Langsung ke konten utama

EXTRA PART

Extra Part – 8 Bab Berkunci

Dalam Extra Part ini, terdapat 8 bab tambahan yang menceritakan momen spesial: 

*Rena yang sedang hamil

*Kahfi yang mengalami ngidam

*Keromantisan mereka selama kehamilan

*Momen kelahiran anak pertama mereka

 

Jika ingin mendapatkan password, hubungi kontak WA Admin.
Hanya Rp. 11.000
Klik di sini untuk chat Admin

Masukkan Password:


PERINGATAN HAK CIPTA

Novel ini dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak, mendistribusikan, atau menyebarluaskan password novel ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penulis atau penerbit.

Pasal 113 Ayat (3) UU Hak Cipta:
"Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta mengumumkan, mendistribusikan, atau mengomunikasikan suatu Ciptaan yang melanggar hak ekonomi Pencipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)."

Menghargai hak cipta berarti mendukung para penulis untuk terus berkarya. Terima kasih atas dukungan Anda!

*** 

Extra Part 1

"Kamu kok baunya aneh, sayang?" tanya Kahfi sambil berusaha menahan diri agar tidak memuntahkan isi perutnya lagi. Padahal, ia sudah beberapa kali muntah hingga perutnya kosong. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terasa berat.

Rena mengernyit. "Aneh gimana?" tanyanya, lalu mencoba mencium aroma tubuhnya sendiri. Tidak ada yang berbeda.

"Kamu pakai parfum apa?" Kahfi buru-buru menutup hidung dan mengambil jarak dari istrinya. Tatapan matanya seolah berusaha memahami sesuatu yang tidak terlihat.

"Parfum biasa, Mas. Aku bau apa sih?" Rena semakin bingung. Ia tidak mengganti parfum atau pewangi pakaiannya.

Kahfi menggeleng, tidak bisa mendeskripsikan aroma aneh yang membuat hidungnya begitu tersiksa. Perutnya bergejolak, gelombang mual datang lagi. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi. Suara muntah terdengar, membuat Rena semakin cemas.

"Mas!" Rena mengejarnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Jangan masuk, sayang," suara Kahfi terdengar lemah dari dalam kamar mandi.

Rena berhenti di depan pintu. Jika aroma tubuhnya benar-benar membuat Kahfi muntah, maka mendekat hanya akan memperparah kondisinya. Ia menggigit kuku, mondar-mandir di depan kamar mandi. Setelah berpikir sejenak, Rena bergegas menuju lemari dan mengganti pakaiannya dengan baju lama yang sudah lama tidak ia gunakan sejak menikah.

Beberapa menit berlalu. Kahfi akhirnya keluar dengan wajah pucat, bersandar di pintu kamar mandi untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Kita ke rumah sakit ya?" Rena masih menjaga jarak, takut membuat suaminya semakin mual.

Kahfi menutup wajahnya dengan satu tangan. "Maaf, sayang," ucapnya lirih. Matanya memancarkan kepanikan, seolah ia sendiri tidak memahami apa yang terjadi pada tubuhnya.

"Ini bukan salah Mas, jadi jangan minta maaf. Mungkin parfumnya nggak cocok sama hidung Mas," ujar Rena mencoba menghibur.

Walaupun Rena sudah berganti pakaian, Kahfi tetap tidak bisa sepenuhnya menghirup aromanya. Ia meminta Rena mengambil masker di dalam laci. Setelah mengenakan dua lapis masker, barulah rasa mualnya sedikit mereda.

"Gimana? Aman?" Rena melangkah selangkah lebih dekat.

Kahfi mengangguk. Tidak ada reaksi dari perutnya.

Rena mencoba lebih dekat lagi. "Gimana sekarang?" tanyanya lagi.

Kahfi masih mengangguk.

Hanya tinggal dua langkah lagi, Rena sudah berada tepat di hadapan suaminya.

"Kalau sekarang gi—"

Belum sempat Rena menyelesaikan pertanyaannya, Kahfi tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan. Lagi dan lagi, ia meminta maaf. Padahal beberapa jam lalu ia ingin terus dekat dengan istrinya, tapi tiba-tiba segalanya berubah.

"Apa mungkin aku punya penyakit aneh ya?" tanya Kahfi tiba-tiba.

"Penyakit apa? Mas jangan aneh-aneh!" Rena menegur. Tapi justru ia jadi ikut kepikiran. Bagaimana jika benar? Apa yang akan mereka hadapi selanjutnya?

"Aku juga nggak tahu," jawab Kahfi pasrah.

Ia mencoba membuka sedikit maskernya, berharap aroma aneh itu sudah menghilang. Namun, baru sedetik menghirup aroma tubuh istrinya, rasa mual kembali muncul. Kahfi buru-buru menutup hidungnya lagi. Semakin lama, tubuhnya semakin aneh.

Rena membimbingnya ke tempat tidur. "Mas harus makan sesuatu. Perut Mas kosong," ujarnya lembut.

Kahfi menggeleng. "Aku nggak nafsu makan."

"Kalau nggak makan, nanti Mas pingsan."

Kahfi tetap diam.

"Roti?" tawar Rena.

Kahfi menggeleng.

"Buah?"

Kali ini Kahfi tidak bereaksi. Sepertinya kata 'buah' tidak memberikan efek mual seperti yang lain.

"Ya udah, aku ambil buah sebentar." Rena hendak pergi, tapi Kahfi tiba-tiba menggenggam tangannya erat.

"Jangan tinggalin aku," lirihnya.

Rena tersenyum. Mana mungkin ia meninggalkan suaminya?

"Aku nggak akan ninggalin Mas, tapi buahnya nggak punya kaki buat jalan sendiri ke sini," candanya ringan.

Kahfi tersenyum tipis. "Buah memang nggak punya kaki."

"Nah, makanya aku ambil sebentar, terus balik ke sini. Gimana?"

Kahfi tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk kecil. Namun, ia melarang pintu kamar ditutup. Rena mengiyakan, lalu mencium kening suaminya sebelum berlari kecil ke dapur.

Baru beberapa detik berlalu, Kahfi sudah memanggilnya lagi. "Sayang!"

Rena langsung kembali ke kamar. "Kenapa, Mas?"

"Kenapa lama?"

Rena menghela napas panjang. Lama bagaimana? Ia bahkan belum sempat membuka kulkas.

"Belum sempat ambil buah, Mas. Sebentar lagi ya?"

"Kupasnya di sini aja," pinta Kahfi pelan.

Rena mengangguk. Ia kembali ke dapur, berlari kecil agar suaminya tidak memanggilnya lagi. Rena melakukan serba cepat. Dia kembali ke kamar.

"Sini, Sayang..." ujar Kahfi sambil menepuk sisi ranjang yang kosong.

"Nanti Mas mual lag," balas Rena.

"Sayang..." rengek Kahfi. Dia membuka maskernya karena merasa tidak nyaman. Apalagi dia memakai sebanyak 2 lapis.

Rena menggigit bibirnya ragu. Ia ingin sekali mendekat, tapi takut jika aroma tubuhnya kembali membuat Kahfi muntah. Namun melihat suaminya yang tampak begitu lemah dan memohon dengan suara lirih, hatinya luluh.

Perlahan, ia melangkah mendekat dan duduk di sisi ranjang, tepat di samping Kahfi. Baru beberapa detik berlalu, wajah suaminya langsung menegang. Rasa mual kembali menyerang.

"Mas?" Rena panik, refleks ingin menjauh. Namun tangan Kahfi dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya, mencegahnya pergi.

Kahfi menutup mulutnya, napasnya terengah-engah seolah berusaha menahan rasa mual yang semakin menjadi. Tapi usahanya sia-sia. Ia buru-buru bangkit, berlari menuju kamar mandi.

"Mas!" Rena langsung mengejar, tapi berhenti di ambang pintu ketika mendengar suara Kahfi muntah. Jantungnya berdebar kencang. Ini sudah kesekian kalinya suaminya memuntahkan isi perutnya yang hampir kosong.

Rena mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi, ingin masuk tapi juga takut membuat keadaan semakin buruk.

"Sayang... aku nggak apa-apa... Aku bisa sendiri..." suara Kahfi terdengar lemah dari dalam.

"Tapi Mas udah terlalu sering muntah! Aku takut Mas kenapa-napa," suara Rena bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.

Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Kahfi keluar dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Tubuhnya terlihat lemas, keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Mas!" Rena langsung menopang tubuh suaminya yang hampir ambruk. "Kita ke dokter sekarang, ya? Aku nggak mau Mas kenapa-napa."

Kahfi menggeleng pelan. "Aku cuma butuh istirahat," kilahnya. Ternyata suaminya sangat keras kepala sekali.

Bel pintu terdengar pelan namun cukup jelas di tengah keheningan malam. Rena yang sedang memperbaiki masker sang suami. Wajahnya menunjukkan sedikit keheranan.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumamnya pelan.

Kahfi juga tampak berpikir. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, waktu yang cukup larut untuk tamu tak terduga. Kahfi ingin melihat siapa yang datang, namun Rena menghentikannya. "Biar aku aja, mas disini aja," ucap Rena.

"Tapi, Sayang-"

"Mas lagi sakit, jadi jangan keras kepala," potong Rena lagi. Setelah tidak ada komentar dari Kahfi, ia menuju ke pintu depan. Rena juga sudah memakai hijabnya.

Rena melihat dari layar terlebih dahulu. Ternyata abang kedua Kahfi. Rena langsung membuka pintu.

"Eh Bang Irsyad," ujar Rena.

Irsyad tersenyum sambil mengangkat kantong plastik berisi beberapa kotak makanan. "Ini dari Mama, tadi abis bikin cake."

"Ya ampun, makasih banyak ya Bang. Sampaikan ke Mama juga."

Irsyad mengangguk. Dia dia mengerutkan dahi. Biasanya Kahfi yang membuka pintu. "Kahfi mana, Ren?" tanya karena penasaran.

"Di kamar, Bang. Badannya nggak enak, dari tadi mual-mual," jelas Rena.

"Boleh aku masuk?"

"Tentu aja boleh, Bang. Silahkan," jawab Rena merasa canggung.

"Mualnya terus-terusan atau gimana?"

"Katanya karena cium bau aku makanya mual, Bang." Rena malu sendiri mengatakannya. Padahal badannya tidak bau sama sekali.

"Oh ya?" Irsyad tersenyum tipis.

"Iya, Bang. Makanya aneh banget. Padahal aku nggak bau."

Irsyad terkekeh. "Hidung Kahfi itu yang bermasalah."

"Iya, Bang. Pasti hidungnya bermasalah." Rena setuju.

Sebelum masuk kamar, Irsyad kembali izin karena dia bukan tipe orang yang asal masuk ke ruang pribadi meskipun milik adiknya sendiri sekalipun.

"Ngapain malam-malam ke sini, Bang?" tanya Kahfi dengan suara lemah. Dia terkejut karena yang datang ternyata abangnya.

"Antarin Cake disuruh Mama."

"Besok-besok nggak usah, Bang. Pakai jasa online aja. Abang udah capek dinas malah ke sini," ujar Kahfi. Jadi dokter bukanlah perkara mudah.

"Sekalian cari angin. Oh ya, kata Rena kamu mual. Apa benar?"

Kahfi mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Baru tadi. Padahal aku nggak ada makan-makan yang aneh."

Irsyad mengangguk pelan, lalu duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah adiknya yang pucat. "Gejalanya gimana? Cuma mual aja atau ada yang lain?"

Kahfi menghela napas, mencoba mengingat kembali apa yang ia rasakan. "Mual, terus kayak gampang lelah. Perut juga kayak nggak enak, tapi nggak sakit."

Irsyad mengernyit. "Pusing? Demam?"

Kahfi menggeleng. "Nggak ada. Cuma ya, setiap kali Rena deket, aku mual banget. Padahal sebelum-sebelumnya nggak masalah."

Mendengar itu, Irsyad melirik Rena yang duduk di samping Kahfi dengan wajah khawatir. "Aromanya berubah atau gimana?"

Kahfi mengangguk. "Iya, entah kenapa bau Rena jadi beda. Nggak enak banget di hidung, bikin mual."

Rena tersentak mendengarnya, perasaan bersalah langsung menghantam. "Aku beneran nggak ngerti, Bang... Aku bahkan udah ganti baju, nggak pakai parfum yang aneh-aneh."

Irsyad menghela napas, lalu meminta Rena untuk berdiri agak jauh dari Kahfi. Ia memperhatikan reaksi adiknya, lalu menyuruh Rena kembali mendekat. Begitu jaraknya hanya beberapa langkah, ekspresi Kahfi berubah. Rahangnya menegang, dan tangannya refleks menutup mulut.

"Lihat tuh," kata Kahfi lemah, matanya memohon agar Rena tidak lebih dekat lagi. "Aku nggak pura-pura, Bang."

Irsyad mengusap dagunya, berpikir keras. "Ini bisa banyak kemungkinan. Bisa jadi ada perubahan hormon di tubuh kamu, atau malah ada kondisi medis tertentu."

Rena semakin cemas. "Jadi Mas Kahfi sakit, Bang?"

Irsyad mengangkat bahu. "Belum tentu. Bisa juga ini cuma reaksi tubuh sementara. Tapi kalau begini terus, aku saranin periksa ke rumah sakit aja."

"Aku nggak mau, Bang." Kahfi menolak.

"Jangan kayak anak kecil deh. Kondisi kamu udah pucat gini."

Kahfi tetap tidak mau. "Ya udah, aku beli bentar obat ke apotek."

"Eh jangan, Bang. Biar aku aja." Rena tidak ingin merepotkan.

"Udah malam Ren, bahaya. Aku juga bawa mobil ke sini." Irsyad menolak.

"Iya, Sayang. Biar Bang Irsyad aja." Kahfi setuju.

Setelah itu, Irsyad pergi ke apotek terdekat. Meskipun wajahnya tampak santai, dia tetap merasa khawatir dengan sang adik.

Tidak butuh waktu lama, Irsyad kembali. Dia membeli obat untuk mual dan antibiotik. Jika kondisi Kahfi semakin buruk, maka mau tidak mau harus dibawa ke rumah sakit.

Setelah memberikan obat kepada sang adik, Irsyad memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum itu, dia memberikan plastik kepada Rena yang mengantar dirinya sampai depan pintu.

"Apa ini, Bang?"

"Test Pack."

Tubuh Rena membeku seketika. Tangannya gemetar saat menerima plastik yang diberikan Irsyad. Test Pack?

"Bang, maksudnya...?" Suaranya bergetar, tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.

Irsyad menatap adiknya dengan tenang, meskipun ada kekhawatiran di matanya. "Aku cuma menduga. Reaksi Kahfi yang tiba-tiba mual dan sensitif terhadap aroma tubuhmu itu... bisa jadi salah satu tanda."

Rena menelan ludah. Kepalanya terasa penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia memang belum mengalami gejala yang mencolok. Tidak ada mual, tidak ada pusing, semuanya terasa biasa saja. Tapi... apakah mungkin?

"Tapi aku nggak ngerasa ada yang aneh sama tubuhku, Bang," Rena mencoba menyangkal, meski di dalam hati mulai muncul secercah harapan yang tak berani ia ungkapkan.

Irsyad menghela napas. "Setiap perempuan beda-beda reaksinya. Ada yang langsung sadar, ada yang nggak merasa apa-apa sampai beberapa minggu. Ini cuma untuk memastikan, Ren."

Rena menggigit bibir, menoleh ke arah kamar di mana Kahfi masih terbaring lemah. Suaminya pasti tak mendengar percakapan ini.

"Lakukan sekarang kalau kamu penasaran, atau besok pagi supaya hasilnya lebih akurat," lanjut Irsyad, suaranya lebih lembut.

Rena menggenggam plastik itu lebih erat, lalu mengangguk. "Oke, Bang. Makasih..."

Irsyad tersenyum tipis, kemudian dia pamit untuk pulang. Rena masih terpaku di depan pintu, menatap plastik di tangannya seolah isinya bisa mengubah hidupnya dalam hitungan menit.

***

Extra Part 2

Rena sangat gugup sekali. Apa benar dia hamil? Entah kenapa ia tidak begitu yakin. Namun jujur saja, hati Rena berharap jika dirinya benar-benar hamil. Dia dang Kahfi juga tidak menunda datangnya seorang anak didalam kehidupan mereka. Apalagi usia Kahfi sudah kepala tiga dan mertuanya belum memiliki cucu sama sekali. kehadiran buah hati tentu menjadi anugerah yang dinanti. Tapi, semua sudah diatur oleh Allah. Manusia boleh berencana, tapi Allah adalah sebaik-baik perencana. Jika kenyataan tak sesuai harapan, maka itu adalah yang terbaik menurut-Nya.

Rena memilih untuk menggunakan testpack nya dipagi hari. Semalaman dia tidak tidur karena merasa deg-degan sendiri. Testpack pertama mulai menunjukkan hasil. Rena menutup mulutnya, hatinya berdegup kencang. Dua garis. Namun, ia tak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bisa saja hasilnya berubah. Jadi, ia memilih menunggu.

Lima belas menit berlalu. Rena mondar-mandir di dalam kamar mandi, tak tahu harus berbuat apa. Kegelisahan menguasai pikirannya. Ia menggigit kuku, menahan debaran jantung yang semakin tak terkendali.

Saat akhirnya ia melihat kembali alat kecil itu, hasilnya tetap sama. Dua garis. Dadanya sesak oleh emosi yang bercampur aduk. Bahagia, terkejut, haru. Tak percaya, ia memutuskan menggunakan tiga testpack lain yang masih tersisa. Jika semua menunjukkan hasil yang sama, maka tak ada lagi keraguan.

Di luar kamar mandi, Kahfi mulai cemas. Sudah cukup lama Rena berada di dalam, tapi tak ada suara air mengalir atau tanda-tanda ia akan keluar. Rasa khawatir mulai menguasai pikirannya. Setelah minum obat, tubuhnya memang lebih baik. Kepalanya tak terlalu pusing, mualnya mereda jika menggunakan masker. Tapi kini ada kecemasan lain yang membuat dadanya tak tenang.

Kahfi bangkit dari ranjang dan berjalan mendekati kamar mandi. Ia mengetuk pintunya pelan. "Sayang?" panggilnya. Namun, tak ada jawaban.

Ia menarik gagang pintu, tapi terkunci. Jantungnya berdetak lebih cepat. Berbagai kemungkinan berkelebat di benaknya.

"Sayang?" panggilnya lagi, kali ini lebih keras. Ia mulai mengetuk pintu dengan sedikit panik. "Kamu ngapain lama banget di dalam?"

Di dalam kamar mandi, Rena masih terpaku. Tangannya gemetar melihat keempat test pack di depannya, semuanya menunjukkan dua garis yang jelas. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ini terlalu mendadak.

"Say—"

Belum sempat Kahfi menyelesaikan panggilannya, pintu kamar mandi terbuka. Dalam hitungan detik, Rena sudah melangkah cepat dan langsung memeluknya erat.

Kahfi terkejut. Langkahnya otomatis mundur selangkah karena Rena tiba-tiba menerjangnya. Tapi beruntung, ia masih cukup kuat untuk tetap berdiri dan membalas pelukan istrinya.

"Sayang, ada apa?" bisiknya, masih tak mengerti.

Rena tak menjawab. Ia hanya semakin mengeratkan pelukannya, membiarkan air matanya jatuh di bahu suaminya.

Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Rena menunjukan tespek yang lumayan kecil kepada sang suami.

Kahfi membeku. Ia menarik tubuh Rena sedikit, menatap wajah istrinya dengan mata yang membulat tak percaya. "Apa maksudnya ini, Sayang?" tanyanya untuk memastikan. Kahfi tidak ingin asal berspekulasi saja.

"Garis dua," jawab Rena. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Garis dua?"

Rena mengangguk.

"Kalau garis dua apa artinya?" tanya Kahfi dengan bodohnya.

Rena tertawa. Dia langsung mengalungkan tangannya dileher sang suami. Dengan sedikit berjinjit, Rena membisikan sesuatu.

"Kalau garis dua tandanya ada bayi didalam perutku," bisiknya.

Kahfi masih terdiam. Seolah otaknya berhenti bekerja sesaat. Matanya menatap lurus pada test pack di tangannya, kemudian kembali pada wajah Rena yang tersenyum penuh haru.

"Ada... bayi?" ulangnya lirih, seperti memastikan ia tidak sedang salah dengar.

Rena mengangguk pelan. "Iya, Mas... kita akan jadi orang tua," suaranya nyaris bergetar karena tangis bahagia yang ingin pecah.

Dan saat itu juga, sesuatu dalam diri Kahfi runtuh. Seluruh rasa lelah, pusing, dan mual yang sempat ia rasakan tadi seakan menguap begitu saja. Dada Kahfi sesak oleh emosi yang tak bisa ia kendalikan. Bahagia, terkejut, dan terharu bercampur menjadi satu.

Tanpa sadar, sudut matanya mulai memanas.

"Alhamdulillah..." ucapnya lirih, lalu tiba-tiba ia tertawa kecil, seakan tak percaya dengan kabar bahagia yang baru saja ia terima. "Serius? Kita bakal punya anak?"

Rena ikut tertawa sambil mengangguk. "Serius, Mas! Empat tespack menunjukkan hasil yang sama. Aku nggak mungkin salah lihat."

Kahfi menghembuskan napas panjang, mencoba mencerna kenyataan ini. Dan dalam sekejap, ia merengkuh Rena dalam pelukannya. Kali ini lebih erat, seakan ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi.

"Masya Allah..." bisiknya, menempelkan dagunya di puncak kepala Rena. "Aku bakal jadi ayah?"

Rena mengangguk lagi, kali ini sambil tertawa kecil karena Kahfi terus mengulang pertanyaan yang sama.

"Beneran, kan? Aku nggak mimpi, kan?"

Rena mencubit lengan suaminya. "Kalau sakit, berarti bukan mimpi."

Kahfi terkekeh, lalu mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh rasa sayang. "Terima kasih, Sayang..."

"Terima kasih buat apa?"

"Karena sudah memberikan kebahagiaan yang nggak bisa Mas ucapkan dengan kata-kata," jawab Kahfi jujur.

Rena tersenyum lembut. Ia bisa merasakan betapa tulusnya perasaan suaminya.

"Tunggu, kalau gitu aku harus kasih tahu Mama dan Papa!" seru Kahfi tiba-tiba, hendak mengambil ponselnya.

"Jangan sekarang!" Rena buru-buru menahan tangan suaminya.

"Kenapa?"

"Aku mau periksa ke dokter dulu biar lebih yakin," jawab Rena. "Kalau hasilnya positif juga, baru kita kasih tahu mereka."

Kahfi menatap istrinya dengan binar bahagia. Ia menarik napas panjang dan mengangguk mantap.

"Oke, ayo kita ke rumah sakit."

"Sekarang?"

Kahfi mengangguk.

"Tapi Mas lagi sakit."

"Aku nggak sakit, Sayang. Aku bahkan bisa gendong kamu keliling apartemen ini," ujar Kahfi.

Rena masih ragu. "Serius nggak sakit?"

"Iya, Sayang. Aku udah sembuh." Tiba-tiba saja Kahfi sangat bersemangat sekali.

Rena tidak bisa lagi mencari-cari alasan. Akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Kahfi memilih rumah sakit dimana abang keduanya yaitu Irsyad bekerja. Tentu saja dia mencari dokter dan rumah sakit terbaik.

Kahfi tidak mengatakan kepada siapa-siapa sesuai permintaan Rena. Mereka juga ke rumah sakit menggunakan mobil online. Rena tidak mengizinkan Kahfi membawa mobil sendiri. Terlalu berbahaya.

Sesampainya di rumah sakit, Kahfi menuntun Rena seolah-olah istrinya tengah dalam kondisi lemah. Bahkan untuk menaiki beberapa anak tangga saja, ia terus-menerus mengingatkan Rena agar berhati-hati, seakan wanita itu bisa jatuh kapan saja.

"Mas... Aku nggak sakit," keluh Rena, setengah geli melihat sikap suaminya yang kelewat protektif.

"Siapa yang bilang kamu sakit, Sayang?" balas Kahfi santai.

"Tapi Mas gandeng aku kayak orang sakit gini."

Dari balik maskernya, Kahfi terkekeh. "Buat jaga-jaga, Sayang. Takutnya lantainya licin, nanti kamu kepeleset. Kan bahaya."

Rena mendesah, lalu menggeleng pelan. "Mas, kita ke dokter buat periksa kehamilan, bukan karena aku sakit."

"Justru karena itu," ujar Kahfi sambil menggenggam tangan Rena lebih erat. "Sekarang kamu bawa dua nyawa, jadi harus lebih hati-hati."

Rena menatap suaminya dengan tatapan setengah kesal, setengah terharu. Mau bagaimana lagi? Kahfi memang selalu seperti ini terlalu perhatian, terlalu protektif. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin mencintai pria itu.

Kahfi melewati prosedur untuk melakukan pemeriksaan. Dari melakukan pendaftaran online, menunggu antrian pemeriksaan dan sampailah ke pemeriksaan.

Setelah menunggu beberapa saat, nama Rena akhirnya dipanggil untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Kahfi menggenggam tangan istrinya erat, menemaninya dengan penuh perhatian.

Di dalam ruangan, dokter menyambut mereka dengan ramah. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk USG, dokter akhirnya mengumumkan hasilnya.

"Selamat, Bu Rena. Anda positif hamil," ujar dokter dengan senyum hangat.

Mata Rena langsung berkaca-kaca. Meski sudah melihat hasil testpack sebelumnya, mendengar langsung dari dokter membuatnya benar-benar yakin. Ia menoleh ke arah Kahfi, yang tampak terpaku sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar.

"Jadi... kita benar-benar akan punya anak?" gumam Kahfi, suaranya terdengar penuh haru.

Dokter mengangguk. "Iya, usia kandungannya masih sangat awal, sekitar lima minggu."

Kahfi menarik napas lega, lalu dengan refleks mencium punggung tangan Rena. Matanya berbinar penuh kebahagiaan.

Dokter kemudian memberikan beberapa nasihat. "Karena kehamilannya masih muda, pastikan Bu Rena cukup istirahat dan tidak terlalu lelah. Hindari stres berlebihan, dan pola makan harus lebih diperhatikan. Konsumsi makanan bergizi, perbanyak protein dan sayuran, serta minum air putih yang cukup."

Rena mengangguk penuh perhatian.

"Satu lagi," lanjut dokter. "Jangan lupa rutin kontrol setiap bulan, ya. Jika ada keluhan seperti mual berlebihan, pusing terus-menerus, atau kram perut yang tidak wajar, segera periksa ke rumah sakit."

Kahfi yang dari tadi serius menyimak, tiba-tiba mengangkat tangan seperti siswa yang ingin bertanya di kelas. "Dok, saya mau nanya sesuatu..."

Dokter tersenyum. "Silakan, Pak Kahfi."

Kahfi terlihat ragu sejenak, lalu akhirnya mengajukan pertanyaan dengan nada hati-hati. "Selama hamil... apa kami masih boleh berhubungan suami istri?"

Rena sontak mencubit lengannya, wajahnya memerah. "Mas!" bisiknya dengan kesal.

Dokter tertawa kecil. "Pertanyaan yang bagus, Pak. Jawabannya, boleh, selama kondisi kehamilan istri sehat dan tidak ada keluhan tertentu seperti pendarahan atau kram perut. Tapi tetap harus dilakukan dengan hati-hati, ya, terutama di trimester pertama ini."

Kahfi mengangguk-angguk, mencatat dalam hati. "Baik, Dok, terima kasih atas penjelasannya."

Dokter tersenyum. "Sama-sama. Yang penting komunikasi dengan istri, jangan sampai aktivitas tersebut malah membuatnya tidak nyaman."

Rena menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu setengah mati karena pertanyaan suaminya yang blak-blakan. Sementara Kahfi justru terlihat lebih tenang setelah mendapat jawaban.

Setelah menerima beberapa resep vitamin kehamilan, mereka akhirnya keluar dari ruang dokter. Kahfi masih menggenggam tangan Rena, kali ini dengan perasaan yang lebih hangat dan penuh kebahagiaan.

Baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, Kahfi dan Rena menemukan Irsyad sudah menunggu di bangku ruang tunggu dengan wajah mengantuk. Jelas sekali ia kelelahan, mungkin karena habis dinas malam atau karena terlalu lama menunggu.

Begitu melihat adiknya keluar, Irsyad langsung bangkit dan menghampiri mereka. "Gimana hasilnya?" tanyanya sambil menguap kecil.

Kahfi tidak menjawab dengan kata-kata. Dengan penuh emosi, ia langsung merangkul abangnya erat.

"Bang, aku bakal jadi ayah!" serunya dengan penuh kebahagiaan.

Irsyad yang awalnya masih mengantuk, langsung tersentak. Seketika matanya terbuka lebar, dan senyum besar mengembang di wajahnya. "Serius? Alhamdulillah!"

Ia menepuk-nepuk punggung Kahfi dengan bangga, lalu melirik ke arah Rena yang berdiri di sebelah adiknya dengan mata berbinar. "Selamat ya, Rena. Jaga kesehatan, jangan kecapekan."

Rena tersenyum malu-malu. "Iya, Bang. Terima kasih."

Irsyad menatap Kahfi dengan tatapan geli. "Kayak nggak nyangka banget, ya?" godanya.

Kahfi tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Jujur, aku masih kayak mimpi, Bang."

Irsyad terkekeh. "Tolong jangan kekanak-kanakan lagi. Udah mau jadi ayah."

Kahfi langsung cemberut. "Aku udah dewasa," bantahnya.

Rena dan Irsyad tertawa bersama. Bagaimanapun dewasanya Kahfi, di depan abangnya dia terlihat seperti anak kecil.

***

Extra Part 3

Kabar kehamilan Rena sungguh menghebohkan keluarga besar Kahfi. Bahkan Mama dan Papa Kahfi langsung datang ke apartemen sambil membawa begitu banyak makanan terutama buah-buahan. Kahfi sampai tercengang karena dia seperti terasingkan. Padahal yang tidak nafsu makan adalah dirinya. Sedangkan sang istri begitu nafsu makan. Siang ini Rena sudah makan, sore juga dia makan lagi. Meskipun begitu, Kahfi merasa lega setidaknya dialah yang merasakan mual-mual dan kesulitan untuk mengisi perut.

"Kamu nggak usah manja, makan aja itu," omel Mama Ina sambil menunjuk makanan yang ada di meja makan.

"Nggak bisa, Ma. Bau bawang." Kahfi menjaga jarak dari meja makan. Dia tidak kuat untuk muntah lagi. Isi perutnya hanya air putih saja.

Mama Ina menghela napas, menatap putranya yang kini mendadak manja seperti anak kecil. Padahal yang sedang hamil itu Rena, tapi justru Kahfi yang lebih banyak mengeluh.

"Terus mau digimanain?" ulang Mama Ina, mulai gemas melihat tingkah anaknya.

Kahfi merajuk, menyandarkan kepalanya ke bahu Rena yang sedang asyik mengunyah potongan mangga. "Aku juga nggak tau" ucapnya dengan nada merengek.

Rena merasa kasihan dengan Kahfi. Dia mengulurkan potongan buah. "Ini mau?" tanyanya.

Kahfi menggeleng. "Enggak, Sayang. Kamu aja yang makan."

"Dipaksalah, Nak. Apa kamu mau tumbang?"

"Aku beneran nggak bisa makan, Ma. Udah dipaksa tetap aja keluar lagi" keluh Kahfi sambil memeluk lengan Rena erat, seakan mencari perlindungan dari omelan sang ibu. Masker masih setia menemani dirinya. Bahkan sekarang dengan 3 lapis.

Mama Ina melipat tangan di dada. "Mas, coba kamu bujuk anakmu itu," ujarnya kepada sang suami. Sejak tadi Papa Indra hanya melihat saja.

"Mau pakai infus aja?" tawar Papa Indra.

Kahfi langsung menggeleng. kalau pakai infus dia kesulitan untuk kemana-mana.

"Kalau nggak ada yang masuk ke perut, nanti kamu bisa pingsan Kahfi."

"Air putih aja, Pa."

Papa Indra menghela nafas panjang. "Kalau bubur aja gimana?" tawarnya.

"Nggak bisa, Pa. Baru bayangin aja udah bikin mual."

"Ya udah, sini Papa Infus kamu." Papa bergerak ingin mengambil infus yang sebenarnya tidak ada.

"Enggak mau!" Kahfi menolak.

Mama Ina hanya bisa memijat pangkal hidungnya saja. Bagaimanapun, mereka berusaha untuk mencari makanan yang cocok untuk perut Kahfi.

"Nggak usah dipikirin, Nak. Kamu fokus makan aja," ujar Mama Ina sambil menyodorkan salad yang tadi dibuat. Begitu banyak makanan yang dibawa Mama Ina.

"Iya, Ma."

Mama Ina tersenyum. "Kamu ada mual juga nggak?"

"Nggak ada, Ma. Aku malah nggak sadar kalau hamil."

"Syukurlah." Mama Ina sangat lega. Setidaknya biar saja Kahfi yang merasakan mual-mual dan kesulitan makan.

Papa Indra yang sejak tadi duduk di sofa sambil mengamati tingkah laku anak dan menantunya akhirnya berdiri. Gerakannya tenang, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia punya tujuan tertentu.

Mama Ina melirik suaminya dan langsung bertanya, "Kamu mau ke mana, Mas?"

Papa Indra melipat lengan di dada sejenak sebelum menjawab santai, "Mau bikin makanan buat Kahfi."

Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk Kahfi yang sedang menyandarkan kepalanya di bahu Rena dengan wajah lesu.

"Makanan?" ulang Mama Ina, memastikan dia tidak salah dengar.

Papa Indra mengangguk mantap, lalu berjalan ke dapur tanpa berkata apa-apa lagi.

"Pa, seriusan mau masak?" tanya Kahfi dengan nada curiga. Jujur saja Papanya jarang masak. Anak-anak lebih suka masakan Mama Ina.

Papa Indra tidak menoleh. "Meskipun Papa jarang masak, Papa ini pintar masak," katanya santai.

Kahfi langsung terdiam. Sementara itu, Mama Ina hanya bisa menggelengkan kepala.

Di dapur, Papa Indra membuka kulkas dan mulai mengamati isinya. Dia berpikir keras, mencoba mencari bahan yang bisa diolah menjadi sesuatu yang 'netral'. Kahfi bilang dia hanya bisa minum air putih. Kalau begitu, mungkin makanan yang rasanya seperti air putih akan cocok untuknya?

Tapi... makanan seperti itu ada, nggak, ya?

Setelah berpikir sejenak, Papa Indra akhirnya mengambil tahu sutra, sedikit garam, dan kaldu ayam. Mungkin kalau dibuat sup tahu bening, Kahfi masih bisa menerimanya. Tanpa banyak bicara, dia mulai bekerja di dapur, sementara dari ruang makan, Mama Ina hanya bisa menghela napas panjang.

"Papa emang bisa masak Ma?" tanya Kahfi penasaran.

"Bisa."

"Tapi kok kami nggak pernah makan masakan Papa?"

"Cuma Mama yang makan. Kalian kan maunya makan masakan Mama doang."

Kahfi menyengir. Rena juga mengingatkan agar sang suami memaksa diri untuk makan. Papa Indra juga sudah bersusah payah untuk masak.

Setelah masak, Kahfi mencoba untuk mengisi perutnya. Sangat ajaib sekali karena dia tidak mual. Padahal rasa masakan Papa Indra bagi lidah orang normal seperti tidak berasa sama sekali. Garam yang diberikan juga sedikit. Tapi setidaknya Kahfi bisa mengisi perutnya sehingga memiliki tenaga.

Pukul sepuluh malam, Mama dan Papa pulang. Rena juga harus istirahat. Rena masuk ke dalam kamar setelah memasukkan beberapa cake ke dalam kulkas.

"Ganti baju dulu, Sayang." Kahfi memberikan baju tidur.

"Terima kasih, Mas." Rena menerimanya. Dia langsung membuka daster panjangnya dan mengganti dengan baju tidur. Saat itu, Kahfi dapat melihat perut istrinya masih rata. Namanya juga baru 5 minggu. Tapi dia tersenyum karena didalamnya ada calon anak mereka.

Kahfi langsung melangkah mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Rena, menariknya ke dalam pelukan dari belakang. Kehangatan tubuh suaminya membuat jantung Rena berdebar lebih cepat. Terlebih saat tangan Kahfi perlahan menyentuh kulit perutnya, jari-jarinya mengusap lembut seolah merasakan sesuatu yang belum ada.

"Masih rata," gumamnya sambil terus membelai perut Rena dengan penuh kasih.

"Masih awal bulan, Mas," sahut Rena dengan pipi yang mulai merona.

Kahfi tersenyum kecil, lalu mengecup puncak kepala istrinya. "Nggak sabar nunggu perut kamu membesar," ujarnya penuh antusias.

Rena terkekeh pelan. "Nanti kalau membesar, berat badan aku juga bertambah."

"Bagus dong. Kamu terlalu kurus, Sayang," sahut Kahfi santai, masih terus mengusap perutnya.

Mendengar itu, Rena langsung mengerucutkan bibir. "Nanti kalau aku jadi gendut dan jelek gimana?" tanyanya pura-pura merajuk.

Kahfi terkekeh di balik maskernya, lalu tanpa ragu menempelkan dagunya di bahu istrinya. "Apa yang jelek, Sayang? Kamu itu udah cantik banget. Bidadari aja minder kalau lihat kamu," katanya dengan nada menggoda.

Rena mendelik dan tanpa pikir panjang mencubit pinggang suaminya. "Ngomongnya ngelantur."

"Nggak ngelantur, tapi fakta." Kahfi tertawa pelan.

"Udah ah, Mas tidur sana!" ujar Rena, berusaha mengusir suaminya yang semakin manja.

Kahfi malah makin mengeratkan pelukannya. "Nanti dulu, Sayang. Masih mau begini."

"Nanti Mas mual lagi," Rena memperingatkan.

"Kalau pakai masker nggak kok," jawab Kahfi cepat. Namun, tiba-tiba suaranya melemah. "Cuma... aku jadi nggak bisa cium kamu."

Rena tersenyum simpul mendengar nada sedih suaminya. Ia berbalik, lalu berjinjit sedikit sebelum mengecup kening Kahfi dengan penuh sayang. Kahfi pun menundukkan tubuhnya agar lebih mudah dijangkau.

"Cuma kening doang?" tanyanya dengan wajah pura-pura kecewa.

"Terus mau gimana? Mas nggak bisa kalau nggak pakai masker," balas Rena sambil tertawa kecil.

Kahfi menghela napas panjang, tubuhnya seketika melemas. "Kapan ya mual ini hilang? Aku kangen cium kamu," keluhnya.

Rena merasa bersalah mendengarnya. "Maaf ya, Mas..."

Namun, Kahfi langsung menggeleng tegas. "Kamu nggak salah, Sayang. Malah bagus kalau aku yang ngerasain mual dan susah makan dibanding kamu," ujarnya penuh ketulusan.

"Tapi kan Mas pasti kesulitan," kata Rena pelan.

Kahfi tersenyum dan mengusap pipinya dengan lembut. "Nggak masalah. Aku bisa melewatinya. Jadi kamu nggak usah khawatir, ya?" ucapnya penuh keyakinan.

Rena menatap suaminya dengan mata berbinar, hatinya menghangat oleh perhatian yang diberikan Kahfi. Ia merasa begitu dicintai, begitu beruntung memiliki pria seperti suaminya.

***

Extra Part 4

Pagi-pagi, Rena sudah ada di dapur. Tidak seperti bulan-bulan awal kehamilan dimana Rena sangat malas melakukan apa-apa. Sekarang Rena sudah mau bergerak walaupun hanya untuk hal sederhana saja. Drama mual-mual Kahfi juga sudah menjauh. Dia berhasil melewatinya. Bahkan saat kondisi tubuh Kahfi buruk, dia tetap berangkat kerja. Hal yang tidak terduga pernah terjadi yaitu Kahfi muntah saat rapat. Dia sangat meminta maaf kepada para karyawannya. Tapi semua memaklumi hal tersebut. Namanya juga mengalami couvade syndrome. Bahkan banyak karyawan perempuan yang berharap pasangan mereka juga mengalami hal yang sama seperti Kahfi.

Apartemen terasa sepi karena memang suaminya sedang tidak ada dirumah. Suaminya sudah lama tidak berlari pagi, jadi pagi ini Kahfi memutuskan untuk lari pagi. Rena memutuskan untuk membuat menu sarapan pagi yang sederhana namun bergizi, yaitu omelet sayur. Meskipun sedang hamil, Rena tetap bekerja. Tapi saat usia kandungan nanti menginjak 7 bulan, dia akan berhenti bekerja. Rena sudah memikirkan secara matang dan sang suami sangat mendukung semua keputusannya.

Saat ia hendak menuangkan adonan ke dalam wajan yang sudah dipanaskan, sebuah suara familiar terdengar dari belakang. Jadi dia mengurungkan niat untuk menuangkan adonan.

"Masak apa, Sayang?"

Rena tersentak kecil, lalu menoleh. Kahfi sudah berdiri di dekat pintu dapur, bersandar santai di dinding dengan ekspresi penasaran.

"Omelet sayur. "

"Wah... kelihatannya enak."

Kahfi melangkah mendekati istrinya dengan gerakan ringan, lalu tanpa peringatan, ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Rena dari belakang.

Rena sedikit terkejut, terutama saat ia merasakan napas hangat suaminya menyentuh kulit lehernya. Sensasi itu membuat bulu kuduknya meremang, bukan karena takut, melainkan karena keintiman yang mendadak.

"Mas..." gumamnya, sedikit gelagapan.

"Hmm?" sahut Kahfi malas-malasan, kepalanya bersandar di pundak istrinya.

"Aku lagi masak..."

"Aku tahu," bisik Kahfi, semakin mempererat pelukannya. "Tapi baunya enak banget, bikin aku nggak tahan buat deket-deket."

Rena menghela napas kecil, mencoba berkonsentrasi kembali pada wajan di hadapannya, tetapi itu sulit. Bagaimana bisa ia fokus kalau suaminya bertingkah seperti ini?

"Awas dulu ih, nanti omelet nggak jadi, " tegurnya lembut, mencoba mendorong Kahfi pelan.

Namun, bukannya menjauh, Kahfi justru semakin mengeratkan pelukan dan berbisik tepat di telinganya. "Nggak mau."

Rena langsung memerah. "Mas, ih!" tegurnya sambil menyikut pelan perut suaminya, tetapi tanpa niat benar-benar melepaskan diri.

Rena menghela napas, mencoba tetap fokus pada wajan di hadapannya. Dengan hati-hati, ia menuangkan adonan omelet ke dalam wajan yang sudah dipanaskan, sementara Kahfi masih enggan melepaskan pelukannya.

"Mas, kalau kayak gini, nanti omeletnya malah berantakan," keluhnya, meski nada suaranya tidak benar-benar kesal.

Kahfi tersenyum kecil, dagunya kini bersandar di bahu istrinya. "Tapi aku suka di sini," gumamnya.

Rena menggigit bibir.

Dengan satu tangan, ia mencoba membalik omeletnya dengan hati-hati. Tangannya sedikit gemetar karena Kahfi masih menempel erat, membuatnya sulit bergerak leluasa. Namun, ia berhasil membaliknya dengan sempurna.

Akhirnya Rena berhasil membuat omelet sayur. Dia memindahkan ke dalam piring.

"Ya ampun, tangan Mas ini kemana-mana ya." Rena kaget luar biasa. Untung saja piring di tangannya tidak jatuh. Bisa-bisanya tangan sang suami masuk ke dalam baju tidurnya.

Kahfi hanya menyengir. "Cuma mau nyapa dedeknya, Sayang." Kahfi membuat-buat alasan. Padahal bukan hanya itu.

"Awas dulu," tegur Rena sambil memukul pelan tangan sang suami agar keluar dari pakaiannya.

"Iya iya." Kahfi melepaskan tubuh sang istri.

Rena menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pipinya masih terasa panas akibat ulah suaminya yang tiba-tiba itu.

"Mas ih, pagi-pagi udah iseng aja," gerutunya sambil meletakkan piring berisi omelet di meja makan.

Kahfi tertawa kecil, lalu menarik kursi dan duduk. "Biar pagi kita lebih semangat, Sayang."

Rena mendelik, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik. "Semangat buat apa?" tanyanya curiga.

Kahfi menatap istrinya dengan tatapan jahil. "Banyak hal. Salah satunya semangat buat makan omelet buatan istri tercinta," ujarnya cepat sebelum Rena sempat protes.

"Nggak nyambung," balas Rena yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

Kahfi hanya bisa tertawa. Melihat wajah cemberut sang istri dengan pipi memerah menjadi kesenangan tersendiri untuk dirinya.

Rena meletakkan omelet di meja makan. "Mandi dulu sana," suruh Rena. Apalagi suaminya baru selesai lari pagi yang pasti mengeluarkan keringat.

"Aku bau ya?" Kahfi mencium bau badannya sendiri.

"Itu sadar," jawab Rena sambil menahan senyum.

"Eh masa?" Kahfi terkejut dan mencium kembali. Memang dirinya berkeringat, tapi tubuhnya tidak bau. Sejak dulu tubuh Kahfi memang memiliki kelebihan seperti ini. Makanya dia santai saja memeluk sang istri meski baru saja selesai lari pagi.

"Coba cium sendiri kalau nggak percaya."

"Nggak bau kok." Kahfi sudah mencoba mencium berkali-kali. Tidak bau sama sekali.

"Terus kalau nggak bau, Mas nggak mau mandi gitu?"

"Ya mau, Sayang. Cuma kalau aku bau kan kasihan hidung kamu. Mana tadi aku meluk-meluk kamu lagi."

Rena terkekeh. "Nggak bau kok," jelas Rena jujur.

Kahfi tersenyum puas. "Tuh kan, berarti aku aman," ujarnya santai.

Rena menggeleng, masih terkekeh. "Aman sih aman, tapi tetap aja, Mas harus mandi."

Kahfi mendengus pelan, berpura-pura malas. "Istri aku ini cerewet banget ya," godanya sambil mengusap kepala Rena lembut.

Rena mendelik. "Biar sehat, Mas! Lagian, kalau udah mandi pasti rasanya lebih segar," ucapnya, setengah mendorong suaminya menjauh.

Kahfi mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku mandi dulu biar bisa... ," katanya sambil menaik turunkan alisnya.

"Bisa apa?" Mata Rena melotot.

"Bisa berolahraga bersama-sama," jawabnya sambil menyengir. "Kamu butuh keluar keringat juga, Sayang."

"Yang semalam nggak cukup?"

Kahfi menggeleng malu.

"Dulu aja nolak," sindir Rena.

"Bukan nolak, Sayang. Tapi hati-hati karena masih awal kehamilan," rengek Kahfi karena tidak mau membahas-bahas bagaimana dia menahan diri selama beberapa waktu. "Jangan dibahas lagi," lanjutnya.

Rena tertawa kecil, merasa menang. "Makanya, dulu nggak usah gengsi segala padahal dokter bilang aman kok," godanya sambil melipat tangan di dada.

Kahfi menghela napas, lalu berjalan mendekati istrinya lagi. "Ya namanya khawatir, Sayang," ujarnya. "Sekarang kan udah aman, mana bagus kalau sering."

Rena memutar bola matanya, tapi pipinya sedikit merona. "Iya, iya. Mas mandi dulu sana. Jangan malah godain aku terus."

Kahfi pura-pura berpikir. "Hmmm... Mandi dulu, terus olahraga berdua, terus sarapan bareng, terus..."

Rena langsung menutup mulut suaminya dengan telapak tangannya. "Udah, mandi aja dulu!"

Kahfi terkekeh sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kamar mandi. Namun, sebelum masuk, ia kembali mengintip dari balik pintu. "Jangan kabur, ya. Papa balik sebentar lagi!" godanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Rena hanya bisa menggeleng sambil menahan senyum. "Ya ampun, Mas!"

Kahfi masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan diri padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang. Kahfi tidak benar-benar menginginkan olahraga bersama istrinya. Dia hanya menggoda saja karena dia juga dikejar waktu untuk segera berangkat kerja. Banyak yang harus dikerjakan Kahfi.

Kahfi keluar dari kamar mandi. Istrinya sudah menyiapkan pakaian kerja untuknya. Meskipun Rena ingin mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Kahfi tidak memperbolehkan sang istri bekerja berat termasuk mencuci pakaian. Dia bisa menggunakan jasa laundry.

Seperti sudah diperkirakan Rena, dia masuk kamar saat suaminya ingin memasang dasi. Rena mengambil alih pekerjaan itu dengan senang hati.

"Oh ya, Nanti jangan lupa bawa buah-buahan," ujar Kahfi. Istrinya harus mengemil cemilan sehat.

"Iya," jawab Rena.

Rena setelah mengikat dasi Kahfi. Dia tersenyum karena hasilnya tampak rapi. "Tampannya suamiku," puji Rena.

Kahfi malu sendiri kalau dipuji begitu. "Istriku juga cantik," balas Kahfi. Dia mencium sang istrinya sejenak. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Rena menerima dengan senang hati. Kahfi membutuhkan hal ini agar paginya menjadi lebih semangat. Terkadang sebuah ciuman lebih membangkitkan semangat dibanding menu sarapan.

Kahfi mengusap bibir sang istri akibat aktivitas menggairahkan yang mereka lakukan. Meskipun sudah sering, Rena terkadang masih malu-malu. Rena menundukkan wajahnya dengan pipi merona.

"Ayo kita sarapan," ajak Kahfi sambil menggenggam tangan sang istri. Mereka berdua melangkah ke meja makan.

Rena duduk dan Kahfi memilih untuk membuka kulkas lebih dulu untuk mengecek sesuatu. "Eh buahnya udah habis ya," ujarnya. Buah yang dimaksud Kahfi adalah buah yang sudah dipotong sehingga istrinya tinggal memakannya saja.

"Udah mungkin," jawab Rena.

Kahfi mengeluarkan 3 buah. Dia akan mengupas dan memotongnya lebih dulu sebelum sarapan. Dia juga memasukan potongan buah ke dalam kotak bekal. Hal ini sudah menjadi kebiasaan selama Rena hamil. Terkadang Rena tidak meminta hal itu, tapi suaminya selalu memperhatikan Rena dan anak mereka walau dalam hal kecil sekalipun.

***

Extra Part 5

Pengadilan sudah memutuskan hukuman untuk Ayah Rena, Ibu tiri dan adik tirinya. Berhubung Rena melaporkan kasus ini setelah usianya 26 tahun, maka ayah Rena tidak bisa dikenakan pasal kekerasan anak dibawah umur. Padahal ayah Rena sudah menyiksa Rena sejak kecil. Ayah Rena dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Sedangkan Ibu tiri dan adik tirinya jauh lebih ringan. Karena mereka masuk dalam melakukan kejahatan ringan. Hukuman keduanya 2 tahun 8 bulan saja. Meskipun begitu, Rena sudah lega. Dia harap Ayahnya bisa sadar dan berubah.

Rena mematikan televisi, matanya mulai terasa berat. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, kantuk semakin menyerangnya. Dia melangkah ke ruang kerja sang suami.

"Mas," panggilnya lembut.

Kahfi, yang tengah sibuk mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda, langsung mengangkat kepala.

"Iya, Sayang?"

"Aku mau tidur," ujar Rena dengan suara manja. Sejak dulu, ia tidak bisa tidur tanpa ditemani suaminya. Kehangatan tubuh Kahfi, elusan lembut di perutnya, selalu menjadi pengantar tidur terbaik baginya.

Kahfi tersenyum kecil, menutup laptopnya tanpa ragu. "Baik, Sayang. Aku cuci tangan dulu," katanya sebelum bangkit dari kursi dan melangkah keluar dari kamar. Meski hanya berada di dalam ruangan ini, ia tetap ingin memastikan tangannya bersih sebelum menyentuh istrinya.

Tak lama, Kahfi kembali dan langsung naik ke ranjang yang cukup untuk mereka berdua. Ia berbaring di samping Rena, menatap wajah istrinya yang terlihat begitu damai meskipun tubuhnya masih sedikit lelah. Dengan penuh kasih, ia mengusap puncak kepala Rena, menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.

Namun, Rena malah menggenggam tangannya dan meletakkannya di atas perutnya. "Elusnya di sini aja," pintanya dengan suara lembut.

Kahfi tersenyum, hatinya mencair melihat ekspresi manja istrinya. Ia kira Rena akan bosan jika setiap malam yang dielus hanya perutnya, tapi ternyata tidak. Justru itulah yang membuatnya merasa nyaman.

Dengan penuh kelembutan, Kahfi mulai mengusap perut Rena dengan gerakan perlahan, seolah menyapa kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam sana. "Hai, Nak. Tidur yang nyenyak ya, jangan bikin Mama rewel," bisiknya sambil tersenyum.

Rena terkekeh kecil, lalu menggenggam erat tangan suaminya. "Mas selalu gitu," gumamnya, matanya mulai terpejam.

"Biar anak kita tau kalau Papanya sangat cinta sama Mamanya," sahut Kahfi, masih terus membelai perut istrinya.

Dalam hening, Rena menikmati setiap sentuhan suaminya. Kehangatan, perlindungan, dan cinta yang begitu besar terpancar dari setiap elusan Kahfi. Ia bersyukur, sangat bersyukur, memiliki pria ini sebagai suaminya.

"Mas..." panggilnya lirih, hampir mengantuk sepenuhnya.

"Hm?"

"Jangan pernah berubah, ya."

Kahfi terkekeh pelan, lalu mengecup kening istrinya dengan penuh kasih. "Aku nggak akan berubah, Sayang."

Awalnya Rena sangat mengantuk, tapi karena menghirup aroma tubuh suaminya, dia jadi tidak ingin tidur sama sekali. Padahal sejak tadi, suaminya mengusap perutnya yang sudah membuncit.

"Aku nggak bisa tidur, Mas."

"Kenapa nggak bisa? Apa ada yang sakit?" Kahfi langsung khawatir.

Rena menggeleng. Jari telunjuk mengarah ke dada bidang Kahfi yang sedikit terbuka. Kancing baju tidurnya tidak sepenuhnya terkancing. Sentuhan kecil begitu sudah membuat Kahfi memejamkan mata. Tapi Kahfi tidak bisa melarang. Semakin lama, Rena semakin menguji Kahfi. Tangannya mengusap dada bidang Kahfi. Bahkan Rena menciumnya. Tentu saja Kahfi terkejut.

"Kamu capek, Sayang." Kahfi mengingatkan. Kalau sang istri sudah seperti ini berarti dengan sedang memberikan kode kepada Kahfi.

"Tapi aku lagi mau," cicit Rena dengan suara serak.

"Ha?" Kahfi terkejut.

"Kamu capek, Sayang." Kahfi masih mencoba untuk berpikir waras. Tapi sayangnya sang istri benar-benar menguji kesabarannya.

Rena tidak menjawab, hanya tersenyum kecil dengan tatapan penuh arti. Jari-jarinya masih bergerak pelan di atas dada Kahfi, mengusap dengan lembut seolah sengaja menguji seberapa lama suaminya bisa bertahan. Kahfi menelan ludah, matanya semakin berat menahan godaan yang diberikan istrinya.

"Sayang, kamu butuh istirahat," ujar Kahfi, suaranya sedikit bergetar.

"Tapi aku juga butuh kamu," bisik Rena sambil mendekatkan wajahnya ke leher Kahfi, menghirup aroma khas suaminya yang selalu memberinya rasa nyaman.

Kahfi meremas sprei di bawahnya, mencoba tetap rasional. "Rena, kamu hamil..."

"Iya, makanya aku butuh kamu," potong Rena dengan tatapan menggoda. Bibirnya menyentuh kulit Kahfi, memberikan ciuman kecil yang membuat tubuh suaminya menegang.

Kahfi menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan akal sehatnya yang mulai menghilang. Tapi Rena benar-benar tidak memberinya kesempatan. Tangan mungilnya kini naik ke bahu Kahfi, menelusuri setiap inci tubuh suaminya dengan sentuhan lembut.

"Rena..."

"Hmm?"

"Kamu bikin aku gila," gumam Kahfi lirih, menatap istrinya dengan penuh peringatan.

Rena tersenyum penuh kemenangan. "Berarti aku berhasil, ya?" bisiknya, lalu kembali menempelkan bibirnya di dada Kahfi, memberikan sentuhan kecil yang sukses membuat jantung pria itu berdetak lebih cepat.

Dalam sepersekian detik, kesabaran Kahfi runtuh. Ia membalikkan tubuhnya, menindih Rena dengan hati-hati. Mata gelapnya menatap dalam, penuh peringatan sekaligus rasa sayang.

"Kamu yakin mau ini sekarang?" tanyanya, memastikan istrinya tidak sedang dalam kondisi lelah.

Rena mengangguk pelan, menatap Kahfi dengan tatapan penuh keyakinan. "Iya, Mas. Aku mau."

Kahfi menarik napas panjang, lalu tersenyum lembut. "Baiklah, Sayang. Aku akan pastikan kamu tetap nyaman."

Setiap Kahfi memberi sentuhan, Rena rasanya tidak mampu menahan diri untuk tidak bersuara. Suaminya seperti sudah mengenal setiap inci tubuhnya. Dimana tubuh yang membuatkan menjadi gila saat disentuh dengan lembut tetapi penuh dengan gairah yang membara. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Kahfi membuat Rena tidak berdaya. Tapi dia menikmati setiap detik yang berlalu dimana tubuh mereka saling berbaur satu sama lain.

"Aku mencintaimu," bisik Kahfi. Terakhir dia mencium perut membuncit yang istri.

***

Kahfi melirik Rena yang masih tertidur lelap di sampingnya. Wajah istrinya terlihat begitu damai, kontras dengan kehebohan beberapa jam yang lalu. Pipinya langsung terasa panas saat mengingat apa yang terjadi semalam. Seolah seperti orang yang berbuka puasa setelah sekian lama menahan diri.

Suara lirih dan erangan manja Rena masih terngiang di kepalanya, membuatnya hampir gila sendiri.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, Kahfi merasakan sesuatu di perutnya. Ia menutup mata, berusaha menahan diri. Bisa-bisanya, dalam keadaan tidur pun, Rena masih memberikan tantangan tersendiri.

Kahfi mengintip sedikit ke bawah selimut, berniat menyingkirkan tangan istrinya yang tanpa sadar menyentuhnya. Tapi baru saja dia mengangkatnya, dia mengurungkan niat. Mereka masih dalam keadaan polos, hanya selimut yang menutupi tubuh mereka. Astaga, betapa gilanya mereka semalam.

Dia menghela napas panjang, mencoba tetap waras.

Kahfi mengusap lembut pipi istrinya. "Sayang, bangun," panggilnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.

Rena hanya menggeliat kecil, tapi tetap enggan membuka mata. Kahfi tersenyum kecil, merasa was-was kalau selimut turun dan membuat tubuh istrinya terekspos. Dengan hati-hati, dia menarik kembali selimut itu, menutupi tubuh istrinya agar tetap hangat.

Kahfi akhirnya memutuskan untuk bangun lebih dulu. Dia mengumpulkan pakaian mereka yang berserakan di lantai. Tatapannya jatuh pada piyama miliknya yang kancingnya hilang entah ke mana. Sebenarnya, siapa yang lebih ganas semalam? Dirinya atau Rena?

Sambil menggeleng geli, Kahfi mengenakan pakaian dengan cepat. Udara pagi terasa begitu dingin, membuatnya menurunkan suhu pendingin ruangan agar Rena tidak terlalu kedinginan. Tadi malam mereka memang kepanasan, tapi sekarang situasinya berbeda.

Dia mengambil pakaian istrinya dan meletakkannya di atas ranjang, merasa sedikit aneh saat menyentuhnya. Padahal dia sudah sering melakukannya.

Sebelum menuju kamar mandi, Kahfi mengecup kening istrinya. Rena menggumam kecil, tapi masih tetap tertidur. Kahfi tersenyum, lalu melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Air dingin membasahi tubuhnya, menyegarkan pikirannya. Tapi, saat mandi, dia malah senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi malam. Untung tidak ada yang melihat, kalau ada, pasti dikira orang gila.

Beberapa menit kemudian, Kahfi keluar dengan pakaian bersih. Rena masih belum bangun. Saat ia mengancingkan bajunya, suara alarm berbunyi nyaring.

Kahfi buru-buru mencari ponselnya, tapi ternyata bukan dari miliknya. Ia melirik ke arah ranjang, di mana tubuh Rena mulai bergerak. Tangannya meraba-raba mencari sesuatu di meja samping.

Akhirnya, Rena membuka mata sedikit dan mematikan alarm. Dengan suara serak, ia menggumam, "Udah jam berapa?"

Kahfi tersenyum dan duduk di tepi ranjang. "Lima kurang sepuluh. Ayo bangun, mandi dulu."

Rena mengerang pelan, wajahnya mengubur di bantal. "Aku capek..."

Kahfi khawatir. "Maaf ya, Sayang." Dia merasa bersalah. Harusnya Kahfi lebih bisa menahan diri.

Rena menyipitkan mata menatap suaminya. "Maaf kenapa?

"Maaf karena aku nggak bisa menahan diri."

Rena terkekeh. "Aku juga mau," jelasnya.

Kahfi salah tingkah sendiri. "Ya udah, ayo bangun," ucapnya sambil mengalihkan pembicaraan.

Rena hanya menggumam, tapi akhirnya, dengan enggan, ia mulai bangun. Tubuhnya masih terasa pegal, tapi ada kehangatan di hatinya saat melihat suaminya tersenyum penuh cinta di sampingnya.

***

Extra Part 6

Apa yang paling disukai Rena? Jawabannya adalah saat dimana suaminya libur bekerja. Maka Rena bisa bersama suaminya sepanjang hari.

Rena selalu menunggu akhir pekan dengan penuh antusias. Namun, ia tidak ingin terlihat terlalu menantikannya, takut kalau Kahfi justru berpikir untuk sering mengambil libur sendiri. Memang dia bekerja di perusahaannya sendiri, tapi tetap saja harus profesional. Dia berharap kebiasaan suaminya yang penuh tanggung jawab ini tidak akan berubah sampai kapan pun.

Memang benar, Kahfi selalu menunjukkan betapa besar cinta dan perhatiannya pada Rena. Mungkin karena Rena adalah cinta pertamanya. Sosok yang sudah ia sukai sejak 9 tahun yang lalu.

Pagi ini, Rena yang masih berbaring di samping Kahfi tiba-tiba terdiam. Berhubung libur maka dia dan suami memutuskan tidur kembali setelah shalat subuh. Memang bukan kebiasaan baik. Mereka pun hanya sesekali saja melakukannya. Ia memperhatikan suaminya yang tertidur lelap, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Rasa khawatir muncul di benaknya.

"Jangan-jangan Mas Kahfi..." pikir Rena sambil menelan ludah.

Walaupun tahu itu terdengar konyol, ia tetap mendekatkan telinganya ke dada bidang Kahfi untuk memastikan detak jantungnya masih terdengar. Begitu mendengar denyut yang stabil, ia akhirnya merasa lega.

Namun, saat ia hendak bangkit, sesuatu menahannya.

"Apa kamu selalu begini tiap pagi, Sayang?" suara Kahfi tiba-tiba terdengar.

Rena membeku. Ia mendongak dan mendapati suaminya sudah bangun, menatapnya dengan senyum geli.

"Aku..." Rena gugup, wajahnya langsung merona.

"Aku sering loh, lihat kamu begini," goda Kahfi lagi, tawanya makin terdengar.

Rena mendengus, mencoba membela diri. "Kamu sih nggak gerak-gerak, aku jadi takut!"

Kahfi terkekeh. "Orang tidur mana ada yang gerak-gerak, Sayang?"

"Ada, dong!" balas Rena cepat. "Orang tidur itu biasanya masih bisa gerak sedikit, minimal berbalik badan!"

Kahfi tersenyum sambil menarik tubuh istrinya dalam pelukan. "Jadi tiap pagi kamu ngecek aku masih hidup atau enggak?" tanyanya jahil.

"Enggak!" jawab Rena galak.

Kahfi tertawa. Dia bahkan langsung menarik tubuh sang istri agar mendekat padanya. "Dingin," ujar Kahfi sambil mengeratkan pelukan. Meskipun begitu dia sangat berhati-hati dengan perut sang istri yang sudah terlihat membuncit.

"Makanya pakai baju," balas Rena sambil memukul pelan lengan suaminya. Kahfi memang hanya menggunakan celana pendek saja.

"Nanti kalau pakai baju, kamu kecewa," goda Kahfi. Dia bahkan mencium sang istri berkali-kali sampai Rena merasa geli sendiri.

"Mas ih... " Rena ingin menjauhkan wajahnya dari bibir sang suami, tapi tampaknya tidak bisa.

Kahfi semakin menggoda dengan kembali mencium pipi istrinya berulang kali. Rena mencoba memberontak, tetapi tangannya malah tertangkap oleh suaminya yang usil. Lantas keduanya sama-sama tertawa. Apalagi Rena sampai menggigit lengan sang suami sampai merah. Kahfi tidak marah sama sekali. Dia malah suka-suka saja.

"Anak Papa baik-baik saja, Kan?" tanya Kahfi yang kini fokus pada perut sang istri.

"Iya dong, Papa. Anak Papa kan kuat," jawab Rena dengan meniru suara anak kecil.

"Alhamdulillah. Anak Papa memang kuat. Harus baik-baik diperut Mama, jangan buat Mama kesulitan."

"Kamu yang buat aku kesulitan, bukan anak kita," keluh Rena dengan niat bercanda.

"Oh ya? Kesulitan seperti apa?" Kahfi mulai jahil. Tangannya bergerak kemana-mana. "Apa ini?" tanyanya.

"Mas mau aku gigit lagi ya?" Rena pura-pura galak.

"Kamu kok gemesin banget, sih? Padahal sebentar lagi jadi ibu," goda Kahfi sambil menatap istrinya penuh sayang. Ia jadi membayangkan, kalau Rena saja sudah selucu ini, bagaimana dengan anak mereka nanti? Kahfi berharap si kecil mewarisi kecantikan dan kelembutan sang istri. Sementara Rena justru ingin anak mereka lebih mirip suaminya.

"Gemesin darimana?" Rena mendongak, menatap suaminya dengan penuh selidik.

Kahfi menyandarkan satu tangan di bawah kepalanya, sementara tangan yang lain mengusap pelan puncak kepala istrinya. "Dari mana aja. Senyum kamu, pipi kamu, semuanya bikin gemas," jawabnya dengan senyum lebar.

Rena langsung memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipinya. Dipuji terang-terangan begini membuatnya semakin malu.

Kahfi tertawa kecil. "Duh, wajahnya sampai merah!" godanya, semakin gemas melihat reaksi sang istri.

"Jangan lihat!" Rena buru-buru menutup wajah dengan tangan, tapi justru itu semakin membuat Kahfi tergelitik untuk menggoda.

"Mana bisa? Istriku secantik dan seimut ini, sayang banget kalau nggak dilihat."

"Gombal terus," gerutu Rena, masih tak berani menatap suaminya.

"Bukan gombal. Coba sini wajahnya, aku mau lihat lebih dekat."

"Nggak mau!" Rena malah beringsut menjauh dari dada bidang Kahfi.

"Eh, Sayang mau ke mana?" Kahfi buru-buru menahan pergerakan istrinya.

"Mau jalan santai dibawah," jawab Rena singkat.

Kahfi melirik jam dinding. Pukul delapan lewat. Sinar matahari sudah cukup hangat, memang waktu yang pas untuk berjalan santai di sekitar apartemen.

"Oke, Sayang. Aku cuci muka dulu." Kahfi bangkit dari tempat tidur. Tapi sebelum ke kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk merapikan kasur terlebih dahulu. Hal yang jarang ia lakukan kalau Rena masih tidur, apalagi di hari kerja.

Kahfi mencuci wajah dan menggosok gigi. Selanjutnya di keluar. Istrinya sudah menunggu. Melihat perut istrinya sudah sangat membuncit membuat Kahfi senang sekaligus khawatir. Semakin dekat persalinan tentu saja membuat dirinya semakin takut. Tapi Kahfi tidak menunjukkan sama sekali rasa khawatir dan takutnya itu.

"Duduk disini biar aku ambil sepatu dulu," ujar Kahfi.

"Nggak usah, Mas."

"Kenapa?"

"Aku pakai sendal aja. Sepatunya sempit."

Kahfi ternyata belum sepenuhnya memperhatikan sang istri. "Kenapa baru bilang sekarang?" tanya dengan wajah sedih.

"Ya baru-baru ini aja terasa sempit. Mungkin karena berat badanku nambah."

"Ya udah, nanti beli yang baru."

Rena jelas saja menolak. Membeli juga untuk apa karena hanya bisa dipakai sebentar. Suaminya sangat-sangat mudah mengeluarkan uang. Rena sampai takut kalau uang suaminya habis padahal tidak mungkin selama Kahfi menjalankan perusahaan dengan baik.

"Nanti kan berat badan aku juga berkurang setelah melahirkan, jadi nggak perlu beli sepatu baru," jelas Rena agar suaminya tidak salah paham.

Kahfi menghela nafas panjang. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau nanti butuh sepatu baru bilang ya?"

Rena mengangguk.

Matahari pagi menyinari lingkungan apartemen yang menjadi tempat Rena dan Kahfi tinggal. Udara masih segar, dan jalanan cukup lengang, hanya beberapa tetangga yang juga sedang berolahraga ringan atau sekadar berjalan santai.

Rena melangkah dengan santai di samping suaminya. Sementara itu, Kahfi tampak begitu siap siaga, seolah mereka sedang melakukan ekspedisi besar, bukan sekadar jalan pagi di sekitar apartemen. Di tangannya, ia membawa handuk kecil untuk menyeka keringat istrinya, sebotol air mineral, dan bahkan kipas angin kecil yang bisa digenggam.

"Mas, ini kita jalan pagi atau perjalanan jauh, sih?" Rena menatap suaminya heran.

Kahfi tersenyum, dengan sigap membuka kipas dan mulai mengipasi istrinya. "Kan kamu gampang kepanasan, Sayang. Nanti keringetan, nggak nyaman."

Rena menghela napas, geli melihat betapa berlebihan perhatian suaminya. "Kita cuma jalan santai di sekitar apartemen, Mas. Nggak bakal dehidrasi juga."

"Ya tapi kalau kamu tiba-tiba haus, aku udah siapin minum." Kahfi menyodorkan botol air dengan penuh semangat.

Rena tertawa kecil, tapi tetap menerima botol itu. "Ya ampun, Mas."

Mereka terus berjalan santai menyusuri trotoar. Kahfi sesekali melirik istrinya, memastikan Rena tidak kelelahan. Bahkan ketika ada batu kecil atau jalanan sedikit menanjak, tangannya sigap memegang lengan Rena untuk berjaga-jaga.

Di sebuah taman kecil dekat apartemen, mereka berhenti sejenak. Rena duduk di bangku taman, menikmati angin pagi yang sejuk, sementara Kahfi mengeluarkan handuk kecil dan menyeka kening istrinya dengan lembut.

"Mas, aku nggak kepanasan juga, loh," protes Rena, meskipun dalam hati ia senang diperhatikan begitu rupa.

"Antisipasi, Sayang. Pokoknya aku nggak mau lihat kamu kepanasan atau kehausan."

Rena tersenyum, menatap suaminya dengan penuh rasa sayang. "Suami aku memang luar biasa," pujinya.

Kahfi tersenyum senang. "Terima kasih atas pujiannya." Kahfi melihat ke sekeliling, ketika tidak ada yang melihat. Dia mencium pucuk kepala sang istri. Kemudian keduanya saling menggoda satu sama lain seperti biasanya.

***

Jalan santai dipagi hari tidak perlu terlalu lama. Cukup beberapa menit saja. Kahfi membawa Rena kembali ke apartemen setelah 30 menit berlalu. Dia menyuruh Rena untuk beristirahat terlebih dahulu di kursi santai yang nyaman untuk ibu hamil. Kahfi termasuk orang-orang yang begitu banyak membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu penting. Namun Kahfi mengutamakan kenyamanan sang istri. Termasuk sendal di dalam apartemen. Dia membeli yang lembut dan aman agar tidak membuat istrinya tergelincir jika lantai licin atau sebagainya.

"Mau sarapan apa, Sayang?" tanya Kahfi. Kalau hari libur, biasanya Kahfi yang menyiapkan sarapan. Tapi hari kerja dia juga sering menyiapkan sarapan.

"Apa ya?" Rena mulai memikirkan apa yang dia inginkan. Sedangkan Kahfi menunggu jawaban istrinya sambil membuka kulkas untuk melihat isi dalam kulkas. Masih banyak jadi Kahfi sedikit lega.

"Bilang aja sayang, kamu lagi pengen apa?"

"Mau bubur," jawab Rena sambil menyengir.

"Oke istriku." Kahfi tidak pernah menolak keinginan Rena. Lebih tepatnya Rena juga tidak minta yang macam-macam. Setidaknya masih dalam jangkauan kemampuan Kahfi. Kecuali sang istri menginginkan makanan yang ribet.

Walaupun Kahfi pernah membuat bubur, tapi dia tetap mencari referensi di youtube. Kali saja bisa membuat bubur yang lebih enak dari biasanya.

Kahfi akan membuat bubur ayam plus sayur. Jadi dia akan memotong sayur yang cukup disukai oleh sang istri. Kahfi begitu hati-hati membuat bubur ayam plus sayur tersebut.

Waktu yang Kahfi habiskan adalah kurang lebih satu jam. Selanjutnya Kahfi memanggil sang istri agar sarapan bersama. Tampaknya sang istri sedang membaca buku untuk menunggu sampai Kahfi selesai membuat sarapan.

Rena menutup buku dan meletakkan di rak buku. Dia melangkah ke meja makan. "Wah... wangi banget," puji Rena.

"Tentu saja, aku buat dengan cinta yang seluas langit dan bumi."

Rena malu sendiri mendengar gombalan receh sang suami.

Rena duduk disamping Kahfi. Mereka sarapan bersama-sama. Kemudian Kahfi penasaran, apa bubur yang dia buat enak atau tidak. "Enak nggak?"

"Enak kok." Rena tidak berbohong. Bubur tersebut memang enak.

"Syukurlah." Kahfi lega. Dia tersenyum senang. Ketika melihat ada sedikit sisa bubur yang menempel di ujung bibir istrinya, Kahfi mengusapnya dengan ibu jarinya.

"Belepotan ya?" Rena kaget. Dia sudah besar masa makan bubur sampai belepotan.

"Enggak kok. Buburnya aja yang suka nempel di sini." Kahfi kembali mengusap bibir sang istri. Rena jadi malu sendiri. "Soalnya bibir kamu manis, Sayang," lanjut Kahfi lagi.

Wajah Rena merona. Suaminya ini memang tidak bisa dilawan kalau sudah berkata yang manis-manis.

***

Extra Part 7

Kahfi memutuskan untuk mengambil cuti yang panjang. Untuk sementara waktu, pekerjaannya dipegang oleh yang lain. Tapi tenang saja, terkadang jika ada pekerjaan yang sangat penting dan mendesak, Kahfi akan mempetimbangkan untuk datang ke perusahaan. Itupun tidak lama karena HPL (Hari Perkiraan Lahir) sebentar lagi. Sekitar 1 minggu lagi dan Kahfi tidak mau melewatkan apapun. Kahfi dan Rena juga sudah tinggal dirumah kedua orang tua Kahfi. Tentu saja Rena dan Kahfi masih awam dalam mengurus anak mereka nantinya. Mereka butuh banyak belajar dari orang yang sudah berpengalaman.

"Makin hari bengkaknya makin besar aja. Apa nggak perlu ke rumah sakit?" Kahfi bertanya dengan raut wajah khawatir. Dia memegang pergelangan kaki sang istri.

"Nggak sakit kok, Mas. Jadi nggak masalah."

"Yang benar?" Kahfi sedikit tidak percaya. Terkadang istrinya ini lebih memilih menahan rasa sakit dibanding dikatakan atau diungkapkan. Alasannya karena tidak mau merepotkan. Padahal Kahfi sudah direpotkan.

"Iya, Mas."

Kahfi menghela nafas panjang. Dia menyuapi buah ke dalam mulut sang istri. Semakin mendekati hari kelahiran, tentu saja pergerakan Rena semakin terbatas. Dia susah bergerak dengan perut besar. Mencari posisi tidur yang nyaman saja sangat sulit. Terkadang Kahfi berpikir lebih baik istrinya tidak hamil daripada kesusahan begitu. Tapi memikirkan anak mereka, Kahfi membuang pikiran tersebut.

"Mama mana, Mas?" tanya Rena.

"Ke pasar."

"Ha? Ke pasar?"

Kahfi mengangguk. "Sama Bang Abizar tadi."

Rena lega ternyata Mama mertuanya tidak pergi sendiri. Selama Rena tinggal disini, dia sangat diperlakukan baik oleh keluarga Kahfi. Rena seperti mendapat kasih sayang dari ibu dan ayah yang tidak ia dapatkan sebelumnya.

Rena ingin turun dari ranjang. Kahfi cukup peka sehingga membantunya. "Mau kemana?"

"Mau kebun di belakang. Papa di belakang, kan?"

"Iya."

Kahfi ingin memapah istrinya. Rena jelas saja menolak. "Aku masih bisa jalan, Mas," ungkapnya sambil terkekeh.

"Yang bilang nggak bisa siapa, Sayang?"

Kahfi tetap mengikuti langkah istrinya dari belakang, memastikan Rena baik-baik saja. Sesekali dia mengulurkan tangan, berjaga-jaga kalau Rena tiba-tiba kehilangan keseimbangan.

Di halaman belakang, Papa Indra tampak sibuk merapikan kebun sang istri. Kebetulan Papa Indra libur. Dengan kaos oblong dan celana kain santai, pria paruh baya itu terlihat begitu menikmati pekerjaannya, seakan tidak merasa lelah sama sekali.

"Apa Papa Nggak capek?" tanya Rena sambil duduk di kursi kayu.

"Ah, enggak. Papa tuh justru senang bisa beraktivitas begini," jawabnya dengan senyum lebar. Jika tidak dinas, Papa Indra menikmati waktu dengan berkebun bersama istrinya.

Kahfi ikut duduk di samping Rena, sementara matanya terus memperhatikan istrinya dengan seksama.

"Sini aku pijet," ujar Kahfi sambil meletakkan kaki sang istri ke atas pahanya. Sedangkan punggung Rena bersandar pada sandaran kursi.

"Eh eh, nggak usah." Rena panik sendiri, apalagi ia malu karena ada Papa Indra. "Malu ada Papa," lanjutnya lagi agar sang suami mengerti.

Papa Indra tertawa kecil melihat reaksi menantunya itu. "Biarin aja, Nak. Itu bentuk perhatian suami ke istrinya. Dulu waktu Mama hamil Kahfi, Papa juga sering mijitin kakinya."

Rena masih ragu, tapi Kahfi tidak memberi kesempatan baginya untuk menolak. Dengan telaten, pria itu mulai memijat perlahan pergelangan kaki istrinya yang sedikit membengkak.

Rena menghela napas pelan. Sensasi hangat dari tangan Kahfi membuatnya rileks tanpa bisa mengelak lagi.

Kahfi tersenyum puas melihat istrinya akhirnya menikmati pijatannya. "Nah, gitu dong. Daripada kakinya makin pegal."

Papa Indra hanya tersenyum senang. Selama ini, Kahfi memang perhatikan Rena dengan sangat baik. Setidaknya ia dan sang istri membesarkan anak dengan baik sehingga Kahfi bisa menjadi seperti sekarang.

Rena menikmati kesehariannya lebih berwarna daripada sebelumnya. Keluarga Kahfi benar-benar sangat mensupport Rena. Bahkan kedua abang Kahfi sangat baik kepada Rena. Mereka sudah menyiapkan perlengkapan untuk anak Rena dan Kahfi nanti. Sepertinya mereka tidak sabar untuk menyambut kedatangan keponakan mereka.

***

Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, diiringi dengan suara guyuran shower yang mengguyur tubuh Kahfi. Ia baru saja mengoleskan sampo ke rambutnya ketika samar-samar terdengar suara Rena memanggilnya dari luar.

"Mas... Mas Kahfi!"

Awalnya, ia mengira hanya panggilan biasa. Namun, nada suara Rena terdengar berbeda di telinga Kahfi. Rena terdengar panik dan gemetar.

"Sayang?" Kahfi buru-buru membilas rambutnya secepat mungkin, tapi sebelum ia sempat menyelesaikannya, suara Rena kembali terdengar, kali ini lebih mendesak.

"Mas! Tolong!"

Seketika itu juga, jantung Kahfi berdegup kencang. Ia langsung keluar dari kamar mandi dalam keadaan masih setengah basah, rambutnya masih berbusa, dan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya.

Begitu melihat Rena yang berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, tangannya memegang perutnya yang besar, dan wajahnya tampak pucat, Kahfi langsung panik. Apalagi, di bawahnya ada genangan air yang mengalir dari sela-sela kakinya.

"Sayang! Air ketubannya pecah?"

Rena menggigit bibirnya, menahan sakit luar biasa yang menyerang perutnya. "Aku nggak tahu, Mas... sakit banget."

Tanpa berpikir dua kali, Kahfi segera berlari ke luar kamar. "Ma! Mama..." panggilnya dengan suara keras.

Tak lama, Mama In datang dengan langkah tenang. Papa Indra juga. Berbeda dengan Kahfi yang panik luar biasa, mamanya justru tetap tenang menghadapi situasi ini. Dengan pengalaman yang dimilikinya, ia langsung tahu apa yang harus dilakukan.

"Segera bersiap ke rumah sakit. Rena mau melahirkan," ujar Mama Ina sambil membantu Rena duduk di tepi ranjang.

Kahfi masih terengah-engah, matanya melebar. "S-sekarang?"

"Ya, sekarang," jawab Mama Ina dengan tegas. "Ambil pakaian dan perlengkapan yang sudah disiapkan di tas bayi."

Mendengar itu, Kahfi seperti baru tersadar. Ia segera berlari kembali ke kamar mandi, membilas kepalanya dengan cepat, lalu berpakaian seadanya. Setelah itu, ia mengambil tas perlengkapan bayi yang sudah mereka siapkan sebelumnya, sementara ibunya terus menemani Rena yang berusaha mengatur napas di tengah kontraksi yang semakin menjadi.

Dengan penuh kehati-hatian, Kahfi membantu istrinya berdiri dan membimbingnya keluar rumah menuju mobil. Tangannya tak pernah lepas dari tubuh Rena, seolah-olah jika ia melepaskannya, istrinya akan jatuh.

"Nggak apa-apa, Nak. Tidak perlu terlalu panik." Mama Ina berusaha menenangkan anak dan menantunya. Keduanya sama-sama panik.

"I-Iya, Ma."

Papa Indra juga ikut ke rumah sakit. Papa yang akan mengemudi mobil karena Kahfi tampak tidak baik-baik saja. Bahaya sekali kalau dia mengemudi dalam keadaan panik.

Kahfi menggenggam tangan Rena. Dia mengusap keringat Rena yang keluar. Rena tidak tahu sakitnya akan seperti ini. Dia merasa bersalah kepada ibunya jika selama ini ibunya hidup, Rena menjadi anak yang tidak baik. Ibunya pun pasti mengalami hal yang sama seperti dirinya.

"Ibu..." rengek Rena.

"Nggak apa-apa, Sayang. Semua akan baik-baik aja." Mama Ina menyuruh Rena menarik nafas secara pelan-pelan kemudian juga dihembuskan secara perlahan.

Tidak lama kemudian, mereka sampai ke rumah sakit. Rena langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa lebih lanjut. Dokter yang bertanggung jawab dalam persalinan melihat sudah pembukaan berapa.

Rena langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa lebih lanjut oleh tim medis yang sudah bersiap di sana. Kahfi mengikuti dari belakang dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara Mama Ina tetap tenang, berusaha menenangkan anaknya. Begitupun dengan Papa Indra.

Di dalam ruangan, seorang dokter perempuan dengan seragam putih langsung mendekati Rena. "Ibu Rena, kami akan melakukan pemeriksaan dulu, ya," ujarnya lembut. Seorang perawat membantu Rena berbaring di ranjang sementara alat-alat medis mulai disiapkan.

Kahfi tetap berdiri di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya erat. "Aku di sini, Sayang," bisiknya, mencoba memberi kekuatan.

Rena mengangguk, tetapi wajahnya tampak kesakitan. Keringat membasahi dahinya, napasnya memburu. Ia terus mencoba mengikuti saran ibunya untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, tetapi rasa sakit yang semakin intens membuatnya sulit berpikir jernih.

Dokter mulai melakukan pemeriksaan, mengecek detak jantung bayi serta kondisi rahimnya. Setelah beberapa menit, ia menatap Rena dengan ekspresi penuh perhatian. "Ibu Rena, pembukaannya sudah masuk kedua."

Mendengar itu, Kahfi semakin tegang. Tangannya refleks mempererat genggaman pada tangan istrinya. "Dua? Masih lama, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter tersenyum kecil. "Kita akan pantau terus perkembangannya, Pak. Jika sudah mencapai pembukaan tujuh, Ibu Rena akan segera dibawa ke ruang bersalin."

Kahfi tidak pernah membayangkan betapa menyakitkannya proses persalinan hingga ia mendengar teriakan Rena malam itu. Sekitar pukul sepuluh malam, kontraksi besar menyerang istrinya. Setelah diperiksa oleh bidan, pembukaannya sudah mencapai delapan. Tanpa menunggu lama, Rena langsung dibawa ke ruang persalinan.

Kahfi merasa tubuhnya bergetar hebat. Ia tidak pernah membayangkan betapa luar biasanya perjuangan seorang wanita untuk melahirkan. Melihat Rena bertarung dengan rasa sakit demi buah cinta mereka, Kahfi berjanji dalam hatinya, ia tidak akan pernah menyakiti istrinya, seumur hidupnya.

Tangan Kahfi menggenggam erat tangan Rena. Urat-urat di leher istrinya menegang, wajahnya berkerut menahan sakit yang tak terbayangkan. "Mas... sakit sekali..." suara Rena terdengar parau, nyaris habis karena terlalu sering berteriak.

Kahfi semakin mempererat genggamannya, berusaha menyalurkan kekuatan meskipun ia tahu tidak banyak yang bisa ia lakukan selain memberikan semangat. Keringat dingin membanjiri tubuh istrinya, napasnya terengah-engah. "Sayang, kamu pasti bisa... Sedikit lagi, ya," bisiknya, suaranya sendiri bergetar menahan emosi.

Ketakutan mulai menyelimuti Kahfi ketika Rena berkali-kali mengatakan bahwa ia lelah dan ingin tidur. Panik menyeruak di dadanya. Tidak, Rena tidak boleh menyerah sekarang. "Sayang, dengerin aku, ya? Rena kuat, aku tahu kamu kuat. Sedikit lagi... demi anak kita," ucapnya dengan suara penuh harap.

Genggaman Rena semakin erat, kukunya menancap ke kulit tangan Kahfi. Tapi Kahfi tidak peduli dengan rasa sakit itu. Yang terpenting, istrinya terus berjuang.

Di ruangan persalinan itu, keringat, air mata, dan pekikan kesakitan bercampur menjadi satu. Ini adalah perjuangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Hingga akhirnya, setelah tiga puluh menit yang terasa seperti seumur hidup, suara tangisan bayi menggema di ruangan itu. Air mata Kahfi langsung tumpah. Dengan tangan bergetar, ia mengangkat bayi kecil yang masih berlumuran darah. Tali pusarnya masih terlihat jelas, tetapi bagi Kahfi, itu adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.

"Terima kasih, Sayang... Terima kasih..." Suaranya pecah, ia tidak bisa menahan tangis. Ia menggenggam tangan Rena, menciumi punggung tangannya dengan penuh syukur. Rena tersenyum lemah, napasnya tersengal, tetapi air matanya pun ikut mengalir.

Akhirnya, anak mereka lahir dengan selamat. Perjuangan panjang ini terbayar dengan keajaiban kecil yang kini ada di hadapan mereka.

***

Extra Part Akhir

1 tahun kemudian....

Berhubung Rena sudah sangat lelah mengurus anak mereka di tengah kesibukan Kahfi, maka hari ini Kahfi menyuruh sang istri menikmati harinya sendiri. Dia tidak perlu pusing soal anak. Anak pertama mereka sudah berusia 1 tahun. Dia bernama Fahira. Selama istrinya menikmati waktu bersantai di luar rumah, maka Kahfi akan membawa Fahira ke perusahaan. Sebenarnya Papa ingin menjaga Fahira, tapi Kahfi tidak membiarkan itu. Rena juga bersantai bersama Mama Ina nantinya.

Kahfi dan Rena mampu bekerjasama dengan baik dalam mengurus rumah dan mengurus anak. Hal ini sangat penting untuk sebuah rumah tangga. Saling mengerti tanpa menuntut adalah hal dasar demi keharmonisan.

"Sayang..." panggil Kahfi yang baru saja keluar dari kamar. Dia keluar sambil menggendong Fahira.

"Iya, Mas. Kenapa?"

"Bagusnya aku bawa baju Fahira berapa ya?"

Rena mengerutkan kening. Dia sedang membuat cemilan untuk Fahira nantinya yang akan ikut ke tempat kerja Kahfi. Berhubung bekerja di perusahaannya neneknya sendiri, jadi tidak ada yang larang kalau Kahfi membawa anak. Apalagi dia sudah membuat ruangan kerjanya sendiri menjadi ramah anak.

"Satu aja udah," jawab Rena.

"Lah... Kok satu?"

"Emang Mas mau bawa berapa?"

"Bawa berapa ya?" Kahfi menatap sang anak sebentar. "Kayaknya lima deh," lanjutnya lagi.

Mata Rena langsung melotot. "Kenapa banyak banget? Mas mau pindah rumah?"

"Nanti Fahira pasti makannya belepotan," jelas Kahfi yang sudah membayangkan bagaimana tingkah anaknya nanti.

"Ya dikasih alas di lehernya supaya bajunya nggak kena." Rena geleng-geleng kepala. Padahal sampai sore saja, tapi suaminya malah mau membawa lima baju untuk Fahira.

Kahfi tetap bersikeras ingin membawa lebih banyak baju. "Tapi kalau kena tangan atau celana gimana? Harus siap cadangan!" ucapnya penuh keyakinan.

Rena tertawa kecil sambil mengaduk adonan cemilan. "Mas, Fahira itu pergi cuma sampai sore. Bukan seminggu."

"Tapi anak kita ini bukan anak biasa, Sayang. Dia bisa makan kayak habis perang. Kalau nggak percaya, lihat aja nanti," balas Kahfi sambil mencium pipi chubby putri kecilnya yang sedang bermain-main dengan kerah bajunya.

Fahira yang mendengar percakapan orang tuanya hanya menatap mereka dengan mata berbinar, seolah mengerti kalau dirinya sedang menjadi bahan diskusi.

Rena menghela napas, tapi senyumnya tidak bisa ditahan. "Ya sudah, bawa tiga aja. Lebih dari itu nggak perlu," putusnya akhirnya.

Kahfi mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang tidak dibolehkan membeli mainan. "Yaah, tiga doang?"

"Mas, kalau lebih dari tiga, aku pastikan besok aku yang bawa Fahira, dan Mas yang keluar sendiri," ancam Rena dengan senyum manis.

Mendengar itu, Kahfi langsung mengangguk patuh. "Oke, sayang, tiga aja cukup," ucapnya cepat.

Rena tertawa puas melihat ekspresi suaminya. Ia sangat bersyukur memiliki Kahfi, pria yang bukan hanya suami penyayang tetapi juga ayah yang sangat perhatian.

Setelah memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas, Kahfi kembali mendekati Rena. "Sayang, nanti diluar jangan lupa bersantai dan menikmati waktu, ya. Jangan sampai kepikiran Fahira. Dia pasti baik-baik aja sama Mas," ujarnya sambil mengecup puncak kepala istrinya.

Rena tersenyum lembut. "Iya, Mas. Aku percaya kok."

Kahfi dengan telaten menyiapkan perlengkapan Fahira. Dia memasukkan botol susu, popok cadangan, mainan kesayangan Fahira, serta beberapa kebutuhan lainnya ke dalam tas. Sementara itu, Fahira yang seharusnya duduk manis malah sibuk memanjat tubuh ayahnya.

"Fahiraaa, Nak! Papa lagi beresin barang, bukan buat jadi tempat panjat!" ujar Kahfi sambil tertawa ketika merasakan tangan kecil putrinya mencengkram bahunya dan mencoba naik ke atas pundaknya.

Fahira terkikik senang, tangannya semakin erat memeluk kepala sang ayah. "Papaaa!" serunya dengan suara khas anak kecil yang masih cadel.

Meskipun Fahira tidak membiarkan Kahfi menyiapkan barang-barang dengan tenang, tapi pada akhirnya selesai juga. Kahfi segera membawa anaknya keluar kamar. Fahira harus sarapan terlebih dahulu. Rena sudah menyiapkan dengan sangat baik.

Selagi Kahfi mengawasi anaknya makan sendiri walau belepotan, maka Rena memutuskan untuk bersiap keluar. Kahfi tertawa sendiri, makanan yang masuk ke dalam mulut anaknya hanya sedikit. Sisanya jatuh ke meja makan khusus.

Kahfi membantu agar sang anak mudah makan. Fahira juga tidak sulit untuk makan. Bahkan hal ini membuat Kahfi dan Rena khawatir. Takut saja kalau anaknya menemukan sesuatu malah langsung dimasukkan ke dalam mulut.

Keluarga kecil Kahfi sangat sibuk sekali di pagi hari begini. Setelah Fahira sarapan, Kahfi menggantikan pakaian karena pakaian sebelumnya sudah kotor. Selanjutnya Kahfi membereskan meja makan. Rena juga sudah sarapan.

"Semua udah dibawa?" tanya Rena memastikan.

"Sudah, Sayang." Kahfi sudah mengecek berulang-ulang kali.

Akhirnya mereka berangkat meninggalkan rumah. Kahfi mengantar istrinya terlebih dahulu. Setelah itu, dia baru pergi ke perusahaan.

Di dalam mobil, Fahira duduk manis di car seat-nya, sesekali mengoceh sendiri dengan bahasa bayi yang hanya bisa ia pahami. Tangannya menggenggam mainan kecil yang dibawakan Kahfi dari rumah. Sementara itu, Rena duduk di samping Kahfi, memeriksa kembali isi tas perlengkapan Fahira untuk memastikan semuanya lengkap.

"Jangan lupa kasih dia cemilan kalau mulai rewel, ya," pesan Rena, meskipun ia tahu suaminya sudah sangat perhatian terhadap kebutuhan Fahira.

Kahfi tersenyum sambil melirik istrinya sekilas. "Iya, Sayang. Aku hafal kok, tenang aja. Kamu fokus perawatan dan bersantai aja, Fahira di aku aman," jawabnya penuh keyakinan.

Rena menghela napas lega. Ia tahu Kahfi bisa diandalkan, tetapi sebagai ibu, wajar jika ada rasa khawatir meninggalkan anaknya dalam waktu lama. Apalagi, Fahira sedang aktif-aktifnya dan suka memasukkan apa saja ke dalam mulut.

Begitu mereka sampai di klinik perawatan, Kahfi memarkir mobil dan segera keluar untuk membukakan pintu bagi istrinya. "Nikmati, ya," ucapnya sambil mengecup pucuk kepala Rena lembut.

Rena tersenyum hangat. "Makasih, Mas. Hati-hati di jalan, jangan lupa kasih kabar kalau Fahira baik-baik aja."

"Iya, pasti," balas Kahfi mantap.

"Hari ini sama Papa dulu ya, soalnya Mama mau menikmati waktu sendiri." Rena sedikit berat meninggalkan Fahira.

"Mama..." ujar Fahira sambil mengulurkan tangan pertanda minta digendong.

Sebelum Rena bertambah berat, dia mengecup anaknya berkali-kali. Kemudian keluar dari mobil.

Setelah memastikan Rena masuk ke dalam klinik dengan aman, Kahfi kembali ke mobil. Ia menoleh ke arah Fahira yang sibuk menggigit buah naga. Tampaknya sang istri mengganti mainan yang dipegang Fahira menjadi buah naga. "Kita ke kantor, Nak. Hari ini kita kerja bareng!" katanya dengan nada ceria.

Fahira menatap ayahnya dengan mata berbinar, lalu tertawa kecil. Melihat itu, hati Kahfi terasa hangat. Bagi orang lain, membawa anak ke tempat kerja mungkin merepotkan, tetapi bagi Kahfi, momen ini adalah anugerah.

Selama perjalanan menuju perusahaan, Kahfi terus mengajak Fahira berbicara. Sesekali, ia melirik ke kaca tengah untuk memastikan anaknya nyaman. Meski pagi ini terasa sibuk dan padat, ada kebahagiaan sederhana dalam rutinitas mereka sebagai keluarga kecil yang penuh cinta dan perhatian.

Kahfi akhirnya sampai di parkiran perusahaan. Ia tertawa kecil melihat Fahira yang mulutnya sudah belepotan karena buah naga yang tadi ia makan di perjalanan.

"Akhirnya kita sampai, Nak. Ini tempat kerja Papa," ucap Kahfi dengan nada lembut. Walaupun Fahira masih bayi, Kahfi tetap suka mengajaknya berbicara, seolah anaknya benar-benar mengerti. Bahkan ia sering bercerita tentang berbagai hal yang sebenarnya belum bisa dicerna oleh Fahira yang baru berusia delapan bulan.

Setelah mematikan mesin mobil, Kahfi keluar dan melirik ke sekeliling. Sudah ada beberapa mobil yang terparkir, menandakan para karyawan dan rekan-rekannya telah lebih dulu tiba.

Kahfi membuka pintu kursi belakang dan mendapati Fahira sedang asyik menggigit jarinya. Dengan cekatan, ia melepas tali pengaman car seat dan menyiapkan gendongan depan yang sudah melekat di tubuhnya. Tanpa kesulitan, ia mengangkat Fahira dan menempatkannya dengan nyaman di dalam gendongan.

Sebelum masuk ke dalam kantor, Kahfi mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan tangan anaknya agar tidak mengotori pakaian. Meski tidak masalah jika di rumah, tetapi di kantor ia bisa saja harus bertemu klien atau menghadiri rapat mendadak, jadi setidaknya ia harus terlihat rapi.

Fahira mulai berceloteh dengan bahasa bayinya, tangannya bergerak aktif, sementara kakinya menendang-nendang ringan.

"Senang ya ikut Papa kerja?" tanya Kahfi sambil tersenyum.

"Papapapa," sahut Fahira dengan nada ceria, meski ucapannya belum jelas.

Kahfi mengusap pucuk kepala sang anak dengan penuh kasih sayang. "Pintarnya anak Papa," gumamnya bangga.

Saat memasuki perusahaan, Kahfi dapat merasakan banyak tatapan tertuju padanya. Beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan langsung menyapanya.

"Pagi, Pak," ujar salah satu karyawan dengan sopan.

"Pagi," jawab Kahfi dengan senyum tipis.

Beberapa karyawan tampak saling berbisik, mungkin terkejut melihat bos mereka datang sambil menggendong anak. Kahfi memang jarang membagikan kehidupan pribadinya di media sosial, kecuali saat Fahira baru lahir. Ini adalah pertama kalinya ia membawa anaknya ke kantor setelah sekian lama.

Meski begitu, Kahfi tidak ambil pusing. Ia berjalan dengan percaya diri, meskipun barang bawaannya cukup banyak. Di pundaknya tersandang tas perlengkapan Fahira, sementara di punggungnya ada ransel kerja yang berisi laptop dan dokumen.

Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri, pesona Kahfi justru semakin bertambah saat menggendong anaknya. Ketampanannya semakin terpancar, terutama dengan sosok ayah penyayang yang begitu perhatian pada buah hatinya.

Kahfi dan Rena masih memiliki hari yang panjang di depan saja. Tapi keduanya berusaha menjadi versi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Mereka juga bukan orang tua yang sempurna namun mereka mau untuk belajar agar bisa menjadi orang tua yang terbaik untuk anak mereka.

Hal tidak terduga terjadi, kedua abang yang tidak mau ke perusahaan malah datang. Mereka membawa begitu banyak mainan untuk Fahira. Tampaknya mereka sudah pulang dinas dan memilih untuk mendatangi Fahira. Bahkan mereka menawarkan diri untuk menjaga Fahira.

Kahfi benar-benar tidak bisa menolaknya. Paman-paman Fahira sangat luar biasa. Mereka begitu menyayangi Fahira seperti anak sendiri.

 ***

 

Terima Kasih!

Terima kasih telah mengikuti kisah ini hingga akhir episode ini. Dukungan dan waktu yang Anda luangkan untuk membaca benar-benar berarti bagi saya sebagai penulis.

Jika Anda menikmati novel ini, jangan ragu untuk meninggalkan ulasan atau berbagi kesan Anda. Saya sangat menghargai setiap masukan dari pembaca. Sampai jumpa novel selanjutnya! 💖✨

by nusaybah




Cerita Populer Lainnya

SUAMI YANG KU KIRA PENGANGGURAN

  Bab 1 Batal Menikah  Rena bersandar di tiang parkir. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Bahkan Rena sengaja sudah berada di parkiran pagi buta begini. Dia tidak peduli pandangan orang lain yang menyebutnya aneh. Tapi keberadaan Rena tentu sudah diketahui petugas keamanan hotel. Rena hanya menunggu seseorang saja. Jujur saja meskipun ia terlihat biasa saja, namun hatinya sedang kacau. "Wah...luar biasa." Rena bertepuk tangan saat seseorang laki-laki keluar sambil menggandeng perempuan. Laki-laki itu tampak terkejut dan langsung melepaskan tangan perempuan yang tadinya digandeng. Rena tersenyum lebar seakan-akan melihat sesuatu yang menyenangkan. "Re-rena..." ujar laki-laki itu dengan terbata-bata. Dia pasti kaget luar biasa. Dia menyangka Rena akan menunggu di parkiran begini. "Setelah lama aku curiga, ternyata kamu benar-benar melakukannya." Laki-laki itu menggeleng dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya. "Tidak, Rena. Aku bisa j...

Bab 13-25

 Bab 13 Tidak Sendirian Kahfi tidak ingin tahu secara setengah-setengah, jadi dia membayar orang untuk mencari kembali informasi mendalam tentang Rena. Bukan hanya tentang siapa yang dekat dengan Rena, namun tetap kehidupan Rena selama ini. Uang yang dikeluarkan Kahfi tidaklah sedikit. Namun dia tidak keberatan sama sekali. Dia hanya ingin tahu sehingga bisa melindungi Rena. Sampai sekarang, tangan Kahfi masih gemetaran. Memar ditubuh Rena tidak bisa dikatakan biasa, apalagi banyak bekas luka di lengannya. Kahfi duduk dengan pikiran yang kacau.  Kemudian Abizar datang dengan langkah tenang, jas putihnya tampak rapi seperti biasa. Tanpa berkata-kata, ia duduk disamping Kahfi. Kemudian mengulurkan kopi. Kahfi masih diam, matanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya menggenggam erat perangkat itu, seolah takut ada sesuatu yang lolos dari perhatiannya. “Kopi hitam, tanpa gula,” kata Abizar akhirnya, menatap adiknya yang jelas-jelas sedang frustasi. Kahfi melirik sekilas...

Bab 26-Ending

Bab 26 Cantik Jantung Kahfi berdegup kencang. Begitu membuka mata, wajah cantik perempuan yang telah menarik perhatiannya sejak sepuluh tahun lalu langsung menyambut pandangannya. Ia masih sulit untuk percaya. Sosok Rena kini adalah istrinya, sah di mata agama dan hukum. Kebahagiaan itu meluap begitu saja, namun terselip juga rasa sedih yang tak bisa ia abaikan. Di hari bahagianya, justru tubuhnya melemah hingga pingsan. Apa dirinya benar-benar selemah itu? Kahfi menghela napas, merasa kesal pada diri sendiri. Namun dibalik semua itu, ada perasaan hangat yang tak bisa disembunyikan. Ia senang sekaligus lega. Ia bertekad, mulai hari ini dan seterusnya, senyum harus selalu menghiasi wajah Rena. Kahfi menoleh, memperhatikan istrinya yang tertidur di sampingnya. Rena masih mengenakan hijab, tampak begitu damai dalam lelapnya. Tanpa sadar, senyum kembali terbit di bibir Kahfi. Istrinya menang cantik sekali. Selain cantik wajahnya, hatinya juga cantik. Kahfi benar-benar beruntu...