. Rena membuka maskernya sedikit agar bisa makan.
Tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Tampaknya dia baru saja habis olahraga. Hal ini terlihat dari tubuhnya yang berkeringat. Bahkan penampilannya luar biasa meski hanya menggunakan kaos putih. Tipikal orang yang terbiasa hidup tanpa ada hambatan. Wajahnya tidak jelas karena memakai masker.
"Pesan apa Mas?" tanya karyawan Bu Darmi.
"Biasanya apa yang paling banyak dibeli?"
Karyawan Bu Darmi bingung.
"Seperti itu saja," ujarnya sambil menunjuk piring Rena.
"Baik, Mas."
Tempat duduk lumayan penuh. Jadi mau tidak mau, laki-laki itu duduk disamping Rena. Sebenarnya tidak masalah, toh mereka sama-sama ingin sarapan.
Saat Bu Darmi mengantarkan pesanan laki-laki yang disamping Rena, Bu Darmi melihat wajah Rena yang memar.
"Wajah kamu kenapa?" tanya Bu Darmi. Rena sampai kaget dan hampir menjatuhkan air minum di sebelah kirinya.
Rena menutupi wajahnya kembali dengan masker. "Nggak apa-apa kok, Bu." Rena tidak berani melihat ke arah Bu Darmi. Dia memalingkan wajah ke arah lain.
Bu Darmi tidak bisa diam saja. Dia membuka masker Rena dan terlihatlah bekas tamparan itu dengan jelas.
"Apa Ayah kamu lagi yang melakukannya?" Bu Darmi tampak marah. Bahkan beberapa pembeli juga menatap ke arah Rena.
"Ti-tidak, Bu."
"Tidak usah bohong."
"A-aku tidak bohong kok. Ini karena tidak sengaja kena pintu." Rena mengatakan dengan asal.
"Ya sudah. Nanti kalau apotek depan sudah buka, kamu beli salep atau sejenisnya."
"Baik, Bu."
"Maaf ya, Mas." Rena merasa tidak enak hati dengan laki-laki di sampingnya.
"Hm," jawab laki-laki itu.
Rena kembali menyantap sarapannya. Begitupun dengan laki-laki di sampingnya. Laki-laki di sampingnya lebih dulu selesai makan. Bahkan porsinya lebih banyak dari Rena. Dimana-mana memang laki-laki kalau makan terlihat kasihan. Seperti orang yang tidak makan berhari-hari.
Laki-laki itu bangkit dari kursi. Dia ingin membayar makanannya. Saat memeriksa saku celana, dia tidak mendapati apapun selain ponsel. "Bisa bayar pakai qris, Bu?" tanyanya.
"Bisa." Bu Darmi menunjukkan kode qrisnya.
"Ada apa, Mas?" tanya Bu Darmi karena laki-laki itu tidak kunjung melakukan pembayaran lewat qris.
"Maaf, Bu. Ponsel saya mati. Tunggu sebentar ya, Bu." Laki-laki itu tampak panik dan berusaha untuk menghidupkan ponselnya. Padahal seingatnya baterainya masih ada.
"Baik, Mas."
Rena sudah selesai menghabiskan sarapannya. Dia segera berangkat ke kantor. Rena membayar sarapan yang ia pesan. Meskipun Bu Darmi baik, Rena tidak pernah memanfaatkan kebaikan itu. Apalagi sekarang dia sudah punya uang sendiri.
Rena selesai membayar. Dia segera pergi.
"Berapa tadi totalnya, Bu?" tanya laki-laki itu lagi. Dia bernama Kahfi.
Bu Darmi tersenyum. "Sudah dibayar, Mas."
"Ha? Siapa yang bayar?"
"Perempuan yang baru saja keluar, Mas."
Kahfi ingin membayar lagi dan membiarkan pemilik warung mengembalikan uangnya kepada Rena. Tapi Bu Darmi menolak. "Maaf, Mas. Saya tidak bisa menerimanya."
Kahfi benar-benar tidak ingin berhutang. Dia langsung mengejar perempuan tadi. Saat berhasil mendekat, Rena membuka maskernya dan tersenyum kecil. "Nggak usah diganti Mas, anggap saja rezeki pagi ini," ujarnya santai.
Namun begitu wajah Rena terlihat jelas, tubuh Kahfi seketika membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergemuruh, membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.
Rena tak bisa berlama-lama. Ojek yang ia pesan telah tiba. Dengan cepat, ia melangkah pergi, meninggalkan Kahfi yang masih terdiam.
Saat motor mulai melaju, kesadaran Kahfi kembali. "Tidak mungkin," lirihnya sambil memegang dada. Jantung Kahfi berdetak dengan cepat.
***
Bab 4 Direktur Eksekutif
Kahfi berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Rena. Ia sudah cukup berolahraga dengan lari pagi, bahkan perutnya pun sudah kenyang. Masih ada waktu lebih dari satu jam sebelum ia bersiap ke perusahaan, tetapi perasaannya tidak tenang.
Matanya menatap kosong ke arah dinding, tubuhnya terasa ringan seolah berada di dunia lain. Bayangan wajah Rena terus terlintas dalam benaknya. Jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menghela napas dalam, mencoba mengabaikan kegelisahan yang tiba-tiba menyelimutinya. Apa matanya bermasalah? Ataukah ia hanya berhalusinasi? Entahlah. Yang jelas, pikirannya sedang kacau. Kahfi hanya bisa terbengong seperti orang bodoh.
Ia mengusap wajahnya, mencoba mengembalikan fokusnya. Sebagai Direktur Eksekutif di Conupus Group, ia tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal sepele. Perusahaan yang kini menaunginya bukan sekadar bisnis biasa. Conupus Group adalah produsen kosmetik yang telah meluncurkan 15 brand ternama. Butuh puluhan tahun bagi perusahaan ini untuk mencapai puncaknya. Semua berawal dari kerja keras nenek Kahfi, sang pendiri, yang kini menjabat sebagai komisaris dan masih memiliki pengaruh besar dalam strategi perusahaan.
Dalam keluarganya, tidak ada drama perebutan kekuasaan. Setiap posisi diberikan berdasarkan kemampuan. CEO perusahaan ini dipegang oleh Renaldi, sepupu tertuanya, yang juga anak pertama Bibi Anna. Sementara Kahfi, di usia 30 tahun, telah dipercaya mengelola operasional sehari-hari perusahaan.
"Habis dari mana?" Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.
Kahfi menoleh dan melihat papanya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lelah, sepertinya ia baru saja menyelesaikan operasi darurat.
"Lari pagi," jawab Kahfi singkat. Matanya memperhatikan ayahnya yang baru masuk ke rumah dengan wajah lelah. "Papa baru pulang ya?"
"Hm, ada operasi darurat," balas papanya sambil melepas jas putih yang masih dikenakannya.
Kahfi menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia melihat ayahnya pulang pagi dengan wajah kelelahan. "Kapan sih Papa mau pensiun?" tanyanya dengan pertanyaannya yang sudah sering ia lontarkan.
Papa Kahfi tertawa kecil, sama seperti biasanya setiap kali ditanya hal itu. "Selagi tubuh Papa masih bisa berdiri, Papa nggak akan berhenti."
"Tapi Papa harus banyak istirahat," ujar Kahfi dengan sedikit mengomel.
Papa menggeleng sambil tersenyum. "Ada-ada saja kamu ini. Papa pensiun kalau udah nggak napas lagi."
"Papa ngomong apa sih?!" Mata Kahfi langsung melotot, tak suka dengan candaan itu.
Papa terkekeh, lalu menepuk bahunya ringan. "Makanya jangan tanya terus." Setelah berkata begitu, ia langsung berjalan menuju kamar untuk membersihkan diri.
Tak lama, pintu kamar lain terbuka, dan kakak pertama Kahfi keluar dengan wajah yang tak kalah lelah dari ayah mereka. Rambutnya masih berantakan, matanya sedikit bengkak seperti kurang tidur.
"Wah... Apa Abang juga baru pulang?" tanya Kahfi penasaran.
Kakaknya menguap beberapa kali sebelum akhirnya menjawab, "Hm." Suaranya terdengar malas, masih terbawa kantuk.
Dua kakak laki-laki Kahfi memang mengikuti jejak ayah mereka sebagai dokter. Sementara itu, hanya Kahfi yang memilih jalan berbeda. Bukan karena ia tak mampu, tapi sepertinya darah bisnis dari sang nenek mengalir lebih kuat dalam dirinya.
Sementara ayah dan kakak-kakaknya sibuk di dunia medis, ibunya memilih peran yang berbeda. Sejak menikah, Mama tidak bekerja. Bukan karena dilarang, melainkan karena ia sendiri yang merasa lebih nyaman di rumah. Ia adalah tipe perempuan rumahan yang bahagia dengan kesibukan sederhana yaitu memasak, membersihkan rumah, dan merawat taman kecil di halaman belakang.
Tentu saja, pilihan Mama ini sering mengundang komentar orang luar. Ada yang menganggapnya terlalu penurut pada suami, ada pula yang merasa ia harus "diselamatkan" dari kehidupan yang mereka anggap terlalu terkekang. Tak sedikit pula yang menyayangkan gelar magisternya, seolah pendidikan tinggi hanya layak digunakan di dunia kerja.
Mama mungkin tidak bekerja di luar rumah, tapi ia telah mendidik tiga anak laki-lakinya hingga menjadi seperti sekarang. Dan itu bukan tugas yang mudah.
"Mama mana?" tanya Kahfi, melirik jam dinding. Biasanya, di jam segini, Mama sudah sibuk di dapur. Tapi kali ini, sosoknya tak terlihat.
"Nggak tahu. Aku juga nyari," sahut Abizar, kakaknya.
"Kalau Bang Irsyad?"
"Belum pulang. Masih di RS."
Kahfi tak bertanya lagi. Rasa penasaran membawanya berkeliling rumah mencari sosok yang selalu ada untuk mereka.
"Mama..." panggilnya. Meskipun sudah 32 tahun, tetap saja, sebagai anak bungsu, ada sisi manjanya yang tak bisa hilang.
"Ma..." Suaranya menggema di rumah yang sepi. Ia melangkah ke dapur dan mendapati meja makan sudah tertata rapi. Ada makanan yang masih hangat, segelas jus buah, juga jus sayur yang selalu jadi 'menu wajib' mereka.
Perutnya sebenarnya masih kenyang. Pagi tadi, ia sengaja mencoba sarapan di warung yang selalu ramai. Dan memang enak. Tapi yang lebih mengusik pikirannya adalah sosok perempuan yang membayar makanannya tadi. Entah kenapa, ia jadi ingin kembali ke sana besok. Setidaknya, untuk mengganti uangnya.
"Mama..." teriaknya lagi.
"Mama di belakang," terdengar suara dari arah taman.
Kahfi segera melangkah ke belakang rumah. Di sana, ada kebun kecil yang Mama rawat sendiri. Berbagai macam sayuran tumbuh subur, bahkan anggur pun merambat dengan indah di sudut pagar.
Mama memang suka bereksperimen. Tidak heran, karena jurusan kuliahnya dulu memang berkaitan dengan pertanian.
"Mama lagi ngapain sih?" tanya Kahfi sambil bersandar di pagar kayu.
"Bersihin daun-daun ini," jawab Mama santai, sambil memungut dedaunan yang berserakan di tanah.
"Aku bantuin, gimana?"
Mama langsung menggeleng. "Bukannya bersih, malah tambah rusak."
Kahfi mendecak kesal. Sampai sekarang, Mama masih ingat kejadian ketika ia tak sengaja menginjak beberapa tanaman waktu kecil. Padahal itu sudah lama sekali!
"Oh ya, Papa udah pulang?" tanyanya, mengalihkan topik.
"Udah, mungkin sekarang lagi mandi."
Mama langsung berdiri. "Eh, serius?"
"Iya, Ma. Kayaknya Papa kelelahan."
"Tadi katanya dua jam lagi sampai rumah, kok malah lebih cepat?" gumam Mama, sebelum bergegas meninggalkan kebun.
Kahfi mengikuti di belakang. "Ya udah sih, Ma. Papa juga udah gede, apa-apa bisa sendiri."
Mama terkekeh. "Kamu sama Papa tuh sama aja, letak kaos kaki sendiri aja nggak tahu."
"Tahu kok," protes Kahfi.
"Tahu-tahu, tapi tetap aja nanya ke Mama," balasnya santai.
Kahfi hanya bisa tertawa kecil, sedikit malu.
Dari dalam rumah, tiba-tiba suara Abizar terdengar. "Ma, cokelat di kulkas mana?"
Mama berpikir sejenak. "Kayaknya dimakan Irsyad."
"Dia makan semua?" Abizar terkejut. "Coklatnya banyak, lho!"
"Kayaknya dibawa ke RS," jawab Mama.
"Anak satu itu memang ya," gerutu Abizar.
"Nggak boleh gitu. Kamu juga sering ambil makanannya," tegur Mama.
Abizar nyengir, tak bisa membantah. Kahfi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya itu.
Sebelum masuk kamar, Mama berpesan seperti biasa. "Jangan lupa habisin jus buahnya. Awas aja kalau nggak."
"Iya, Mama," jawab Kahfi dan Abizar serempak.
Jus buah dan sayur memang sudah jadi bagian dari rutinitas mereka. Rasanya? Jujur saja, tidak enak. Tapi karena sudah terbiasa sejak kecil, mereka tak lagi keberatan.
***
Bab 5 Bertemu Kembali
Sudah beberapa hari Kahfi datang ke warung sarapan pagi, tapi dia tidak menemukan keberadaan perempuan yang membayar makanannya dan juga perempuan yang membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Saat bertanya kepada pemilik warung, pemilik tidak tahu pasti apa penyebab Rena tidak datang. Saat Kahfi meminta nomor atau alamat rumahnya, pemilik warung tidak mau memberikan sama sekali. Mungkin pemilik warung mengira Kahfi adalah orang cukup mencurigakan, padahal dia seperti orang pada umumnya. Wajahnya memang sedikit dingin, tapi dia tidak sedingin itu. Kepada orang dekat, Kahfi sangat-sangat kekanak-kanakan sekali.
Kahfi menghela nafas panjang. Duduk sambil menikmati coklat. Kebetulan hari ini di kulkas terdapat banyak coklat.
Awalnya Kahfi tidak terlalu menyukai coklat, tapi kakak pertamanya sering membeli coklat. Jadi Kahfi sedikit ketagihan.
"Kamu kenapa?" tanya Papa yang entah datang dari mana. Kahfi kira Papanya tidak ada dirumah.
"Apanya yang kenapa?" balas Kahfi bingung.
"Kata Mama, beberapa hari ini kamu nggak sarapan dirumah."
Kahfi meneguk air ludahnya dengan susah payah. "A-aku sarapan di luar karena lari pagi, Pa,"katanya berusaha mencari alasan yang sedikit bisa diterima.
Papa menatap sang anak. "Kamu bukan tipe orang yang suka jajan diluar."
Kahfi menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Setiap orang bisa berubah, Pa, termasuk aku."
"Oh begitu..." Papa mengangguk-anggukan kepala.
"Apa mama sedih?"
Papa menggeleng. "Mama malah senang."
"Kok bisa?" Mata Kahfi melotot.
"Mama baru sadar kalau selama ini kamu terlalu dimanja. Semua selalu ada, apalagi kalau bukan masakan Mama kamu nggak nafsu untuk makan. Tapi karena sekarang kamu sering sarapan diluar jadi Mama senang."
"Aku nggak manja, Pa!" rengek Kahfi. Dia tidak mau dibilang manja, tapi pada kenyataannya memang seperti itu.
Papa terkekeh. "Iya iya nggak manja."
Papa mengacak rambut Kahfi dengan gemas padahal anaknya sudah berusia 32 tahun.
"Papa ih, rambut aku jadi berantakan," keluh Kahfi tidak suka.
"Ulu ulu, anak bungsu Papa ini."
Kahfi langsung menjaga jarak. Dia bukan manja, tapi memang keluarganya memperlakukan dia seperti anak kecil bahkan sampai sekarang.
"Kenapa kalau sama Bang Abizar atau Bang Irsyad, Papa nggak begitu?"
"Begitu apanya?" Papa mengambil remot dan mengganti chanel televisi.
"Papa kan suka ngacak rambut aku, terus suka cubit pipiku juga. Kenapa sama Bang Abizar atau Bang Irsyad nggak pernah?" Setelah 32 tahun, Kahfi baru mengajukan keluhan.
"Kalau Papa ngacak rambut Abang pertamamu, bisa-bisa dia langsung keluar dari rumah ini. Kalau abang keduamu, bisa-bisa dia nggak akan keluar kamar. Padahal Papa membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang, tapi kenapa mereka berdua dingin begitu? Apa mereka berdua benar anak Papa?" Papa berpua-pura akting sedih.
Kahfi nyaris tertawa. Jelas saja anak Papa, mana mereka bertiga mirip lagi.
"Jelas lah, mereka jelas-jelas mirip Papa."
"Iya juga." Papa mendapatkan chanel tv yang sesuai dengan seleranya.
Papa mau mengambil coklat ditangan Kahfi, namun kahfi langsung menjauhkannya. "Mama larang, katanya Papa nggak boleh makan coklat."
"Sedikit aja," bujuk Papa.
Kahfi menggeleng. "Aku takut sama Mama, Pa. Jadi tolong kerjasamanya."
Papa menghela nafas panjang. Kalau sudah ratu yang bertitah, tidak ada yang bisa membantah.
"Oh ya, besok bisa minta tolong ke rumah makan gratis nggak?"
"Emang kenapa, Pa?"
"Dipantau saja, apa berjalan baik atau enggak. Kemudian dicek apa ada yang kurang atau sebagainya," jelas Papa.
"Bisa aja sih, Pa," balas Kahfi. Dia juga tidak punya kegiatan di weekend ini. "Aku sendiri?" tanya lagi.
Papa mengangguk. "Jangan terlalu mencolok," sarannya.
Kahfi mengangguk. Rumah makan gratis adalah salah satu program sosial milik keluarga besar yang didirikan oleh kakek Kahfi untuk memberikan makan gratis pada orang-orang yang memang butuh. Terkadang ada orang yang tidak makan seharian. Jadi tempat itu bisa menjadi salah satu opsi untuk perut mereka. Namun bukan keluarga Kahfi yang mengurus, sudah ada orang terpercaya yang mengurus dan terkadang ada juga relawan yang ikut membantu. Tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa pemiliknya meski sudah masuk berita, artikel dan viral di sosial media.
***
Sesuai keinginan Papa, Kahfi bersiap ke rumah makan gratis. Biasanya rumah makan gratis dibuka saat jam makan siang. Kahfi menggunakan baju putih dan celana hitam, dia tidak punya pakaian lain yang lebih terlihat sederhana. Baju putihnya pun sedikit sudah berwarna kuning karena terkena luntur dari pakaian abangnya.
Kahfi pergi menggunakan sepeda. Dia segera mengayuh ke rumah makan gratis yang jaraknya kira-kira selama 1 jam perjalanan dengan sepeda.
Sepanjang jalan, Kahfi berkeringat. Apalagi sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kahfi sampai ke tempat rumah makan gratis. Ternyata dia datang terlambat sekali. Orang-orang sudah antri untuk mengambil makanan. Antriannya sangat panjang. Kahfi turun dari sepeda. Dengan membawa tas ransel dia mendekat dan berbaris ke tempat antrian. Kahfi memantau dengan serius. Apakah memang porsi makanan yang diberikan sesuai dengan laporan yang diterima keluarga besarnya atau tidak.
Kebanyakan yang mengantri orang yang sudah lanjut usia, tapi ada juga anak muda karena memang bebas untuk semua umur.
Lama mengantri ternyata membuat Kahfi yang terakhir mendapatkan makanan tersebut sehingga satu orang di belakangnya tidak kebagian. Sebenarnya berapa jumlah porsinya? Tampaknya sudah banyak mengingat begitu banyak yang mengantri.
"Mas... bisa makanannya untuk saya saja nggak?" tanya orang di belakang Kahfi.
Kahfi mengerutkan kening.
"Kelihatan Mas kayak orang punya uang," ujar orang tersebut.
Apa karena penampilannya? Mungkin saja. Kahfi tidak keberatan memberikannya, tapi seharusnya seseorang tidak menilai dari penampilan.
"Saya belum makan siang, Mas. Tolong berikan kepada saya," ujarnya lagi.
Kahfi memberikannya. Mas-mas itu mengucapkan terima kasih. Tampaknya jumlah porsinya kurang. Kahfi sudah cukup memantau, lebih baik dari segera pergi dari sana.
Namun sebelum itu terjadi, seseorang memanggilnya. "Mas... mas... tunggu sebentar," ujar suara tersebut.
Kahfi langsung membalikkan badan. Pupil matanya sedikit melebar. Dia benar-benar kaget luar biasa. Kahfi takut penglihatannya salah,jadi dia mengucek matanya berulang-ulang kali. Tapi tetap saja tidak ada yang berubah. Jantung Kahfi kembali berdetak dengan cepat.
***
Bab 6 Perempuan Menarik
"A-ada apa, Mbak?" Kahfi terkejut dengan dirinya sendiri. Kenapa gugupnya terlihat begini. Padahal dia sudah berusaha untuk tetap tenang dan terlihat biasa saja.
"Mas mau kemana?" tanya Rena dengan suara lembut. Bahkan dia tersenyum ramah.
Kahfi semakin gugup. Ada apa dengan dirinya? Padahal hal seperti sangat lazim sekali. Apalagi Rena mengenakan jaket yang menandakan jika dirinya adalah seorang relawan. Kahfi benar-benar sudah gila.
"Pulang, Mbak." Kahfi menjawab tanpa menatap Rena. Tapi tampaknya Rena tidak mengenal dirinya. Kahfi jadi sedih sendiri. Apalagi melihat ada informasi nama Rena di pakaian relawannya. Ternyata memang benar, dia orangnya.
"Ets, jangan pulang dulu, Mas."
"Kenapa jangan, Mbak? Saya juga tidak dapat makanan gratisnya, jadi untuk apa tetap disini?" Kahfi pura-pura merasa kecewa karena tidak mendapatkan makanan gratis. Mungkin ada beberapa orang yang juga mengalami hal yang sama sepertinya. Dia harus menjalankan tugasnya seperti permintaan sang papa. Jangan sampai pikirannya mengacaukan tugasnya.
"Maaf, Mas. Kami juga sudah berusaha untuk menyediakan makanan dalam porsi banyak, namun banyaknya yang datang tidak bisa kami prediksi." Rena menundukkan sedikit kepalanya. Padahal memang juga bukan kesalahannya. Kahfi merasa bersalah sendiri.
"Ya sudah kalau begitu, Mbak. Saya mau pulang."
"Tunggu sebentar, Mas."
"Apa lagi, Mbak?" Kahfi sudah seperti orang yang tidak tahu diri. Tapi dia hanya ingin melihat reaksi Rena saat menghadapi orang seperti dirinya.
Rena mengulurkan plastik. "Ini untuk Mas," jelasnya.
Kahfi mengerutkan kening. "Apa ini?"
"Makanan, Mas. Walaupun porsinya tidak banyak, tapi setidaknya bisa mengenyangkan perut."
Kahfi terkejut. Sepertinya di dalam plastik itu bukan makanan dari rumah makan gratis. "Tidak usah, Mbak." Kahfi menolak.
"Ambil saja, Mas. Ini makanan bagus kok." Rena khawatir jika Kahfi berpikir bahwa dia memberikan makanan yang tidak layak.
"Yang bilang tidak bagus siapa, Mbak?"
Rena menunduk dalam.
"Saya tidak lapar lagi, Mbak. Jadi tidak usah." Kahfi berniat untuk tidak mengambilnya.
"Jangan seperti itu, Mas. Meskipun ini bukan makanan dari rumah makan gratis, tapi rasanya juga enak kok."
Kahfi tambah bingung. "Memang ini makanan siapa, Mbak?"
"Ini makanan saya sendiri."
"Kalau makanan sendiri, kenapa memberikan kepada orang lain?"
"Saya membawa cukup banyak, jadi Mas bisa memakannya. Saya harap Mas tidak menolak."
Kahfi semakin penasaran. Apa memang banyak? Tampaknya perempuan di depannya tidak bisa berbohong sama sekali.
"Kenapa Mbak memberikan kepada saya?"
"Karena Mas sedang butuh."
Kahfi nyaris tertawa. Tapi dia berusaha untuk tetap terlihat biasa saja. "Padahal penampilan saya rapi begini, Mbak. Orang-orang tidak akan percaya kalau saya tidak punya uang untuk makan. Lalu kenapa Mbak begitu percaya kalau saya memang lapar dan tidak ada uang?"
"Tidak ada yang tau apa yang dialami seseorang. Hanya karena dia berpenampilan rapi, bukan berarti dia tidak mengalami hari yang buruk. Saya juga pernah seperti itu. Berpakaian rapi karena ingin mencari pekerjaan, tapi uang tinggal sedikit dan tidak cukup untuk membeli makanan. Rumah makan gratis menjadi tempat yang luar biasa bagi orang yang mengalami hal seperti itu. Jadi saya tidak pernah menilai seseorang dari penampilannya," jelas Rena.
Kahfi merasa takjub sekali. Pemikiran yang luar biasa dan belum tentu orang lain akan seperti itu. Ternyata Rena tidak pernah berubah. Dia masih sangat luar biasa.
"Bagaimana kalau saya sebenarnya punya uang tapi saya malah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan hak saya?"
"Itu urusan Mas dengan Allah. Baik saya dan semua relawan tidak berhak menilai seseorang hanya dari penampilan saja. Jika memang lapar dan datang ke sini, maka kami akan melayani dengan sebaik mungkin."
Kahfi tidak bisa berkata-kata lagi. Dia mengambil plastik yang diberikan oleh Rena.
"Mas bisa makan disitu," ujar Rena sambil menunjuk tempat yang kosong sehingga bisa diduduki oleh Kahfi.
"Terima kasih, Mbak."
Kahfi duduk. Tidak hanya itu, Rena juga mengambilkan air bukan hanya untuknya tapi untuk beberapa orang yang tidak sempat mengambil air minum sendiri.
Kahfi tidak boleh hanya diam saja. Rena memiliki daya tarik sehingga membuat Kahfi begitu penasaran. Apalagi kali ini adalah pertemuan kedua.
"Kalau boleh tau, nama Mbak siapa ya?" tanya Kahfi. Padahal dia sudah tahu.
"Rena, Mas."
"Apa tiap hari jadi relawan disini?"
Rena menggeleng. "Hanya di hari libur saja, Mas. Soalnya saya juga bekerja."
Kahfi ingin bertanya lagi, namun Rena sudah dipanggil salah satu rekan relawan. Dia sedikit kecewa. Apalagi Rena begitu tampak dekat. Wajar saja, apalagi sesama relawan. Kahfi saja yang pikirannya sedikit aneh.
Kahfi memperhatikan Rena. Seorang laki-laki mengulurkan sesuatu dan Rena mengambilnya. Apa itu? Kahfi penasaran. Setelah itu, Rena menghilang karena masuk ke dalam sebuah ruangan.
Kahfi tanpa sadar menghabiskan makanan yang diberikan oleh Rena. Dia tersenyum tipis. Tapi hanya sebentar, apalagi dia tidak kunjung melihat Rena keluar.
Akhirnya Kahfi memberanikan diri bertanya kepada relawan yang lewat. "Maaf, Mbak..."
"Iya, ada apa?" Relawan itu juga ramah seperti Rena.
"Mbak Relawan yang pakai jilbab hijau dimana ya?"
Relawan itu berpikir sebentar. "Jilbab hijau?"
Kahfi mengangguk.
"Oh Rena ya?"
Kahfi kembali mengangguk dengan antusias.
"Rena lagi makan, Mas. Dia belum makan sejak pagi."
"Oh gitu."
"Iya, Mas. Apalagi tadi makanan untuknya malah dikasih ke orang lain. Padahal dia juga lapar," lanjut Relawan itu lagi.
Kahfi terdiam. Apalagi dialah orang lain yang diberikan makanan oleh Rena. Rena memang tidak bisa ditebak sama sekali. Bahkan Kahfi sendiri tidak mungkin melakukan apa yang Rena lakukan. Namanya juga lapar.
"Oh begitu ya, Mbak."
"Iya, Mas. Oh ya, emang kenapa ya, Mas? Apa ada yang bisa dibantu?"
Kahfi menggeleng. Setelah itu dia mengucapkan terima kasih dan segera pulang ke rumah.
Sepanjang jalan, pikiran Kahfi dipenuhi oleh Rena Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa bertemu kembali meski Rena tidak ingat dengan dirinya. Kahfi tersenyum sambil Kahfi mengayuh sepeda dengan kencang. Dia ingin segera cepat sampai di rumah.
***
Bab 7 Rencana Gila
"Papa..." teriak Kahfi yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama, Papa beserta Irsyad langsung menatap ke arah sumber suara.
"Ya Allah, Nak. Salam dulu kalau masuk rumah," tegur Mama.
Kahfi langsung menyengir. Setelah itu dia mengucapkan salam dan keluarga membalasnya.
"Habis Dari Mana?" tanya Irsyad sedikit bingung. Apalagi penampilan adik bungsunya itu tampak berantakan sekali. Tidak seperti biasanya yang serba rapi.
"Papa suruh lihat rumah makan gratis," jelas Papa mewakilkan Kahfi.
Irsyad menganggukkan kepala tanda mengerti. Kahfi langsung duduk di samping Mamanya. Jangan tanya dimana abang pertamanya, paling ada di RS.
"Terus gimana? Apa berjalan lancar?" tanya Mama penasaran.
Kahfi langsung menjelaskan dengan antusias hasil pemantauan yang dia lakukan. Dia juga memberi usul kepada Papa apa yang harus ditambah dan diperbaiki. Selebihnya masih aman dan berjalan baik.
"Kamu kenapa senyam-senyum aja?" Papa merasa aneh. Lihat saja orang lagi fokus menonton, Kahfi malah tidak sadar sedang tersenyum.
"Ha? Aku?" Kahfi kaget.
"Iya... Mama lihat kamu senyam senyum ada dari tadi. Emang ada apa?" Mama juga merasakan hal yang sama.
Kahfi menggaruk leher yang tidak gatal. "Nggak ada apa-apa kok," jawabnya.
"Serius?" Mama semakin penasaran. Apalagi melihat respon kikuk Kahfi.
"Iya, serius." Kahfi mulai berdiri dari sofa. Dia ingin kabur secepat mungkin. "A-aku mau mandi dulu," ujarnya cepat karena tidak ingin ditanya-tanya lagi.
"Dia kenapa, Mas?" tanya Mama setelah Kahfi masuk ke dalam kamar. "Mas nggak tau, Sayang," balas Papa.
"Lagi kasmaran mungkin," tebak Irsyad secara asal. Papa dan Mama langsung menatapnya. "Ha? Apa kelihatan begitu?" tanya mereka secara serentak.
"Mungkin," jawab Irsyad.
Mama menutup mulut saking tidak percaya. "Wah... " ujarnya dengan wajah yang penuh antusias. Papa juga antusias. Bayangkan saja, ketiga anak mereka sudah kepala tiga namun belum ada yang menikah. Ketika ditanya, mereka hanya menjawab tidak tahu. Mama sampai frustasi karena takut anaknya tidak laku-laku. Sayang sekali tidak ada generasi ketiga yang muncul.
"Kita harus gimana, Mas?" tanya Mama Kahfi kepada sang suami. "Apa kita cari-cari rumah pengantin dulu?"
"Atau kita cari WO dulu? Mbak Anna pasti tau tempat WO yang bagus. Duh duh... aku jadi nggak sabar." Mama memegang kedua pipinya sendiri. Matanya terlihat berbinar-binar.
Irsyad hanya bisa geleng-geleng kepala melihat bagaimana mamanya begitu antusias. Kalau tahu begini, Irsyad tidak akan mengatakan kalau sang adik sedang kasmaran. Bahaya kalau tebakannya salah, apalagi Mama dan Papanya sudah berharap sekali.
"Maaf Kahfi," ucapnya dari dalam hati merasa bersalah pada sang adik. Pasti Mama tidak akan melepaskan Kahfi begitu saja.
***
Rena pulang sekitar pukul sembilan malam . Dia sudah 4 tahun menjadi relawan di rumah makan gratis. Rasanya menyenangkan saja. Dia juga tidak mau berada dirumah saat libur, terlalu menyesakkan. Rena masuk ke dalam rumah. Ibu dan adik tirinya ada di ruang keluarga. Duduk sambil menonton televisi dengan santai.
"Darimana saja kamu?" tanya ibu tiri Rena. Tatapan tidak sukanya terlihat jelas. Kalau ada ayah, pasti ibunya pura-pura baik. Dasar bermuka dua dan Rena sudah sangat muak selama ini.
"Darimana aja terserah aku," jawab Rena dengan berani. Semakin dia besar, semakin Rena tidak ingin disakiti lagi.
Ibu tiri Rena langsung melotot. "Ternyata kamu sudah berani melawan ya?" Dia berdiri dan melipat tangannya di depan dada, menatap Rena dengan tatapan tajam. "Jangan mentang-mentang sudah besar, kamu bisa seenaknya bicara seperti itu!"
Rena tetap berdiri tegak, meskipun hatinya bergetar hebat. Ia tahu, setiap kali ia membela diri, ibunya pasti akan mencari cara untuk membuatnya terlihat buruk di mata ayahnya.
Dan benar saja, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ayahnya muncul dari dalam kamar, ekspresinya sudah menunjukkan ketidaksabaran.
"Ada apa ribut-ribut?" tanyanya dengan nada berat.
"Anakmu ini, Mas!" Ibu tirinya menunjuk Rena dengan ekspresi penuh tuduhan. "Keluar dari pagi dan baru pulang jam segini. Seharusnya dia dirumah saja bukan malah keluyuran. Apalagi dia baru saja batal menikah, apa dia tidak memikirkan omongan tetangga?"
"Darimana kamu?" tanya ayah dengan nada galaknya.
"Aku dari rumah makan gratis," jawab Rena.
"Buang-buang waktu saja. Apa kamu tidak punya kegiatan lain? Banyak orang yang walaupun libur mencari pekerjaan sampingan."
Ayah selalu menganggap Rena membuang-buang waktu karena menjadi relawan. Namanya juga relawan pasti tidak dibayar dan Rena juga melakukan dengan ikhlas.
"Aku capek, Ayah."
"Kalau capek, harusnya kamu dirumah bukan malah melakukan hal yang tidak jelas!"
Rena berusaha menahan diri agar tidak meledak-ledak. Dia hanya diam saja mendengarkan sang ayah mengomel. Ibu tirinya juga ikut menambah minyak di kobaran api.
"Ikut ayah," ujar Ayah setelah mengomel panjang kali lebar. "Ada apa, Yah?" tanya Rena bingung.
"Ikut saja," jawab Ayah tidak ingin dibantah.
Rena mengikuti ayah dari belakang. Ayah masuk ke dalam kamar, dia seperti mengambil sesuatu. Benar saja sebuah amplop berwarna coklat. Dia memberikan amplop itu kepada Rena.
"Apa ini?" tanya Rena.
"Lihat sendiri."
Rena membuka amplop dan melihat isi dalamnya. Terdapat beberapa foto dan Rena bertambah bingung karena dia tidak mengenal satupun.
"Pilih salah satu," kata ayah.
"Untuk apa?"
"Kamu akan ayah jodohkan."
Tangan Rena gemetaran. Merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dengar. Apalagi dia baru saja batal menikah.
"Apa ayah serius?"
"Iya."
Mata Rena mulai berkaca-kaca. Apalagi yang dijodohkan dengan Rena bukanlah orang yang seumuran dengannya. Lebih tepatnya orang yang sudah tua.
"Aku tidak mau!" Rena menolak.
"Kenapa tidak mau? Mereka orang baik."
Rena mengepalkan tangannya. "Baik?" beonya. "Bagaimana mungkin ayah tega menjodohkan anak sendiri dengan orang yang seumuran dengan ayah?" lanjutnya.
"Walaupun begitu, mereka memiliki banyak uang. Setidaknya hidup kamu tidak akan susah."
Ayahnya memang sudah gila. Rena sampai tidak percaya.
Rena sampai tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Seakan tubuhnya membeku di tempat, napasnya tercekat.
"Ayah pikir aku ini apa? Barang yang bisa diperjualbelikan demi uang?" suaranya bergetar, antara marah dan putus asa.
Ayahnya mendengus. "Jangan bodoh, Rena. Ini demi kebaikanmu juga. Setelah apa yang terjadi, siapa yang masih mau menikahi perempuan seperti kamu?"
Ucapan itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Rena mengepalkan tangannya erat-erat. "Perempuan seperti aku? Apa maksud ayah? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!"
"Kamu batal menikah, hampir satu kompleks ini tau. Apa kamu tidak malu?"
"Apa yang salah dari batal menikah? Bukan aku yang melakukan kesalahan jadi aku merasa malu sama sekali."
"Jangan membantah dan ikuti saja apa kata ayah!" tegasnya.
"Aku tidak mau! Sampai kapanpun aku tidak mau. Kalau ayah ingin mendapatkan uang dengan cara instan, nikahkan saja anak ayah yang lain dengan salah satu orang ini." Setelah itu, Rena masuk ke dalam kamar. Air matanya mengalir dengan deras.
Tega sekali ayahnya seperti itu. Rena sedang kacau tapi dia malah melihat kamarnya berantakan. Baju di dalam lemari keluar. Rena langsung mengecek dan memastikan apa yang hilang. Benar saja, baju yang ia beli dua hari lalu sudah tidak ada dilemari. Pasti Rilla yang mengambilnya. Tangis Rena semakin menjadi-jadi namun tangisnya tidak bersuara sama sekali.
Rena ingin keluar dari rumah ini secepat mungkin. Dia sudah tidak tahan lagi. Kalau dia tetap berada disini, maka Rena akan jadi gila.
***
Bab 8 Mimpi Basah
Kahfi meneguk air ludah dengan susah payah saat seorang perempuan membelai tubuhnya. Namun dibanding itu, dia sangat merasa senang sekali. Jantungnya berdetak dengan cepat. Menikmati setiap sentuhan yang dia alami. Matanya sampai terpejam. “Kamu terlihat tampan sekali,” ujarnya dengan suara yang terdengar luar bisa ditelinga Kahfi.
Kahfi merasakan jemari lembut itu bergerak perlahan di sepanjang dadanya, meninggalkan jejak kehangatan yang membuatnya bergidik. Siluetnya yang samar dalam cahaya temaram. Tapi suara perempuan itu… begitu lembut, begitu menggoda.
"Apa aku boleh lebih dekat?" bisiknya, tepat di telinga Kahfi.
Jantung Kahfi seperti hendak meledak. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Perempuan itu tersenyum samar, jemarinya bergerak lebih berani, menyusuri rahangnya, lalu turun ke lehernya. Sentuhan itu seperti api yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menghangatkan setiap bagian dirinya. Kahfi menelan ludah lagi, tubuhnya tegang dalam kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kamu benar-benar menggoda," suara perempuan itu semakin pelan, hampir seperti bisikan. "Aku ingin lebih…"
Perempuan itu mendekat, napasnya hangat menyapu kulit Kahfi. Wangi samar dari tubuhnya menyeruak, membuat Kahfi semakin terjerat dalam sensasi ini.
Lalu, bibir mereka hampir bersentuhan-
BRAK!
Kahfi tersentak bangun, tubuhnya melompat dari tempat tidur. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. Ia masih bisa merasakan sensasi hangat dari sentuhan dalam mimpinya. Tapi begitu ia sadar apa yang sebenarnya terjadi, wajahnya memanas seketika.
Sial!
Matanya melirik ke bawah, dan saat itu juga, ia merasa ingin menampar dirinya sendiri.
Apa-apaan ini?!
Darahnya seperti berhenti mengalir sesaat. Ada kehangatan lengket yang tidak perlu dipastikan lagi penyebabnya. Ia menelan ludah. Ini… sudah lama sekali.
Bukan, bukan sekadar lama. Kahfi bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mengalami hal semacam ini. Bukankah mimpi basah itu hal yang dialami remaja? Kenapa di usia 32 tahun, dia justru mengalami hal memalukan seperti ini?
Parahnya lagi, ia ingat betul siapa yang muncul dalam mimpinya.
Rena.
Kahfi langsung menutup wajah dengan kedua tangan, merasa sangat frustasi. Apa-apaan ini? Sekarang otaknya malah memainkan adegan absurd seperti ini saat tidur?
Tidak bisa.
Kahfi buru-buru bangkit dari tempat tidur dan melirik jam dinding. Masih pukul 3 pagi. Dengan cepat, ia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi.
Tanpa pikir panjang, ia memutar keran dan membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Sensasi dingin menusuk kulitnya, tapi itu lebih baik daripada membiarkan pikirannya melayang-layang ke arah yang tidak semestinya.
Kahfi mengusap wajahnya, mencoba mengusir semua pikiran gila yang bersarang di kepalanya.
"Apa ini?" gumamnya frustasi.
Seharusnya dia tidak seperti ini. Seharusnya dia tidak sampai terbawa perasaan hanya karena seorang wanita yang bahkan baru dia kenal. Tapi mengapa bayangan Rena tidak mau pergi dari pikirannya?
Kahfi mendesah panjang. Mungkin dia hanya perlu lebih sibuk agar pikirannya tidak terus-terusan teralihkan oleh seseorang yang bahkan bukan siapa-siapanya.
Tapi, entah kenapa, perasaan aneh itu masih tetap ada.
Dan sialnya, dia tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah berendam dengan air dingin, tubuh Kahfi sedikit mengigil. Dia bahkan menggunakan jaket yang sangat tebal. Hidungnya juga tiba-tiba pilek. Kahfi memutuskan untuk keluar kamar. Sepertinya dia membutuhkan susu hangat. Saat keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah, Kahfi melihat lampu dapur menyala. Ada suara yang berasal dari sana. Kahfi mengerutkan kening.
Perlahan, Kahfi melangkah menuju dapur. Suara panci yang beradu dengan sendok terdengar samar. Begitu ia masuk, pemandangan yang cukup langka tersaji di hadapannya.
Irsyad, kakak keduanya, sedang berdiri di depan kompor dengan wajah mengantuk, sesekali menguap sambil menuangkan mie instan dari panci ke mangkuk. Rambutnya berantakan, kaosnya kusut, jelas sekali kalau dia baru saja pulang dari rumah sakit.
Kahfi baru saja hendak membuka mulut untuk menyapa, tetapi sebelum sempat mengatakan apa pun, Irsyad menoleh dan langsung terpaku.
"Han-"
Tangannya yang memegang mangkuk hampir terlepas, mie instan di dalamnya berguncang hebat. Beruntung refleksnya masih bekerja dengan baik, sehingga makanan itu tidak berhamburan ke lantai.
"GILA!" seru Irsyad, matanya membesar. "Ya ampun, Kahfi! Aku kira setan!"
Kahfi yang masih berdiri di ambang pintu dapur mengerutkan kening. "Hah?"
Irsyad menghela napas panjang, meletakkan mangkuknya dengan hati-hati di meja. "Kau ngapain keluar kamar jam segini pake jaket tebel gitu? Muka pucet, hidung merah, rambut basah kayak hantu yang baru nyemplung ke kali! Aku nyaris kena serangan jantung, tahu!"
Kahfi mendengus kesal, tetapi sadar bahwa kondisinya memang agak menyedihkan. "Aku kedinginan, makanya pakai jaket."
Irsyad masih menatapnya dengan curiga. "Kamu yakin cuma kedinginan?"
Kahfi tidak langsung menjawab. Bukannya menjelaskan, ia justru berjalan ke arah kulkas, mengambil sekotak susu, dan mulai menuangnya ke dalam cangkir.
Irsyad menyipitkan mata,rambut adiknya basah. Dia pasti mandi air dingin sampai pilek begitu. Irsyad tiba-tiba terkekeh kecil. "Jangan bilang kamu baru ngalamin mimpi aneh?" tebaknya.
Kahfi yang baru hendak memanaskan susu di microwave langsung tersedak ludah. Ia menoleh tajam. "AP—APAAN SIH?!"
Irsyad tertawa makin keras. "Fix! Aku bener, ya?"
Kahfi buru-buru memalingkan wajah, tapi itu hanya membuatnya semakin mencurigakan. Ia berdeham keras. "Udah, dong. Abang makan aja sana. Nggak usah sotoy."
Tapi sialnya, Irsyad tidak semudah itu menyerah. Dengan ekspresi usil, ia menyandarkan tubuh ke meja dapur. “Ulu ulu, anak Mama yang usianya udah menginjak kepala tiga ternyata bisa mimpi basah juga."
“Abang!” kesal Kahfi. Dia sangat malu sekali.
Lagi dan lagi, Irsyad tertawa. “Sayang banget Bang Abizar nggak ada dirumah,” celetuknya lagi.
“Siapa ceweknya? Kelihatan jelas nggak?” Irsyad semakin penasaran.
Mata Kahfi langsung menajam. “Abang bisa diam nggak?”
“Iya iya. Gitu aja marah. Mimpi basah juga normal, jadi nggak usah panik gitu."
Kahfi berusaha untuk tidak memperdulikan abang keduanya itu. Dia fokus membuat susu hangat karena memang membutuhkannya.
“Kahfi,” panggil Irsyad dengan nada menggoda. “Kayaknya Abang harus kasih tahu Mama deh, anak bungsunya mulai kepikiran cewek.”
“Coba aja kalau berani,” ancam Kahfi sambil mengepalkan tangan.
Bukannya takut, Irsyad malah semakin tertawa. Adik bungsunya itu lucu sekali.
***
Bab 9 Si Mantan
Rena bekerja sebagai staf IT di sebuah perusahaan kecil dengan gaji UMR. Meski begitu, ia tetap bersyukur. Sejak pertama kali bekerja, ia rajin menabung, mempersiapkan diri untuk saat ia harus meninggalkan rumah. Dan kini, tabungannya cukup untuk menyewa kontrakan yang nyaman dan tidak jauh dari kantor.
Hari ini, pikirannya sulit fokus. Ayahnya terus-menerus mendesaknya untuk bertemu pria yang dijodohkan dengannya. Berkali-kali ia menolak, tapi ayahnya seakan tak peduli. Seolah-olah kewarasannya telah tergadai demi uang.
Padahal, ayahnya memiliki toko sembako yang sebenarnya bisa berkembang jika dikelola dengan baik. Namun, tanpa kehadiran ibu, toko itu stagnan bahkan nyaris merugi. Kini, entah dari mana, ayahnya mulai memperkenalkan pria-pria yang katanya cocok untuk Rena. Ada duda, pria beristri, bahkan yang usianya terpaut jauh darinya. Melihat mereka saja sudah membuat Rena bergidik. Bukan soal usia, tapi firasatnya mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang bisa dipercaya.
Rena tahu, ia harus segera menikah. Bukan karena ingin, tapi karena butuh jalan keluar dari rumah. Ia tak peduli apakah pria itu punya pekerjaan atau tidak. Selama bisa membebaskannya dari ayahnya maka tidak masalah.
Sepanjang hari, ia mencari cara. Bahkan, ia sampai mengunduh aplikasi pencarian jodoh. Namun, keraguan menyerangnya. Bagaimana jika pria yang ditemuinya sama saja seperti Deon? Atau lebih buruk? Ketakutan itu terus menghantui.
Ketika jam kerja usai, Rena sengaja berlama-lama di kantor. Ia ingin pulang lebih lambat, berharap suasana rumah sudah lebih tenang. Namun, saat melangkah keluar, seseorang sudah berdiri di dekat pintu.
Langkahnya terhenti. Dadanya menegang.
Tanpa ekspresi, Rena berjalan melewati pria itu, seolah tak mengenalnya.
"Rena..." Suaranya terdengar ragu, nyaris tertelan angin malam.
Puntung rokok di tangannya jatuh ke tanah sebelum ia buru-buru mematikannya dan membuang ke tempat sampah. Begitu sadar Rena tak menggubrisnya, pria itu melangkah lebih cepat, mengejar.
"Ren, tunggu!"
Rena tetap berjalan, enggan memberi sedikit pun perhatian. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik. Sentuhan itu membuatnya terhenyak. Dengan gerakan cepat, ia menghempaskannya.
"Apa yang kamu lakukan?" desisnya, napas sedikit bergetar antara marah dan muak.
Deon, pria yang seharusnya menjadi calon suaminya, sebelum ia memergokinya tidur dengan mantannya berdiri di depannya. Tatapan matanya tajam, tetapi ada kegelisahan di sana.
“Apa kamu blokir nomorku?” tanyanya langsung.
Rena mendecak. "Apa urusannya denganmu?"
"Jelas saja ada! Aku ini calon suamimu!"
Rena terdiam sejenak, lalu tertawa. Tawa yang penuh ejekan. "Kamu bilang apa?"
Deon mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah. “Ya, kita akan menikah, Rena. Kamu tidak bisa menghilang begitu saja.”
"Kita?" Rena melipat tangan di dada, menatapnya seakan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang paling konyol di dunia. “Kamu pikir aku masih mau menikah denganmu setelah apa yang kamu lakukan?”
Deon menarik napas dalam-dalam. “Aku minta maaf, aku hanya melakukannya sekali.”
Mata Rena menajam. “Mau sekali, dua kali, atau berkali-kali, sama saja.” Ia berbalik, melanjutkan langkah.
"Aku cuma khilaf, kenapa kamu tidak bisa memaafkan aku?"
Langkah Rena terhenti. Ia menoleh, menatap Deon dengan mata penuh ketegasan.
“Hanya perempuan bodoh yang masih mau menikah setelah tahu calonnya tidur dengan perempuan lain,” ucapnya dingin.
Deon mengacak rambutnya, frustrasi. "Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku?"
Rena menatapnya tajam, seolah menguliti seluruh kepalsuan yang pria itu coba pertahankan.
“Tidak ada,” jawabnya singkat. “Kamu hanya perlu menghilang.”
"Tidak bisa! Orang tua aku bisa malu kalau kita gagal menikah. Apalagi orang tuaku sangat menyukaimu sebagai menantu."
"Suka?" beo Rena.
"Iya. Bahkan mereka sudah menyiapkan sendiri kamar pengantin untuk kita. Apa kamu tau itu?"
Rena berusaha menahan diri. Orang tua Deon sama sekali tidak menyukai dirinya. Walaupun mereka tidak mengatakan secara langsung, namun tindakan mereka sudah menjelaskan segalanya. Orang tua Deon menganggap Rena sebagai perempuan yang akan merebut Deon. Bahkan Rena harus memberikan uang kepada orang tua Deon agar menyetujui pernikahan mereka.
Rena memang bodoh. Uangnya yang dia berikan tidak sedikit yaitu 50 juta rupiah.
"Jelas saja mereka menyiapkannya, apalagi mereka meminta uang yang tidak sedikit kepadaku."
"Apa maksudmu?"
Rena menatap Deon dengan tajam. "Asal kamu tau, ibumu meminta uang kepadaku. Jika aku tidak memberikannya, dia tidak akan setuju dengan pernikahan kita."
"Jangan asal bicara! Aku tidak semiskin itu sampai ibuku harus meminta uang padamu."
Rena tertawa sinis. “Oh, tentu saja. Kamu memang tidak semiskin itu. Tapi ibumu? Itu cerita lain.”
Deon menggelengkan kepala, ekspresinya penuh ketidakpercayaan. “Itu tidak masuk akal. Ibuku tidak mungkin melakukan itu.”
Rena melipat tangan di dadanya. “Benarkah? Kalau begitu, coba tanyakan sendiri padanya. Atau, kamu mau aku tunjukkan bukti transfernya?”
Deon terdiam. Matanya menajam, seolah mencoba mencari kebohongan di wajah Rena, tapi dia tidak menemukannya.
"Jadi aku harap kamu menghilang dari pandanganku, jangan pernah menginjakkan kaki disini lagi. Kalau kamu masih melakukannya, aku akan meminta kembali uang itu," ujar Rena memberi ancaman.
Deon hanya menatapnya tajam. Setelah itu dia pergi meninggalkan Rena. Rena menatap kedua tangannya. Ternyata tangannya masih gemetaran. Rena sampai berjongkok di jalanan. Pikirannya sangat kacau. Air matanya mengalir begitu saja. Hidupnya kacau dan tidak ada satupun yang berjalan dengan sempurna.
Setelah beberapa menit, Rena berdiri dan melangkah ke minimarket terdekat. Dia ingin membeli minum karena tenggorokan terasa kering. Rena juga membeli makanan agar moodnya kembali baik. Rena duduk di kursi yang disediakan minimarket. Dia menatap kendaraan yang berlalu lalang. Tangannya berusaha membuka tutup botol minuman. Tapi Rena mengalami kesulitan.
"Maaf Mbak, sini botolnya biar saya buka." Suara seseorang muncul dari samping.
"Tidak usah!" balas Rena tanpa melihat siapa yang datang.
"Mbaknya sampai nangis gitu, saya jadi nggak tega sebagai laki-laki. Sini saya bukain!"
"Siapa yang nangis?" tanya Rena sambil menatap pria yang membuatnya jengkel.
"Halo, Mbak..." Sapa pria itu. Rena terkejut. "Kenapa Mas ada disini?" tanyanya.
“Kebetulan lewat, Mbak,” jawabnya sambil menyengir.
"Oh." Rena tampak tidak nyaman. Dia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Sini saya bukain mbak," pinta pria itu.
Rena menggeleng. "Tidak perlu." Tidak lama tutup botolnya terbuka dan Rena langsung meneguknya sampai tersisa setengahnya.
"Ternyata Mbak cantik juga ya."
Byur...
Air dari botol minuman langsung Rena siramkan ke wajah pria itu.
"Mas ini nggak punya urusan lain ya selain gangguin orang?" Rena mendelik kesal. Meskipun mereka pernah bertemu di rumah makan gratis, tapi tetap saja Rena merasa mereka masih asing.
Pria itu terdiam sejenak, mengedipkan mata beberapa kali karena matanya terkena air. Tapi bukannya marah, dia malah terkekeh sambil mengusap wajahnya dengan lengan bajunya.
"Wah, saya cuma muji, Mbak. Kok reaksinya kayak gitu?" katanya dengan nada bercanda.
Rena mendengus, lalu memasukkan botol minum ke dalam tasnya. "Kalau cuma mau iseng, cari korban lain. Saya lagi nggak mood buat becanda."
Pria itu tersenyum, seolah tidak terganggu sedikitpun oleh sikap dingin Rena. "Oke, oke, saya paham. Tapi saya nggak bercanda, Mbak. Saya memang serius bilang Mbak cantik."
"Ck, menyebalkan." Rena ingin bergegas pergi dari sana. Tapi pria itu kembali berkata, "Nama saya Kahfi, Mbak."
"Terus?"
"Apa Mbak tidak mau kenalan?"
"Enggak!" Rena menolak. Apalagi dia sedang kacau. Dia pergi begitu saja.
Melihat hal itu, Kahfi tertawa kecil. "Imutnya," lirihnya tanpa sadar. Tidak salah dia memilih untuk berhenti ketika tidak sengaja melihat Rena.
***
Bab 10 Minta Maaf
Kahfi merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya tadi malam ia terang-terangan mengatakan apa yang ada didalam hatinya. Pasti Rena berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. Rasanya Kahfi ingin mengulang waktu. Mulutnya juga seperti tidak bisa diajak bekerja sama.
Apa penilaian Rena tentang dirinya? Kahfi harap tidak buruk. Apalagi dia sudah bertekad untuk mendekati Rena meski Rena melupakan dirinya. Apa dia terkesan buru-buru? Kahfi membantah hal itu. Dia sudah memikirkan secara matang karena kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apa dia akan menunda waktu sampai Rena menghilang kembali? Tidak tidak. Hal itu tidak boleh terjadi. Pertemuan mereka bukan hanya kebetulan semata, pasti takdir.
“Kamu kenapa?”
Seseorang membuat isi kepala Kahfi terganggu sejenak. Dia langsung menolah dan melihat, ternyata kakak pertamanya. Tubuhnya tampak berkeringat. Sepertinya baru kembali dari lari pagi.
“Apanya yang kenapa?” tanya Kahfi dengan tubuh lesu.
“Masih pagi udah lemas gitu. Kamu sakit?” tanya Abizar sambil mengambil botol minum di dalam kulkas.
“Enggak kok.”
“Apa kamu masih mimpi begituan?”
Mata Kahfi langsung melotot. Dia sangat terkejut sekali. Bahkan melihat kesegala sudut, takut ada Mama atau papa yang dengar. Bahaya sekali kalau sampai kedua orang tuanya dengar.
“Abang bicara apa sih?” ujarnya dengan kesal.
Abizar terkekeh. “Nggak usah melotot gitu,” ujarnya.
“Abang yang mulai,” ketus Kahfi. Abizar meneguk air mineralnya dengan santai, sementara Kahfi masih sibuk menatapnya dengan waspada.
“Aku cuma tanya, siapa tahu kamu masih mimpi begituan,” ucap Abizar dengan nada menggoda.
Kahfi mendesis, wajahnya sedikit memanas. “Abang, serius deh, jangan bicara sembarangan. Pasti Bang Irsyad bilang yang aneh-aneh."”
Abizar terkekeh lagi. “Santai, cuma bercanda.”
Kahfi menggeleng, tak ingin menanggapi lebih jauh. Ia buru-buru melangkah menuju kamarnya. Namun, baru saja duduk di tepi kasur, ponselnya bergetar di atas meja. Kahfi mengambil dan ternyata ada pesan dari orang yang dia suruh untuk mencari informasi tentang Rena.
Saat membaca informasi yang dikirim, Kahfi langsung mengepalkan tangan. Dia benar-benar sangat marah sekali.
***
Beberapa hari ke belakang, Kahfi tidak bisa bertemu dengan Rena. Padahal dia sudah sengaja menunggu di sekitar tempat kerja Rena. Maka hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Kahfi. Dia bahkan tidak ikut acara perusahaan. Tapi saat Kahfi ingin keluar, abang pertamanya langsung menghentikan dirinya. "Mau kemana?"
"Keluar," jawab Kahfi yang menatap jam dilayar ponselnya. Dia tidak mau terlambat untuk bertemu dengan Rena meski harus menyamar seperti orang pengangguran yang sedang mencari makanan gratis.
"Aku ikut." Ternyata Abizar juga tidak ikut. Wajahnya terlihat kelelahan sekali.
Kahfi terdiam seakan tidak percaya. "Apa?" tanyanya memastikan. Kali saja telinganya salah dengar.
"Aku ikut," ulang Abizar lagi.
Kahfi langsung geleng-geleng kepala. "Abang pergi sendiri aja sana, aku juga naik sepeda."
"Kamu mau lihat aku kecelakaan ya?"
Mulut abangnya ini memang minta ditimpuk. Bisa-bisanya ngomong seperti itu. "Kalau gitu nggak usah keluar, Abang juga kelihatannya capek."
Abizar menggeleng. "Aku bosan."
"Aku telpon Pak Erwin dulu kalau gitu." Kahfi mencari kontak Pak Erwin yang merupakan supir pribadi dirumah ini.
"Aku maunya ikut sama kamu bukan sama Pak Erwin."
"Abang kenapa sih?" Kahfi jadi kesal sendiri.
"Pokoknya aku ikut. Kalau enggak boleh, aku bakal aduin ke Mama." Abizar mengangkat sebelah alisnya.
"Kekanak-kanakan," kesal Kahfi. Padahal usia mereka sudah kepala tiga.
Pada akhirnya Kahfi pergi bersama kakak pertamanya. Dia mengemudi mobil dengan perasaan kesal. Tapi Kahfi berniat akan memarkirkan mobil di area minimarket terdekat dari rumah makan gratis. Jadi dia bisa menemui Rena tanpa pengganggu.
Sesampainya diminimarket. "Aku ada urusan, jadi Abang tunggu disini."
"Hm." Abizar tidak protes. Berada diminimarket bukan pilihan buruk. Setidaknya Abizar bisa membeli minuman dan jajanan. Dia juga bisa duduk sambil melihat kendaraan berlalu lalang.
Kahfi melihat penampilannya. Sedikit tidak rapi, bahkan dia sengaja membeli pakaian yang tidak biasanya. Dia bersemangat untuk menemui Rena. Kahfi juga akan meminta maaf kepada Rena.
Kali ini Kahfi datang lebih cepat sehingga dia mendapatkan makanan gratis. Diam-diam, Kahfi menunggu kemunculan Rena. Tidak lama, Rena muncul dan hal yang paling mengejutkan adalah Rena mendatangi dirinya.
Kegugupan kembali menerjang Kahfi. "Ke-kenapa?" tanyanya karena Rena hanya menatapnya.
Rena memberikan buah jeruk. "Saya minta maaf."
Wajah Kahfi langsung merah. Padahal dia yang ingin meminta maaf tapi malah sebaliknya.
“Nggak apa-apa Mbak. Saya juga bicara tidak sopan. Saya yang harusnya meminta maaf."
“Mas tidak salah. Hanya saja malam itu pikiran saya kacau, jadi saya bersikap kasar."
Kahfi menunduk. Dia menahan diri agar tidak senyum seperti orang yang kehilangan daya waras. "Tidak apa-apa kok, Mbak."
"Syukurlah kalau begitu." Rena tampak lega. "Oh ya, apa Mas sudah mendapat pekerjaan?"
Kahfi tidak ingin bohong, jadi dia memilih diam saja.
Rena merasa bersalah. Tidak seharusnya dia bertanya sesuatu yang sensitif seperti itu. "Maaf, saya tidak bermaksud buruk."
"Oh ya, Mas kesini naik apa?" Rena mengalihkan pembicaraan.
"Jalan kaki, Mbak."
Rena menatap Kahfi dengan wajah sedih. "Sepedanya mana, Mas?"
"Dirumah, Mbak."
Rena mengangguk paham, kemudian dia bertanya lagi. “Apa rumah Mas jauh?"
Kahfi mengangguk.
"Kalau begitu, nanti pulangnya naik ojek saja." Rena tidak tega. Apalagi matahari sedang terik begini.
"Tidak bisa, Mbak."
"Kenapa?"
Kahfi tidak menjawab. Namun Rena malah beranggapan Kahfi tidak memiliki uang. Apalagi dalam pandangan Rena, Kahfi adalah laki-laki pengangguran yang tidak punya uang.
"Nanti pulangnya naik ojek aja, Mas. Ini saya punya sedikit uang." Rena mengulurkan dua lembar uang.
Kahfi langsung menolak.
"Terima saja, Mas. Saya mohon..."
Kahfi tidak bisa menolak jika Rena sudah memohon. Dia mengucapkan terima kasih. Rena memang perempuan baik yang memiliki jiwa sosial tinggi. Kahfi seperti menemukan berlian ditumpukan batu.
“Mbak mau kemana?” tanya Kahfi ketika tubuh Rena beranjak pergi.
“Saya masih punya banyak tugas lain, Mas” jawab Rena seadanya. Dia tidak mungkin meninggalkan tugas terlalu lama.
Setelah menghabiskan makanannya, Kahfi langsung kembali ke depan minimarket dimana mobilnya terparkir. Dia memegang dua lembar uang yang diberikan Rena dengan perasaan berbunga-bunga. Setidaknya dia mengobrol cukup lama dengan Rena dibanding sebelumnya.
“Happy amat,” sindir Abizar. Ia sudah menunggu cukup lama tapi yang ditunggu malah membuat dirinya terlihat seperti orang bodoh.
Kahfi menyengir. "Makanya jangan ikut."
"Dih... yang mana si ceweknya?" Abizar penasaran sendiri. Apalagi adiknya sampai bertindak diluar nalarnya.
"Cewek apa?" Kahfi pura-pura tidak mengerti.
"Kamu kira abangmu ini bodoh?" Abizar menatap Kahfi dengan wajah penuh keseriusan. Kahfi sampai tidak bisa berdalih lagi.
"Jangan kasih tau Mama," larang Kahfi.
"Kenapa?"
"Nanti Mama heboh sendiri. Apalagi aku kan masih ngejar dan belum juga dapat."
Abizar tertawa kecil. "Ngejarnya sampai kapan?"
"Nggak tau. Makanya abang doain biar dia luluh."
Abizar mengacak rambut adiknya dengan gemas. Mata Kahfi langsung melotot. "Abang ih, kita lagi diluar. Aku malu."
Abizar tidak peduli dan tawanya semakin kencang saja.
***
Bab 11 Kekerasan
Rena baru saja pulang kerja. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya penuh dengan beban yang seakan tidak ada habisnya. Namun, begitu ia membuka pintu rumah, bukannya disambut dengan ketenangan, justru sebuah gelas melayang ke arahnya.
PRAK!
Gelas itu pecah di lantai, hanya beberapa inci dari kakinya. Rena membelalakkan mata, terkejut sekaligus ketakutan. Dia menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dengan wajah merah padam, napasnya memburu karena amarah.
"Dasar anak durhaka! Kenapa kamu tidak datang?!" suara ayahnya menggelegar di dalam rumah, menggema hingga ke seluruh ruangan.
Rena mengerutkan kening. Ia tahu maksud ayahnya. Hari ini seharusnya ia menemui laki-laki yang dijodohkan dengannya, tetapi Rena sengaja tidak datang. Ia tidak bisa membiarkan dirinya dikorbankan untuk pernikahan yang tidak ia inginkan.
"Aku tidak mau menikah dengannya!" ujar Rena, suaranya bergetar, tetapi ia tetap berusaha tegar.
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipinya. Rena terhuyung, matanya memanas. Ia menatap ayahnya yang berdiri di depannya dengan tatapan dingin, penuh kebencian.
"Beraninya kamu menentangku? Apa kamu pikir hidup ini cuma tentang cinta? Kamu pikir bisa hidup bahagia tanpa uang?" bentak ayahnya.
Rena mengepalkan tangan, berusaha menahan air mata. "Aku bisa mencari uang sendiri. Aku tidak perlu menikah dengan pria yang lebih pantas jadi kakekku hanya demi mendapatkan uang!"
Ayahnya mendengus kasar. "Kamu pikir gajimu yang kecil itu bisa menghidupimu? Aku sudah berusaha mencarikan jalan terbaik untukmu, tapi kamu malah menolaknya! Kamu pikir aku ini apa?!"
Rena merasakan dadanya sesak. Jadi ini bukan tentang dirinya. Ini tentang uang. Ayahnya ingin menikah kannya dengan pria tua kaya itu demi mendapatkan keuntungan.
"Ayah tidak menjodohkanku," ujar Rena pelan, tetapi tajam. "Ayah menjualku."
Tatapan ayahnya berubah. Ada kilatan kemarahan yang lebih besar di sana, tetapi Rena tidak peduli lagi. Ia sudah lelah.
"Apa yang kamu katakan?!" Ayah bertambah marah.
"Ayah menjualku. Itulah kenyataannya. Entah berapa banyak uang yang dia tawarkan sehingga ayah rela menyerahkan aku pada nya? Apa aku bukan anak kandung ayah?"
"Diam! Apa kamu tidak bisa menurut seperti adikmu?"
Sejak adik tirinya hadir, hidup Rena selalu dibanding-bandingkan. Padahal tidak ada hal yang menarik di hidup Rilla. Bahkan saat umurnya sudah 25 tahun, Rilla masih belum mendapatkan pekerjaan. Dia hanya pandai meminta uang saja.
"Menurut seperti apa yang ayah maksud? Menurut saat dijual?"
"Siapa yang menjualmu? Aku hanya ingin kamu menikah dengan laki-laki yang bisa menjamin kehidupanmu."
"Aku tidak mau menikah! Sampai kapanpun aku tidak akan menikah dengan laki-laki pilihan ayah!"
"Kamu harus menikah! Jangan membantahku lagi."
Rena mengepalkan tangan. "Tidak akan! Sampai matipun aku tidak akan menikah dengan pria itu."
"Mentang-mentang sudah bisa cari uang sendiri, kamu semakin menjadi-jadi. Aku ini ayahmu! Aku yang menghidupimu sampai kamu bisa menjadi seperti sekarang."
Rena tertawa sinis. "Menghidupiku? Apa ayah pikir aku bodoh?"
"Apa maksudmu?"
"Toko itu milik ibuku. Ayah hanya menumpang hidup pada ibuku." Rena tidak bisa menahan diri dari. Toko yang dijalankan ayah memang milik ibu. Tapi Rena bahkan tidak mendapatkan apapun. Hanya sebatas makan dan itupun sisa dari ibu dan adik tirinya.
"Kamu semakin kurang ajar!" Ayah membuka ikat pinggangnya
Rena tidak mundur. Meskipun pipinya masih panas akibat tamparan tadi, ia tetap berdiri tegak, menatap ayahnya dengan mata penuh kemarahan.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," suaranya bergetar, tetapi tetap tegas. "Toko itu milik ibu! Ayah tidak berhak bertindak seolah-olah semua ini adalah milik ayah!"
Ayahnya semakin marah. Dengan wajah memerah, ia meraih ikat pinggangnya dan menggenggamnya erat. "Kau pikir kau siapa berani bicara seperti itu kepadaku?"
Rena menatap ayahnya tanpa rasa takut. Sudah cukup. Ia sudah terlalu lama diam dan menerima perlakuan tidak adil ini.
"Aku anak kandung ibuku," jawabnya tajam. "Tapi lihat bagaimana aku diperlakukan di rumah ini? Aku hanya mendapatkan sisa makanan, sementara mereka," Rena menunjuk ibu tiri dan Rilla, "hidup enak dengan warisan ibu!"
Ibu tiri Rena mendengus, lalu melirik Rilla. "Lihatlah kelakuannya. Anak ini benar-benar kurang ajar."
PLAK!
Sabuk ayahnya kembali menghantam tubuh Rena. Rasa perih menjalar di punggungnya, tetapi ia menggigit bibirnya, menahan teriakan.
"Kurang ajar!" bentak ayahnya. "Aku ini ayahmu! Kau pikir bisa melawanku sesuka hati?"
Rena mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata. Matanya menatap ayahnya dengan penuh keberanian, meskipun tubuhnya bergetar menahan sakit.
Jika biasanya Rena akan meminta ampun kepada ayahnya agar tidak dipukuli lagi, tapi kali ini tidak lagi. Rena seakan tidak mau menunjukkan betapa lemah dirinya. Cambukan demi cambukan menghantam tubuh Rena.
Tidak akan ada yang menolong dirinya. Ibu dan adik tirinya malah sangat senang melihat Rena menderita seperti ini.
Hal seperti ini sudah sering terjadi. Jadi Rena tidak terlalu kaget.
***
Rena sudah berada di kamar. Ayahnya berhenti sendiri setelah puas mencambuknya dengan ikat pinggang. Kulit Rena terlihat memar karena cambukan tersebut. Bekasnya terlihat sangat jelas dan Rena merasakan sakit.
Rena merasa sangat lelah sekali. Hidup apa yang sebenarnya ia jalani sekarang? Kenapa dia tidak memiliki ayah yang baik seperti orang lain? Padahal ibunya sangat baik. Harusnya ayah yang pergi dari dunia ini bukan ibunya. Kenapa orang jahat bisa hidup dengan lama? Sedangkan orang baik malah usianya singkat sekali.
Rena memeluk bantal guling saking rindu dengan ibunya. Rena sudah ditinggal oleh ibu sejak kelas 5 SD. Tidak lama setelah itu, ayahnya menikah lagi dan membawa anak perempuan yang umurnya 1 tahun dibawahnya.
Rena memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan kerinduan dan rasa sakit secara bersamaan. Rena harap dia tidak lagi membuka mata agar tidak merasa sakit lagi.
***
Keesokan harinya, Rena pergi bekerja seperti biasa. Rumah masih sepi karena belum ada yang bangun. Rena sengaja pergi cepat karena tidak mau bertemu dengan ayah, ibu tiri maupun adik tirinya.
Wajah Rena sangat pucat sekali. Tapi dia tetap pergi bekerja. Rena menggunakan bus untuk menuju ke tempat kerjanya.
Sepanjang bekerja, Rena menahan rasa sakit pada tubuhnya. Ketika ada rekan kerja yang bertanya apa Rena baik-baik saja, dia menjawab baik-baik saja. Namun karena lingkungan kerja Rena cukup baik, mereka menyuruh Rena memeriksakan diri ke rumah sakit. Bagaimanapun jika Rena sampai sakit parah, maka yang dirugikan juga perusahaan.
"Aku antar gimana?" tawar Anjel yang merupakan rekan kerja Rena.
Rena menggeleng sambil tersenyum. "Tidak usah, Mbak. Aku bisa sendiri. Pekerjaan juga sedang banyak."
"Tapi kamu bisa sendiri, kan?" Anjel memastikan.
"Bisa, Mbak. Pak Anton juga udah pesanin grab."
"Baguslah. Kalau sampai kabari ya."
Rena mengangguk. Perusahaan mereka tidak besar, namun cukup bagus. Karyawannya juga tidak banyak.
Grab sudah menunggu di depan tempat kerjanya. Rena masuk ke dalam dan mobil langsung menuju ke rumah sakit.
Biasanya Rena menolak untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Tapi kali ini karena ia merasa tubuhnya sangat kacau sekali, bahkan setelah minum beberapa pil pereda sakit. Makanya Rena tidak menolak untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Kepala Rena bertambah berat. Wajahnya semakin pucat saja. Setelah sampai dirumah sakit, Rena keluar dan menuju ke tempat pengambilan nomor antrian.
Tubuh Rena limbung. Tangannya berusaha meraih sesuatu untuk bertahan, tetapi kekuatannya sudah hilang. Pandangannya mengabur, dunia di sekitarnya terasa berputar.
BRUK!
Rena jatuh ke lantai. Suara riuh orang-orang di sekitarnya samar-samar terdengar di telinganya, tetapi ia tidak bisa merespons. Tubuhnya terasa begitu lemah, nyaris tak bisa digerakkan.
"Sstt! Mbak, sadar, Mbak!" Suara seseorang terdengar panik di dekatnya.
Beberapa pasang tangan mencoba mengangkatnya, suara-suara cemas berbisik di sekelilingnya. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak.
Perlahan, semuanya menghilang dalam kegelapan.
***
Bab 12 Panik
Kahfi yang sedang sibuk menatap beberapa dokumen di atas mejanya sedikit terganggu dengan getaran ponsel. Awalnya dia tidak tertarik, apalagi saat banyak pekerjaan seperti ini. Namun karena nama pengirim adalah orang yang paling jarang mengirim pesan padanya diwaktu kerja, maka Kahfi pikir ada hal yang mendesak. Dia langsung membuka pesan itu.
Kahfi cukup terkejut melihat pesan yang masuk. Tapi dia sedikit tidak yakin. Kali saja penglihatannya bermasalah. Kahfi mengucek matanya berkali-kali. Tapi tetap saja tidak ada yang berubah.
Tanpa banyak menunggu, Kahfi beranjak dari kursinya dengan cepat. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Nama yang tertera di name tag itu jelas milik Rena, dan latar belakang foto itu yaitu ranjang rumah sakit dengan selang infus yang membuat dadanya tidak karuan
Apa yang terjadi?
Tanpa berpikir panjang, Kahfi segera keluar dari ruangannya. Tidak lupa dia menitip pesan kepada Felix jika ada yang mencari dirinya. Langkahnya cepat, hampir berlari menuju tempat parkir. Begitu sampai di mobilnya, ia langsung menyalakan mesin dan tancap gas.
Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Kenapa Rena ada di rumah sakit? Sejak kapan? Baru empat hari yang lalu dia bertemu Rena di rumah makan gratis. Saat itu dia melihat Rena baik-baik saja.
Tangannya mencengkeram setir erat. Lampu lalu lintas yang terasa lama semakin membuatnya gelisah. Nafasnya berat. Tanpa diberitahu dirumah sakit mana, Kahfi sudah tahu karena abang pertamanya itu sudah menjadi petunjuk.
Begitu tiba di rumah sakit, Kahfi hampir tidak peduli dengan di mana ia memarkirkan mobilnya. Ia langsung turun dan berlari masuk ke dalam. Setelah bertanya kepada perawat di meja informasi, ia segera menuju ke UGD. Dia masuk dan langsung melihat sosok abangnya menggunakan snelli.
"A-abang, apa yang terjadi?" tanya dengan wajah panik.
Abizar langsung menjentikkan jari ke kening Kahfi.
"Kamu tenang dulu," ujar Abizar. "Apa kamu datang kesini sendiri?" tanya lagi.
"Iya," jawab Kahfi mencoba untuk tenang, tapi tampaknya tidak bisa. "Dimana dia?" tanyanya karena tidak tahu dimana Rena berada.
Abizar memijat pangkal hidungnya. Kalau tahu begini, lebih banyak Abizar tidak mengirim pesan tersebut. Untung saja adiknya tidak kenapa-kenapa saat menuju ke sini.
"Siapa?" Abizar pura-pura tidak mengerti.
"Abang…tolong dong jangan bercanda." Rasanya Kahfi ingin menangis. Namun dia tidak pantas untuk itu.
"Coba kamu tenang dulu," suruh Abizar.
"Aku udah tenang."
Abizar menggeleng. Tenang gimana, nafasnya aja tidak beraturan begitu. "Tenangkan diri dulu, baru aku kasih tau dimana dia."
Abizar tampak santai karena dia memang tidak bertugas di UGD. Dia hanya kebetulan lewat saat Rena tidak sadarkan diri. Berhubung wajahnya tidak asing, makanya Abizar mengikuti sampai ke UGD dan memberitahu kepada adiknya. Meskipun Kahfi tidak mau menunjukkan siapa perempuan yang membuatnya tertarik akhir-akhir ini, namun baik Abizar maupun Irsyad dapat mengetahui dengan mudah.
"Aku udah tenang."
"Tenang apaan? Bisa-bisa nanti kamu bikin heboh setelah melihat keadaan dia."
"Terus aku harus gimana?" Kahfi sudah merasa tenang tapi abangnya malah mengatakan belum.
"Duduk disini dulu." Abizar mengarahkan tubuh Kahfi agar duduk di kursi tunggu.
"Abang!" rengeknya.
Abizar menghela nafas panjang. "Kamu janji nggak buat ribut?"
"Janji." Kahfi mengatakan dengan penuh kesungguhan.
Mau tidak mau Abizar menunjukkan dimana Rena berada.
Kahfi tidak sabar untuk melihat Rena. Dia bergegas melihat dengan membuat kain yang menjadi penutup setiap ranjang.
Wajah Rena tampak pucat, matanya terpejam, dengan selang infus terpasang di tangannya. Kemana wajah cerianya?
Jantung Kahfi mencelos. Ia menelan ludah, mencoba menguasai diri sebelum akhirnya melangkah mendekat.
Rena yang ia lihat biasanya tersenyum cerah dan penuh semangat, namun Rena yang ia lihat sekarang malah terlihat lemah tidak berdaya. Apa yang membuat Rena seperti ini? Apa mantan yang brengsek itu?
Setelah Felix mencari informasi tentang Rena, Kahfi mengetahui beberapa fakta termasuk calon suami Rena yang berselingkuh sehingga menyebabkan pernikahan batal. Disatu sisi Kahfi merasa sangat senang karena Rena gagal menikah, tapi disisi lain dia juga sangat kesal dan marah karena laki-laki brengsek itu menyakiti Rena.
"Apa semuanya sudah diperiksa, Bang?" tanya Kahfi.
"Cuma penanganan awal."
"Ha? Kenapa nggak diperiksa secara keseluruhan?"
Abizar menghela nafas panjang. Kemudian dia berusaha untuk tenang menjelaskan. “Asuransi yang dia miliki nggak bisa diaktifkan untuk pemeriksaan keseluruhan.”
"Kok gitu?" Kahfi terkejut.
Ingin rasanya Abizar menutup mulut Kahfi. Tapi tatapan matanya yang tajam sudah membuat Kahfi terdiam.
"Kalau gitu, lakukan pemeriksaan secara keseluruhan, Bang," pinta Kahfi. Abizar tidab bisa berkata-kata lagi, tampaknya Kahfi memang sudah jatuh hati sekali.
"Oke oke. Tapi sebelum itu, apa kamu tahu tentang dia secara mendalam?" tanya Abizar penasaran.
"Maksudnya?" Kahfi mengerutkan kening tidak mengerti.
Abizar meminta sebuah foto kepada perawat. Dia menunjukkan kepada Kahfi.
"A-apa ini?"
"Di tubuh dia terdapat beberapa bekas memar. Kemungkinan disebabkan alat seperti ikat pinggang, tali atau sejenisnya," jelas Abizar layaknya dokter.
"Ha? Co-coba jelaskan pelan-pelan."
Abizar kembali menjelaskan. Tentu saja Kahfi syok luar biasa. Perempuan yang sangat ingin dia jaga mendapat kekerasan. Tapi siapa yang melakukannya?
"Aku akan lapor polisi," ujar Kahfi sambil menekan beberapa angkat yang menjadi nomor yang bisa digunakan jika membutuhkan pihak kepolisian.
Abizar menghentikan itu. "Apa dia sudah setuju?"
"Mau setuju atau enggak, dia udah mendapat kekerasan dan aku akan lapor polisi." Kahfi sangat panik sekali.
"Kahfi!" tegur Abizar. Dia mengambil ponsel Kahfi.
"Saat perawat bertanya, pasien ini menyembunyikan penyebab memarnya. Bahkan dia menyuruh perawat untuk tidak mengatakan kepada siapa-siapa."
Kahfi terdiam. Siapa yang melakukannya? Kenapa Rena menyembunyikannya? Dia merasa sangat kacau sekali. Tubuh kurus itu terdapat bekas memar yang tidak sedikit.
"Apa yang harus aku lakukan, Bang?" Kahfi memegang kedua lengan abangnya. Meminta bantuan karena pikirannya sangat kalut sekali.
"Tampaknya bekas memar itu berasal dari orang terdekat sehingga dia tidak mau orang lain mengetahuinya. Jadi untuk sekarang, lebih baik kamu mendekati dengan pelan. Jangan jadi pahlawan kesiangan karena dia pasti akan langsung menjauhimu karena dia bukan tipe orang yang terbuka dan terbiasa bersandar kepada orang lain. Jadi kamu harus menjadi sosok yang bisa diandalkan lebih dulu," usul Abizar.
"Baik, Bang."
Tubuh Kahfi menjadi lemas tidak berdaya. Dia duduk di kursi tunggu dan membiarkan Rena untuk beristirahat dengan tenang.
Rena akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Tapi tidak bisa langsung dipindahkan karena ruangan sedang penuh dan harus menunggu kepulangan pasien lain sore ini.
Kahfi bisa saja memindahkan Rena ke ruang VIP, namun Rena pasti bertanya-tanya nantinya karena asuransinya hanya mengcover untuk ruang rawat inap kelas 1 saja.
Pikiran Kahfi sangat kacau. Sebenarnya apa yang sudah dilalui oleh Rena? Dia sampai tidak bisa menebaknya sama sekali. Kahfi tidak bisa diam saja. Dia harus mencari tahu sendiri. Banyak hal yang sudah terjadi termasuk Rena yang gagal menikah. Seharusnya dia bisa bertemu dengan Rena lebih awal, setidaknya Rena tidak akan bertemu dengan laki-laki brengsek itu. Padahal mereka tinggal di kota yang sama, tapi kenapa tidak pernah bertemu. Tempat kerja Rena juga tidak tahu dari perusahaannya.
Kahfi
mengacak rambutnya penuh kefrustasian. Sekilas Kahfi mengingat
bagaimana ia bertemu dengan Rena pertama kalinya. Kira-kira saat ia ikut
temannya main basket, Kahfi sedang libur semester sehingga bisa pulang
dari luar negeri. Ia dan teman-temannya tidak sengaja terlibat
perkelahian. Kahfi babak belur dan Rena menyelamatkan dirinya. Perempuan
dengan tubuh mungil, namun tidak mengenal takut sama sekali. Mungkin
saat itu, Kahfi sudah mulai jatuh cinta kepada Rena. Bahkan Kahfi
bertanya kepada teman-temannya tentang Rena. Kahfi hanya tahu sedikit
saja karena Rena sulit di dekati.